Minggu, 23 Februari 2020

Agenda Kegiatan dalam Berkomunitas


Komunitas adalah sekelompok orang yang begini-begitu dan seterusnya. Dan banyak komunitas. Saya malas untuk menyebutkan satu per satu.

Saya pun pernah berkomunitas, khususnya di Balikpapan. Sejak Oktober 2014 saya tidak mau lagi berkomunitas, terlebih saya hanya pendatang dan pemikiran saya ternyata sangat tidak penting.

Dari pengalaman saya berkomunitas, satu hal yang sering kali dilewatkan adalah agenda kegiatan yang bisa menjadi suatu indikasi tentang proggresivitas sebuah komunitas. Kalaupun memiliki agenda, sekadar rutinitas, dan tidak ada pengembangan sama sekali.

Agenda bisa disusun untuk satu bulan sampai satu tahun. Agenda bulanan berkaitan dengan kegiatan mingguan. Agenda per tiga atau enam bulan berkaitan dengan kegiatan lebih besar, semisal dalam rangka hari nasional. Dan agenda tahunan, minimal, dalam rangka hari ulang tahun daerah.

Memang, masih banyak agenda yang bisa diolah-kelola. Itu pun harus disepakati bersama sebagai tahapan proggresivitas komunitas, agar terhindar dari rutinitas yang monoton dan menjenuhkan anggota.

Ambil contoh “kelas menulis”. Pertemuan dilakukan saban minggu. Apakah sekadar bertemu dan membahas karya? Tidak adakah pencapaian yang lebih dari sekadar itu, misalnya “membacakan karya” dengan sebaik-baiknya? Dan sampai tiga bulan, adakah evaluasi yang perlu dilakukan sebagai tahap refleksi atas kegiatan yang dilakukan berminggu-minggu itu?  

Selama terlibat dalam kegiatan komunitas, saya belum menemukan adanya agenda yang terolah, tersusun, terkelola, dan terwujud dengan optimal. Sementara gagasan atau pemikiran saya pun sama sekali tidak mendapat tempat dalam diskusi. Rutinitas dan kejenuhan menjadi ujung yang tidak bisa saya hindari.

Mungkin salah satu alasan krusialnya adalah dana dan “modal diri”. Persoalan sebenarnya lebih kepada kesadaran anggota komunitas; apakah mereka mau maju secara bersama ataukah sekadar eksistensial dalam geliat komunitas yang ramai di jagat media sosial.

Ya, sebagian anggota yang sudah berpenghasilan finansial masih “pelit” berbagi dalam komunitasnya sendiri, minimal kas komunitas. Sementara anggota yang belum berpenghasilan, masih juga belum memanfaatkan “modal diri” (skill, kemampuan), dan kurang berinisiatif.

Dana berbentuk keuangan komunitas memang sangat penting untuk menghidupkan komunitas dan menjalankan agenda-agenda kegiatan. Akan tetapi, “modal diri” pun tidak kalah penting untuk itu. Orang berduit belumlah berarti memiliki inisiatif yang kreatif, dan orang kurang berduit justru bisa berpikir dan bertindak kreatif.

Selama saya berkecimpung dalam sebuah komunitas, persoalan dana dan “modal diri” tidak pernah mendapat porsi yang proporsional dalam solusi yang saling menggairahkan bersama. Alasan yang sering kali saya dengar adalah “sibuk”. Kalau sudah begitu, saya sendiri yang kelimpungan memikirkan kelanjutan berkomunitas dan kesinambungan berkegiatan.

Oleh karena itu, akhirnya saya tidak tertarik untuk berkomunitas lagi. Saya tetap mengasah kemampuan saya sendiri dan membuat agenda sendiri, meski keuangan sering mengalami pasang-surut. Paling tidak, “modal diri” selalu tersedia, karena hanya itu yang bisa saya olah-kelola dan wujudkan.

*******
Beranda Khayal, 24-2-2020

Tidak ada komentar:

Posting Komentar