Masih ingatkah pada
sebuah pernyataan “musuh terbesar Pancasila itu agama” yang mendadak menjadi
kegaduhan warganet pada 12 Februari 2020?
Pernyataan itu
disampaikan oleh Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila
(BPIP) Prof. Drs. K.H. Yudian Wahyudi, M.A., Ph.D.
kepada Detik. "Jadi
kalau kita jujur, musuh terbesar Pancasila itu ya agama, bukan kesukuan,"
ucap Rektor Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Jogjakarta ini.
Padahal, sila ke-1 saja sudah jelas, "Ketuhanan yang Maha Esa". Bagaimana bisa “musuh terbesar Pancasila itu agama”, 'kan?
Kemudian, melalui akun Twitter pada 14/2, Yudi mengklarifikasi pernyataannya. Sia-sia, karena pernyataan “musuh terbesar Pancasila itu agama” telanjur menggaduhkan jagat media internet.
Akan tetapi, hikmat
apa yang saya peroleh dari hal tersebut?
Begini. Salah tik
(saltik), typo, kontradiksi, atau
keliru kata dalam pernyataan bukanlah persoalan sepele bagi seseorang yang berambisi disebut
sebagai penulis. Bukan persoalan ahistoris atau tuna-sejarah, melainkan arti
sebuah kata, pemilihan kata (diksi) dan penggunaan frasa harus benar-benar
dipahami terlebih dulu.
Memilih kata "musuh", "terbesar", dan "agama" yang berkaitan dengan Pancasila merupakan kekeliruan yang fatal. Seseorang yang sudah bergelar profesor, berposisi akademisi sebagai rektor di sebuah kampus berbasis agama, dan menjadi pejabat publik ber-Pancasila pun bisa begitu fatal memilih kata, apalagi yang hanya sarjana S-1 di bidang Teknik dan "bukan siapa-siapa" semacam saya ini.
Memilih kata "musuh", "terbesar", dan "agama" yang berkaitan dengan Pancasila merupakan kekeliruan yang fatal. Seseorang yang sudah bergelar profesor, berposisi akademisi sebagai rektor di sebuah kampus berbasis agama, dan menjadi pejabat publik ber-Pancasila pun bisa begitu fatal memilih kata, apalagi yang hanya sarjana S-1 di bidang Teknik dan "bukan siapa-siapa" semacam saya ini.
Meski bukan penulis
ataupun tidak pernah berambisi menjadi penulis, saya berusaha dengan baik untuk memahami bahwa pilihan
hobi tulis-menulis tidaklah serta-merta membebaskan saya dalam pemilihan kata
dan seterusnya. Setiap kata memiliki arti atau makna, bahkan "kekuatan", maka keliru kata bisa
mengacaukan maksud yang ingin saya sampaikan.
Saya pun berusaha
dengan keras untuk menulis atau menggunakan aksara sebagai juru bicara saya dengan berhati-hati. Sebelum
benar-benar memahami sebuah kata, apalagi kalimat hingga sebuah tulisan yang
utuh, membaca dan mendengar obrolan para penulis merupakan hal yang paling awal
saya lakukan.
Maklum saja-lah, selama puluhan tahun alat
komunikasi yang biasa saya gunakan adalah gambar. Kebiasaan menggunakan bahasa
gambar alias getol mendayagunakan otak kanan memang
bertolak belakang dengan bahasa tulisan yang lebih mengutamakan aktivitas otak
kiri.
Tidak perlu heran
jika dalam sepucuk tulisan, bahkan tulisan-tulisan di blog ini masih terdapat
kekeliruan kata. Saya tidak boleh mengklaim bahwa semua kata yang saya
sampaikan dalam bentuk sepucuk tulisan telah tepat dan tanpa cela.
Dan, dengan
munculnya pernyataan Yudi, seakan seketika saya berhadapan dengan sebuah
cermin. Saya merasa wajib mengakui bahwa saya belum selesai dalam pemahaman kata. Saya juga bisa sembrono dengan melakukan kekeliruan yang senada. Tidak sedikit orang yang membaca tulisan ataupun status di akun media sosial saya justru terjadi kesalahpahaman.
*******
Beranda Khayal,
29-2-2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar