Pada 10-3-2009 saya
datang, dan menjadi warga sementara. Saya sempat terlibat di sebuah kelas
menulis sampai sekitar 2011, tetapi sekadar penggembira. Tempat kegiatan
berawal di sekitar Ruko Bandar sampai pelataran Monumen Perjuangan Rakyat
(Monpera).
Selama terlibat, saya
sama sekali tidak melihat adanya metode yang jelas dengan program, jadwal,
pemateri yang kompeten, dan lain-lain. Semua dilakukan dengan entahlah, asalkan
ada kegiatan bernama “kelas menulis”.
Selama di Monpera, saya memang sekadar penggembira. Ada pengajar yang lebih berkompeten. Jago menulis apa saja, termasuk semua genre sastra. Pokoknya, saya sama sekali tidak ada apa-apanya. Masih bersyukur pohon pinus atau rumput.
Selama di Monpera, saya memang sekadar penggembira. Ada pengajar yang lebih berkompeten. Jago menulis apa saja, termasuk semua genre sastra. Pokoknya, saya sama sekali tidak ada apa-apanya. Masih bersyukur pohon pinus atau rumput.
Akan tetapi, pada tahun-tahun selanjutnya saya tidak mengetahui tentang seberapa banyak peserta kelas itu benar-benar mampu meraih prestasi bahkan menjadi penulis, baik di Balikpapan maupun di luar Balikpapan. Entah berapa yang menjadi esais, cerpenis, dan lain-lain.
Di luar itu semua saya berusaha untuk tidak mendengar segala macam fitnah tentang saya, terlebih tahun-tahun awal saya keluar dari komunitas dan segala kegiatan kesenian di Balikpapan. Fitnah itu "Gus Noy egois", "Gus Noy tidak mau berbagi".
Para pemfitnah yang sama sekali tidak berotak bagus, karena status saya di Balikpapan bukanlah putera daerah dan bujangan, melainkan pendatang, suami dan kepala rumah tangga. Kalau lajang atau bujangan, saya bisa bebas keluar rumah; berangkat pagi sampaing pulang pagi.
Rumah tangga tetaplah prioritas utama. Kalau tidak menjadikan rumah tangga sebagai prioritas, saya tidak akan berumah tungga atau menikah. Lajang atau bujangan. Tapi, saya datang ke Balikpapan memang bertujuan untuk menikah, karena calon istri saya adalah orang Balikpapan.
Ya, tidak mungkin saya datang ke Balikpapan tanpa ada urusan pernikahan dan berumah tangga. Maka, ketika rumah tangga harus saya prioritaskan dan diskusi atau pembelajaran bisa dilakukan di rumah kami, apakah tetap "Gus Noy egois" dan "Gus Noy tidak mau berbagi"?
Terus, maunya si pemfitnah, saya tetap seperti bujangan, begadangan dan selalu berada di luar rumah pada malam hari untuk "berbagi" alias mengikuti kemauan si pemfitnah?
Ah, sudahlah. Terserah saja oknum-oknum mau memfitnah dan mempertahankan fitnahan itu sampai kiamat, bahkan jika fitnah pun mereka anggap sebagai persembahan terbaik dalam hidup mereka.
Saya malah tekun berkarya, karena hanya berkarya-lah yang mampu saya lakukan. Bagi saya, seorang seniman dikenal karena karyanya, bukan fitnahannya yang setinggi gunung. Itu pun kalau saya merasa diri saya adalah seniman. Kalau tidak merasa, ya, tidak apa-apa, asalkan berkarya sajalah.
Pintu rumah kami pun tidak pernah tertutup bagi siapa pun yang mau belajar, terlebih siapa yang benar-benar serius belajar. Toh, kalau memang ilmu saya berguna, pasti si pembelajar-lah yang akan menuai hasilnya, apalagi kalau saya sudah meninggal dunia.
Di luar itu semua saya berusaha untuk tidak mendengar segala macam fitnah tentang saya, terlebih tahun-tahun awal saya keluar dari komunitas dan segala kegiatan kesenian di Balikpapan. Fitnah itu "Gus Noy egois", "Gus Noy tidak mau berbagi".
Para pemfitnah yang sama sekali tidak berotak bagus, karena status saya di Balikpapan bukanlah putera daerah dan bujangan, melainkan pendatang, suami dan kepala rumah tangga. Kalau lajang atau bujangan, saya bisa bebas keluar rumah; berangkat pagi sampaing pulang pagi.
Rumah tangga tetaplah prioritas utama. Kalau tidak menjadikan rumah tangga sebagai prioritas, saya tidak akan berumah tungga atau menikah. Lajang atau bujangan. Tapi, saya datang ke Balikpapan memang bertujuan untuk menikah, karena calon istri saya adalah orang Balikpapan.
Ya, tidak mungkin saya datang ke Balikpapan tanpa ada urusan pernikahan dan berumah tangga. Maka, ketika rumah tangga harus saya prioritaskan dan diskusi atau pembelajaran bisa dilakukan di rumah kami, apakah tetap "Gus Noy egois" dan "Gus Noy tidak mau berbagi"?
Terus, maunya si pemfitnah, saya tetap seperti bujangan, begadangan dan selalu berada di luar rumah pada malam hari untuk "berbagi" alias mengikuti kemauan si pemfitnah?
Ah, sudahlah. Terserah saja oknum-oknum mau memfitnah dan mempertahankan fitnahan itu sampai kiamat, bahkan jika fitnah pun mereka anggap sebagai persembahan terbaik dalam hidup mereka.
Saya malah tekun berkarya, karena hanya berkarya-lah yang mampu saya lakukan. Bagi saya, seorang seniman dikenal karena karyanya, bukan fitnahannya yang setinggi gunung. Itu pun kalau saya merasa diri saya adalah seniman. Kalau tidak merasa, ya, tidak apa-apa, asalkan berkarya sajalah.
Pintu rumah kami pun tidak pernah tertutup bagi siapa pun yang mau belajar, terlebih siapa yang benar-benar serius belajar. Toh, kalau memang ilmu saya berguna, pasti si pembelajar-lah yang akan menuai hasilnya, apalagi kalau saya sudah meninggal dunia.
Lantas, masihkah ada kelas
menulis di Balikpapan sejak akhir 2014 sampai awal 2020 ini?
Kalau memang ada, pertanyaan
saya :
1. Di manakah
kegiatannya berlangsung;
2. Kapan
kegiatannya;
3. Apa saja yang
diajarkan; menulis apa;
4. Siapa pengajar atau mentornya
sekaligus kompetensinya sehebat apa;
5. Bagaimana
pengajarannya, metode, jadwal, dan program-program progresifnya.
Pertanyaan lanjutannya
ialah :
1. Berapa jumlah
peserta pada setiap angkatan;
2. Berapa peserta
yang berhasil menjadi penulis;
3. Berapa peserta
yang menjadi benar-benar esais, dan cerpenis;
4. Berapa banyak
prestasi yang telah mereka torehkan setelah “lulus” dari kelas menulis.
Pertanyaan-pertanyaan itu berdasarkan keterlibatan saya sejak awal. Saya tidak melihat adanya pengelolaan (manajemen) untuk sebuah kelas menulis. Mungkin berbeda dengan pasca-18-10-2014, 'kan?
Eh, apa peduli saya, ya?
Baiklah. Biarkan sajalah. Pertanyaan-pertanyaan tadi biarlah mengisi ruang saja. Tidak penting, selain membiarkan semua berlalu seperti angin di pesisir Teluk Balikpapan.
Eh, apa peduli saya, ya?
Baiklah. Biarkan sajalah. Pertanyaan-pertanyaan tadi biarlah mengisi ruang saja. Tidak penting, selain membiarkan semua berlalu seperti angin di pesisir Teluk Balikpapan.
*******
Beranda Khayal,
17-3-2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar