Saya membuka data-data
usang dan saya menemukan simpanan berupa status akun FB Sastrawan Lampung Udo
Z. Karzi pada 13-8-2017, pkl. 17:25. Saya sengaja menyimpannya karena memancing
minat saya untuk menulis, meskipun baru sekarang (7-3-2020) atau lebih tiga
tahun saya unggah ke JPS ini.
“SEMUA MAU JADI PENULIS. Termasuk yang tak bisa menulis. Hanya
sedikit yang bersedia menjadi editor. Sudah begitu, ada saja penulis yang tak
mau dieditori. Di lain pihak, terdapat pula editor yang kepengen lebih
terkenal dari penulis yang dieditori,”
tulis sastrawan yang saya kenal sejak 2002 di Cybersastra.
Antara penulis dan
editor (penyunting) memang sudah saya singgung, khususnya “Menulis dan
Menyunting Sendiri”. Akan tetapi, dengan temuan status usanya Udo, saya
tertarik melanjutkannya. Dan, kali ini, saya akan menerkanya.
Pertama, semua mau jadi penulis, termasuk yang tidak bisa menulis.
Entah apa yang
orang-orang itu bayangkan tentang penulis sehingga “semua mau jadi penulis”. Bagi
saya, menulis merupakan sebuah pilihan terhadap suatu jalan yang sunyi. Kalaupun
suatu waktu seorang penulis sampai pada tempat keramaian semacam perayaan
(selebrasi budaya), tetaplah jalan sunyi menjadi kesehariannya yang paling
intens.
Selanjutnya,
menjadi penulis bukan berarti jaminan kebutuhan hidup dapat terpenuhi dalam
waktu singkat melalui tulisan yang dimuat di media massa atau dibukukan oleh
industri penerbitan. Sebagian penulis memang berhasil mencapai taraf kemakmuran
itu, tetapi sebagian lagi terseok-seok, bahkan mengenaskan secara ekonomi.
Kedua, ada penulis yang tidak mau dieditori.
Kalau seorang
penulis tidak mau dieditori (disunting) karyanya, berarti si penulis mampu
melakukannya sendiri. Ya, seperti kata A. S. Laksana, “Setiap penulis adalah editor pertama bagi
karyanya sendiri.”
Persoalannya,
editor yang semacam apa yang dimaksudkan oleh A. S. Laksana dan Udo Z. Karzi?
Kalau editor yang
berkaitan dengan pemilihan tulisan dari seorang penulis untuk sebuah kumpulan
tulisan, tentu saja, bukan lagi berurusan dengan “hal-hal elementer”. Akan
tetapi pula, apakah sebelumnya penulis memang membutuhkan atau menunjuk
seseorang sebagai editor karyanya?
Ketiga, hanya sedikit yang bersedia menjadi editor.
Mungkin maksud Udo
adalah “banyak yang mau menjadi penulis tetapi sedikit yang mau menjadi editor”.
Mungkin lho, ya?
Menurut saya,
seorang penulis yang mengelola waktunya sedemikian rupa dengan tulis-menulis
seharusnya juga memiliki waktu untuk menguasai perihal kaidah-kaidah penulisan
dan penyuntingan. Melalui pengelolaan waktu dan kemampuan ini, penulis
benar-benar menyadari bahwa kata-kata atau bahasa tulisan merupakan sebuah
medan pertarungan yang serius.
Akan tetapi lagi,
saya sepakat dengan Udo, “hanya sedikit yang bersedia menjadi editor”. Menulis
dan menulis saja, karena mengeditori karya sendiri termasuk menambahi “beban”. Mungkin
begitu, ya?
Keempat, terdapat pula editor mau lebih terkenal daripada penulis yang tulisannya dieditori.
Dengan memisahkan
posisi penulis dan editor, jelas bahwa definisi, fungsi, dan substansinya
berbeda. Saya menerka bahwa editor yang dimaksudkan Udo berada di ranah media
massa ataupun penerbitan.
Begini. Setiap
penulis memiliki karakteristiknya (ciri khas) sendiri dalam setiap karyanya,
khususnya penulis yang telah puluhan tahun malang-melintang. Sebuah tulisan
dari judul hingga selesai dengan tempat dan tanggal penulisan merupakan satu-kesatuan
dari karakteristik itu sehingga begitulah kemudian penulis dikenal oleh
khalayak pembaca.
Seorang editor
tidak layak mengubah karakteristik seorang penulis, bahkan Saut Situmorang pernah menegur saya bahwa penulis adalah tuhan atas karyanya. Mungkin, kalau ada yang keliru atau
salah tik (typo), sebaiknya
dibicarakan langsung dengan penulisnya, dan tidak menimbulkan "kepengenan editor" yang melampaui batas.
Demikianlah terkaan tertulis saya terhadap status akun FB Udo. Kalau ada kekurangan atau kekacauan logika menerka,
itu murni dari saya. Terima kasih.
*******
Beranda Khayal,
7-3-2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar