Sejak 10 Maret 2009 saya tinggal di Kota Balikpapan. Anggaplah
selama 5 tahun, atau sampai 10 Maret 2014, saya menghayati kegiatan
tulis-menulis Kota Minyak ini, di samping pernah bergabung-aktif di sebuah
komunitas kesenian.
Apa yang bisa saya simpulkan sementara?
Kota Balikpapan tidak kondusif bagi kegiatan tulis-menulis. Mungkin sebagian Pembaca menduga, saya terlalu
gegabah menyimpulkan. Tidak masalah sebab sudah saya katakan “saya simpulkan
sementara”. Apa itu “sementara”, silakan cari sendiri arti kamusnya.
Lantas sebagian lainnya menanyakan, apa
alasan saya menyimpulkan sementara demikian. Baiklah, saya sampaikan alasan saya.
Sejarah
Kota Minyak yang berulang tahun setiap 10 Februari ini dibangun
oleh Kolonial Belanda karena minyak bumi, ditandai oleh sumur minyak bernama Mathilda
pada 1897. Bahan
bakar fosil adalah awalnya.
Minyak menjadi daya tarik utama. Orang-orang, dari banyak pulau
bahkan luar negeri, berbondong-bondong datang untuk kepentingan bahan bakar
fosil itu, dan kepentingan terkait, misalnya produk makanan, jasa, dan
lain-lain.
Tak pelak harga bahan pokok dan sekitarnya pun tinggi–mengikuti
harga minyak pada saat itu. Biaya hidup tinggi. Ndilalah-nya, harga-harga yang
tinggi tidak bisa turun mengikuti harga minyak sejak 2015. Telanjur tinggi.
Budaya
Selain itu, di antara para pendatang yang terpikat pada minyak
tidak seorang pun penulis sekaligus budayawan mumpuni yang datang karena
kemampuan tulis-menulis budaya sangat tidak dibutuhkan dalam kegiatan
eksploitasi perut bumi. Sementara penduduk asli, Suku Dayak, masih tekun
berkebun dan berburu pada 1900-an.
Generasi berikutnya juga begitu. ajaran turun-temurun yang dibawa
leluhur pendatang adalah bekerja mapan karena kebutuhan hidup berbiaya tinggi.
Para teknisi paling dibutuhkan. Pegiat budaya harus bekerja di bidang
eksploitasi atau bisnis produk-jasa terkait. Tulis-menulis sama sekali tidak
dihargai dalam lingkup masyarakat Balikpapan umumnya. Duit menjadi kata kunci
untuk hidup.
Kehidupan pamer kekayaan dan hedonisme sudah biasa, bahkan menjadi
bagian dari budaya sebagian besar warga Balikpapan. Istilah yang umum adalah pembualan alias omong besar, bergaya hidup
mewah, dan sekitarnya.
Sebagian kecil generasi selanjutnya menimba ilmu ke luar
Balikpapan. Tergantung asal leluhur atau orangtua. Kalau asalnya Jawa, anaknya
dikuliahkan ke Jawa. Kalau asal Bugis-Makassar, anaknya dikuliahkan ke Sulawesi
Selatan atau Utara. Kalau asal Bali, bisa kuliah di Bali. Ada pula yang
campuran keinginan belajar, meski tidak mengikuti asal leluhur atau orangtua. Lainnya
berkuliah di Samarinda.
Di luar Balikpapan, khususnya Jawa, Bali, dan Sulawesi Selatan,
budaya tulis-menulis sudah hidup lebih satu abad. Di sanalah sebagian kecil
generasi muda Balikpapan belajar tulis-menulis. Segelintir berhasil menjadikan
tulis-menulis sebagian bagian penting dalam hidup mereka, meskipun tidak lagi
kembali ke Balikpapan, dan menghidupkan budaya tulis-menulis.
Sebagian generasi muda Balikpapan yang berkuliah di luar
Balikpapan itu akhirnya pulang. Oleh sebab Balikpapan tidak memiliki budaya
tulis-menulis, generasi satu ini harus berhadapan dengan kenyataan. Bekerja,
dan mendapat banyak duit. Tulis-menulis hanya sampingan, mengisi waktu, atau
sekadar mengeksplorasi kemampuan karena media massa tidak menghargai
kontributor (penulis luar) secara finansial.
Kebiasaan Masyarakat Umum
Sekali lagi, hidup di Kota Minyak tidaklah
berbiaya murah. Standar harga yang semula mengikuti nilai bahan bakar fosil,
selanjutnya enggan untuk mematuhinya. Ketika harga bahan bakar fosil menanjak,
harga-harga produk barang dan jasa disejajarkan dengan penajakkan itu. Tetapi
ketika harganya turun, harga produk dan jasa tidak sudi turun.
Harga adalah uang. Harga diri pun diukur
dengan seberapa uang yang dimiliki, dan akan dimiliki (diperoleh). Kalau suatu
kegiatan yang memerlukan waktu tidak sebentar tetapi harga jualnya rendah,
bahkan tidak dihargai dengan mata uang, ya, maaf-maaf saja.
Hal yang umum terlihat di Kota minyak ini
adalah pekerja usia muda. Pertama,
umumnya alasan tuntutan keluarga. Bisa jadi memang dari keluarga kurang mampu,
termasuk kurang mampu memenuhi keinginan–bukan kebutuhan–anak-anak mereka.
