Kamis, 12 Maret 2020

Kepedulian Ayu Utami dan Ketidakpedulian Saya

Lagi, saya membaca perihal tulis-menulis dan kemampuan berbahasa Indonesia. Kali ini dari Penulis Feminis Ayu Utami yang berada dalam berita “Hadiah Sikat Gigi dan Odol” di Media Indonesia edisi Sabtu, 7/3 dari wawancara pada Jumat, 28/2.

Sebagai pengajar penulisan kreatif, Ayu Utami merasa kemampuan anak muda menulis dalam bahasa Indonesia menurun drastis. Dari pengalamannya mengajar, tulisan jelek bertambah dari tahun ke tahun.

Ayu  mengaitkan kemampuan menulis dengan interaksi anak muda di media sosial. Lewat medium itu, kata dia, siapa saja bisa menulis, tak peduli tulisan bagus atau jelek, tata bahasanya rapi atau berantakan.

“Ini ada hubungannya dengan paparan mereka terhadap tulisan jelek tanpa melalui proses pengeditan,” ujarnya.

Pada zaman dulu, kata Ayu, orang biasanya mengetahui tulisan dalam kaidah yang baik dan benar meski secara lisan berantakan. Kala itu, masih banyak teks yang bisa dibaca dan sudah melalui proses pengeditan.

“Adanya media sosial, teknologi digital, setiap orang bebas menulis sehingga banyak tulisan jelek. Bahasa tulisannya, ejaannya jelek. Singkatannya, enggak keruan. Anak-anak sekarang melihat yang seperti itu,” ucap penulis novel “Saman” itu.

Ya, saya kopipeistkan segitu saja. Kalau mau lengkapnya, silakan baca sendiri di berita itu.

***

Bukan perihal yang baru, sebenarnya. Entah sudah berapa kali perihal semacam ini. Bosan, tidak, sih?

Saya menyebutnya sebagai “perihal” saja. Mungkin kalangan lain, khususnya pemerhati dan peduli bahasa Indonesia semacam Ayu Utami akan menyebutnya sebagai “persoalan”, bahkan “masalah”. Hanya berbeda pada segi perhatian dan kepedulian, sih.

Apakah karena saya tidak memiliki perhatian dan kepedulian?

Saya bosan saja. Selalu berkutat di situ. Ejaan, tata bahasa, dan seterusnya. Sudah begitu, masih saja bangga dengan memajangnya di media sosial.

Saya cukup sering mengulas perihal ini, bahkan di JPS, tetapi siapa peduli?

Di Balikpapan selama sekian tahun saya menyediakan diri untuk membantu sebagian calon penulis agar kelak mereka benar-benar menguasai perihal tulis-menulis sejak dari kemampuan menggunakan kata, menyusun menjadi frasa, kalimat sampai pada tulisan yang utuh. Tidak usah membayar alias gratis.

Lantas, bagaimana tanggapan mereka?

Banyak alasan, terutama sibuk. Aduhai nian. Kalau memamerkan tulisan, waduhbiyuh, lagaknya sudah benar-benar penulis, padahal menggunakan ejaan saja mereka sering “kejang”.

Ya, terserahlah. Toh saya bukanlah siapa-siapa jika dibandingkan dengan Ayu Utami, dan saya merasa sudah tidak perlu menyusahkan diri lagi. Toh setiap orang bebas memilih, dan tidak peduli pada kemampuan mereka sendiri sudah sampai seberapa.

***

Besoknya, Minggu, 8/3 saya menemukan sebuah kiriman di grup publik Facebook “Sastra Cyber”. Kiriman dari Arie Fajar Rofian berupa penerbitan sepucuk novel.

Judul: After Yesterday
Penulis: A. Fajar Rofian
Genre: Romance
Penerbit: Antera
Halaman: 376 halaman (ber-ttd)

Dear rekan-rekan, sekadar informasi sekaligus numpang promo bahwa novel terbaru saya "After Yesterday" sudah tersedia di toko buku Gramedia dan toko buku lainnya. Silakan diadopsi sambil selfie-selfie cantik. Harganya 89 ribu.

Atau, bagi yang mau pesan langsung melalui saya, silakan inbox. Gratis ongkir untuk pengiriman wilayah Jabodetabek dan Purwasuka, atau subsidi ongkir 10-15 ribu di luar wilayah tersebut. Plus, dapat tanda tangan dan bonus menarik lainnya.

Blurb:
Tanyakan pada dada yang terbelah, adakah yang lebih sesak ketimbang cinta yang terpendam dan tak terucap kata-kata?
Tanyakan pada mata yang terpejam, adakah yang lebih pilu ketimbang kenangan yang tak mungkin pernah terulang?
Tanyakan pada mimpi-mimpi, adakah yang lebih sulit ketimbang kehilangan tanpa sempat memiliki?

Tanyakan pada dirimu yang berdiri pongah, apakah aku pernah ada?

Ada lanjutan dengan sedikit sinopsis. Saya tidak perlu meneruskannya, tetapi langsung saya tanggapi di kolom komentar.

Novel berbahasa Inggris, ya?

“Bahasa Indonesia, hanya judulnya saja yang bahasa Inggris,” jawab si pengirim sekaligus penulis novel itu.

“Arie Fajar Rofian, oh... Cuma judul yg berbahasa Inggris... Oh... Kukira..."

“Awal menggunakan judul bahasa Indonesia, naskah ditolak oleh beberapa penerbit. Setelah iseng saya ganti, eh keterima hehe.”

***

Kalau satu hari sebelumnya Ayu Utami merasa kemampuan anak muda menulis dalam bahasa Indonesia menurun drastis, hari berikutnya novel dengan judul berbahasa Indonesia ditolak penerbit tetapi bisa diterbitkan setelah judulnya diganti dengan bahasa Inggris. After yesterday...

Bagaimana fenomena semacam ini?

Saya seakan-akan melihat kecenderungan penampilan sekian orang di sekitar saya. Sekujur badan berkulit sawo matang, tetapi rambut dicat pirang dan bedak putih mukanya agak tebal.

Mau terus berkomentar, ya?

Tidak. Berkomentar sampai tenggorokan kering pun percuma. Bosan, dan membosankan. Siapa pula mau peduli, selain Ayu Utami?

Saya sendiri membuat penerbitan buku dengan nama berbahasa Indonesia, "Abadi Karya", dan buku-buku tunggal saya tetap menggunakan judul berbahasa Indonesia karena isinya memang berbahasa Indonesia. Apa adanya saja di "muka", "kulit" dan "isi", dan saya tidak pernah bosan berbahasa Indonesia dalam tulis-menulis.

*******
Beranda Khayal, 8-3-2020

Tidak ada komentar:

Posting Komentar