Saya tetap
menyimpan komentar seorang teman di media sosial, tepatnya Facebook, pada 31-12-2013. Teman ini namanya Rohyati
Sofjan (RS). Tentang siapakah RS,
cari sendirilah melalui Google.
“Untuk menjadi penulis yang
baik harus belajar gramatika dengan baik dulu. Dan harus jeli dalam pengetikan
sampai susunan kalimat,” tulis RS.
Saya pernah
menyampaikan pada RS bahwa saya bukanlah “penulis yang baik”. Jangankan berstempel
“yang baik”, lha wong “penulis” saja bukan.
Meskipun demikian,
bukan berarti saya bisa seenak jemari menulis apa pun, ‘kan? Paling tidak,
ketika masih belajar di SD hingga SMA, saya pernah belajar tata bahasa dalam
mata pelajaran Bahasa Indonesia.
Oleh sebab “pernah
belajar”, mungkin melalui internet saya pun bisa melanjutkan pembelajaran,
bahkan mendalaminya lebih lanjut. Kiri-kira begini pembelajaran saya.
Pertama, apakah pengertian atau definisi dari gramatika. Sebenarnya mudah.
Tinggal cari melalui Google, beres.
Begitu saja untuk menggampangkannya, ‘kan?
Mungkin sedikit
saya kopipeist dari internet supaya lebih menggampangkannya.
Dari Typoonline.Com, gramatika (gra·ma·ti·ka) berarti tata bahasa. Tata bahasa ini terbagi lima :
1. Gramatika diakronis, yaitu tata bahasa yang meliputi berbagai zaman dalam perkembangan satu bahasa;
2. Gramatika historis (sejarah), yaitu tata bahasa yg bercorak diakronis dan komparatif (menunjukkan bagaimana perkembangan sistemnya dari mula hingga zaman tertentu);
3. Gramatika sinkronis, yaitu tata bahasa hanya meliputi satu zaman tertentu dr satu bahasa;
4. Gramatika stilistika, yaitu bahasa yg meliputi kebiasaan atau ungkapan dalam pemakaian bahasa yang mempunyai efek kepada pembacanya (menyelidiki pemakaian bahasa dalam hubungannya dengan gaya bahasa);
5. Gramatika tradisional , yaitu tata bahasa yg didasarkan pada tata bahasa Latin Yunani
1. Gramatika diakronis, yaitu tata bahasa yang meliputi berbagai zaman dalam perkembangan satu bahasa;
2. Gramatika historis (sejarah), yaitu tata bahasa yg bercorak diakronis dan komparatif (menunjukkan bagaimana perkembangan sistemnya dari mula hingga zaman tertentu);
3. Gramatika sinkronis, yaitu tata bahasa hanya meliputi satu zaman tertentu dr satu bahasa;
4. Gramatika stilistika, yaitu bahasa yg meliputi kebiasaan atau ungkapan dalam pemakaian bahasa yang mempunyai efek kepada pembacanya (menyelidiki pemakaian bahasa dalam hubungannya dengan gaya bahasa);
5. Gramatika tradisional , yaitu tata bahasa yg didasarkan pada tata bahasa Latin Yunani
Dari Arti-Definisi-Pengertian.Info, gramatika
atau tata bahasa adalah cabang ilmu pengetahuan yang meneliti unsur-unsur
pembentuk ujaran seperti bunyi, morfem, kata, kalimat, dan lain-lain. Dalam
bahasa Indonesia, tata bahasa yang bersinonim “jalan bahasa”, “kaidah bahasa”,
dan “paramasastra” mempunyai pengertian, di antaranya ialah sistematuran yang
menunjukkan hubungan antara bunyi dan makna; buku yang memuat kaidah-kaidah
pemakaian suatu bahasa; dan lain-lain.
Di situs Arti-Definisi-Pengertian.Info terurai
cukup jelas mengenai hal-hal yang berkaitan dengan tata bahasa, misalnya
pendekatan, kategori, dan seterusnya. Saya tidak perlu menulis ulang di sini.
Kedua, harus jeli dalam pengetikan sampai susunan kalimat. Kata “jeli” di
sini berkaitan dengan penglihatan, yang artinya “awas”, “tajam”.
Menurut pemahaman
saya, pada tahap pengetikan saja, kejelian sudah menjadi sangat penting
(mendesak; urgent). Kelihatannya
sepele. Akan tetapi, kalau “sepele” saja keliru menjadi “selele”, tentu saja arti
atau maknanya berbeda.
Ya, keliru satu
kata sampai menjadi sebuah susunan kalimat, entah bagaimana makna yang diterima
pembaca. Misalnya tadi, “Kelihatannya sepele” tertulis “Kelihatannya selele”.
Maka dari itu,
sebuah obsesi, bahkan ambisi menjadi “penulis yang baik”, harus didului atau dimulai
dengan kemampuan memahami gramatika, dan jeli dalam pengetikan sampai susunan
kalimat. Itu kalau mau menjadi “penulis yang baik”.
Mungkin “tuntutan”
(dari “yang baik”) agar longgar jika seseorang berobsesi ataupun berambisi
menjadi “penulis”. Seseorang yang mau menjadi penulis, “tuntutan”-nya adalah
menulis atau hasilnya berupa tulisan.
Persoalan yang
sering saya temukan, beberapa penulis selalu terjebak dalam kekeliruan bertata
bahasa melalui tulisan mereka. Tidak jarang saya hanya membaca kalimat pertama
pada alinea pertama dari tulisan mereka.
Saya tidak
mengetahui, apakah mereka memang mau sekadar penulis atau diam-diam mau menjadi
“penulis yang baik”. Menulis, menulis, dan menulis. Menggampar atau menggasak
gramatika pun, diteruskannya hingga bertahun-tahun.
Akan tetapi (lagi),
kalau mau menjadi “sekadar penulis” selama bertahun-tahun, sangat saya
sayangkan. Bertahun-tahun mereka “sekadar penulis”. Bertahun-tahun mereka
enggan belajar lebih mendalam, padahal setiap kesempatan dipergunakan untuk
tulis-menulis.
Menurut saya, lebih
baik tidak berobsesi, apalagi berambisi menjadi penulis. Toh, saya juga tidak pernah bercita-cita atau berkemauan menjadi
penulis, walaupun diam-diam saya belajar lagi tentang gramatika, dan berupaya
untuk jeli dalam tulis-menulis. Kalau tetap terdapat kekeliruan kata atau tata
bahasa, saya tidak perlu malu, karena seorang arsitek tidak diwajibkan untuk
mahir dalam tulis-menulis!
*******
Beranda Khayal,
6-3-2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar