Apapun ataukah apa
pun? Siapapun ataukah siapa pun? Mengapa disambung atau dipisah dengan kata di depannya?
Saya bosan melihat “apa”
dan “siapa” lalu diikuti “pun” dalam sepucuk kalimat yang masih kacau dalam penerapannya. Tidak berbeda
dengan “kita”, “kami”, dan penerapan prefiks dan preposisi.
Saya juga bosan
mengajari beberapa orang mengenai “pun”. Mereka bukanlah murid-murid SD atau
SMA. Saya bukanlah guru Bahasa Indonesia.
Zaman sekarang
kepemilikan ponsel pintar (smartphone)
atau modem wifi dengan kefasihan mengoperasionalkan komputer jinjing (leptop) untuk
tulis-menulis di perkotaan bukan pula suatu hal yang mencengangkan. Mesin
pencari bernama Google juga mudah
diakses, dan biasa saja.
Apakah faktor
kemalasan kronis telah menjadi penyebab utama pada diri seorang oknum penulis
sehingga masih saja tidak memahami tentang “pun” di belakang “apa” dan “siapa”,
bahkan lain-lainnya?
Waduh, “kemalasan
kronis”. Sangat sadis-bombastis. Begitu, ya?
Ya, sudahlah kalau begitu. Saya
tidak perlu meneruskan tulisan ini. Saya, 'kan, bukan guru Bahasa Indonesia?
*******
Beranda Khayal,
6-3-2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar