Kamis, 19 Maret 2020

Berapa Tarif Jasa Editing, Koreksi, Lay Out, Desain Sampul, dan Lain-lain?


Dengan iseng-iseng saya mencari tarif jasa penyuntingan (editing), periksa aksara (koreksi), atak (Lay Out), perancangan (desain) sampul, dan seterusnya. Ndilalah, saya menemukan di situs Bukubaik.Com (www.bukubaik.com/2013/12/daftar-biaya-tarif-editing-proof.html). Itu pun tarif pada 2013.  

Adapun mengenai hasil iseng-iseng tadi ialah sebagai berikut :

Tarif Editing, Proof Reading, Layout, Desain Cover, Pengurusan ISBN, dan Penulisan Naskah Buku di Penerbit Yogyakarta

Bagi yang membutuhkan salah satu jasa saja, antara lain jasa penulisan, editing, proof reading, layout, desain cover, pengurusan ISBN, atau penulisan naskah buku di Yogyakarta bisa lihat daftar harga berikut. 

Biaya Editing Naskah
Tarif Edit Naskah Tulisan: Mulai Rp3000,- per halaman (format A4, font Calibri 12, spasi 1.5, margin 3333)

Biaya Koreksi/ Proof reading
Tarif Koreksi Naskah/Proof Reading: Rp1500,- per halaman (format A4, font Calibri 12, spasi 1.5, margin 3333)

Biaya Layout Buku via Indesign
Tarif Layout naskah tulisan: Mulai Rp1000,- per halaman (format A5, font Calibri 11)

Biaya Desain Cover Buku
Tarif Desain Cover Premium: Rp. 200.000,- (Koreksi 1 kali)

Biaya Penulisan Naskah
Tarif Penulisan Naskah Buku: mulai dari Rp20.000,- per halaman
Biaya penulisan buku biografi pribadi: Rp10.000.000,- per biografi 

Biaya Mengurus ISBN dan Barcode Yogyakarta
Tarif mengurus ISBN dan Barcode di Penerbit Buku Baik Jogja: Rp300.000,- waktu pengurusan sekitar 6 hari kerja perpusnas.
Persyaratan: Cover Buku, Nama Penulis, Judul Buku, Daftar Isi, Kata Pengantar, dan isi naskah dikirim ke email: penerbitbukubaik@gmail.com.

Tarif Jasa di Abadi Karya

Saya belum membuat daftar tarifnya untuk Penerbit Abadi Karya. Meski belum, bukan berarti penyuntingan dan lain-lain tanpa berbayar alias gratis. Apakah duduk berjam-jam untuk pekerjaan suatu jasa lantas hanya menghasilkan "terima kasih"?

Saya juga perlu menyiapkan surat perjanjiannya, agar masing-masing pihak bisa saling menjaga kesepakatan (komitmen). Saya jera dipecundangi oleh banyak penipu.

Akan tetapi, dengan daftar tarif dari Penerbit Buku Baik tadi, paling tidak, saya bisa memberi gambaran mengenai seberapa tarif yang akan saya berlakukan, dan saya sesuaikan dengan tahun sekarang (2020).

Mau gratis? Gampang. Kuasai saja ilmu bahasa, tata bahasa, editing dan seterusnya.

Lebih gratis lagi kalau memiliki penerbit sendiri, dan kerjakan saja semuanya secara sendiri pula. Iya, 'kan?

Sekian saja dulu.

*******
Beranda Khayal, 19-3-2020

Rabu, 18 Maret 2020

Bahasa Menunjukkan Bangsa

(Foto : Gus Noy, 18-3-2020)

Sebagian warga negara Indonesia masih belum menguasai bahasanya sendiri. Mungkin bahasa Indonesia kurang bergengsi, dan tidak mampu menarik perhatian alias tidak "menjual" (marketable).

Betapa sial dan malangnya bahasa Indonesia!

*******
Beranda Khayal, 18-3-2020

Selasa, 17 Maret 2020

Narasi Basi dan Narasi Pasi


Di era internet mendekam dalam banyak ponsel pintar dan bebas berkeliaran di ranjang ini saya masih membaca narasi-narasi basi. Sudah jelas basi, masih saja disampaikan berulang kali. Sama sekali tidak ada restorasi dan inovasi yang menarik untuk dianggap kekinian (up to date).

Narasi basi berarti narasi usang. Ada usang yang  benar, tetapi membosankan kalau diusung ke masa kini. Ada narasi usang yang benar, tetapi ngawur atau cocoklogi dipakai untuk kondisi masa kini. Ada pula narasi salah, tetapi masih juga digembar-gemborkan hingga kini.

Saya tidak perlu menuliskan contoh-contohnya. Narasi-narasi basi terlalu sering hilir-mudik di layar monitor, jari-jari saya bisa keriting menuliskannya.

Saya pun tidak perlu menyebutkan siapa narator atau institusi apa yang bernarasi basi hingga mengulang-ulangnya itu. Narator ataupun jajarannya terlalu mudah tersinggung lalu segera mengintimidasi, bahkan melakukan persekusi secara keroyokan, lalu menuding bahwa saya telah memfitnah.

Di samping narasi basi, bermunculan pula narasi pucat pasi atau narasi pasi. Narasi pasi muncul pada situasi terkini dan apa pun yang sedang tren-heboh. Lantang dan garang.

Akan tetapi, kalau mau duduk sebentar untuk menyimak, narasi-narasi yang lantang dan garang itu ternyata sekilas saja. Tidak berbobot. Tidak berenergi. Tidak berdampak positif. Retorika kosong.  

Narasi pasi bukanlah sesuatu yang langka. Para naratornya pun bukanlah orang-orang pelosok rimba, apalagi sama sekali tanpa pernah duduk di bangku sekolah. Dan dampak dari narator dan narasi pasinya adalah kaum zombie.

