Komunitas adalah
sekelompok orang yang begini-begitu dan seterusnya. Dan banyak komunitas. Saya
malas untuk menyebutkan satu per satu.
Saya pun pernah
berkomunitas, khususnya di Balikpapan. Sejak Oktober 2014 saya tidak mau lagi
berkomunitas, terlebih saya hanya pendatang dan pemikiran saya ternyata sangat tidak
penting.
Dari pengalaman
saya berkomunitas, satu hal yang sering kali dilewatkan adalah agenda kegiatan yang bisa menjadi suatu indikasi tentang proggresivitas sebuah komunitas.
Kalaupun memiliki agenda, sekadar rutinitas, dan tidak ada pengembangan sama
sekali.
Agenda bisa disusun
untuk satu bulan sampai satu tahun. Agenda bulanan berkaitan dengan kegiatan
mingguan. Agenda per tiga atau enam bulan berkaitan dengan kegiatan lebih
besar, semisal dalam rangka hari nasional. Dan agenda tahunan, minimal, dalam
rangka hari ulang tahun daerah.
Memang, masih
banyak agenda yang bisa diolah-kelola. Itu pun harus disepakati bersama sebagai
tahapan proggresivitas komunitas, agar terhindar dari rutinitas yang monoton
dan menjenuhkan anggota.
Ambil contoh “kelas
menulis”. Pertemuan dilakukan saban minggu. Apakah sekadar bertemu dan membahas
karya? Tidak adakah pencapaian yang lebih dari sekadar itu, misalnya “membacakan
karya” dengan sebaik-baiknya? Dan sampai tiga bulan, adakah evaluasi yang perlu
dilakukan sebagai tahap refleksi atas kegiatan yang dilakukan berminggu-minggu
itu?
Selama terlibat
dalam kegiatan komunitas, saya belum menemukan adanya agenda yang terolah, tersusun,
terkelola, dan terwujud dengan optimal. Sementara gagasan atau pemikiran saya pun
sama sekali tidak mendapat tempat dalam diskusi. Rutinitas dan kejenuhan
menjadi ujung yang tidak bisa saya hindari.
Mungkin salah satu
alasan krusialnya adalah dana dan “modal diri”. Persoalan sebenarnya lebih
kepada kesadaran anggota komunitas; apakah mereka mau maju secara bersama
ataukah sekadar eksistensial dalam geliat komunitas yang ramai di jagat media
sosial.
Ya, sebagian
anggota yang sudah berpenghasilan finansial masih “pelit” berbagi dalam komunitasnya
sendiri, minimal kas komunitas. Sementara anggota yang belum berpenghasilan,
masih juga belum memanfaatkan “modal diri” (skill, kemampuan), dan kurang
berinisiatif.
Dana berbentuk
keuangan komunitas memang sangat penting untuk menghidupkan komunitas dan
menjalankan agenda-agenda kegiatan. Akan tetapi, “modal diri” pun tidak kalah
penting untuk itu. Orang berduit belumlah berarti memiliki inisiatif yang
kreatif, dan orang kurang berduit justru bisa berpikir dan bertindak kreatif.
Selama saya
berkecimpung dalam sebuah komunitas, persoalan dana dan “modal diri” tidak
pernah mendapat porsi yang proporsional dalam solusi yang saling menggairahkan
bersama. Alasan yang sering kali saya dengar adalah “sibuk”. Kalau sudah
begitu, saya sendiri yang kelimpungan memikirkan kelanjutan berkomunitas dan
kesinambungan berkegiatan.
Oleh karena itu,
akhirnya saya tidak tertarik untuk berkomunitas lagi. Saya tetap mengasah kemampuan
saya sendiri dan membuat agenda sendiri, meski keuangan sering mengalami
pasang-surut. Paling tidak, “modal diri” selalu tersedia, karena hanya itu yang
bisa saya olah-kelola dan wujudkan.
*******
Beranda Khayal,
24-2-2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar