Senin, 02 Maret 2020

Pengendalian Diri dalam Lingkaran Kata


Pengendalian diri (Self Control) merupakan salah satu sikap yang saya pelajari ketika aktif “berkomunitas” pada masa mahasiswa, baik dalam diskusi kecil maupun diskusi besar. Agar tetap terfokus dalam bahasan atau topik diskusi dan menyiapkan giliran (kesempatan), saya pun mendengar secara saksama atau mencatat suatu hal yang menarik pemikiran.   

Dalam suatu diskusi, obrolan, atau lingkaran kata, saya selalu percaya bahwa setiap person yang hadir akan mendapat kesempatan atau giliran untuk berpendapat. Itu pun belum tentu semua pendapat memiliki kualitas yang sepadan lalu ditampung, dipadukan, dan dilaksanakan.

Bagi saya, diskusi, obrolan atau lingkaran kata merupakan sebuah kesempatan untuk menyampaikan pendapat sekaligus memberi kesempatan kepada siapa pun yang hadir di situ. Meski ada satu-dua person yang memiliki kapasitas mumpuni, pengendalian diri tetap menjadi sikap yang terpenting.   

Sekian tahun saya belajar mengenai diskusi atau obrolan, mau-tidak mau saya perlu menyiapkan bahan dan mental untuk berdiskusi. Pengecualiannya adalah jika saya hadir secara mendadak karena diajak oleh siapa. Hal ini pun yang perlu saya persiapkan adalah mental (pengendalian diri).

Diskusi atau obrolan yang mendadak menjadi kemalasan saya berpikir dan berbicara adalah dengan kemunculan sosok yang berkepribadian dominan tetapi sok tahu, kurang berwawasan, kurang pergaulan, kurang pengalaman, dan tidak memiliki kemampuan dalam pengendalian diri. Sebentar-sebentar ia menyela, memotong, interupsi, menyerobot, dan sejenisnya. Salah-benar atau ngawur-relevan tidak-lah pernah dipedulikannya, asalkan ia puas sendiri.

Sekali lagi, ini tentang diskusi atau obrolan, dimana para person harus diberi kesempatan untuk menyampaikan pendapat. Tidak usahlah merasa diri "wajib" didengarkan, dianggap "menguasai segala ilmu atau informasi" apalagi di-amin-kan oleh setiap person dalam diskusi, padahal sama sekali kurang berwawasan. Cukuplah dengan diam, mendengarkan, dan menunggu kesempatan jika memungkinkan adanya kesempatan itu.

Diskusi bukanlah lomba berdebat, apalagi beradu hebat dalam berkata-kata. Diskusi pun bukanlah rapat koordinasi suatu tugas atau pekerjaan yang perlu segera dilaksanakan demi profesionalitas pekerja dan bonafiditas perusahaan. Atau, diskusi bukanlah acara ceramah agama atau mimbar khotbah.

Bukan satu-dua kali saya menemukan sosok dominan tetapi ngawur begitu. Dan, satu-dua kali saya berharap, “Semoga sosok dominan itu segera pergi entah ke mana,” atau malah, “Semoga obrolan atau diskusi segera bubar saja.”

Akan tetapi, biasanya, kalau sosok dominan tidak segera pergi atau diskusi terus berlanjut, justru saya akhirnya memilih keluar dari arena diskusi. Pada kesempatan diskusi berikutnya, saya tidak berminat untuk hadir. Saya memilih untuk belajar sendiri atau, kini, berkumpul dengan keluarga saja.

*******
Beranda Khayal, 1-3-2020

Tidak ada komentar:

Posting Komentar