Sabtu, 29 Februari 2020

Belajar dari Yudi pada Musuh Terbesar Pancasila


Masih ingatkah pada sebuah pernyataan “musuh terbesar Pancasila itu agama” yang mendadak menjadi kegaduhan warganet pada 12 Februari 2020?

Pernyataan itu disampaikan oleh Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Prof. Drs. K.H. Yudian Wahyudi, M.A., Ph.D. kepada Detik. "Jadi kalau kita jujur, musuh terbesar Pancasila itu ya agama, bukan kesukuan," ucap Rektor Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Jogjakarta ini.

Padahal, sila ke-1 saja sudah jelas, "Ketuhanan yang Maha Esa". Bagaimana bisa “musuh terbesar Pancasila itu agama”, 'kan?

Kemudian, melalui akun Twitter pada 14/2, Yudi mengklarifikasi pernyataannya. Sia-sia, karena pernyataan “musuh terbesar Pancasila itu agama” telanjur menggaduhkan jagat media internet.
  
Akan tetapi, hikmat apa yang saya peroleh dari hal tersebut?

Begini. Salah tik (saltik), typo, kontradiksi, atau keliru kata dalam pernyataan bukanlah persoalan sepele bagi seseorang yang berambisi disebut sebagai penulis. Bukan persoalan ahistoris atau tuna-sejarah, melainkan arti sebuah kata, pemilihan kata (diksi) dan penggunaan frasa harus benar-benar dipahami terlebih dulu.

Memilih kata "musuh", "terbesar", dan "agama" yang berkaitan dengan Pancasila merupakan kekeliruan yang fatal. Seseorang yang sudah bergelar profesor, berposisi akademisi sebagai rektor di sebuah kampus berbasis agama, dan menjadi pejabat publik ber-Pancasila pun bisa begitu fatal memilih kata, apalagi yang hanya sarjana S-1 di bidang Teknik dan "bukan siapa-siapa" semacam saya ini.

Meski bukan penulis ataupun tidak pernah berambisi menjadi penulis, saya berusaha dengan baik untuk memahami bahwa pilihan hobi tulis-menulis tidaklah serta-merta membebaskan saya dalam pemilihan kata dan seterusnya. Setiap kata memiliki arti atau makna, bahkan "kekuatan", maka keliru kata bisa mengacaukan maksud yang ingin saya sampaikan.

Saya pun berusaha dengan keras untuk menulis atau menggunakan aksara sebagai juru bicara saya dengan berhati-hati. Sebelum benar-benar memahami sebuah kata, apalagi kalimat hingga sebuah tulisan yang utuh, membaca dan mendengar obrolan para penulis merupakan hal yang paling awal saya lakukan.

Maklum saja-lah, selama puluhan tahun alat komunikasi yang biasa saya gunakan adalah gambar. Kebiasaan menggunakan bahasa gambar alias getol mendayagunakan otak kanan memang bertolak belakang dengan bahasa tulisan yang lebih mengutamakan aktivitas otak kiri.

Tidak perlu heran jika dalam sepucuk tulisan, bahkan tulisan-tulisan di blog ini masih terdapat kekeliruan kata. Saya tidak boleh mengklaim bahwa semua kata yang saya sampaikan dalam bentuk sepucuk tulisan telah tepat dan tanpa cela.

Dan, dengan munculnya pernyataan Yudi, seakan seketika saya berhadapan dengan sebuah cermin. Saya merasa wajib mengakui bahwa saya belum selesai dalam pemahaman kata. Saya juga bisa sembrono dengan melakukan kekeliruan yang senada. Tidak sedikit orang yang membaca tulisan ataupun status di akun media sosial saya justru terjadi kesalahpahaman.

*******
Beranda Khayal, 29-2-2020

Tidak ada komentar:

Posting Komentar