Rabu, 11 Maret 2020

Tradisi Tulis-Menulis antara Kutai Kartanegara dan Pramoedya Ananta Toer


Waduh, tema tulisan ini agak berat, kayaknya. Dengan menyebut “Kerajaan Kutai” dan “Pramoedya Ananta Toer”, mungkin perlu menyiapkan kernyitan di dahi. 

Mungkin tidak perlu sampai begitu. Saya hanya sedang iseng mengaitkan keduanya dalam hal tulis-menulis ketika saya membaca Majalah Historia versi daring.

Majalah Historia itu memuat artikel “Sejarah Nusantara Bermula di Kutai Kartanegara” yang ditulis oleh Risa Herdahita Putri. Saya tayangkan sebagian kopipeist yang relevan sebagai berikut.

Keberadaan Kerajaan Kutai dibuktikan dengan tujuh prasasti yupa ditemukan di areal Muara Kaman, tepatnya di situs Banua Lawas. Meski tanpa angka tahun, dari hurufnya bisa diperkirakan prasasti ini berasal dari abad ke-5. Huruf Pallawa yang dipakai dalam prasasti itu dipakai di India pada periode yang sama.

Kemunculan pusat pemerintahan di pedalaman Mahakam itu juga dipicu kebangkitan Kerajaan Fu-nan di Vietnam. Fu-nan lalu menguasai Selat Malaka dan Laut Cina Selatan. Dengan adanya tekanan yang memberatkan bagi pedagang dan kapal-kapal, mereka pun mencari jalan yang luput dari tekanan itu. Alternatifnya adalah wilayah di sepanjang Sumatra Barat, Selat Sunda, Laut Jawa, dan Selat Makassar.

Dapat dipahami jika kemudian Kutai seakan tiba-tiba lenyap sejak abad ke-6 dalam sejarah hubungan internasional. Sebab, Kerajaan Fu-nan waktu itu sudah hancur oleh Kerajaan Chen-la.

Kerajaan yang kemudian muncul adalah Sriwijaya. Ia menguasai Selat Malaka maupun pantai barat Sumatra. Perbedaan sistem perdagangan yang dilakukan Sriwijaya membuat pedagang dan kapal-kapal sering singgah di sana. Maka matilah jalur perdagangan Selat Makassar, dan tenggelamlah Kutai dari perdagangan internasional.

Kendati begitu mungkin mereka bukannya sama sekali lenyap. Kutai hanya tak melanjutkan tradisi menulis prasastinya. Sementara kerajaan itu sebenarnya masih terus ada.

Sementara saya masih mengingat obrolan di sebuah ruangan hotel pada 2010 bahwa Kutai memiliki bahasa sendiri, yang berbeda dengan bahasa Dayak, Bugis, Jawa, dan suku lainnya. Sayangnya, bahasa tersebut kurang populer di masyarakat Kaltim secara umum, atau minimal melalui media massa lokal dengan sebuah rubrik khusus berbahasa Kutai.

Saya berpendapat bahwa media massa memiliki daya jelajah lebih jauh dan "menetap" dalam benak penikmat. Baik media massa cetak dengan bahasa tulisan maupun elektronik dengan bahasa lisan, masing-masing memiliki daya itu dalam kolaborasi sehari-hari atau waktu-waktu tertentu. Sayangnya, ya, sayangnya.

Tradisi tulis-menulis yang kemudian saya sandingkan adalah kata mutiara dari Pram. Kata mutiara yang selalu dikutip sebagian kalangan, khususnya pegiat literasi itu berbunyi sebagai berikut.

Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.

Demikian yang bisa saya sampaikan. Mohon maaf apabila tulisan saya ini kurang aduhai.

*******
Beranda Khayal, 10-3-2020

Tidak ada komentar:

Posting Komentar