Kamis, 05 Maret 2020

Belajar Gramatika bagi Penulis yang Baik


Saya tetap menyimpan komentar seorang teman di media sosial, tepatnya Facebook, pada 31-12-2013. Teman ini namanya Rohyati Sofjan (RS). Tentang siapakah RS, cari sendirilah melalui Google.

Untuk menjadi penulis yang baik harus belajar gramatika dengan baik dulu. Dan harus jeli dalam pengetikan sampai susunan kalimat,” tulis RS.

Saya pernah menyampaikan pada RS bahwa saya bukanlah “penulis yang baik”. Jangankan berstempel “yang baik”, lha wong “penulis” saja bukan.

Meskipun demikian, bukan berarti saya bisa seenak jemari menulis apa pun, ‘kan? Paling tidak, ketika masih belajar di SD hingga SMA, saya pernah belajar tata bahasa dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia.

Oleh sebab “pernah belajar”, mungkin melalui internet saya pun bisa melanjutkan pembelajaran, bahkan mendalaminya lebih lanjut. Kiri-kira begini pembelajaran saya.                                                    

Pertama, apakah pengertian atau definisi dari gramatika. Sebenarnya mudah. Tinggal cari melalui Google, beres. Begitu saja untuk menggampangkannya, ‘kan?

Mungkin sedikit saya kopipeist dari internet supaya lebih menggampangkannya.

Dari Typoonline.Com, gramatika (gra·ma·ti·ka) berarti tata bahasa. Tata bahasa ini terbagi lima :
1. Gramatika diakronis, yaitu tata bahasa yang meliputi berbagai zaman dalam perkembangan satu bahasa;
2. Gramatika historis (sejarah), yaitu tata bahasa yg bercorak diakronis dan komparatif (menunjukkan bagaimana perkembangan sistemnya dari mula hingga zaman tertentu);
3. Gramatika sinkronis, yaitu tata bahasa hanya meliputi satu zaman tertentu dr satu bahasa;
4. Gramatika stilistika, yaitu bahasa yg meliputi kebiasaan atau ungkapan dalam pemakaian bahasa yang mempunyai efek kepada pembacanya (menyelidiki pemakaian bahasa dalam hubungannya dengan gaya bahasa);
5. Gramatika tradisional , yaitu tata bahasa yg didasarkan pada tata bahasa Latin Yunani

Dari Arti-Definisi-Pengertian.Info, gramatika atau tata bahasa adalah cabang ilmu pengetahuan yang meneliti unsur-unsur pembentuk ujaran seperti bunyi, morfem, kata, kalimat, dan lain-lain. Dalam bahasa Indonesia, tata bahasa yang bersinonim “jalan bahasa”, “kaidah bahasa”, dan “paramasastra” mempunyai pengertian, di antaranya ialah sistematuran yang menunjukkan hubungan antara bunyi dan makna; buku yang memuat kaidah-kaidah pemakaian suatu bahasa; dan lain-lain.

Di situs Arti-Definisi-Pengertian.Info terurai cukup jelas mengenai hal-hal yang berkaitan dengan tata bahasa, misalnya pendekatan, kategori, dan seterusnya. Saya tidak perlu menulis ulang di sini.

Kedua, harus jeli dalam pengetikan sampai susunan kalimat. Kata “jeli” di sini berkaitan dengan penglihatan, yang artinya “awas”, “tajam”.

Menurut pemahaman saya, pada tahap pengetikan saja, kejelian sudah menjadi sangat penting (mendesak; urgent). Kelihatannya sepele. Akan tetapi, kalau “sepele” saja keliru menjadi “selele”, tentu saja arti atau maknanya berbeda.

Ya, keliru satu kata sampai menjadi sebuah susunan kalimat, entah bagaimana makna yang diterima pembaca. Misalnya tadi, “Kelihatannya sepele” tertulis “Kelihatannya selele”.

Maka dari itu, sebuah obsesi, bahkan ambisi menjadi “penulis yang baik”, harus didului atau dimulai dengan kemampuan memahami gramatika, dan jeli dalam pengetikan sampai susunan kalimat. Itu kalau mau menjadi “penulis yang baik”.

Mungkin “tuntutan” (dari “yang baik”) agar longgar jika seseorang berobsesi ataupun berambisi menjadi “penulis”. Seseorang yang mau menjadi penulis, “tuntutan”-nya adalah menulis atau hasilnya berupa tulisan.

Persoalan yang sering saya temukan, beberapa penulis selalu terjebak dalam kekeliruan bertata bahasa melalui tulisan mereka. Tidak jarang saya hanya membaca kalimat pertama pada alinea pertama dari tulisan mereka.

Saya tidak mengetahui, apakah mereka memang mau sekadar penulis atau diam-diam mau menjadi “penulis yang baik”. Menulis, menulis, dan menulis. Menggampar atau menggasak gramatika pun, diteruskannya hingga bertahun-tahun.

Akan tetapi (lagi), kalau mau menjadi “sekadar penulis” selama bertahun-tahun, sangat saya sayangkan. Bertahun-tahun mereka “sekadar penulis”. Bertahun-tahun mereka enggan belajar lebih mendalam, padahal setiap kesempatan dipergunakan untuk tulis-menulis.

Menurut saya, lebih baik tidak berobsesi, apalagi berambisi menjadi penulis. Toh, saya juga tidak pernah bercita-cita atau berkemauan menjadi penulis, walaupun diam-diam saya belajar lagi tentang gramatika, dan berupaya untuk jeli dalam tulis-menulis. Kalau tetap terdapat kekeliruan kata atau tata bahasa, saya tidak perlu malu, karena seorang arsitek tidak diwajibkan untuk mahir dalam tulis-menulis!

*******
Beranda Khayal, 6-3-2020

Tidak ada komentar:

Posting Komentar