Sabtu, 22 Februari 2020

Berkawan Saja

Berkawan saja. Tidak perlu ditambah dengan berkongsi atau berkolaborasi dalam profesi yang rasional-proporsional.

Saya sudah mengalami, bahkan lebih tiga kali, ketika menggabungkan antara berkawan dan bekerja sama. Kerugian justru yang saya alami, baik emosional maupun finansial.

Kategori kawan ialah kawan lama dan kawan baru. “Kawan lama” bukan berarti aman-nyaman mengenai urusan profesionalitas. Apalagi, “kawan baru”, bukan?

"Kawan baru" justru jumlahnya lebih banyak, dan di Balikpapan. Lebih dari lima (5) "kawan baru". Saya tidak perlu menyebut satu per satu nama mereka, 'kan? 

Kalau berkawan dan berkongsi terwujud dalam rasionalitas dan proporsionalitas yang kalkulatif, sudah sejak sekian tahun silam saya memiliki tabungan yang lumayan. Saya tidak akan khawatir pada kemungkinan di masa depan.

Rasional dan proporsional yang saya maksudkan adalah melalui surat kontrak kerja yang jelas. Jelas posisi saya sebagai siapa berdasarkan standar pekerjaan yang berlaku, posisi dalam struktur organisasi, pekerjaan apa, uraian pekerjaan (job description), dan hak-hak saya, misalnya salary (gaji), uang makan-minum, transportasi, komunikasi, asuransi kesehatan, dan lain-lain.

Bekerja berdasarkan perkawanan bukan berarti bereslah segala urusan rasio dan proporsi. Profesionalitas tetap menjadi dasar untuk suatu pekerjaan. Sementara perkawanan hanya berkutat dalam lingkaran emosionalitas.

Kupang, contohnya. Tiket penerbangan pergi-pulang memang terjamin, tetapi tidak jelas : 1) pekerjaan apa sebenarnya,  2) berapa lama pekerjaan, dan 3) berapa bayaran per pekerjaan atau bulan.

Pekerjaan apa sebenarnya?

Perbaikan ini, penambahan itu, dan entah apa lagi. Bisa berubah atau tidak perlu dikerjakan sama sekali, karena tergantung pada kondisi keuangan si “kawan lama” yang selalu kedodoran dalam manajemen.

Dengan ketidakjelasan pekerjaan, tentu saja, berimbas pada jadwal pekerjaan (time schedule). Perubahan selalu cepat terjadi, sementara penyelesaian pekerjaan sering tidak terjadi. Sampai kapan saya harus berada di Kupang, apalagi sampai lima kali?

Sudah tidak jelas pekerjaan dan waktu, hak saya pun tidak jelas. Ya, karena tidak ada kontrak kerja. Tanpa kontrak kerja, jelaslah, tidak beresnya semua manajemen.

Di samping itu ialah fasilitas : 4) akomodasi alias tempat tinggal yang layak, 5) transportasi (kendaraan, bahan bakar, dll.), dan 6) komunikasi.

Padahal, "kawan lama" itu sering berkata, "Kita kerja profesional." Dia tidak memahami hakikat profesional, dan contoh paling mudahnya apa. Menuntut orang lain harus profesional, sementara sikap dan cara berpikirnya sangat tidak profesional.

Atau, belum lama ini (akhir 2019), di pinggiran Jakarta. Tiket penerbangan saya bayar sendiri, padahal "kawan lama" ini meminta saya datang untuk membantunya di sebuah proyek.

Sesumbarnya, "Kamu jadi tangan kananku. Kerja denganku santai saja." Kenyataannya, tidak ada "tangan kanan", karena tidak lazim dalam pekerjaan jasa manajemen konstruksi. Dan, begitu saya santai, "kawan lama" ini malah marah, dan suka menyindir-nyindir.

Fasilitas berupa tempat tinggal dan kendaraan yang diberikannya justru membuat saya tekor, karena gaji sudah “all in”. Belum lagi dengan ketiadaan kontrak kerja, dimana posisi-kapasitas sebagai siapa, pekerjaan apa, dan jadwal yang kacau-balau. Sama sekali tidak ada manajemen yang mumpuni, baik manajemen pekerjaan, sumber daya manusia, material, alat kerja, dan seterusnya.

Ikatan emosional sebagai “kawan lama” memang cenderung merugikan saya seutuhnya, baik finansial, emosional, intelektual, dan seterusnya. Ikatan semacam itu hanya menjadikan saya dungu dalam arti sesungguhnya.

Dan, ternyata uang selalu berhasil membuktikan siapa sesungguhnya kawan atau bandit. Berapa pun jumlahnya, uang tidak mungkin berdusta.

Oleh karenanya, kini sejak 2020, saya tidak akan menjerumuskan diri dalam perkawanan yang terkontaminasi dengan perkongsian. Berkawan saja. Itu sangat aman bagi saya sendiri.

*******
Beranda Khayal, 22/2/2020

Tidak ada komentar:

Posting Komentar