Waduh, tema tulisan
ini agak berat, kayaknya. Dengan menyebut “Kerajaan Kutai” dan “Pramoedya
Ananta Toer”, mungkin perlu menyiapkan kernyitan di dahi.
Mungkin tidak perlu
sampai begitu. Saya hanya sedang iseng mengaitkan keduanya dalam hal
tulis-menulis ketika saya membaca Majalah Historia
versi daring.
Majalah Historia itu memuat artikel “Sejarah
Nusantara Bermula di Kutai Kartanegara” yang ditulis oleh Risa Herdahita Putri.
Saya tayangkan sebagian kopipeist yang relevan sebagai berikut.
Keberadaan Kerajaan Kutai dibuktikan
dengan tujuh prasasti yupa ditemukan di areal
Muara Kaman, tepatnya di situs Banua Lawas. Meski tanpa angka tahun, dari
hurufnya bisa diperkirakan prasasti ini berasal dari abad ke-5. Huruf Pallawa
yang dipakai dalam prasasti itu dipakai di India pada periode yang sama.
Kemunculan
pusat pemerintahan di pedalaman Mahakam itu juga dipicu kebangkitan Kerajaan Fu-nan
di Vietnam. Fu-nan lalu menguasai
Selat Malaka dan Laut Cina Selatan. Dengan adanya tekanan yang memberatkan bagi
pedagang dan kapal-kapal, mereka pun mencari jalan yang luput dari tekanan itu.
Alternatifnya adalah wilayah di sepanjang Sumatra Barat, Selat Sunda, Laut
Jawa, dan Selat Makassar.
Dapat
dipahami jika kemudian Kutai seakan tiba-tiba lenyap sejak abad ke-6 dalam
sejarah hubungan internasional. Sebab, Kerajaan Fu-nan waktu itu sudah hancur
oleh Kerajaan Chen-la.
Kerajaan
yang kemudian muncul adalah Sriwijaya. Ia menguasai Selat Malaka maupun pantai
barat Sumatra. Perbedaan sistem
perdagangan yang dilakukan Sriwijaya membuat pedagang dan kapal-kapal sering
singgah di sana. Maka matilah jalur perdagangan Selat Makassar, dan
tenggelamlah Kutai dari perdagangan internasional.
Kendati
begitu mungkin mereka bukannya sama sekali lenyap. Kutai hanya tak melanjutkan
tradisi menulis prasastinya. Sementara kerajaan itu sebenarnya masih terus ada.
Sementara saya
masih mengingat obrolan di sebuah ruangan hotel pada 2010 bahwa Kutai memiliki bahasa
sendiri, yang berbeda dengan bahasa Dayak, Bugis, Jawa, dan suku lainnya. Sayangnya,
bahasa tersebut kurang populer di masyarakat Kaltim secara umum, atau minimal
melalui media massa lokal dengan sebuah rubrik khusus berbahasa Kutai.
Saya berpendapat bahwa media massa memiliki daya jelajah lebih jauh dan "menetap" dalam benak penikmat. Baik media massa cetak dengan bahasa tulisan maupun elektronik dengan bahasa lisan, masing-masing memiliki daya itu dalam kolaborasi sehari-hari atau waktu-waktu tertentu. Sayangnya, ya, sayangnya.
Saya berpendapat bahwa media massa memiliki daya jelajah lebih jauh dan "menetap" dalam benak penikmat. Baik media massa cetak dengan bahasa tulisan maupun elektronik dengan bahasa lisan, masing-masing memiliki daya itu dalam kolaborasi sehari-hari atau waktu-waktu tertentu. Sayangnya, ya, sayangnya.
Tradisi tulis-menulis
yang kemudian saya sandingkan adalah kata mutiara dari Pram. Kata mutiara yang
selalu dikutip sebagian kalangan, khususnya pegiat literasi itu berbunyi
sebagai berikut.
Orang
boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di
dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.
Demikian yang bisa
saya sampaikan. Mohon maaf apabila tulisan saya ini kurang aduhai.
*******
Beranda Khayal,
10-3-2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar