Jumat, 28 Februari 2020

Kondisi Ekonomi dan Bersyukur


Mapan ekonomi itu menyenangkan. Kebutuhan hidup sekeluarga selalu terpenuhi, bahkan berlebihan hingga kebutuhan mati pun tidak perlu dipikirkan lagi.

Sayangnya, saya tidak pernah mapan dalam hal ekonomi. Mungkin belum atau memang sudah takdir saya. Tidak usah-lah bertanya sampai ke Langit, karena hanya “usaha menjaring angin”.

“Usaha menjaring angin”, maksudnya apa?

Dalam ketidakmapanan itu justru saya terbiasa mengalihkannya dengan hobi. Sejak masa pubertas yang aduhai alias SMA (10 Juni 1987) saya belajar menyiasati “kekurangan”, dimana saya telah “terpisah” dari orangtua, tanpa kendaraan pribadi, dan uang bulanan yang minimalis (Rp60.000,00 / bulan dengan biaya kamar kos sebesar Rp15.000,00 / bulan) tanpa “kekurangan” atau meminta tambahan kepada orangtua setiap akhir bulan.

Seorang kawan yang juga perantau dari Lampung lebih beruntung dengan jatah bulanan yang lebih dari Rp80.000,00. Paling beruntung, ya, kawan yang berasal dari Medan dengan jatah bulanan melebihi Rp150.000,00.

Pada masa itu, meski mengetahui “jarak” angka yang "lumayan", saya tidak pernah iri atau kecewa pada orangtua saya, apalagi sebelum masuk Kelas I SMA, bapak saya mengalami kecelakaan yang parah. Saya telah belajar bersyukur, dan berterima kasih kepada orangtua yang mau menyekolahkan saya ke luar daerah, bahkan Kota Pelajar.

Memang, sih, ketika masa SMA ataupun kuliah berarti saya hanya mengurusi kebutuhan saya sendiri. Akan tetapi, dengan minimalisnya keuangan sehingga riskan untuk bepergian alias tetap berada di kamar kos itu justru membuat saya tekun belajar dan berlatih dalam kemampuan hobi saya. Menggambar dan menulis, minimal menulis cerpen khas remaja pada tahun itu.

Entah bagaimana seandainya jatah bulanan saya dulu berada dalam angka yang besar, bapak saya tidak mengalami kecelakaan, dan ekonomi orangtua tergolong kaya. Mungkin saya akan lebih sering berada di luar indekos, dan asyik dengan pergaulan pubertas yang tengah ganas.

Sebagian kenyataan itu-lah yang saya maksudkan dengan kalimat “usaha menjaring angin”. Dalam “kekurangan”, saya bisa tekun belajar dan berlatih secara autodidak di kamar kos.

Sekian tahun kemudian situasinya jauh berbeda. Saya tidak sendiri. Saya seorang kepala rumah tangga. Bagaimana saya menjalani kewajiban, terutama mencari nafkah, sedangkan hobi sama sekali tidak bisa saya andalkan?

Saya tetap berusaha, meski lebih tiga kali saya hanya menuai kerugian keuangan yang cukup besar gara-gara berteman dengan orang-orang yang selalu mencari untungnya sendiri. Usaha saya pun masih nihil lho!

Memang berat realitas ini, tetapi saya tidak boleh "angkat tangan-kaki", “mundur” atau “keluar” dari kancah pertaruhan nasib. Waktu-waktu yang luang tetap perlu saya siasati untuk berkarya, belajar, dan berlatih terus-menerus.

Dalam kondisi ekonomi yang minimalis, saya pun harus mensyukuri hobi, bahkan talenta, yang turun dari Langit. Saya optimistis bahwa Langit tidak pernah terlena dan terlelap. Hanya saja, mungkin pertanyaannya adalah “kapan”.

“Kapan” adalah urusan Langit. Dalam hal bidang pekerjaan saya sebagai arsitek ataupun tenaga pelaksana pembangunan, saya tidak akan mengurangi kemampuan dengan diam-diam malah meningkatkan permintaan (hak) atau melakukan tindakan tercela. Biarlah Langit yang selalu menaungi hidup saya sekeluarga.

Dan, memang, seandainya ekonomi mapan dengan tabungan berisi angka miliaran hingga triliunan rupiah, saya bisa leluasa meningkatkan kemampuan hobi saya, menambah koleksi buku bermutu internasional, mengajak pertemuan di restoran-restoran papan atas dengan tokoh-tokoh terkenal, bahkan mengembangkan “bisnis” penerbitan sampai sepuas hati saya. Pokoknya, bisa petentang-petenteng dengan lagak-gaya borjuis deh.

Akan tetapi, ya, berandai-andai itu cukuplah, karena realitas tidak perlu saya pungkiri, dan bersyukur tetaplah menjadi kewajiban yang disadari. Bukankah Langit selalu melihat saya, apakah saya mampu bersyukur ataukah tersungkur sembari menggerutu melulu sampai saya mati kelak?

*******
Beranda Khayal, 29-2-2020

Tidak ada komentar:

Posting Komentar