Mapan ekonomi itu
menyenangkan. Kebutuhan hidup sekeluarga selalu terpenuhi, bahkan berlebihan
hingga kebutuhan mati pun tidak perlu dipikirkan lagi.
Sayangnya, saya
tidak pernah mapan dalam hal ekonomi. Mungkin belum atau memang sudah takdir
saya. Tidak usah-lah bertanya sampai ke Langit, karena hanya “usaha menjaring
angin”.
“Usaha menjaring
angin”, maksudnya apa?
Dalam ketidakmapanan
itu justru saya terbiasa mengalihkannya dengan hobi. Sejak masa pubertas yang
aduhai alias SMA (10 Juni 1987) saya belajar menyiasati “kekurangan”, dimana
saya telah “terpisah” dari orangtua, tanpa kendaraan pribadi, dan uang bulanan yang minimalis
(Rp60.000,00 / bulan dengan biaya kamar kos sebesar Rp15.000,00 / bulan) tanpa “kekurangan”
atau meminta tambahan kepada orangtua setiap akhir bulan.
Seorang kawan yang
juga perantau dari Lampung lebih beruntung dengan jatah bulanan yang lebih dari
Rp80.000,00. Paling beruntung, ya, kawan yang berasal dari Medan dengan jatah
bulanan melebihi Rp150.000,00.
Pada masa itu,
meski mengetahui “jarak” angka yang "lumayan", saya tidak pernah iri atau kecewa pada orangtua
saya, apalagi sebelum masuk Kelas I SMA, bapak saya mengalami kecelakaan yang
parah. Saya telah belajar bersyukur, dan berterima kasih kepada orangtua yang
mau menyekolahkan saya ke luar daerah, bahkan Kota Pelajar.
Memang, sih, ketika
masa SMA ataupun kuliah berarti saya hanya mengurusi kebutuhan saya sendiri. Akan
tetapi, dengan minimalisnya keuangan sehingga riskan untuk bepergian alias
tetap berada di kamar kos itu justru membuat saya tekun belajar dan berlatih
dalam kemampuan hobi saya. Menggambar dan menulis, minimal menulis cerpen khas
remaja pada tahun itu.
Entah bagaimana
seandainya jatah bulanan saya dulu berada dalam angka yang besar, bapak saya
tidak mengalami kecelakaan, dan ekonomi orangtua tergolong kaya. Mungkin saya akan
lebih sering berada di luar indekos, dan asyik dengan pergaulan pubertas yang
tengah ganas.
Sebagian kenyataan
itu-lah yang saya maksudkan dengan kalimat “usaha menjaring angin”. Dalam “kekurangan”,
saya bisa tekun belajar dan berlatih secara autodidak di kamar kos.
Sekian tahun
kemudian situasinya jauh berbeda. Saya tidak sendiri. Saya seorang kepala rumah
tangga. Bagaimana saya menjalani kewajiban, terutama mencari nafkah, sedangkan
hobi sama sekali tidak bisa saya andalkan?
Saya tetap berusaha,
meski lebih tiga kali saya hanya menuai kerugian keuangan yang cukup besar gara-gara
berteman dengan orang-orang yang selalu mencari untungnya sendiri. Usaha saya
pun masih nihil lho!
Memang berat
realitas ini, tetapi saya tidak boleh "angkat tangan-kaki", “mundur” atau “keluar” dari kancah pertaruhan
nasib. Waktu-waktu yang luang tetap perlu saya siasati untuk berkarya, belajar,
dan berlatih terus-menerus.
Dalam kondisi
ekonomi yang minimalis, saya pun harus mensyukuri hobi, bahkan talenta, yang
turun dari Langit. Saya optimistis bahwa Langit tidak pernah terlena dan terlelap.
Hanya saja, mungkin pertanyaannya adalah “kapan”.
“Kapan” adalah
urusan Langit. Dalam hal bidang pekerjaan saya sebagai arsitek ataupun tenaga
pelaksana pembangunan, saya tidak akan mengurangi kemampuan dengan diam-diam
malah meningkatkan permintaan (hak) atau melakukan tindakan tercela. Biarlah
Langit yang selalu menaungi hidup saya sekeluarga.
Dan, memang, seandainya
ekonomi mapan dengan tabungan berisi angka miliaran hingga triliunan rupiah,
saya bisa leluasa meningkatkan kemampuan hobi saya, menambah koleksi buku bermutu internasional, mengajak pertemuan di restoran-restoran papan atas dengan tokoh-tokoh terkenal, bahkan mengembangkan “bisnis”
penerbitan sampai sepuas hati saya. Pokoknya, bisa petentang-petenteng dengan lagak-gaya borjuis deh.
Akan tetapi, ya, berandai-andai itu cukuplah, karena realitas tidak perlu saya pungkiri, dan bersyukur tetaplah menjadi kewajiban yang disadari. Bukankah Langit selalu melihat saya, apakah saya mampu bersyukur ataukah tersungkur sembari menggerutu melulu sampai saya mati kelak?
Akan tetapi, ya, berandai-andai itu cukuplah, karena realitas tidak perlu saya pungkiri, dan bersyukur tetaplah menjadi kewajiban yang disadari. Bukankah Langit selalu melihat saya, apakah saya mampu bersyukur ataukah tersungkur sembari menggerutu melulu sampai saya mati kelak?
*******
Beranda Khayal,
29-2-2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar