Senin, 09 Maret 2020

Berlatih untuk Calon Jagoan


“Menulis itu seperti bermain kung fu. Anda tidak akan menjadi jago kung fu, meski seumur hidup menonton Jacky Chan atau Jet Lee, tanpa berlatih kung fu,” kata Helvy Tiana Rosa yang ditulis ulang oleh Indiebookcorner di beranda FB pada Senin, 9/3.

Pernah nonton film kungfu, kan?” lanjut Indiebookcorner. “Biasanya kita menyaksikan sang murid tidak diajari kungfu, tapi menimba air, menyapu daun jatuh, mendaki gunung sambil mengangkut barang berat.

Ketika momen perkelahian tiba, tangan dan kakinya gesit, bisa mengelak dan memukul. Sang murid tidak menyadari, ia sudah mahir teknis dasar kungfu, tinggal disempurnakan, ia sudah menjadi ahli bela diri yang andal.

Harusnya kamu bisa menerapkannya dalam kebiasaan menulis. Membaca yang banyak, latihan menulis kalimat efektif, menulis takarir Instagram yang bagus, lalu mencoba menulis lebih panjang lagi. Latihan, latihan, latihan. Menulis memang dipelajari, tapi kita tidak bisa tiba-tiba mahir begitu saja.


***

Saya sengaja mengutip status Indiebookcorner lalu memajangnya di sini. Tentu saja saya akan “memoles”-nya supaya sesuai dengan versi saya.  

Ada tiga hal yang menarik. Pertama, “sang murid tidak diajari kung fu”. Kedua,”Ketika momen perkelahian tiba”. Ketiga, “Latihan, latihan, latihan”.

Antara pertama dan ketiga terdapat kemiripan, yaitu berlatih. “Sang murid” tidak menyadari jika sedang dilatih, khususnya naluri (insting) dan gerakan.

“Membaca yang banyak” merupakan dasar utama. Membaca tidak sekadar menghafal atau memahami isi bacaan, tetapi juga mempelajari bacaan/tulisan secara struktural, konstruktif, dan utilitas. Dengan banyak membaca, mulailah membuat tulisan dengan kalimat efektif (tidak bertele-tele), dan seterusnya sampai sebuah tulisan yang lebih panjang.

Berlatih pun tidaklah tergantung pada suasana hati (mood), jika memang mau menjadi jagoan. Kalau belum mahir tetapi baru sebatas berlatih sudah tergantung suasana hati, ya, silakan menjadi jago nge-mood deh.

Saya sudah melakukannya (berlatih), dan selalu melakukannya hingga sekarang. JPS merupakan salah satu wadah media penampung latihan saya, padahal saya tidak pernah berkeinginan menjadi jago bersilat kata alias menulis.

Berikutnya, hal kedua, “Ketika momen perkelahian tiba”. Tidak ada film kung fu mengasyikkan tanpa perkelahian. Tidak ada bintang utama film kung fu yang tidak berkelahi. Iya, ‘kan?

Dalam kategori momen (saat; waktu), perkelahian terbagi dua. Perkelahian yang terjadwal, dan perkelahian dadakan.

Perkelahian yang terjadwal itu misalnya pertarungan karya, kompetisi, lomba, sayembara, dan seterusnya yang berhubungan dengan tulis-menulis. Terjadwal sejak pengumuman mengenai perlombaan hingga tenggat waktu pengumpulan karya. Kemudian perlombaan selanjutnya, baik lokal maupun interlokal, nasional, bahkan internasional.

Perkelahian dadakan itu misalnya diminta menulis kata pengantar untuk sebuah buku yang akan terbit dalam waktu dekat, menanggapi status atau komentar di media sosial, mengulas berita atau pernyataan, dan lain-lain. Ya, pada masa internet berada dalam genggaman, “perkelahian dadakan” merupakan hal yang biasa, dan dalam waktu yang tidak berhari-hari atau berminggu-minggu.

Karena sama sekali tidak pernah berobsesi menjadi penulis, apalagi jago menulis, saya belajar, berlatih, dan “berkelahi” tidaklah “ditunggangi” oleh obsesi atau target apa-apa. Saya bisa lebih santai, “bermain-main”, “bermalas-malasan”, dan beralih ke hobi lainnya sesuka saya.

Bagaimana dengan Anda yang berobsesi bahkan berambisi menjadi seseorang yang jago menulis, penulis sejati, penulis terkenal, penulis terhebat, penulis paling disegani, penulis paling berpengaruh, dan seterusnya seperti halnya jago kung fu?

*******
Beranda Khayal, 10-3-2020

Tidak ada komentar:

Posting Komentar