Minggu, 08 Maret 2020

Membuka Kelas Belajar yang Berbayar

Saya belum pernah membuka sebuah kelas belajar, apalagi berbayar. Saya bisa mengajarkan perihal menulis atau menggambar, tetapi bukan berarti saya perlu membuka sebuah kelas, ‘kan?

Saya pernah mengikuti bimbingan belajar menggambar di Bandung yang diasuh oleh mahasiswa FSRD-ITB selama 3 bulan, setiap hari (Minggu untuk bikin sketsa di lokasi), dan biayanya Rp15.000,00 pada 1991. Saya bisa saja menggunakan beberapa metode bimbingan itu, lalu memasang tarif.

Saya juga pernah mengikuti pelatihan tulis-menulis di pers mahasiswa, meskipun saya tidak langsung dilatih oleh seorang “senior”. Hampir setiap hari dengan cara “menguping” pembelajaran rekan-rekan, bahkan tugas kuliah pun saya bawa ke sekretariat. Paling tidak, struktur sebuah tulisan, semisal opini/esai, saya bisa memahaminya. Toh, saya pernah meraih juara I Lomba Menulis Esai. Belum ditambah dengan…

Akan tetapi, saya sama sekali tidak memiliki hasrat atau renjana untuk membuka sebuah kelas, apalagi berbayar. Kalau seorang-dua orang benar-benar hendak belajar hingga saya nyatakan “kamu sudah mampu!”, saya akan mengajari di rumah saya. Gratis, dan silakan tentukan waktunya.

Saya bisa membuat jadwal. Berapa kali pertemuan dalam satu minggu. Untuk kelas menulis, bisa dimulai dengan hal-hal mendasar mengenai suatu tulisan. Untuk kelas menggambar, bisa dimulai dengan hal-hal mendasar mengenai suatu rupa.

Modalnya ialah keseriusan dan kesungguhan. Kalau tidak serius dan bersungguh-sungguh, sebaiknya tidak usah saja. Saya tidak mau menyia-nyiakan waktu hanya untuk orang yang tidak serius dan tidak bersungguh-sungguh.

Saya juga tidak mau menyia-nyiakan waktu orang yang tidak serius itu. Bukankah orang itu sebaiknya melakukan hal-hal yang lebih berguna dengan waktu yang tersedia dan serius dikerjakannya?

Saya menyukai orang-orang yang serius dan mau suntuk belajar-berlatih, karena saya juga menyukai pembelajaran ketika muda. Dari Yogyakarta ke Bandung hanya untuk mengikuti bimbingan belajar menggambar, padahal di Yogyakarta juga ada. Dari bidang Arsitektur yang tekun memainkan garis, saya juga menekuni perihal tulis-menulis tanpa seorang “senior” pun yang membimbing.

Saya serius ketika hendak bertarung tulisan, baik di media maupun dalam kompetisi tulis-menulis. Saya pelajari teori, materi, dan seterusnya hingga saya ajukan sebagai "petarung". Gagal muat atau kalah bertarung bukanlah kiamat bagi saya. Mungkin saya masih perlu belajar dan berlatih lagi.

Sekarang, jangankan memasang tarif, lha wong membuka sebuah kelas belajar saja saya tidak pernah. Mungkin karena faktor tega-tidak tega. Mungkin karena bakat saya bukanlah menjadi guru profesional bahkan kapitalis terselubung dalam pembelajaran.

*******
Beranda Khayal, 8-3-2020

Tidak ada komentar:

Posting Komentar