Kamis, 27 Februari 2020

Berbagi Apa dalam Komunitas?


Istilah “berbagi” merupakan hal yang terlalu sering muncul, terutama sejak era internet berlari kencang dengan aneka media sosial. Istilah satu ini pun seakan membelok ke arah “pamer” kebaikan, sehingga sebagian menjadikannya sebagai upaya menaikkan martabat masing-masing.

Ketika masih aktif sebagai aktivis pers kampus, saya selalu berbagi “ilmu kartun” dengan adik-adik angkatan. Mau pagi berjumpa pagi pun saya sanggupi. Yang penting, mereka benar-benar belajar, meningkatkan pengetahuan sekaligus kemampuan menarik garis, dan berproduksi dengan konsisten.

Ketika itu juga saya belajar tulis-menulis secara diam-diam, karena tulisan saya pernah “ditertawai” oleh “senior”, dan saya mau menulis sesuka-suka saya sendiri. Tentu saja saya belajar tanpa pembimbing. Salah satu cara saya adalah rajin membaca, dan nekat mencoba.

Dan, ketika semua kembali ke bangku kuliah lalu satu per satu lulus, termasuk saya, entah bagaimana kelanjutannya. Saya tidak bisa memantau kreativitas dan konsistensi mereka karena saya tidak menemukan karya mereka di media massa, kecuali seorang “senior” yang tulisannya saya baca di Menjalah Pantau.

Pada masa itu saya tidak pernah membaca atau mendengar istilah “berbagi”. Saya hanya melakukan sebuah tanggung jawab pribadi-sosial untuk peduli pada adik-adik. Itu saja, sih.

Istilah “berbagi” saya jumpai di Balikpapan dengan sebuah komunitas. Kebetulan kapasitas dan konsistensi saya cukup memadai, baik menggambar maupun menulis. Maka sekitar empat tahun saya mengikuti kegiatan mereka dengan kemasan “berbagi”.

Akan tetapi, saya tidak peduli, mau “berbagi” atau apalah. Semangat “aktivis pers kampus” yang saya bawa. Kalau mau saya ajarkan, mari bertemu dengan saya.

Selama empat tahun akhirnya saya benar-benar jenuh dengan “berbagi”. Bukan berarti saya enggan membagikan “ilmu” saya, khususnya dalam tulis-menulis.

Hal pertama yang menjenuhkan saya adalah semangat para pembelajar yang tidak konsisten dalam ketekunan dan berkarya. Saya merasa segala upaya dan daya saya hanya berujung kesia-siaan.

Hal kedua adalah ketiadaan “ruang” di media lokal untuk mengakomodir sekaligus meregenerasi para penulis. Kalaupun ada “ruang”, berikutnya “tanpa uang” alias tanpa honor. Wajar saja kalau sebagian orang muda tidak konsisten, karena apa gunanya menulis tanpa mendapat hak intelektual, ‘kan?

Hal ketiga adalah prinsip berkarya, berhonor, dan beregenerasi di lingkup lokal terbih dulu dalam pola pikir saya tidak mendapat kepedulian di kalangan rekan komunitas. Ada lagi, ketika perihal hak intelektual bagi kontributor karya berupa buku yang tidak disepakati oleh mereka.

Hal keempat adalah adanya oknum komunitas yang “menunggangi” kegiatan “berbagi” untuk “menaikkan martabatnya, padahal oknum ini sama sekali tidak memiliki kapasitas, kompetensi, dan konsistensi dalam tulis-menulis. Saya sampai jengkel setengah mati!

Keempat hal di atas akhirnya berhasil “menggoyahkan” kepedulian saya. Saya pun introspeksi. Ya, saya bukan siapa-siapa dengan latar pendidikan yang tidak relevan. Mereka memang “siapa-siapa” karena warga lokal.

Ya, sudah-lah. Saya pergi saja, dan memilih berkarya sendirian.

Keputusan untuk menyendiri dan berkarya sendiri ternyata didakwa oleh sebagian orang sebagai keputusan yang egois-tidak mau "berbagi". Dakwaan "egois" ini, menurut saya, termasuk konsekuensi atau risiko. 

Konsekuensi atau risiko yang bagaimana?

Menulis merupakan kegiatan individual atau "seorang diri". Saya tidak leluasa kalau menulis bersama sekian orang, karena cenderung kegiatan berubah menjadi ngobrol, diskusi, dll.

Mereka yang tidak pernah benar-benar suntuk dalam tulis-menulis, tentu saja, tidak memahaminya. Kalau saya jelaskan, apa gunanya? Pola pikir selalu berbeda sejak awal, saya tidak mau merepotkan diri dengan "apa gunanya".

Yang saya pedulikan adalah berkarya, dan selalu mengolah pemikiran saya, meski saya "bukan siapa-siapa" tanpa sebuah komunitas. Dengan semangat “bukan siapa-siapa” saya lebih leluasa untuk berkarya, bahkan saya nekat membuat buku-buku kumpulan karya saya sendiri yang sampai 2019 berjumlah lebih dari 15 buku.

Dengan buku-buku karya tunggal saya lebih leluasa bergerak, baik berdagang maupun “berbagi” secara gratis kepada siapa yang saya mau berikan. Semua saya lakukan sesuka-suka saya tanpa perlu merepotkan diri dengan istilah “berbagi”.

Apakah saya masih enggan "berbagi"?

Dakwaan atau vonis bukanlah untuk saya pikirkan. Saya tidak mungkin bisa menyenangkan siapa pun. Dan sibuk memikirkan hal-hal semacam itu justru cenderung kontra-produktif.

Silakan saja siapa pun mendakwa, memvonis, atau memfitnah. Teras rumah saya terbuka untuk ngobrol. Ngobrol saja tanpa perlu dikemas dengan istilah "berbagi". 

*******
Beranda Khayal, 27-2-2020

Tidak ada komentar:

Posting Komentar