Sabtu, 29 Februari 2020

Virus Corona dan Infeksi Pemikiran

Virus Corona yang berkode 2019-nCoV sudah sampai di manakah sejak muncul di Kota Wuhan, China pada akhir Januari 2020? Benarkah jangkauannya sudah melampaui 50 negara, bahkan singgah ke Vatikan pula tanpa menengok Indonesia sekejap pun?

Sementara binatang yang menjadi vektor atau perantara penyakit pneumonia dengan korban jiwa mencapai ribuan ini belumlah jelas. Awalnya kelelawar. Berikutnya trenggiling. Entah apa lagi nanti, di samping isu seputar proyek “senjata biologi”.


Saya tidak mengetahui kebenaran dari semua kabar tentang Covid-19 itu. Saya pun tidak tertarik untuk menelaahnya lebih jauh, dalam ataupun tinggi. Saya bukanlah ahlinya.

Yang jelas, kabar mengenai virus penyakit saluran pernapasan yang menghebohkan setelah SARS dan MERS pun tidak terlepas dari upaya sok tahu segelintir tokoh masyarakat yang sama sekali bukan ahlinya, dan upaya nakal para pemalsu kebenaran melalui berita ataupun ujaran hoaks untuk suatu kepentingan. Memang bertambah runyam urusan 2019-nCoV ini.

Saya tidak mau andil dalam kerunyaman. Saya hanya mau mengatakan bahwa saya perlu berhati-hati dalam persebaran kabar, dan tidak sembarang bersepakat dengan pernyataan orang yang tidak ahli, khususnya tulis-menulis.

Ya, ini berkaitan dengan tulis-menulis. Tidak berbeda ketika saya belajar lebih suntuk mengenai kartun, misalnya kartun humor, kartun opini, kartun politik, karikatur, dan lain sebagainya melalui beberapa buku dan media, meskipun saya sudah bisa menggambar setelah mengikuti bimbingan belajar menggambar di Bandung pada 1991.

Saya belum selesai belajar. Saya masih perlu membaca tulisan-tulisan atau pernyataan-pernyataan yang benar dari para ahli mengenai tulis-menulis. Duduk di depan komputer jinjing yang tengah menayangkan sajian internet merupakan bagian dari ritual pembelajaran saya.

Saya belum selesai berlatih. Saya masih perlu menulis, bahkan dengan genre apa pun untuk meluweskan hubungan antara otak dan jari saya. Duduk dan mengetik pun masih menjadi bagian keseharian saya.

Saya belum selesai mengikuti “ujian” setelah belajar dan berlatih. “Ujian” itu, salah satunya, adalah lomba atau kompetisi. Lomba, apalagi tingkat nasional, merupakan bagian yang sangat penting untuk menguji kemampuan saya setelah belajar dan berlatih secara autodidak.

Belum selesai. Kapan "sudah selesai"? Stroke, hilang ingatan, atau mati.

Oleh sebab itu, selagi "belum selesai", saya selalu menolak anggapan bahwa saya sudah mahir menulis, apalagi distempel “penulis” bahkan “ahli”. Saya tidak suka gegabah atau takabur dengan pernyataan-pernyataan yang cuma sok tahu mengenai tulis-menulis. Sedangkan semua pencapaian dalam kompetisi cukup-lah untuk mengisi biodata saya.

Saya malah tidak mengerti, mengapa sebagian orang bisa mendadak beranggapan bahwa saya sudah begini-begitu dalam tulis-menulis. Padahal, sejujurnya, saya justru khawatir kalau anggapan itu salah besar, menyebar, menular, bahkan menginfeksi pemikiran banyak orang seperti wabah virus Corona.   
*******
Beranda Khayal, 29-2-2020

Tidak ada komentar:

Posting Komentar