Kamis, 12 Maret 2020

Diskusi yang Sepi

Pada Rabu, 11/3 saya keluar dari sebuah grup diskusi di Whatsapp (WA), dan saya minta maaf dengan menyebut “Sorry”. Ada masalah apakah?  

Pertanyaan biasanya memang begitu. “Ada masalah apakah?”, seolah-olah gaduh, gawat, atau gusar.

Tidak masalah yang perlu dikategorikan “gaduh”, “gawat”, ataupun “gusar”. Tidak sampai taraf semacam ketiga kategori itu.

Tidak perlu juga menduga sampai pada "ada masalah dengan siapa". Terlalu jorok dugaan itu. Apa-apa selalu dikaitkan dengan "siapa". Biasanya "dengan siapa", ya? Ya, biasa menduga dengan terlalu jorok, sih. 

Lantas, apa masalahnya sehingga saya keluar begitu?

Sepi. Tidak ada diskusi yang benar-benar sesuai dengan istilahnya. Setiap saya melongok, grup selalu sepi.

Di lain sisi saya berpikir, “Jangan-jangan hanya saya yang setiap hari melongok ke situ.”

Benar-benar sepi. Mayoritas penghuninya berumur di bawah saya, bahkan ada yang masih bujangan.

Dulu, ketika masih muda, saya dan komunitas selalu memiliki agenda kegiatan. Paling mudah adalah kegiatan tahunan. Misalnya, tahun ini akan diadakan kegiatan apa, dan hal-hal yang terkait dengan kegiatan itu. Diskusikan dong.

Kemudian, baru diurai lagi, misalnya kegiatan setengah tahun, seperempat tahun, dan sampai dalam satu bulan. Semua didiskusikan bersama, meski akhirnya semua hanyalah sampai wacana.

Mengapa orang muda di grup diskusi itu justru sepi begitu, seolah mereka sudah berusia lebih 40 tahun dan sedang repot banget mengurus keluarga?

Saya tidak mengerti alasan sebenarnya mengenai pembuatan grup dan pemilihan namanya, karena bukan saya yang membuat. Lalu, entah bagaimana pengertian atau pemahaman anggota mengenai penamaan grup dan aktivitas yang menjadi realisasinya.

Antara diskusi dan sepi, tentu saja, sangat tidak relevan. Kalau nama grup itu adalah sepi, pasti relevan, ‘kan?

Saya menduga bahwa ada semacam kekeliruan kata yang dipakai sebagai nama, khususnya makna. Di mana-mana, yang namanya “diskusi”, tidak ada yang sepi. Di mana-mana, orang yang membuka forum “diskusi”, bukanlah pendiam apalagi sekadar pengintip ruang.

Dan satu hal lagi, sebuah kelompok berbendera "diskusi" bukanlah berisi individu-individu emosional, melainkan rasional. Soal wacana, rencana, agenda, jadwal, dan lain-lain merupakan bahan untuk dirasionalkan bersama. Kalau mengutamakan emosional dengan "rasa kebersamaan", rasionalitas hanya menjadi kentut.

Oleh karena realitas tidak relevan dengan nama, saya keluar saja dari grup diskusi itu. Saya tidak perlu mengintip, meninjau atau selalu menanyakan dengan kata “sepi” lagi. Santai.

Yang mungkin juga terjadi adalah curiga atau tidak menyukai saya gara-gara saya keluar. Kalau selalu menyalahkan alias tidak sudi introspeksi, memang mudah menyalahkan keputusan saya. Lha wong jelas sepi begitu lho!

*******
Beranda Khayal, 12-3-2020

Tidak ada komentar:

Posting Komentar