Kamis, 12 Maret 2020

Antara Nelayan, Pemancing Profesional, dan Pemancing Amatir

Pernah menonton acara “Mancing Mania” di televisi, tidak? Atau, mungkin, orang terdekat yang berhobi memancing, baik di sungai maupun laut, adakah?

Ikan merupakan obyek utama, tetapi apakah pehobi mancing bisa disamakan dengan nelayan? Apakah pehobi mancing merasa wajib memancing setiap hari, mendapatkan ikan dalam jumlah banyak atau semampunya dalam kurun waktu tertentu, dan semua hasil dibawa pulang?

Saya menyukai acara semacam “Mancing Mania”, baik yang profesional maupun amatiran. Salah satu adegan yang sering saya saksikan adalah pemancing profesional melepaskan hasil pancingannya kembali ke air. Padahal, dari jenis dan ukuran ikan, pasti aduhai jika dimasak atau dijual lho.

Adegan “mengembalikan ikan ke habitatnya” itu seakan sedang mengolok nelayan, pemancing amatiran ataupun kalangan miskin yang perlu perbaikan gizi. Akan tetapi, ya, namanya hobi mancing.

Seorang kawan juga berhobi mancing, dan berani ikut menyewa sebuah kapal untuk menjelajahi laut selama puluhan jam. Sekian juta tidak masalah, kepuasan memancing tiada tandingannya. Dalam satu bulan, ia biasa memancing sebanyak dua-tiga kali. Belum lagi koleksi pancingnya yang berharga jutaan.

Kawan yang berhobi mancing itu pun seakan mengolok nelayan dan kaum miskin. Akan tetapi lagi, ya, hobinya mancing, siapa yang melarang, ‘kan?

Kalau pemancing amatir, biasanya di air tawar dan beberapa kali saya saksikan di media sosial, jenis ikan dan ukuran seberapa pun pasti dibawa pulang untuk diolah menjadi masakan dan menu sekeluarga. Mungkin juga diberikannya pada orang-orang sekitar.

Saya belum pernah menyaksikan hasil pancingan dikembalikan si pemancing amatir ke habitatnya, kecuali ukuran kecil yang kurang bergengsi jika dipamerkan ke media sosial. Pasalnya, saya juga pemancing amatir, meski sesekali pamer hasil pancingan di media sosial.

Lantas apa kaitannya dengan tulis-menulis atau orang yang setiap hari menekuni kegiatan tulis-menulis?

Pernah membayangkan pekerjaan jurnalis, penulis profesional, dan pehobi tulis-menulis, tidak? Apakah yang terbayangkan antara profesi dan hobi itu?

Kalau jurnalis, khususnya media cetak, tulisan merupakan kewajiban yang harus dihasilkannya, bukan? Dalam satu hari, biasanya, ada target dalam hal jumlah yang wajib disetorkan ke medianya, bukan?

Kalau penulis profesional, jelas bahwa profesinya adalah penulis. Ada hak dan kewajiban secara tertulis jika berkaitan dengan suatu kesepakatan dengan pemberi pekerjaan.

Kalau pehobi tulis-menulis, tentu saja berbeda dengan kedua profesi (jurnalis dan penulis profesional) itu. Hobi alias kesukaan alias kegemaran tidaklah terikat dalam kesepakatan hak dan kewajiban sekaligus waktu terbatas dengan pihak lain.

Saya menyukai, menggemari atau hobi menulis. Meski hobi, bukan berarti saya mau menjadi penulis. Penulis dalam bingkai pikiran saya yang sempit ini adalah orang yang berprofesi sebagai penulis alias penulis profesional.

Nah, ketika saya tidak mau menjadi ataupun disebut sebagai penulis, tentu saja, alasan sudah saya tuliskan tadi. Ya, anggap saja saya pemancing amatir semata, bahkan tidak dianggap kategori apa pun tidak lantas saya merasa dunia sudah kiamat. Gampang, ‘kan?

*******
Beranda Khayal, 12-3-2020

Tidak ada komentar:

Posting Komentar