Tuntutan keluarga lainnya adalah status
sosial. Kalau anaknya sudah mampu bekerja, meskipun masih bersekolah atau
kuliah, orangtua akan bangga dalam obrolan antarorangtua. Ya, sebab orangtuanya
datang ke Balikpapan memang untuk bekerja, dan dengan uang yang dihasilkan bisa
dipamerkan ke kampung halaman.
Kedua,
alasan pergaulan si anak. Hal yang biasa ketika pelajar sekolah menengah atas atau
mahasiswa akan memamerkan diri sebagai seorang pekerja di hadapan kumpulannya.
Dengan bekerja, selain bisa membiayai keinginan, juga bisa menambah nilai
status sosial.
Kedua alasan tersebut cenderung disosialisasikan,
dan turun-temurun disampaikan. Dampaknya, apabila suatu kegiatan menghasilkan
uang, itulah yang terpenting bagi orangtua dan anaknya. Kalau sudah bisa
menghasilkan uang, barulah bisa leluasa melakukan pembualan, baik dalam obrolan maupun suatu kemampuan yang bisa
dimuat di media massa.
Yang tidak jarang terjadi, ketika anak
sudah bisa bekerja, memiliki pacar, dan suatu saat rampung mendidikan, maka
dilanjutkan dengan kebiasaan umum, yakni menikah, dan berkeluarga. Kalau sudah
menikah-berkeluarga, selesailah berproses untuk diri sendiri. Memenuhi kebutuhan
hidup keluarga adalah utama.
Tulis-menulis, tentu saja, tidak bisa
menghasilkan uang, jika berpatokan pada situasi-tradisi media lokal. Selain
media lokal, apa lagi? Tidak ada. Padahal, tulis-menulis bukanlah sebuah
kegiatan yang bisa secepat kilat menjadikan seseorang mahir apalagi terkenal
(untuk pembualan).
Terlebih, apa gunanya belajar
tulis-menulis pada saat media massa lokal tidak sudi membayar hak cipta
kontributor, ‘kan? Apalagi, orang-orang media itu pun tidak sudi melatih
sekaligus meregenerasi penulis melalui pembelajaran. Orang-orang media justru berharap,
para pelamar kerja sudah jadi (siap bekerja).
Oleh sebab tulis-menulis begitu prosesnya,
saya selalu menganjurkan sebagian kalangan mudanya untuk cepat memilih :
berproses atau segera tinggalkan. “Berproses” tidaklah instan. “Segera
tinggalkan” justru lancar mengikuti tuntutan lingkungan (keluarga dan
pergaulan).
Ya, sebab kebiasaan masyarakatnya begitu
menjunjung uang sebagai harga mati bagi harga diri. Mending segera selesaikan
pendidikan, cepat mendapat kerja-uang, dan menikah-berkeluarga. Saya tidak pantas
menghalangi kebiasaan hidup mereka dan keluarga, bukan?
Peran Instansi dan Institusi Terkait
Bagaimana sikap pemerintah daerah melalui dinas-dinas terkait?
Sama sekali tidak tertarik untuk menciptakan generasi budaya bergiat dalam
kegiatan tulis-menulis.
Sekian tahun saya amati, tidak ada suatu
kegiatan pelatihan tulis-menulis yang dilakukan secara rutin yang
diselenggarakan oleh pemerintah lokal melalui dinas-dinas terkait. Mengapa
begitu? Saya menduga, di kalangan mereka sendiri memang tidak pernah mengalami
hal-hal semacam itu.
Kalaupun kadang menyelenggarakan suatu even atau lomba, sekadar formalitas–bukan
niat luhur menjadikan tulis-menulis sebagai bagian dari kehidupan berbudaya di
Kota Beruang Madu. Ya, sekadar kegiatan untuk penggunaan anggaran tanpa
perlu repot memikirkan apa itu kerja budaya dan regenerasi penulis.
Kenyataan ini membuat saya harus berhenti mengajari sebagian orang
muda Balikpapan dalam kegiatan tulis-menulis pada 18 Oktober 2014, apalagi
semua itu sama sekali gratis. Pemerintah daerah, media massa lokal, dan
kebanyakan warganya sendiri tidaklah peduli, apalah gunanya saya–yang
pendatang–malah berdarah-darah mengajari orang muda, memikirkan penggenerasian
penulis, dan membudayakan kegiatan tulis-menulis.
Kurang Sabar
Apakah saya kurang sabar?
Kenyataan, biaya hidup di kota ini sangat tinggi; jangan disamakan
dengan Jawa, apalagi Yogyakarta yang pernah saya tempati selama nyaris 17
tahun, dan saya belajar tulis-menulis sejak akhir SMA di sana. 5 tahun
berpartisipasi dalam pembelajaran tulis-menulis bukanlah waktu dalam sekali
kerdipan, apalagi di zaman teknologi terkini. Belum lagi tradisi pembualan, semisal seorang
pemuda mau belajar menulis cerpen dengan cita-cita menjadi sastrawan terkenal.
Begitulah kesimpulan sementara saya, dan akhirnya saya tidak mau
lagi terlibat dalam penggenerasian penulis dan perintisan budaya tulis-menulis
di Balikpapan. Saya berpikir realistis saja.
Selamat Hari Buruh bagi yang merayakannya.
*******
Tidak ada komentar:
Posting Komentar