Istilah “berbagi”
merupakan hal yang terlalu sering muncul, terutama sejak era internet berlari
kencang dengan aneka media sosial. Istilah satu ini pun seakan membelok ke arah
“pamer” kebaikan, sehingga sebagian menjadikannya sebagai upaya menaikkan
martabat masing-masing.
Ketika masih aktif
sebagai aktivis pers kampus, saya selalu berbagi “ilmu kartun” dengan adik-adik
angkatan. Mau pagi berjumpa pagi pun saya sanggupi. Yang penting, mereka
benar-benar belajar, meningkatkan pengetahuan sekaligus kemampuan menarik
garis, dan berproduksi dengan konsisten.
Ketika itu juga
saya belajar tulis-menulis secara diam-diam, karena tulisan saya pernah “ditertawai”
oleh “senior”, dan saya mau menulis sesuka-suka saya sendiri. Tentu saja saya
belajar tanpa pembimbing. Salah satu cara saya adalah rajin membaca, dan nekat
mencoba.
Dan, ketika semua
kembali ke bangku kuliah lalu satu per satu lulus, termasuk saya, entah
bagaimana kelanjutannya. Saya tidak bisa memantau kreativitas dan konsistensi
mereka karena saya tidak menemukan karya mereka di media massa, kecuali seorang
“senior” yang tulisannya saya baca di Menjalah Pantau.
Pada masa itu saya
tidak pernah membaca atau mendengar istilah “berbagi”. Saya hanya melakukan
sebuah tanggung jawab pribadi-sosial untuk peduli pada adik-adik. Itu saja,
sih.
Istilah “berbagi” saya
jumpai di Balikpapan dengan sebuah komunitas. Kebetulan kapasitas dan
konsistensi saya cukup memadai, baik menggambar maupun menulis. Maka sekitar
empat tahun saya mengikuti kegiatan mereka dengan kemasan “berbagi”.
Akan tetapi, saya
tidak peduli, mau “berbagi” atau apalah. Semangat “aktivis pers kampus” yang
saya bawa. Kalau mau saya ajarkan, mari bertemu dengan saya.
Selama empat tahun
akhirnya saya benar-benar jenuh dengan “berbagi”. Bukan berarti saya enggan
membagikan “ilmu” saya, khususnya dalam tulis-menulis.
Hal pertama yang
menjenuhkan saya adalah semangat para pembelajar yang tidak konsisten dalam ketekunan
dan berkarya. Saya merasa segala upaya dan daya saya hanya berujung
kesia-siaan.
Hal kedua adalah
ketiadaan “ruang” di media lokal untuk mengakomodir sekaligus meregenerasi para
penulis. Kalaupun ada “ruang”, berikutnya “tanpa uang” alias tanpa honor. Wajar
saja kalau sebagian orang muda tidak konsisten, karena apa gunanya menulis
tanpa mendapat hak intelektual, ‘kan?
Hal ketiga adalah
prinsip berkarya, berhonor, dan beregenerasi di lingkup lokal terbih dulu dalam
pola pikir saya tidak mendapat kepedulian di kalangan rekan komunitas. Ada
lagi, ketika perihal hak intelektual bagi kontributor karya berupa buku yang
tidak disepakati oleh mereka.
Hal keempat adalah adanya
oknum komunitas yang “menunggangi” kegiatan “berbagi” untuk “menaikkan
martabatnya, padahal oknum ini sama sekali tidak memiliki kapasitas, kompetensi,
dan konsistensi dalam tulis-menulis. Saya sampai jengkel setengah mati!
Keempat hal di atas
akhirnya berhasil “menggoyahkan” kepedulian saya. Saya pun introspeksi. Ya,
saya bukan siapa-siapa dengan latar pendidikan yang tidak relevan. Mereka memang
“siapa-siapa” karena warga lokal.
Ya, sudah-lah. Saya
pergi saja, dan memilih berkarya sendirian.
Keputusan untuk menyendiri dan berkarya sendiri ternyata didakwa oleh sebagian orang sebagai keputusan yang egois-tidak mau "berbagi". Dakwaan "egois" ini, menurut saya, termasuk konsekuensi atau risiko.
Konsekuensi atau risiko yang bagaimana?
Menulis merupakan kegiatan individual atau "seorang diri". Saya tidak leluasa kalau menulis bersama sekian orang, karena cenderung kegiatan berubah menjadi ngobrol, diskusi, dll.
Mereka yang tidak pernah benar-benar suntuk dalam tulis-menulis, tentu saja, tidak memahaminya. Kalau saya jelaskan, apa gunanya? Pola pikir selalu berbeda sejak awal, saya tidak mau merepotkan diri dengan "apa gunanya".
Yang saya pedulikan adalah berkarya, dan selalu mengolah pemikiran saya, meski saya "bukan siapa-siapa" tanpa sebuah komunitas. Dengan semangat “bukan siapa-siapa” saya lebih leluasa untuk berkarya, bahkan saya nekat membuat buku-buku kumpulan karya saya sendiri yang sampai 2019 berjumlah lebih dari 15 buku.
Keputusan untuk menyendiri dan berkarya sendiri ternyata didakwa oleh sebagian orang sebagai keputusan yang egois-tidak mau "berbagi". Dakwaan "egois" ini, menurut saya, termasuk konsekuensi atau risiko.
Konsekuensi atau risiko yang bagaimana?
Menulis merupakan kegiatan individual atau "seorang diri". Saya tidak leluasa kalau menulis bersama sekian orang, karena cenderung kegiatan berubah menjadi ngobrol, diskusi, dll.
Mereka yang tidak pernah benar-benar suntuk dalam tulis-menulis, tentu saja, tidak memahaminya. Kalau saya jelaskan, apa gunanya? Pola pikir selalu berbeda sejak awal, saya tidak mau merepotkan diri dengan "apa gunanya".
Yang saya pedulikan adalah berkarya, dan selalu mengolah pemikiran saya, meski saya "bukan siapa-siapa" tanpa sebuah komunitas. Dengan semangat “bukan siapa-siapa” saya lebih leluasa untuk berkarya, bahkan saya nekat membuat buku-buku kumpulan karya saya sendiri yang sampai 2019 berjumlah lebih dari 15 buku.
Dengan buku-buku
karya tunggal saya lebih leluasa bergerak, baik berdagang maupun “berbagi”
secara gratis kepada siapa yang saya mau berikan. Semua saya lakukan
sesuka-suka saya tanpa perlu merepotkan diri dengan istilah “berbagi”.
Apakah saya masih enggan "berbagi"?
Dakwaan atau vonis bukanlah untuk saya pikirkan. Saya tidak mungkin bisa menyenangkan siapa pun. Dan sibuk memikirkan hal-hal semacam itu justru cenderung kontra-produktif.
Silakan saja siapa pun mendakwa, memvonis, atau memfitnah. Teras rumah saya terbuka untuk ngobrol. Ngobrol saja tanpa perlu dikemas dengan istilah "berbagi".
*******
Apakah saya masih enggan "berbagi"?
Dakwaan atau vonis bukanlah untuk saya pikirkan. Saya tidak mungkin bisa menyenangkan siapa pun. Dan sibuk memikirkan hal-hal semacam itu justru cenderung kontra-produktif.
Silakan saja siapa pun mendakwa, memvonis, atau memfitnah. Teras rumah saya terbuka untuk ngobrol. Ngobrol saja tanpa perlu dikemas dengan istilah "berbagi".
*******
Beranda Khayal,
27-2-2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar