Saya sengaja
menghapus pertemanan di media sosial dengan Oji, Sarwan, Demun, Zaenab, Lia,
dan Sibukwan, bahkan memblokir Degul, yang kesemuanya tinggal di Balikpapan.
Mengapa kejam sekali?
Hanya persoalan
idealisme berkarya. Saya tidak mau lagi membaca status mereka sehari-hari, yang
cenderung mengusik pikiran saya. Saya tidak mau terganggu dengan hal-hal yang,
bagi saya, kontra-produktif.
Terus terang, saya pasti mengapresiasi, dan memberi ucapan “salut” atau “hebat” apabila saya menemukan nama dan karya
mereka selalu muncul dalam arena pertarungan karya tingkat nasional, baik lomba
ataupun kurasi karya untuk tergabung dalam buku bersama. Saya tidak patut menahan diri untuk memberi apresiasi karena, bagaimanapun, saya wajib jujur-obyektif-sportif dalam lalu-lintas kenyataan dari suatu hasil pertarungan karya.
Sebaliknya, kalau cuma “jago kandang” pada era internet kini, ya, sudahlah, selesai pertemanan itu. Saya tidak bermaksud menyombongkan diri tetapi saya telanjur kecewa atas kebiasaan mereka (Lia, Sibukwan, dan lain-lain) menjadi “jago kandang”, dan gemar gemetar menghadapi arena pertarungan karya yang sering dipajang di media sosial. Saya bosan memotivasi orang-orang itu untuk selalu siap mengadu nyali.
Sebaliknya, kalau cuma “jago kandang” pada era internet kini, ya, sudahlah, selesai pertemanan itu. Saya tidak bermaksud menyombongkan diri tetapi saya telanjur kecewa atas kebiasaan mereka (Lia, Sibukwan, dan lain-lain) menjadi “jago kandang”, dan gemar gemetar menghadapi arena pertarungan karya yang sering dipajang di media sosial. Saya bosan memotivasi orang-orang itu untuk selalu siap mengadu nyali.
Saya tidak mau
bertambah kecewa gara-gara membaca status mereka yang begituan. Kecewa sudah
mengendap sekian tahun, saya tidak akan membuatnya menjadi-jadi sehingga
menjadi bumerang bagi saya dengan bentuk yang kontra-produktif. Biarkan saya
memotivasi diri saya sendiri, dan mereka memotivasi diri mereka sendiri.
Sementara lainnya,
Sarwan dan Demun, seakan menderita tuli permanen, atau justru kesombongan
kronis. Menjadi senior di media tidak lantas membuka ruang karya sekaligus
dengan penghargaan finansial yang lazim diberikan media industrial untuk lebih memotivasi
para yunior yang sedang bersemangat muda dalam berkarya. Keduanya mencari
aman-nyaman secara finansial berkesinambungan untuk diri mereka sendiri.
Sebenarnya saya pun sangat menginginkan mapan secara ekonomi, apalagi sudah berkeluarga. Menjadi suami bukanlah persoalan mudah ketika kebutuhan hidup masih dinilai dengan uang, bukannya sertifikat penghargaan atau kliping tulisan.
Sebenarnya saya pun sangat menginginkan mapan secara ekonomi, apalagi sudah berkeluarga. Menjadi suami bukanlah persoalan mudah ketika kebutuhan hidup masih dinilai dengan uang, bukannya sertifikat penghargaan atau kliping tulisan.
Oji, bagaimana? Ah,
terlalu banyak omong. Lagaknya mengompori, Oji sendiri tidak pernah konsisten
dalam berkarya. Kalau ada ajakan, yang sekaligus langsung memuat karyanya,
barulah Oji berkarya. Itu pun biasanya hanya lingkup kecil alias Balikpapan.
Selain itu saya pernah membantu dana cuma-cuma agar Oji bisa lebih serius berkarya
tetapi, yah, entahlah.
Zaenab, juga
bagaimana? Zaenab sudah mapan. Semasa mahasiswa, Zaenab tidak pernah mengirim
karya ke media umum karena sudah terdukung penuh oleh ekonomi orangtuanya. Kini
rajin mengirim ke media lokal semata demi popularitas dan kemapanannya sendiri
tanpa peduli mengenai pentingnya honor bagi kontributor dan proses regenerasi
yang juga perlu “gizi”.
Paling parah payahnya
memang Degul, yang terpaksa saya blokir. Pendusta (termasuk suka omong kosong),
penghisap darah, manusia anti-profesionalisme, dan degil akut. Pantasnya si
Degul ini ditenggelamkan saja di Teluk Balikpapan supaya berguna bagi para
penghuninya. Ah, Bu Susi Pujiastuti mana, ya?
Jadi?
Ya, jadi. Jangankan soal kesengajaan menghapus pertemanan di dunia maya, di dunia nyata saja saya menjauh dari mereka. Saya memilih menyepi, berkarya sendiri, produktif sendiri, kreatif sendiri, menguji nyali sendiri, dan senang-susah sendiri.
Ya, jadi. Jangankan soal kesengajaan menghapus pertemanan di dunia maya, di dunia nyata saja saya menjauh dari mereka. Saya memilih menyepi, berkarya sendiri, produktif sendiri, kreatif sendiri, menguji nyali sendiri, dan senang-susah sendiri.
*******
Panggung Renung
Balikpapan, 2017
Tulisan di bawah ini bersumber dari : http://intisari.grid.id/Wellness/Psychology/Interaksi-Sosial-Ternyata-Berpengaruh-Pada-Kebahagiaan-Dan-Kecerdasan-Seseorang
(Carolyn Gregoire/ Huffington Post)
Tulisan di bawah ini bersumber dari : http://intisari.grid.id/Wellness/Psychology/Interaksi-Sosial-Ternyata-Berpengaruh-Pada-Kebahagiaan-Dan-Kecerdasan-Seseorang
Interaksi Sosial Ternyata Berpengaruh Pada Kebahagiaan dan Kecerdasan
Seseorang
Rabu, 30 Maret 2016 08:00 WIB
Intisari-Online.com - Apakah Anda seorang adalah
seorang penyendiri yang lebih senang tinggal dirumah sambil membaca buku
daripada pergi berpesta? Jika demikian, psikolog mengatakan mungkin ada
penjelasan yang baik untuk itu.
Nyatanya, Anda tidak perlu menghabiskan banyak waktu dengan teman-teman Anda untuk menjadi bahagia, menurut penelitian yang dipublikasikan bulan lalu di British Journal of Psychology.
Nyatanya, Anda tidak perlu menghabiskan banyak waktu dengan teman-teman Anda untuk menjadi bahagia, menurut penelitian yang dipublikasikan bulan lalu di British Journal of Psychology.
Untuk penelitian ini, peneliti menganalisis
data survei dari 15.000 orang dewasa berusia antara 18-28, termasuk informasi
tentang lingkungan hidup, kesejahteraan, IQ dan hubungan mereka.
Setelah mengontrol data untuk status sosial ekonomi, para peneliti menemukan bahwa orang yang kecerdasannya dibawah rata-rata (yang diukur dengan tes IQ) dan tinggal di lingkungan populasi kepadatan tinggi (seperti kota-kota besar) menyatakan rendahnya tingkat kepuasan hidup daripada mereka yang hidup di daerah pedesaan.
Data tersebut juga mengungkapkan bahwa semakin banyak interaksi sosial dengan teman-teman dekat mereka, semakin bahagia mereka (yang memiliki kecerdasan IQ dibawah rata-rata).
Namun, sebaliknya untuk orang-orang dengan IQ diatas rata-rata—mereka lebih puas dengan kehidupan mereka dan merasa lebih bahagia ketika mereka menghabiskan waktu lebih sedikit dengan teman-teman dekat mereka atau menyendiri.
“Otak manusia rata-rata mungkin telah berevolusi untuk berfungsi dengan sangat baik di lingkungan pedesaan dengan orang-orang yang lebih sedikit. Ketika ditempatkan di perkotaan dengan kepadatan penduduk tinggi, otak kita mungkin mengirim sinyal untuk membagi ke dalam lingkaran sosial yang lebih kecil,” kata Dr. Satoshi Kanazawa, seorang psikolog di London School of Economics dan penulis utama penelitian tersebut, seperti dilansir Huffington Post.
Hal senada juga disampaikan Dr. Carol Graham, peneliti dari Brookings Institute, mengatakan bahwa orang yang cerdas melihat bersosialisasi sebagai gangguan dari hal-hal yang lebih penting, seperti mengejar karir jangka panjang atau target perbaikan diri. Pilihannya sekarang ada pada Anda, bahagia karena bersosialisasi juga penting, namun ada kalanya kita butuh menyediakan waktu bagi diri sendiri.
Setelah mengontrol data untuk status sosial ekonomi, para peneliti menemukan bahwa orang yang kecerdasannya dibawah rata-rata (yang diukur dengan tes IQ) dan tinggal di lingkungan populasi kepadatan tinggi (seperti kota-kota besar) menyatakan rendahnya tingkat kepuasan hidup daripada mereka yang hidup di daerah pedesaan.
Data tersebut juga mengungkapkan bahwa semakin banyak interaksi sosial dengan teman-teman dekat mereka, semakin bahagia mereka (yang memiliki kecerdasan IQ dibawah rata-rata).
Namun, sebaliknya untuk orang-orang dengan IQ diatas rata-rata—mereka lebih puas dengan kehidupan mereka dan merasa lebih bahagia ketika mereka menghabiskan waktu lebih sedikit dengan teman-teman dekat mereka atau menyendiri.
“Otak manusia rata-rata mungkin telah berevolusi untuk berfungsi dengan sangat baik di lingkungan pedesaan dengan orang-orang yang lebih sedikit. Ketika ditempatkan di perkotaan dengan kepadatan penduduk tinggi, otak kita mungkin mengirim sinyal untuk membagi ke dalam lingkaran sosial yang lebih kecil,” kata Dr. Satoshi Kanazawa, seorang psikolog di London School of Economics dan penulis utama penelitian tersebut, seperti dilansir Huffington Post.
Hal senada juga disampaikan Dr. Carol Graham, peneliti dari Brookings Institute, mengatakan bahwa orang yang cerdas melihat bersosialisasi sebagai gangguan dari hal-hal yang lebih penting, seperti mengejar karir jangka panjang atau target perbaikan diri. Pilihannya sekarang ada pada Anda, bahagia karena bersosialisasi juga penting, namun ada kalanya kita butuh menyediakan waktu bagi diri sendiri.
(Carolyn Gregoire/ Huffington Post)
Reporter : Okke Nuraini Oscar
Editor : Okke Nuraini Oscar
Editor : Okke Nuraini Oscar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar