Jumat, 21 Februari 2020

Kembali Mengatur Waktu dan Tidak Akan Pergi Lagi


Sepulang mudik (13/2) saya mengalami kejenuhan berpikir dan bergerak dalam arti yang sesungguhnya. Saya selalu ingin beristirahat dengan sepuas-puasnya, di samping kembali mengatur waktu.

Waktu istirahat saya dalam satu hari berkisar antara enam sampai delapan jam. Itu pun dimulai dari pukul berapa. Kalau dimulai ketika menjelang subuh, saya bangun bisa menjelang tengah hari.

Meski mudik, kegiatan tulis-menulis tetap saya lakukan. Tidak cukup dengan duduk, saya harus berada di lokasi. Tentu saja lokasi agak jauh, dan waktu bisa lebih dari dua jam. Kalaupun berjarak dekat, saya datangi lebih dari tiga kali dalam waktu tertentu untuk benar-benar mendapatkan situasi pas.

Tidak cukup dengan tulisan, ilustrasi berupa foto pun menjadi bagian penting bagi saya. Melalui kamera ponsel pintar saya membuat banyak foto, dan saya memilih segelintir foto sekaligus mengolahnya lagi, sehingga satu tulisan bisa menghabiskan waktu lebih dari dua hari.  

Di udik, sarana tulis-menulis saya sangat kurang nyaman untuk duduk lebih dari sepuluh menit. Meja pendek dan kursi pendek. Tulang kaki dan punggung harus bekerja secara ekstra keras.

Menekuni hobi yang tidak berbayar semacam itu memang terkesan konyol, bahkan sangat konyol. Menyusahkan diri tanpa mendapat kompensasi, apakah itu tidak sangat konyol dalam pola pikir masyarakat umum, “waktu adalah uang” (time is money)?  

Pada kesempatan lainnya saya harus membersihkan tanaman yang berkembang dengan pesat dan tidak teratur di lingkungan rumah orangtua. Menebang pohon, menebas dahan, cabang, atau ranting. Dan seterusnya, agar lingkungan sekitar rumah orangtua saya bisa “agak” elok dipandang dan dikendalikan.

Dan, mumpung mudik, saya juga memanfaatkan waktu untuk berkumpul dengan saudara dan sahabat. Saya pun keluar rumah untuk bertemu dengan mereka. Ngobrol berjam-jam, bahkan bisa melewati tengah malam.

Ada kalanya saya dan sahabat mengharapkan kehadiran sahabat lainnya yang selalu akrab di media sosial dan jarak tempat ngobrol yang tidak jauh. Akan tetapi, sahabat-sahabat yang diharapkan ternyata enggan hadir.

Sementara di rumah alas rebahan saya tidaklah empuk. Lampit dan selimut menjadi alas rebahan. Padahal lebih dua bulan sebelumnya saya mengalami hal serupa ketika “merantau” di pinggiran Jakarta, selain situasi pekerjaan dan manajemen yang sungguh di luar kelaziman.

Atau, kalau menengok lagi sebelumnya dalam 2019, enam bulan saya bekerja di Kupang dengan kondisi yang sama sekali tidak nyaman. Sudah alas tidur yang minimalis, situasi ruang yang tidak kondusif, ditambah dengan jadwal pekerjaan yang tidak tepat dan kompensasi yang jauh di  bawah standar yang semestinya saya peroleh.

Perantauan dengan pekerjaan itu terjadi dalam alasan utama, yakni “kawan lama”. Saya mengutamakan “kawan lama”, tetapi “kawan lama” selalu lebih mengutamakan “kepentingan”-nya saja. Sungguh paradoks realitas ber-“kawan lama” semacam ini.

Selama saya tidak berada di Balikpapan, dua penjaga rumah kami mati dalam usia muda. Belum lagi persoalan perbaikan-perbaikan bagian bangunan dan penataan tanaman yang “terpaksa” saya tinggalkan, meski hasil jerih-payah berada jauh di bawah standar sepatutnya bagi saya.

Alhasil, kelelahan fisik dan psikis melampaui batas yang biasa saya alami.  Mau-tidak mau, sejak sampai di rumah Balikpapan, saya berupaya untuk tidak berpikir dan bergerak seperti biasa. Saya hanya mau beristirahat, mengembalikan kondisi fisik dan psikis, dan mengatur waktu menjadi biasa dengan tidur malam-bangun pagi.

Upaya saya yang terlihat malas itu bukanlah pembenaran untuk bermalas-malasan, melainkan justru sebuah ancang-ancang untuk berpikir dan berkarya dengan lebih baik dan nyaman. Saya tidak mau lagi mengalami kelelahan-kelelahan yang sangat konyol semacam 2019 atau malah sekian kali ketika saya “terpaksa” merantau pada tahun sebelumnya.

Saya tidak mau lagi “merantau”. Saya mau tetap berada di Balikpapan, apa pun situasi dan realitasnya. Saya sudah tidak berdaya untuk “merantau”, bahkan tidak ada lagi keinginan “merantau” itu. Saya benar-benar jera.

Waktu untuk mudik pun nanti saya batasi dalam empat-lima hari saja. Saya tidak perlu berharap bisa bertemu banyak orang. Saya tidak perlu merepotkan diri dengan menulis, apalagi saya bukanlah penulis.  

Memang, seharusnya saya tetap berada di Balikpapan. Masih banyak yang perlu saya pikirkan dan kerjakan di rumah. Kalaupun harus keluar kota, cukup sekian hari atau tidak sampai satu minggu.

*******
Beranda Khayal, 22 Februari 2020

Tidak ada komentar:

Posting Komentar