Seperti halnya narasi basi, saya tidak akan merepotkan diri dengan memaparkan mengenai contoh dan naratornya. Maklumlah, budaya primitif masih dihidupkan oleh banyak orang, yaitu berkelompok, memuja tokoh, dan main keroyok.

Melalui tulisan sepele ini saya hanya mengungkapkan secara sekilas mengenai narasi basi dan narasi pasi. Kedua narasi ini masih mendominasi informasi-komunikasi massa dari masa ke masa hingga di era teknologi internet mutakhir. Kelengahan atau kelalaian merupakan pintu masuk (akses) paling potensial bagi kedua narasi ini.

Ya, anggaplah tulisan ini cuma narasi sepi/sunyi. Gampang, 'kan? 
      
*******
Beranda Khayal, 10-3-2020

Masihkah Ada Kelas Menulis di Balikpapan?

Saya sudah tidak mengetahui lagi, apakah masih ada kelas menulis di Balikpapan. Pada 18-10-2014 saya keluar dari seluruh kegiatan kesenian dan tulis-menulis di Kota Minyak ini.

Pada 10-3-2009 saya datang, dan menjadi warga sementara. Saya sempat terlibat di sebuah kelas menulis sampai sekitar 2011, tetapi sekadar penggembira. Tempat kegiatan berawal di sekitar Ruko Bandar sampai pelataran Monumen Perjuangan Rakyat (Monpera).

Selama terlibat, saya sama sekali tidak melihat adanya metode yang jelas dengan program, jadwal, pemateri yang kompeten, dan lain-lain. Semua dilakukan dengan entahlah, asalkan ada kegiatan bernama “kelas menulis”.

Selama di Monpera, saya memang sekadar penggembira. Ada pengajar yang lebih berkompeten. Jago menulis apa saja, termasuk semua genre sastra. Pokoknya, saya sama sekali tidak ada apa-apanya. Masih bersyukur pohon pinus atau rumput. 

Akan tetapi, pada tahun-tahun selanjutnya saya tidak mengetahui tentang seberapa banyak peserta kelas itu benar-benar mampu meraih prestasi bahkan menjadi penulis, baik di Balikpapan maupun di luar Balikpapan. Entah berapa yang menjadi esais, cerpenis, dan lain-lain.

Di luar itu semua saya berusaha untuk tidak mendengar segala macam fitnah tentang saya, terlebih tahun-tahun awal saya keluar dari komunitas dan segala kegiatan kesenian di Balikpapan. Fitnah itu "Gus Noy egois", "Gus Noy tidak mau berbagi".

Para pemfitnah yang sama sekali tidak berotak bagus, karena status saya di Balikpapan bukanlah putera daerah dan bujangan, melainkan pendatang, suami dan kepala rumah tangga. Kalau lajang atau bujangan, saya bisa bebas keluar rumah; berangkat pagi sampaing pulang pagi.

Rumah tangga tetaplah prioritas utama. Kalau tidak menjadikan rumah tangga sebagai prioritas, saya tidak akan berumah tungga atau menikah. Lajang atau bujangan. Tapi, saya datang ke Balikpapan memang bertujuan untuk menikah, karena calon istri saya adalah orang Balikpapan.

Ya, tidak mungkin saya datang ke Balikpapan tanpa ada urusan pernikahan dan berumah tangga. Maka, ketika rumah tangga harus saya prioritaskan dan diskusi atau pembelajaran bisa dilakukan di rumah kami, apakah tetap "Gus Noy egois" dan "Gus Noy tidak mau berbagi"?

Terus, maunya si pemfitnah, saya tetap seperti bujangan, begadangan dan selalu berada di luar rumah pada malam hari untuk "berbagi" alias mengikuti kemauan si pemfitnah?

Ah, sudahlah. Terserah saja oknum-oknum mau memfitnah dan mempertahankan fitnahan itu sampai kiamat, bahkan jika fitnah pun mereka anggap sebagai persembahan terbaik dalam hidup mereka.

Saya malah tekun berkarya, karena hanya berkarya-lah yang mampu saya lakukan. Bagi saya, seorang seniman dikenal karena karyanya, bukan fitnahannya yang setinggi gunung. Itu pun kalau saya merasa diri saya adalah seniman. Kalau tidak merasa, ya, tidak apa-apa, asalkan berkarya sajalah.

Pintu rumah kami pun tidak pernah tertutup bagi siapa pun yang mau belajar, terlebih siapa yang benar-benar serius belajar. Toh, kalau memang ilmu saya berguna, pasti si pembelajar-lah yang akan menuai hasilnya, apalagi kalau saya sudah meninggal dunia.

Lantas, masihkah ada kelas menulis di Balikpapan sejak akhir 2014 sampai awal 2020 ini?

Kalau memang ada, pertanyaan saya :
1. Di manakah kegiatannya berlangsung;
2. Kapan kegiatannya;
3. Apa saja yang diajarkan; menulis apa;
4. Siapa pengajar atau mentornya sekaligus kompetensinya sehebat apa;
5. Bagaimana pengajarannya, metode, jadwal, dan program-program progresifnya.

Pertanyaan lanjutannya ialah :
1. Berapa jumlah peserta pada setiap angkatan;
2. Berapa peserta yang berhasil menjadi penulis;
3. Berapa peserta yang menjadi benar-benar esais, dan cerpenis;
4. Berapa banyak prestasi yang telah mereka torehkan setelah “lulus” dari kelas menulis.
  
Pertanyaan-pertanyaan itu berdasarkan keterlibatan saya sejak awal. Saya tidak melihat adanya pengelolaan (manajemen) untuk sebuah kelas menulis. Mungkin berbeda dengan pasca-18-10-2014, 'kan?

Eh, apa peduli saya, ya?

Baiklah. Biarkan sajalah. Pertanyaan-pertanyaan tadi biarlah mengisi ruang saja. Tidak penting, selain membiarkan semua berlalu seperti angin di pesisir Teluk Balikpapan.

*******
Beranda Khayal, 17-3-2020

Senin, 16 Maret 2020

Isi di Luar Tanggung Jawab Penerbit


Pada lembar redaksional sebuah buku, pernyataan “Isi di Luar Tanggung Jawab Percetakan” merupakan hal yang lazim saya temukan. Pernyataan tersebut sudah tepat, karena isi sebuah buku merupakan hasil proses redaksional sebuah penerbit sejak penentuan naskah, kesepakatan dengan penulis, hingga naik cetak.

Sementara percetakan hanya mencetak apa yang telah diatak oleh bagian redaktur di penerbit dan kesepakatan yang ada dengan pihak percetakan. Itu berarti bahwa percetakan hanya mencetak naskah yang memang sudah siap dicetak.

Pada realitanya sebuah buku yang secara mendadak ditarik dari peredaran atau dilarang terbit-sebar-jual merupakan tanggung jawab penerbit. Mungkin berisi hal-hal yang dianggap subversif, pornografi, mengancam keragaman suku-agama-ras-antargolongan, atau anjuran-anjuran merusak tatanan kehidupan secara luas.

Sebuah buku yang isinya terbaca secara acak-acakan dalam bahasa dan atak, kemungkinan besar terjadi sejak masih berada di bagian redaksional penerbit. Bahkan, keputusan semisal pergantian judul pun terjadi dalam koridor redaksional penerbit.

Penerbit paling bertanggung jawab atas terbitnya sebuah buku. Perihal semacam ini jelas penting diketahui oleh penulis baru, karena belum pernah tertera pada lembar redaksional buku “Isi di Luar Tanggung Jawab Penerbit”.

Oleh sebab itu saya, baik sebagai pemimpin redaksi, penanggung jawab, maupun pemilik Penerbit Abadi Karya, akan berhati-hati terhadap permintaan untuk menerbitkan buku seorang penulis, khususnya dari Balikpapan. Kebijakan untuk mengabulkan atau membatalkan penerbitan sebuah buku merupakan wewenang saya sepenuhnya.

Kriteria dan kebijakan apa saja itu, tentu saja, ranahnya bukan di sini. Saya tidak perlu merepotkan diri dengan menuliskannya ataupun sekadar kopipeist.

*******
Beranda Khayal, 16-3-2020

Sebuah Media Lokal yang Menyepelekan Fungsi Penyunting dan Penyuntingan


Di rumah selalu tersedia sebuah media massa-cetak lokal. Hari ini, Senin, 16/3 saya membaca sekilas beberapa beritanya, meskipun di hari-hari sebelumnya saya malas membaca media satu ini.

Dulu saya membaca beberapa beritanya. Aduhai kecewanya saya pada hasil kerja sebagian orang media itu. Apakah media satu ini tidak memiliki penyunting (editor)? Apakah media satu ini memang mengabaikan fungsi penyunting?

Setiap hari bergaul dengan kata bukanlah jaminan bahwa semua penggaul benar-benar memahami arti sebuah kata. Yang paling riskan, sebenarnya, adalah penggaul di kalangan media massa, karena media massa merupakan salah satu agen perubahan (Agent of Change).

Menurut saya, terlalu berlebihan jika media “wajib” menyandang tanggung jawab sebagai agen perubahan jika tanpa didukung oleh para awak yang mumpuni. Bermimpi-mimpi tentang perubahan menjadi semakin baik, ternyata yang terjadi justru sebaliknya.

Ada tiga berita yang saya baca, dan kemungkinan besar penayangannya tidak melalui proses penyuntingan yang memadai atau justru bukti atas pengabaian fungsi dan proses.

Buktinya adalah sebagai berikut :

1. Kata “Indoneia” dan “mreraih” yang beritanya tertera di depan (hlm. 1);
2. Kata “insyarat” dan singkatan untuk gelar tertentu yang beritanya tertera di belakang (hlm. 7);
3. Frasa “masing-masing perguruan tinggi dan universitas” dan lain-lain yang tertera di belakang (hlm. 7).




Sepele, ‘kan? Memang sepele, tetapi terlihat jelas kualitas awak medianya yang menyepelekan fungsi penyunting. Belum lagi kalah mau merepotkan diri dengan... Ah, sudahlah!

Dengan tiga berita itu saja membuat saya kembali malas membaca media satu ini. Media yang mengabaikan penyunting dan penyuntingan, apakah keliru kalau perubahan yang dibanggakan itu justru merupakan perubahan ke arah sebaliknya?

Ah, terserahlah.

*******
Beranda Khayal, 16-3-2020

Minggu, 15 Maret 2020

Sebagian Jejak Hasil Ujian Menggambar dan Menulis


Sekali lagi, hidup adalah proses. Tidak ada yang dadakan (instan) atau dengan jalan pintas. Tidak ada kemudahan karena “kenal juri”, “orang dalam”, atau “bayar sekian”.

Saya tidak pernah mengalami hidup tanpa proses. Belajar dan berlatih merupakan proses.

Proses pun tidak seterusnya proses. Harus ada progress. Seperti bersekolah, tidak selamanya duduk di bangku Kelas I SD. Dan, tidak selamanya di bangku SD.

Oleh sebab progress sangat penting sebagai bukti atas kemajuan dari proses, sangat penting pula “ujian” untuk penanda hasil dari suatu pembelajaran dan pelatihan, apalagi dilakukan secara autodidak. Dan ujian pertama yang saya tempuh adalah gambar-menggambar, bukannya tulis-menulis.  

***

A. Dengan Gambar-Menggambar

a. Kartun

1996
1. Harapan II Lomba Kartun Opini yang diselenggarakan oleh Kevikepan Semarang dan Penerbit Kanisius Yogyakarta.
2. Juara II Lomba Karikatur yang diselenggarakan oleh Gereja Katolik Baciro Yogyakarta


 Ujian lainnya berupa persaingan kartun untuk dimuat oleh media massa sejak 1996 juga. Dua puluh (20) tahun kemudian (2017) saya menerbitkan dua buku kumpulan kartun saya.

(2017)

(2017)


b. Desain Kaus Oblong

1996
1. Harapan V Lomba Menggambar Oblong Yogyakarta yang diselenggarakan oleh B&B dan Harian Bernas.

1999
1. Juara I Lomba Disain Oblong 2000 yang diselenggarakan oleh Mavindo
, Yogyakarta.



2002
1. Nomine Lomba Gambar Oblong “Sewindu Rindu Dagadu” yang diselenggarakan oleh PT Aseli Dagadu Yogyakarta
.



B. Dengan Tulis-Menulis

Tidak proses tulis-menulis tanpa didului dengan baca-membaca. Untuk memahami kartun, saya pun harus membaca tulisan yang berkaitan dengan kartun, apalagi untuk memahami tulisan yang disebut apa jenisnya.

Meski pada Semester I Kelas III A1/Fisika (September 1989) mulai menulis cerita pendek tingkat remaja, saya tidak pernah menyebutnya sebagai hobi, karena hobi saya dulu menggambar, bermain sepak bola dan bola voli. Bahkan, bukan “ujian” menulis cerpen atau fiksi yang saya tempuh, melainkan justru non-fiksi dan itu pada 2000.

Proses, progress, dan ujian saya tempuh tanpa pernah mengklaim diri sebagai siapa dalam tulis-menulis. Sementara tulisan saya dimuat pertama kali pada 2000 juga.

a. Non-fiksi

2000
1. Nomine Lomba Menulis Esai HAKI yang diselenggarakan oleh Perhimpunan Masyarakat HAKI Indonesia (Indonesian Intellectual Property Society/IIPS), Jakarta.
2. Juara I Lomba Menulis Artikel Opini yang diselenggarakan oleh Harian Bangka Pos, Babel.




2016
1. Juara I Lomba Penulisan Esai yang diselenggarakan oleh Kantor Bahasa Kalimantan Timur.


2017
1. Pemenang I Lomba Menulis 17-an di Kompasiana.Com.

Sementara saya sudah menerbitkan buku-buku kumpulan artikel non-fiksi saya sejak 2016. Tetap saja saya tidak merasa sebagai penulis atau esais.

(2016)

(2016)

(2018)

(2019)

(2019)

(2019)

(2019)

b. Fiksi

Lomba Menulis Cerpen merupakan ujian selanjutnya dalam tulis-menulis setelah sekitar 10 tahun (sejak SMA) saya belajar dan berlatih.  

2001
1. Pemenang Lima Besar Lomba Menulis Cerpen yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Sleman.


2003
1. Harapan I Lomba Menulis Cerpen “Hadiah Tepak” yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Bengkalis, Riau.
2. Harapan II Lomba Menulis Cerpen “Anugerah Sagang” yang diselenggarakan oleh Yayasan Sagang, Riau


2006
1. Cerpen “Di Bawah Bayang-bayang Bulan” meraih “Pilihan Terbaik Cybersastra Award 2000-2006” yang diselenggarakan oleh Yayasan Multimedia Sastra (YMS), Jakarta

Sementara cerpen pertama saya dimuat media massa pada 2000. Pada 2010 cerpen “Kemarau Pun singgah di Kampung Kami” tergabung dalam buku Antologi Cerpen Temu Sastrawan Indonesia III “Ujung Laut Pulau Marwah”. Meskipun begitu, saya tidak pernah mengklaim diri sebagai cerpenis, sastrawan, atau “hobi = menulis cerpen”.


Buku kumpulan cerpen saya juga telah saya terbitkan. Ya, sekadar mengabadikan karya.


(2011)


(2016)


(2018)


(2018)


(2019)

Lomba Menulis Puisi merupakan ujian yang tahun selanjutnya (2003), bahkan paling nekat bagi saya. 

2003
1. Nomine Lomba Menulis Puisi Rakyat Merdeka yang diselenggarakan oleh Harian Rakyat Merdeka, Jakarta.

2017
1. Nomine Lomba Cipta Puisi Krakatau Award yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Lampung.


Ajang semacam kurasi puisi untuk antologi puisi bersama pun saya ikuti sebagai bagian dari ujian. Kebetulan ada yang tergabung di sana, misalnya Antologi Puisi Hikayat Secangkir Robusta (Dinas Pariwisata Prov. Lampung, 2017), Antologi Puisi Jendela Pekalongan (Dewan Kesenian Kota Pekalongan, 2017), Antologi Puisi Klungkung: Tanah Tua, Tanah Cinta (Museum Seni Lukis Klasik Nyoman Gunarsa, Klungkung, Bali, 2016), Antologi Puisi Karya 250 Penyair Terbaik Indonesia Baju Baru untuk Puisi & Hal-hal yang Belum Kita Mengerti (Bebuku Publisher, Surakarta, 2016), Antologi Seribu Puisimini Pilihan Lainnya Aquarium & Delusi (Bebuku Publisher, Surakarta, 2016), Antologi Puisi Mak Renta (Penerbit Jentera, Jakarta, 2016), Antologi Puisi Menanam Kenangan (Bebuku Publisher, Surakarta, 2016), Antologi Puisi Temu Penyair Nusantara Pasie Karam (Dewan Kesenian Aceh Barat & Disbudpar Aceh Barat, 2016), Antologi Puisi Sahabat Rose Sajak Embara (Rose Book, Trenggalek, Jawa Timur, 2016), Antologi Puisi Kampungan Goyang WC (Yabawande - RIC Karya, Semarang, Jawa Tengah, 2016), Antologi Puisi Di Bawah Payung Hitam (Proyek Seni Indonesia Berkabung, Yogyakarta, 2015), Antologi Puisi Kalimantan : Rinduku yang Abadi (Dewan Kesenian Banjarbaru & Disporabudpar Kalsel, 2015), Antologi Puisi Tifa Nusantara 2 (Dewan Kesenian Kabupaten Tangerang & Disporabudpar Kabupaten Tangerang, Banten, 2015), Buletin Jejak (Forum Sastra Bekasi, Jawa Barat, 2015), Antologi 153 Penyair Indonesia : Dari Negeri Poci, Negeri Langit (Komunitas Radja Ketjil, Jakarta, 2014), Kitab Antologi Puisi Jilid 2 Sastra Reboan Cinta Gugat (Pasar malaM production, Jakarta, 2012), dan lain-lain.

Sementara saya selalu tidak menanggapi undangan peluncuran buku puisi, misalnya peluncuran buku Antologi Puisi Klungkung: Tanah Tua, Tanah Cinta di Museum Seni Lukis Klasik Nyoman Gunarsa, Klungkung, Bali (2016), Temu Penyair Nusantara di Meulaboh, Aceh Barat (2016), Temu Penyair Tifa Nusantara II di Kabupaten Tangerang, Banten (2015), dan lain-lain.



Sementara buku-buku kumpulan puisi saya sendiri sudah saya terbitkan, yaitu sebagai berikut :

(2016)

(2016)

(2018)

(2018)

Apa pun hasilnya dan berapa pun jumlah buku saya, saya tetap bukanlah penyair. Entah apa hebatnya atau dari mana sumbernya ketika saya menemukan segelintir orang yang bangga atau nekat mengklaim diri mereka adalah penyair tanpa melalui proses yang "berdarah-darah".  

Lomba, tepatnya Sayembara Penulisan Cerita Anak se-Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara 2017 yang diselenggarakan oleh Kantor Bahasa Kalimantan Timur merupakan ujian yang sangat serius bagi saya. Meski hanya sampai Harapan VI alias juru kunci, saya sangat puas.


***

Sejak 2018 saya tidak menjejak lagi dalam lomba apa pun. Semangat dan daya juang saya sudah rontok. Saya mau bersantai saja, tidak mau repot bertarung karya, dan tidak silau dengan julukan "penulis", "cerpenis", penyair", atau "sastrawan" dalam tulis-menulis.

Jejak-jejak ujian yang saya susun secara sederhana ini sekadar mengingat kembali tentang proses demi proses yang pernah saya tempuh, dan kemudian tanpa pernah berani saya klaim diri saya atau deklarasikan sebagai “siapa” hingga sekarang. 

Sekarang, bagaimana dengan proses Anda? Terserah Anda deh.

*******
Beranda Khayal, 15-3-2020

Kamis, 12 Maret 2020

Kepedulian Ayu Utami dan Ketidakpedulian Saya

Lagi, saya membaca perihal tulis-menulis dan kemampuan berbahasa Indonesia. Kali ini dari Penulis Feminis Ayu Utami yang berada dalam berita “Hadiah Sikat Gigi dan Odol” di Media Indonesia edisi Sabtu, 7/3 dari wawancara pada Jumat, 28/2.

Sebagai pengajar penulisan kreatif, Ayu Utami merasa kemampuan anak muda menulis dalam bahasa Indonesia menurun drastis. Dari pengalamannya mengajar, tulisan jelek bertambah dari tahun ke tahun.

Ayu  mengaitkan kemampuan menulis dengan interaksi anak muda di media sosial. Lewat medium itu, kata dia, siapa saja bisa menulis, tak peduli tulisan bagus atau jelek, tata bahasanya rapi atau berantakan.

“Ini ada hubungannya dengan paparan mereka terhadap tulisan jelek tanpa melalui proses pengeditan,” ujarnya.

Pada zaman dulu, kata Ayu, orang biasanya mengetahui tulisan dalam kaidah yang baik dan benar meski secara lisan berantakan. Kala itu, masih banyak teks yang bisa dibaca dan sudah melalui proses pengeditan.

“Adanya media sosial, teknologi digital, setiap orang bebas menulis sehingga banyak tulisan jelek. Bahasa tulisannya, ejaannya jelek. Singkatannya, enggak keruan. Anak-anak sekarang melihat yang seperti itu,” ucap penulis novel “Saman” itu.

Ya, saya kopipeistkan segitu saja. Kalau mau lengkapnya, silakan baca sendiri di berita itu.

***

Bukan perihal yang baru, sebenarnya. Entah sudah berapa kali perihal semacam ini. Bosan, tidak, sih?

Saya menyebutnya sebagai “perihal” saja. Mungkin kalangan lain, khususnya pemerhati dan peduli bahasa Indonesia semacam Ayu Utami akan menyebutnya sebagai “persoalan”, bahkan “masalah”. Hanya berbeda pada segi perhatian dan kepedulian, sih.

Apakah karena saya tidak memiliki perhatian dan kepedulian?

Saya bosan saja. Selalu berkutat di situ. Ejaan, tata bahasa, dan seterusnya. Sudah begitu, masih saja bangga dengan memajangnya di media sosial.

Saya cukup sering mengulas perihal ini, bahkan di JPS, tetapi siapa peduli?

Di Balikpapan selama sekian tahun saya menyediakan diri untuk membantu sebagian calon penulis agar kelak mereka benar-benar menguasai perihal tulis-menulis sejak dari kemampuan menggunakan kata, menyusun menjadi frasa, kalimat sampai pada tulisan yang utuh. Tidak usah membayar alias gratis.

Lantas, bagaimana tanggapan mereka?

Banyak alasan, terutama sibuk. Aduhai nian. Kalau memamerkan tulisan, waduhbiyuh, lagaknya sudah benar-benar penulis, padahal menggunakan ejaan saja mereka sering “kejang”.

Ya, terserahlah. Toh saya bukanlah siapa-siapa jika dibandingkan dengan Ayu Utami, dan saya merasa sudah tidak perlu menyusahkan diri lagi. Toh setiap orang bebas memilih, dan tidak peduli pada kemampuan mereka sendiri sudah sampai seberapa.

***

Besoknya, Minggu, 8/3 saya menemukan sebuah kiriman di grup publik Facebook “Sastra Cyber”. Kiriman dari Arie Fajar Rofian berupa penerbitan sepucuk novel.

Judul: After Yesterday
Penulis: A. Fajar Rofian
Genre: Romance
Penerbit: Antera
Halaman: 376 halaman (ber-ttd)

Dear rekan-rekan, sekadar informasi sekaligus numpang promo bahwa novel terbaru saya "After Yesterday" sudah tersedia di toko buku Gramedia dan toko buku lainnya. Silakan diadopsi sambil selfie-selfie cantik. Harganya 89 ribu.

Atau, bagi yang mau pesan langsung melalui saya, silakan inbox. Gratis ongkir untuk pengiriman wilayah Jabodetabek dan Purwasuka, atau subsidi ongkir 10-15 ribu di luar wilayah tersebut. Plus, dapat tanda tangan dan bonus menarik lainnya.

Blurb:
Tanyakan pada dada yang terbelah, adakah yang lebih sesak ketimbang cinta yang terpendam dan tak terucap kata-kata?
Tanyakan pada mata yang terpejam, adakah yang lebih pilu ketimbang kenangan yang tak mungkin pernah terulang?
Tanyakan pada mimpi-mimpi, adakah yang lebih sulit ketimbang kehilangan tanpa sempat memiliki?

Tanyakan pada dirimu yang berdiri pongah, apakah aku pernah ada?

Ada lanjutan dengan sedikit sinopsis. Saya tidak perlu meneruskannya, tetapi langsung saya tanggapi di kolom komentar.

Novel berbahasa Inggris, ya?

“Bahasa Indonesia, hanya judulnya saja yang bahasa Inggris,” jawab si pengirim sekaligus penulis novel itu.

“Arie Fajar Rofian, oh... Cuma judul yg berbahasa Inggris... Oh... Kukira..."

“Awal menggunakan judul bahasa Indonesia, naskah ditolak oleh beberapa penerbit. Setelah iseng saya ganti, eh keterima hehe.”

***

Kalau satu hari sebelumnya Ayu Utami merasa kemampuan anak muda menulis dalam bahasa Indonesia menurun drastis, hari berikutnya novel dengan judul berbahasa Indonesia ditolak penerbit tetapi bisa diterbitkan setelah judulnya diganti dengan bahasa Inggris. After yesterday...

Bagaimana fenomena semacam ini?

Saya seakan-akan melihat kecenderungan penampilan sekian orang di sekitar saya. Sekujur badan berkulit sawo matang, tetapi rambut dicat pirang dan bedak putih mukanya agak tebal.

Mau terus berkomentar, ya?

Tidak. Berkomentar sampai tenggorokan kering pun percuma. Bosan, dan membosankan. Siapa pula mau peduli, selain Ayu Utami?

Saya sendiri membuat penerbitan buku dengan nama berbahasa Indonesia, "Abadi Karya", dan buku-buku tunggal saya tetap menggunakan judul berbahasa Indonesia karena isinya memang berbahasa Indonesia. Apa adanya saja di "muka", "kulit" dan "isi", dan saya tidak pernah bosan berbahasa Indonesia dalam tulis-menulis.

*******
Beranda Khayal, 8-3-2020

Diskusi yang Sepi

Pada Rabu, 11/3 saya keluar dari sebuah grup diskusi di Whatsapp (WA), dan saya minta maaf dengan menyebut “Sorry”. Ada masalah apakah?  

Pertanyaan biasanya memang begitu. “Ada masalah apakah?”, seolah-olah gaduh, gawat, atau gusar.

Tidak masalah yang perlu dikategorikan “gaduh”, “gawat”, ataupun “gusar”. Tidak sampai taraf semacam ketiga kategori itu.

Tidak perlu juga menduga sampai pada "ada masalah dengan siapa". Terlalu jorok dugaan itu. Apa-apa selalu dikaitkan dengan "siapa". Biasanya "dengan siapa", ya? Ya, biasa menduga dengan terlalu jorok, sih. 

Lantas, apa masalahnya sehingga saya keluar begitu?

Sepi. Tidak ada diskusi yang benar-benar sesuai dengan istilahnya. Setiap saya melongok, grup selalu sepi.

Di lain sisi saya berpikir, “Jangan-jangan hanya saya yang setiap hari melongok ke situ.”

Benar-benar sepi. Mayoritas penghuninya berumur di bawah saya, bahkan ada yang masih bujangan.

Dulu, ketika masih muda, saya dan komunitas selalu memiliki agenda kegiatan. Paling mudah adalah kegiatan tahunan. Misalnya, tahun ini akan diadakan kegiatan apa, dan hal-hal yang terkait dengan kegiatan itu. Diskusikan dong.

Kemudian, baru diurai lagi, misalnya kegiatan setengah tahun, seperempat tahun, dan sampai dalam satu bulan. Semua didiskusikan bersama, meski akhirnya semua hanyalah sampai wacana.

Mengapa orang muda di grup diskusi itu justru sepi begitu, seolah mereka sudah berusia lebih 40 tahun dan sedang repot banget mengurus keluarga?

Saya tidak mengerti alasan sebenarnya mengenai pembuatan grup dan pemilihan namanya, karena bukan saya yang membuat. Lalu, entah bagaimana pengertian atau pemahaman anggota mengenai penamaan grup dan aktivitas yang menjadi realisasinya.

Antara diskusi dan sepi, tentu saja, sangat tidak relevan. Kalau nama grup itu adalah sepi, pasti relevan, ‘kan?

Saya menduga bahwa ada semacam kekeliruan kata yang dipakai sebagai nama, khususnya makna. Di mana-mana, yang namanya “diskusi”, tidak ada yang sepi. Di mana-mana, orang yang membuka forum “diskusi”, bukanlah pendiam apalagi sekadar pengintip ruang.

Dan satu hal lagi, sebuah kelompok berbendera "diskusi" bukanlah berisi individu-individu emosional, melainkan rasional. Soal wacana, rencana, agenda, jadwal, dan lain-lain merupakan bahan untuk dirasionalkan bersama. Kalau mengutamakan emosional dengan "rasa kebersamaan", rasionalitas hanya menjadi kentut.

Oleh karena realitas tidak relevan dengan nama, saya keluar saja dari grup diskusi itu. Saya tidak perlu mengintip, meninjau atau selalu menanyakan dengan kata “sepi” lagi. Santai.

Yang mungkin juga terjadi adalah curiga atau tidak menyukai saya gara-gara saya keluar. Kalau selalu menyalahkan alias tidak sudi introspeksi, memang mudah menyalahkan keputusan saya. Lha wong jelas sepi begitu lho!

*******
Beranda Khayal, 12-3-2020

Antara Nelayan, Pemancing Profesional, dan Pemancing Amatir

Pernah menonton acara “Mancing Mania” di televisi, tidak? Atau, mungkin, orang terdekat yang berhobi memancing, baik di sungai maupun laut, adakah?

Ikan merupakan obyek utama, tetapi apakah pehobi mancing bisa disamakan dengan nelayan? Apakah pehobi mancing merasa wajib memancing setiap hari, mendapatkan ikan dalam jumlah banyak atau semampunya dalam kurun waktu tertentu, dan semua hasil dibawa pulang?

Saya menyukai acara semacam “Mancing Mania”, baik yang profesional maupun amatiran. Salah satu adegan yang sering saya saksikan adalah pemancing profesional melepaskan hasil pancingannya kembali ke air. Padahal, dari jenis dan ukuran ikan, pasti aduhai jika dimasak atau dijual lho.

Adegan “mengembalikan ikan ke habitatnya” itu seakan sedang mengolok nelayan, pemancing amatiran ataupun kalangan miskin yang perlu perbaikan gizi. Akan tetapi, ya, namanya hobi mancing.

Seorang kawan juga berhobi mancing, dan berani ikut menyewa sebuah kapal untuk menjelajahi laut selama puluhan jam. Sekian juta tidak masalah, kepuasan memancing tiada tandingannya. Dalam satu bulan, ia biasa memancing sebanyak dua-tiga kali. Belum lagi koleksi pancingnya yang berharga jutaan.

Kawan yang berhobi mancing itu pun seakan mengolok nelayan dan kaum miskin. Akan tetapi lagi, ya, hobinya mancing, siapa yang melarang, ‘kan?

Kalau pemancing amatir, biasanya di air tawar dan beberapa kali saya saksikan di media sosial, jenis ikan dan ukuran seberapa pun pasti dibawa pulang untuk diolah menjadi masakan dan menu sekeluarga. Mungkin juga diberikannya pada orang-orang sekitar.

Saya belum pernah menyaksikan hasil pancingan dikembalikan si pemancing amatir ke habitatnya, kecuali ukuran kecil yang kurang bergengsi jika dipamerkan ke media sosial. Pasalnya, saya juga pemancing amatir, meski sesekali pamer hasil pancingan di media sosial.

Lantas apa kaitannya dengan tulis-menulis atau orang yang setiap hari menekuni kegiatan tulis-menulis?

Pernah membayangkan pekerjaan jurnalis, penulis profesional, dan pehobi tulis-menulis, tidak? Apakah yang terbayangkan antara profesi dan hobi itu?

Kalau jurnalis, khususnya media cetak, tulisan merupakan kewajiban yang harus dihasilkannya, bukan? Dalam satu hari, biasanya, ada target dalam hal jumlah yang wajib disetorkan ke medianya, bukan?

Kalau penulis profesional, jelas bahwa profesinya adalah penulis. Ada hak dan kewajiban secara tertulis jika berkaitan dengan suatu kesepakatan dengan pemberi pekerjaan.

Kalau pehobi tulis-menulis, tentu saja berbeda dengan kedua profesi (jurnalis dan penulis profesional) itu. Hobi alias kesukaan alias kegemaran tidaklah terikat dalam kesepakatan hak dan kewajiban sekaligus waktu terbatas dengan pihak lain.

Saya menyukai, menggemari atau hobi menulis. Meski hobi, bukan berarti saya mau menjadi penulis. Penulis dalam bingkai pikiran saya yang sempit ini adalah orang yang berprofesi sebagai penulis alias penulis profesional.

Nah, ketika saya tidak mau menjadi ataupun disebut sebagai penulis, tentu saja, alasan sudah saya tuliskan tadi. Ya, anggap saja saya pemancing amatir semata, bahkan tidak dianggap kategori apa pun tidak lantas saya merasa dunia sudah kiamat. Gampang, ‘kan?

*******
Beranda Khayal, 12-3-2020

Rabu, 11 Maret 2020

Tradisi Tulis-Menulis antara Kutai Kartanegara dan Pramoedya Ananta Toer


Waduh, tema tulisan ini agak berat, kayaknya. Dengan menyebut “Kerajaan Kutai” dan “Pramoedya Ananta Toer”, mungkin perlu menyiapkan kernyitan di dahi. 

Mungkin tidak perlu sampai begitu. Saya hanya sedang iseng mengaitkan keduanya dalam hal tulis-menulis ketika saya membaca Majalah Historia versi daring.

Majalah Historia itu memuat artikel “Sejarah Nusantara Bermula di Kutai Kartanegara” yang ditulis oleh Risa Herdahita Putri. Saya tayangkan sebagian kopipeist yang relevan sebagai berikut.

Keberadaan Kerajaan Kutai dibuktikan dengan tujuh prasasti yupa ditemukan di areal Muara Kaman, tepatnya di situs Banua Lawas. Meski tanpa angka tahun, dari hurufnya bisa diperkirakan prasasti ini berasal dari abad ke-5. Huruf Pallawa yang dipakai dalam prasasti itu dipakai di India pada periode yang sama.

Kemunculan pusat pemerintahan di pedalaman Mahakam itu juga dipicu kebangkitan Kerajaan Fu-nan di Vietnam. Fu-nan lalu menguasai Selat Malaka dan Laut Cina Selatan. Dengan adanya tekanan yang memberatkan bagi pedagang dan kapal-kapal, mereka pun mencari jalan yang luput dari tekanan itu. Alternatifnya adalah wilayah di sepanjang Sumatra Barat, Selat Sunda, Laut Jawa, dan Selat Makassar.

Dapat dipahami jika kemudian Kutai seakan tiba-tiba lenyap sejak abad ke-6 dalam sejarah hubungan internasional. Sebab, Kerajaan Fu-nan waktu itu sudah hancur oleh Kerajaan Chen-la.

Kerajaan yang kemudian muncul adalah Sriwijaya. Ia menguasai Selat Malaka maupun pantai barat Sumatra. Perbedaan sistem perdagangan yang dilakukan Sriwijaya membuat pedagang dan kapal-kapal sering singgah di sana. Maka matilah jalur perdagangan Selat Makassar, dan tenggelamlah Kutai dari perdagangan internasional.

Kendati begitu mungkin mereka bukannya sama sekali lenyap. Kutai hanya tak melanjutkan tradisi menulis prasastinya. Sementara kerajaan itu sebenarnya masih terus ada.

Sementara saya masih mengingat obrolan di sebuah ruangan hotel pada 2010 bahwa Kutai memiliki bahasa sendiri, yang berbeda dengan bahasa Dayak, Bugis, Jawa, dan suku lainnya. Sayangnya, bahasa tersebut kurang populer di masyarakat Kaltim secara umum, atau minimal melalui media massa lokal dengan sebuah rubrik khusus berbahasa Kutai.

Saya berpendapat bahwa media massa memiliki daya jelajah lebih jauh dan "menetap" dalam benak penikmat. Baik media massa cetak dengan bahasa tulisan maupun elektronik dengan bahasa lisan, masing-masing memiliki daya itu dalam kolaborasi sehari-hari atau waktu-waktu tertentu. Sayangnya, ya, sayangnya.

Tradisi tulis-menulis yang kemudian saya sandingkan adalah kata mutiara dari Pram. Kata mutiara yang selalu dikutip sebagian kalangan, khususnya pegiat literasi itu berbunyi sebagai berikut.

Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.

Demikian yang bisa saya sampaikan. Mohon maaf apabila tulisan saya ini kurang aduhai.

*******
Beranda Khayal, 10-3-2020

Narkoba


Pada Sabtu, 7/3 Ririn Ekawati menjadi pesohor ke-5 yang ditangkap polisi terkait dengan penyalahgunaan narkoba di awal tahun yang belum genap tiga bulan ini. Sebelumnya ialah Vitalia Shesya (Senin, 24/2), Aulia Farhan (Kamis, 20/2), Lucinta Luna (Selasa, 11/2), dan Nanie Darham (Selasa, 4/2).

Berita semacam itu memang cepat melesat ke genggaman siapa pun yang memiliki ponsel pintar (smart phone). Biasa saja, karena mereka pesohor, baik di televisi maupun film layar lebar. Apa pun bisa menjadi alasan bagi mereka, apalagi dari pergaulan dan kemampuan finansial untuk mendapatkannya.

Saya tidak heran. Berbeda dengan kasus yang pernah dialami seorang tetangga saya (sepantar dengan saya) dengan hukuman penjara selama lima tahun, dan kawan sekolah saya yang akhirnya tidak bisa menyelesaikan pendidikan tingginya karena harus berurusan dengan hukum.

Dalam pergaulan kalangan muda, ada dua hal yang memang menjadi “area berbahaya” bagi saya. Pertama adalah kriminal. Kedua adalah narkoba.

Latar ekonomi keluarga sering kali menjadi pembenaran seorang kriminal, semisal pencuri. Padahal, ketika berhasil melakukan aksi kejahatan pertama, akan berlanjut dengan aksi kedua, ketiga, dan seterusnya, jika lolos dari pergokan dan amuk massa.

Yang kedua itu (narkoba) jelas tidak sembarangan. Harga barangnya saja cukup mahal, dan saya bisa langsung “bangkrut”. Sementara latar ekonomi keluarga saya tidaklah mampu begitu.

Hanya saja, biasanya, jebakan awal adalah mencoba dengan gratisan, semisal kawan yang memang narkobais. Dari tahap mencoba, mulai suka, lalu… Kena, deh!

Antara kriminal dan narkoba, bagi saya, sama-sama menyusahkan. Memenuhi kebutuhan hidup dan meningkatkan reputasi diri saja sudah susah, mengapa perlu disusahi dengan kriminalitas dan narkoba, ‘kan?

Meski tidak mampu memiliki suatu barang, saya tidak mengompori keinginan hingga memiliki tetapi dengan cara kriminal. Cukup dengan menyadari  kemampuan diri, bersyukur atas setiap rezeki, dan bagaimana upaya mengasah kemampuan (bakat atau minat) agar saya menjadi diri saya sendiri.

Kalaupun ada uang “lebih”, saya pilih menabung untuk persiapan hari tua nan renta yang kelak pasti sampai ke sana. Tabungan hari tua wajiblah ada agar tidak menyusahkan siapa-siapa, termasuk polisi dan sipir.

Ya, hidup saya sudah begini, tidaklah perlu saya susahkan dengan begitu. Belajar, berlatih, berkompetisi, dan berkarya sajalah.

*******
Beranda Khayal, 8-3-2020