Sepulang mudik
(13/2) saya mengalami kejenuhan berpikir dan bergerak dalam arti yang
sesungguhnya. Saya selalu ingin beristirahat dengan sepuas-puasnya, di samping kembali
mengatur waktu.
Waktu istirahat saya
dalam satu hari berkisar antara enam sampai delapan jam. Itu pun dimulai dari
pukul berapa. Kalau dimulai ketika menjelang subuh, saya bangun bisa menjelang
tengah hari.
Meski mudik,
kegiatan tulis-menulis tetap saya lakukan. Tidak cukup dengan duduk, saya harus
berada di lokasi. Tentu saja lokasi agak jauh, dan waktu bisa lebih dari dua
jam. Kalaupun berjarak dekat, saya datangi lebih dari tiga kali dalam waktu
tertentu untuk benar-benar mendapatkan situasi pas.
Tidak cukup dengan
tulisan, ilustrasi berupa foto pun menjadi bagian penting bagi saya. Melalui
kamera ponsel pintar saya membuat banyak foto, dan saya memilih segelintir foto
sekaligus mengolahnya lagi, sehingga satu tulisan bisa menghabiskan waktu lebih
dari dua hari.
Di udik, sarana
tulis-menulis saya sangat kurang nyaman untuk duduk lebih dari sepuluh menit. Meja
pendek dan kursi pendek. Tulang kaki dan punggung harus bekerja secara ekstra
keras.
Menekuni hobi yang
tidak berbayar semacam itu memang terkesan konyol, bahkan sangat konyol. Menyusahkan
diri tanpa mendapat kompensasi, apakah itu tidak sangat konyol dalam pola pikir
masyarakat umum, “waktu adalah uang” (time
is money)?
Pada kesempatan
lainnya saya harus membersihkan tanaman yang berkembang dengan pesat dan tidak
teratur di lingkungan rumah orangtua. Menebang pohon, menebas dahan, cabang,
atau ranting. Dan seterusnya, agar lingkungan sekitar rumah orangtua saya bisa “agak”
elok dipandang dan dikendalikan.
Dan, mumpung mudik,
saya juga memanfaatkan waktu untuk berkumpul dengan saudara dan sahabat. Saya
pun keluar rumah untuk bertemu dengan mereka. Ngobrol berjam-jam, bahkan bisa
melewati tengah malam.
Ada kalanya saya
dan sahabat mengharapkan kehadiran sahabat lainnya yang selalu akrab di media
sosial dan jarak tempat ngobrol yang tidak jauh. Akan tetapi, sahabat-sahabat
yang diharapkan ternyata enggan hadir.
Sementara di rumah alas
rebahan saya tidaklah empuk. Lampit dan selimut menjadi alas rebahan. Padahal
lebih dua bulan sebelumnya saya mengalami hal serupa ketika “merantau” di
pinggiran Jakarta, selain situasi pekerjaan dan manajemen yang sungguh di luar
kelaziman.
Atau, kalau
menengok lagi sebelumnya dalam 2019, enam bulan saya bekerja di Kupang dengan
kondisi yang sama sekali tidak nyaman. Sudah alas tidur yang minimalis, situasi
ruang yang tidak kondusif, ditambah dengan jadwal pekerjaan yang tidak tepat
dan kompensasi yang jauh di bawah
standar yang semestinya saya peroleh.
Perantauan dengan
pekerjaan itu terjadi dalam alasan utama, yakni “kawan lama”. Saya mengutamakan
“kawan lama”, tetapi “kawan lama” selalu lebih mengutamakan “kepentingan”-nya
saja. Sungguh paradoks realitas ber-“kawan lama” semacam ini.
Selama saya tidak
berada di Balikpapan, dua penjaga rumah kami mati dalam usia muda. Belum lagi
persoalan perbaikan-perbaikan bagian bangunan dan penataan tanaman yang “terpaksa”
saya tinggalkan, meski hasil jerih-payah berada jauh di bawah standar
sepatutnya bagi saya.
Alhasil, kelelahan fisik
dan psikis melampaui batas yang biasa saya alami. Mau-tidak mau, sejak sampai di rumah
Balikpapan, saya berupaya untuk tidak berpikir dan bergerak seperti biasa. Saya
hanya mau beristirahat, mengembalikan kondisi fisik dan psikis, dan mengatur
waktu menjadi biasa dengan tidur malam-bangun pagi.
Upaya saya yang
terlihat malas itu bukanlah pembenaran untuk bermalas-malasan, melainkan justru
sebuah ancang-ancang untuk berpikir dan berkarya dengan lebih baik dan nyaman.
Saya tidak mau lagi mengalami kelelahan-kelelahan yang sangat konyol semacam
2019 atau malah sekian kali ketika saya “terpaksa” merantau pada tahun
sebelumnya.
Saya tidak mau lagi
“merantau”. Saya mau tetap berada di Balikpapan, apa pun situasi dan
realitasnya. Saya sudah tidak berdaya untuk “merantau”, bahkan tidak ada lagi
keinginan “merantau” itu. Saya benar-benar jera.
Waktu untuk mudik
pun nanti saya batasi dalam empat-lima hari saja. Saya tidak perlu berharap
bisa bertemu banyak orang. Saya tidak perlu merepotkan diri dengan menulis,
apalagi saya bukanlah penulis.
Memang, seharusnya
saya tetap berada di Balikpapan. Masih banyak yang perlu saya pikirkan dan
kerjakan di rumah. Kalaupun harus keluar kota, cukup sekian hari atau tidak
sampai satu minggu.
*******
Beranda Khayal, 22
Februari 2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar