Beberapa hari lalu
saya membaca berita tentang bentrok di suatu daerah. Bentrok disebabkan oleh
bla-bla-bla. Dan bentrok tersebut menewaskan sekian warga setempat.
Kekerasan adalah
istilah atau kata yang menjadi keseharian dalam perilaku penduduk di suatu
daerah yang pernah saya singgahi itu. Kekerasan terhadap keluarga, pasangan,
kawan, dan seterusnya tidak akan luput dari obrolan, berita, dan lain-lain.
Bagaimana dengan
kehidupan beragama di sana?
Simbol agama bertaburan.
Fanatisme pun sangat menjulang. Sayangnya, semua sekadar penampilan luar. Benda-benda
yang selalu gagal menggerus budaya kekerasan yang telah diwariskan secara
turun-temurun.
Bagaimana dengan dunia
pendidikan di sana?
Dunia pendidikan dikelola
oleh pemerintah dan swasta, bahkan ada lembaga pendidikan khusus agama. Jumlah penduduk
yang bertitel tinggi pun semakin meningkat, bahkan dari perguruan tinggi di
luar negeri.
Akan tetapi, saya justru
merekam situasi yang paradoks. Pemuka agama dan tokoh pendidikan gagal dalam fungsi
dan indoktrinisasi, bahkan ada yang tunduk-sepakat pada kekerasan. Sudah gagal, sombongnya setengah mati!
Belum lagi tokoh masyarakat, duta budaya, hingga pejabat publik. Benar-benar lengkap deh!
Belum lagi tokoh masyarakat, duta budaya, hingga pejabat publik. Benar-benar lengkap deh!
Oleh sebab itu,
berita tentang bentrok dan menewaskan sekian warga setempat merupakan rekaman
selanjutnya dalam benak saya mengenai warisan budaya turun-temurun di sana. Dan,
saya berjanji bahwa saya tidak akan singgah ke sana lagi.
*******
Beranda Khayal, 7-3-2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar