Membaca seperti Hatta
Melawan seperti Tan Malaka
Flamboyan seperti Soekarno
Dan peacefull seperti Gus Dur
Saya mengomentarinya bahwa Lalu realitas hidup
cuma jadi “bukan siapa-siapa”.
***
Halu (penggalan
istilah “halusinasi” yang terkenal sejak kampanye Pilpres 2019) adalah bagian
dari masa pencarian jati diri, bahkan sebagian orang dewasa masih melanjutkan
halu seperti asa kanak-kanak mereka. Mungkin berhalu merupakan cara paling
efisien dan praktis untuk keluar dari realitas yang menjenuhkan atau berpotensi
bikin frustasi.
Saya juga sering
berhalu. Waktu kecil, saya berhalu menjadi manusia hebat (superhero), karena
suka membaca komik superhero, misalnya Superman, Batman, Robin, dan lain-lain.
Juga menonton film kartun yang berkaitan dengan superhero, misalnya Empat Sekawan
(Fantastic Four), Blue Falcon, Space Ghost, dan lain-lain.
Saya pernah
dibelikan selembar topeng berwajah Batman. Itu lho, yang dari selembar karton,
matanya dibolongi, dan di kanan-kiri ada lubang untuk karet gelang yang
dipasang di telinga. Ketika saya memakainya, saya langsung merasa seperti
Batman.
Berikutnya menjadi
pendekar, karena suka membaca komik silat dan menonton film-film silat, semisal
Jaka Sembung. Setiap keluar dari
ruang bioskop atau baru sebatas ruang lobi, saya langsung bergerak dengan jurus-jurus
tiruan dari jagoannya.
Menjadi superhero,
pahlawan fiktif, pendekar rekaan, atau jagoan imajinatif semisal Rambo merupakan
halu saya sampai di Kelas II SMA. Setelah itu saya tidak lagi memiliki halu
yang melampaui logika dan kemampuan saya.
Tamat SMA bahkan
selesai kuliah saya hanya menginginkan menjadi diri sendiri dengan apa yang
saya mampui. Padahal saya cukup aktif di pers mahasiswa, rajin membaca artikel
politik, dan sering berkelana ke kampus FISIP. Saya sama sekali tidak
mengidolakan tokoh-tokoh lokal, interlokal, maupun internasional.
Ya, masa halu dan
ambisi begini-begitu saya sudah tamat riwayat. Ketika saya tidak mampu mencapai
tahap tertentu yang saya maui, saya segera menyadari kemampuan saya sampai di
mana. Kalau masih ngotot atau kepengen, saya akan giat belajar dan
berlatih, bahkan “pindah daerah”. Kalau gagal lagi, ya, sudahlah.
Kegagalan saya yang
paling jelas adalah tidak diterima di perguruan tinggi berbasis Seni Rupa. Tiga
kali di Bandung, dan dua kali di Yogyakarta. Meski begitu, bidang kuliah saya
masih berkaitan dengan “seni rupa”, yaitu arsitektur. Cukup menghibur, ‘kan?
***
Saya tidak bisa melihat gambaran halu dari pemilik status di FB itu. Membaca seperti Hatta. Mohammad Hatta dan pemilik status berada dalam kurun waktu yang cukup jauh, bahkan tidak pernah menyaksikan keseharian mantan wakil presiden itu, tetapi bagaimana ia bisa berhalu "Membaca seperti Hatta"?
Tidak berbeda dengan baris berikutnya yang menerakan nama Tan Malaka, Soekarno, dan Gus Dur. Apakah pemilik status benar-benar pernah berada di dekat tokoh-tokoh itu, sehingga ia bisa berhalu begitu?
Di samping itu saya membayangkan kalau keseharian si pemilik status menjalani hidup seperti keempat tokoh idolanya. Kepribadian atau jati diri siapa sebenarnya dalam dirinya?
***
Menjadi diri
sendiri bukanlah perjuangan yang mudah ketika berada dalam kumpulan orang yang
berhalu melulu. Menjadi bukan diri sendiri alias “mirip si anu” adalah mudah-biasa
dalam lingkungan semacam itu. Terserah mereka, dan terserah saya.
Maka, jadilah “terserah”.
Setiap orang “terserah” pada diri masing-masing, baik dengan halu maupun tanpa
halu. Bebas. Merdeka. Hak azasi. Iya, ‘kan?
Silakan berhalu,
terserah mau berhalu apa-siapa. Gitu aja
kok ngepot.
*******
Beranda Khayal,
8-3-2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar