Senin, 01 Mei 2017

Budaya Tulis-Menulis Tidaklah Kondusif di Kota Balikpapan

Sejak 10 Maret 2009 saya tinggal di Kota Balikpapan. Anggaplah selama 5 tahun, atau sampai 10 Maret 2014, saya menghayati kegiatan tulis-menulis Kota Minyak ini, di samping pernah bergabung-aktif di sebuah komunitas kesenian.

Apa yang bisa saya simpulkan sementara?

Kota Balikpapan tidak kondusif bagi kegiatan tulis-menulis. Mungkin sebagian Pembaca menduga, saya terlalu gegabah menyimpulkan. Tidak masalah sebab sudah saya katakan “saya simpulkan sementara”. Apa itu “sementara”, silakan cari sendiri arti kamusnya.

Lantas sebagian lainnya menanyakan, apa alasan saya menyimpulkan sementara demikian. Baiklah, saya sampaikan alasan saya.

Sejarah

Kota Minyak yang berulang tahun setiap 10 Februari ini dibangun oleh Kolonial Belanda karena minyak bumi, ditandai oleh sumur minyak bernama Mathilda pada 1897. Bahan bakar fosil adalah awalnya.

Minyak menjadi daya tarik utama. Orang-orang, dari banyak pulau bahkan luar negeri, berbondong-bondong datang untuk kepentingan bahan bakar fosil itu, dan kepentingan terkait, misalnya produk makanan, jasa, dan lain-lain.

Tak pelak harga bahan pokok dan sekitarnya pun tinggi–mengikuti harga minyak pada saat itu. Biaya hidup tinggi. Ndilalah-nya, harga-harga yang tinggi tidak bisa turun mengikuti harga minyak sejak 2015. Telanjur tinggi.  

Budaya

Selain itu, di antara para pendatang yang terpikat pada minyak tidak seorang pun penulis sekaligus budayawan mumpuni yang datang karena kemampuan tulis-menulis budaya sangat tidak dibutuhkan dalam kegiatan eksploitasi perut bumi. Sementara penduduk asli, Suku Dayak, masih tekun berkebun dan berburu pada 1900-an.

Generasi berikutnya juga begitu. ajaran turun-temurun yang dibawa leluhur pendatang adalah bekerja mapan karena kebutuhan hidup berbiaya tinggi. Para teknisi paling dibutuhkan. Pegiat budaya harus bekerja di bidang eksploitasi atau bisnis produk-jasa terkait. Tulis-menulis sama sekali tidak dihargai dalam lingkup masyarakat Balikpapan umumnya. Duit menjadi kata kunci untuk hidup.

Kehidupan pamer kekayaan dan hedonisme sudah biasa, bahkan menjadi bagian dari budaya sebagian besar warga Balikpapan. Istilah yang umum adalah pembualan alias omong besar, bergaya hidup mewah, dan sekitarnya.

Sebagian kecil generasi selanjutnya menimba ilmu ke luar Balikpapan. Tergantung asal leluhur atau orangtua. Kalau asalnya Jawa, anaknya dikuliahkan ke Jawa. Kalau asal Bugis-Makassar, anaknya dikuliahkan ke Sulawesi Selatan atau Utara. Kalau asal Bali, bisa kuliah di Bali. Ada pula yang campuran keinginan belajar, meski tidak mengikuti asal leluhur atau orangtua. Lainnya berkuliah di Samarinda.

Di luar Balikpapan, khususnya Jawa, Bali, dan Sulawesi Selatan, budaya tulis-menulis sudah hidup lebih satu abad. Di sanalah sebagian kecil generasi muda Balikpapan belajar tulis-menulis. Segelintir berhasil menjadikan tulis-menulis sebagian bagian penting dalam hidup mereka, meskipun tidak lagi kembali ke Balikpapan, dan menghidupkan budaya tulis-menulis.

Sebagian generasi muda Balikpapan yang berkuliah di luar Balikpapan itu akhirnya pulang. Oleh sebab Balikpapan tidak memiliki budaya tulis-menulis, generasi satu ini harus berhadapan dengan kenyataan. Bekerja, dan mendapat banyak duit. Tulis-menulis hanya sampingan, mengisi waktu, atau sekadar mengeksplorasi kemampuan karena media massa tidak menghargai kontributor (penulis luar) secara finansial.

Kebiasaan Masyarakat Umum

Sekali lagi, hidup di Kota Minyak tidaklah berbiaya murah. Standar harga yang semula mengikuti nilai bahan bakar fosil, selanjutnya enggan untuk mematuhinya. Ketika harga bahan bakar fosil menanjak, harga-harga produk barang dan jasa disejajarkan dengan penajakkan itu. Tetapi ketika harganya turun, harga produk dan jasa tidak sudi turun.

Harga adalah uang. Harga diri pun diukur dengan seberapa uang yang dimiliki, dan akan dimiliki (diperoleh). Kalau suatu kegiatan yang memerlukan waktu tidak sebentar tetapi harga jualnya rendah, bahkan tidak dihargai dengan mata uang, ya, maaf-maaf saja.

Hal yang umum terlihat di Kota minyak ini adalah pekerja usia muda. Pertama, umumnya alasan tuntutan keluarga. Bisa jadi memang dari keluarga kurang mampu, termasuk kurang mampu memenuhi keinginan–bukan kebutuhan–anak-anak mereka.

Tuntutan keluarga lainnya adalah status sosial. Kalau anaknya sudah mampu bekerja, meskipun masih bersekolah atau kuliah, orangtua akan bangga dalam obrolan antarorangtua. Ya, sebab orangtuanya datang ke Balikpapan memang untuk bekerja, dan dengan uang yang dihasilkan bisa dipamerkan ke kampung halaman.

Kedua, alasan pergaulan si anak. Hal yang biasa ketika pelajar sekolah menengah atas atau mahasiswa akan memamerkan diri sebagai seorang pekerja di hadapan kumpulannya. Dengan bekerja, selain bisa membiayai keinginan, juga bisa menambah nilai status sosial.

Kedua alasan tersebut cenderung disosialisasikan, dan turun-temurun disampaikan. Dampaknya, apabila suatu kegiatan menghasilkan uang, itulah yang terpenting bagi orangtua dan anaknya. Kalau sudah bisa menghasilkan uang, barulah bisa leluasa melakukan pembualan, baik dalam obrolan maupun suatu kemampuan yang bisa dimuat di media massa.

Yang tidak jarang terjadi, ketika anak sudah bisa bekerja, memiliki pacar, dan suatu saat rampung mendidikan, maka dilanjutkan dengan kebiasaan umum, yakni menikah, dan berkeluarga. Kalau sudah menikah-berkeluarga, selesailah berproses untuk diri sendiri. Memenuhi kebutuhan hidup keluarga adalah utama.

Tulis-menulis, tentu saja, tidak bisa menghasilkan uang, jika berpatokan pada situasi-tradisi media lokal. Selain media lokal, apa lagi? Tidak ada. Padahal, tulis-menulis bukanlah sebuah kegiatan yang bisa secepat kilat menjadikan seseorang mahir apalagi terkenal (untuk pembualan).

Terlebih, apa gunanya belajar tulis-menulis pada saat media massa lokal tidak sudi membayar hak cipta kontributor, ‘kan? Apalagi, orang-orang media itu pun tidak sudi melatih sekaligus meregenerasi penulis melalui pembelajaran. Orang-orang media justru berharap, para pelamar kerja sudah jadi (siap bekerja).

Oleh sebab tulis-menulis begitu prosesnya, saya selalu menganjurkan sebagian kalangan mudanya untuk cepat memilih : berproses atau segera tinggalkan. “Berproses” tidaklah instan. “Segera tinggalkan” justru lancar mengikuti tuntutan lingkungan (keluarga dan pergaulan).

Ya, sebab kebiasaan masyarakatnya begitu menjunjung uang sebagai harga mati bagi harga diri. Mending segera selesaikan pendidikan, cepat mendapat kerja-uang, dan menikah-berkeluarga. Saya tidak pantas menghalangi kebiasaan hidup mereka dan keluarga, bukan?
  
Peran Instansi dan Institusi Terkait

Bagaimana sikap pemerintah daerah melalui dinas-dinas terkait? Sama sekali tidak tertarik untuk menciptakan generasi budaya bergiat dalam kegiatan tulis-menulis.

Sekian tahun saya amati, tidak ada suatu kegiatan pelatihan tulis-menulis yang dilakukan secara rutin yang diselenggarakan oleh pemerintah lokal melalui dinas-dinas terkait. Mengapa begitu? Saya menduga, di kalangan mereka sendiri memang tidak pernah mengalami hal-hal semacam itu.

Kalaupun kadang menyelenggarakan suatu even atau lomba, sekadar formalitas–bukan niat luhur menjadikan tulis-menulis sebagai bagian dari kehidupan berbudaya di Kota Beruang Madu. Ya, sekadar kegiatan untuk penggunaan anggaran tanpa perlu repot memikirkan apa itu kerja budaya dan regenerasi penulis.

Kenyataan ini membuat saya harus berhenti mengajari sebagian orang muda Balikpapan dalam kegiatan tulis-menulis pada 18 Oktober 2014, apalagi semua itu sama sekali gratis. Pemerintah daerah, media massa lokal, dan kebanyakan warganya sendiri tidaklah peduli, apalah gunanya saya–yang pendatang–malah berdarah-darah mengajari orang muda, memikirkan penggenerasian penulis, dan membudayakan kegiatan tulis-menulis.

Kurang Sabar

Apakah saya kurang sabar?

Kenyataan, biaya hidup di kota ini sangat tinggi; jangan disamakan dengan Jawa, apalagi Yogyakarta yang pernah saya tempati selama nyaris 17 tahun, dan saya belajar tulis-menulis sejak akhir SMA di sana. 5 tahun berpartisipasi dalam pembelajaran tulis-menulis bukanlah waktu dalam sekali kerdipan, apalagi di zaman teknologi terkini. Belum lagi tradisi pembualan, semisal seorang pemuda mau belajar menulis cerpen dengan cita-cita menjadi sastrawan terkenal.

Begitulah kesimpulan sementara saya, dan akhirnya saya tidak mau lagi terlibat dalam penggenerasian penulis dan perintisan budaya tulis-menulis di Balikpapan. Saya berpikir realistis saja.

Selamat Hari Buruh bagi yang merayakannya.   

*******

Panggung Renung Balikpapan, 1 Mei 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar