Senin, 09 Maret 2020

Belajar Berhalu

Syaraf nakal saya tergelitik ketika membaca sebuah status di akun FB. Status seorang muda – kira-kira 23-24 tahun -- tersebut adalah sebagai berikut :

Membaca seperti Hatta
Melawan seperti Tan Malaka
Flamboyan seperti Soekarno
Dan peacefull seperti Gus Dur

Saya mengomentarinya bahwa Lalu realitas hidup cuma jadi bukan siapa-siapa.

***

Halu (penggalan istilah “halusinasi” yang terkenal sejak kampanye Pilpres 2019) adalah bagian dari masa pencarian jati diri, bahkan sebagian orang dewasa masih melanjutkan halu seperti asa kanak-kanak mereka. Mungkin berhalu merupakan cara paling efisien dan praktis untuk keluar dari realitas yang menjenuhkan atau berpotensi bikin frustasi.

Saya juga sering berhalu. Waktu kecil, saya berhalu menjadi manusia hebat (superhero), karena suka membaca komik superhero, misalnya Superman, Batman, Robin, dan lain-lain. Juga menonton film kartun yang berkaitan dengan superhero, misalnya Empat Sekawan (Fantastic Four), Blue Falcon, Space Ghost, dan lain-lain.

Saya pernah dibelikan selembar topeng berwajah Batman. Itu lho, yang dari selembar karton, matanya dibolongi, dan di kanan-kiri ada lubang untuk karet gelang yang dipasang di telinga. Ketika saya memakainya, saya langsung merasa seperti Batman.

Berikutnya menjadi pendekar, karena suka membaca komik silat dan menonton film-film silat, semisal Jaka Sembung. Setiap keluar dari ruang bioskop atau baru sebatas ruang lobi, saya langsung bergerak dengan jurus-jurus tiruan dari jagoannya.

Menjadi superhero, pahlawan fiktif, pendekar rekaan, atau jagoan imajinatif semisal Rambo merupakan halu saya sampai di Kelas II SMA. Setelah itu saya tidak lagi memiliki halu yang melampaui logika dan kemampuan saya.

Tamat SMA bahkan selesai kuliah saya hanya menginginkan menjadi diri sendiri dengan apa yang saya mampui. Padahal saya cukup aktif di pers mahasiswa, rajin membaca artikel politik, dan sering berkelana ke kampus FISIP. Saya sama sekali tidak mengidolakan tokoh-tokoh lokal, interlokal, maupun internasional.

Ya, masa halu dan ambisi begini-begitu saya sudah tamat riwayat. Ketika saya tidak mampu mencapai tahap tertentu yang saya maui, saya segera menyadari kemampuan saya sampai di mana. Kalau masih ngotot atau kepengen, saya akan giat belajar dan berlatih, bahkan “pindah daerah”. Kalau gagal lagi, ya, sudahlah.

Kegagalan saya yang paling jelas adalah tidak diterima di perguruan tinggi berbasis Seni Rupa. Tiga kali di Bandung, dan dua kali di Yogyakarta. Meski begitu, bidang kuliah saya masih berkaitan dengan “seni rupa”, yaitu arsitektur. Cukup menghibur, ‘kan?

***

Saya tidak bisa melihat gambaran halu dari pemilik status di FB itu. Membaca seperti Hatta. Mohammad Hatta dan pemilik status berada dalam kurun waktu yang cukup jauh, bahkan tidak pernah menyaksikan keseharian mantan wakil presiden itu, tetapi bagaimana ia bisa berhalu "Membaca seperti Hatta"?

Tidak berbeda dengan baris berikutnya yang menerakan nama Tan Malaka, Soekarno, dan Gus Dur. Apakah pemilik status benar-benar pernah berada di dekat tokoh-tokoh itu, sehingga ia bisa berhalu begitu?

Di samping itu saya membayangkan kalau keseharian si pemilik status menjalani hidup seperti keempat tokoh idolanya. Kepribadian atau jati diri siapa sebenarnya dalam dirinya?   

***

Menjadi diri sendiri bukanlah perjuangan yang mudah ketika berada dalam kumpulan orang yang berhalu melulu. Menjadi bukan diri sendiri alias “mirip si anu” adalah mudah-biasa dalam lingkungan semacam itu. Terserah mereka, dan terserah saya.

Maka, jadilah “terserah”. Setiap orang “terserah” pada diri masing-masing, baik dengan halu maupun tanpa halu. Bebas. Merdeka. Hak azasi. Iya, ‘kan?

Silakan berhalu, terserah mau berhalu apa-siapa. Gitu aja kok ngepot.

*******
Beranda Khayal, 8-3-2020

Tidak ada komentar:

Posting Komentar