Saya mendengar selentingan, “JPS itu Jaringan Penulis
Sombong, yang tidak mau ngumpul, membagi ilmu, dan merasa paling jago menulis.”
Entah siapa dan dari siapa yang berdomisili di Balikpapan.
Saya biarkan saja selentingan itu meskipun merembak ke
mana-mana, yang tentunya ditambahi dengan ini-itu. Saya pikir, apa pun
merupakan risiko saya, dan saya harus menanggung semua risiko apa pun. Istilah
kerennya, “konsekuensi logis”.
Biarkan saja bahkan sampai ditambahi dengan ini-itu.
Saya tetap menekuni apa yang sudah saya lakukan sejak 1993 dengan semangat
otodidak-idealis berkarya. Saya tidak pernah berguru dalam pembelajaran
tulis-menulis seperti yang saya ungkapkan dalam buku saya Siapa Mengontrol Siapa (2016).
Tidak mau ngumpul disebut sombong. Padahal, 6,5 tahun
saya ngumpul, sama sekali tidak ada hasil di antara orang-orang itu. Justru,
biasanya, orang sombong akan cenderung sulit belajar apalagi maju. Untuk
belajar dan mampu, kerendahan hati sangatlah utama. Kerendahan hati memudahkan
diri untuk membuka pintu pemahamannya sendiri sehingga ilmu mudah dipahami, dan
ditindaklanjuti.
Persoalannya, ketika ngumpul, kesombongan individual
mengemuka sehingga membentengi dirinya sendiri dari penyerapan (penetrasi) ilmu
yang bisa ditindaklanjuti. Makanya, mereka tidak mampu berbuat apa-apa selain
menambahi selentingan dengan ini-itu.
Tidak membagi ilmu disebut sombong. Sebentar, jangan
terburu-buru menghakimi. 6,5 tahun bukan waktu yang singkat. 6,5 tahun bisa
menjadikan seseorang sebagai sarjana.
Persoalannya, ilmu yang dibagi selama 6,5 tahun
tertahan atau terbentengi oleh kesombongan diri sendiri. Seharusnya, ketika
ilmu disampaikan, bukalah gerbang benteng itu. Ilmu mau masuk, mengapa justru
dibentengi begitu rupa dengan kesombongan yang dihidupi sekian puluh tahun?
Saya aktif di pers mahasiswa sejak 1991 tetapi khusus
menangani ilustrasi, dan kartun-karikatur, rajin membaca Majalah Humor untuk meningkatkan kemampuan
berkartun-karikatur, dan mulai iseng menulis pada 1994. 1991, 1992, 1993, dan
1994. 4 tahun suntuk, yang itu pun harus saya kalahkan dengan kartun-karikatur.
Dari 1991-1993 saya hanya memberi telinga kepada
pembelajaran rekan-rekan saya di pers kampus. Rekan-rekan suntuk menulis
ini-itu, saya memasang telinga sambil suntuk membuat ilustrasi, kartun, dan
karikatur. Modal utama saya hanya telinga, dan telinga merupakan jendela jiwa,
dimana saya pergunakan untuk menyerap ilmu tanpa siapa pun menyadarinya.
Rekan-rekan saya dulu, atau silakan tanyakan saja,
hanya mengetahui bahkan hafal bahwa saya seorang tukang gambar. Tidak seorang
pun yang percaya bahwa saya kemudian suka menulis, sebelum mereka membaca karya
saya, baik melalui tulisan di media massa maupun yang terkumpul dalam buku-buku
terbitan saya sendiri.
Merasa paling jago menulis disebut juga sebagai
kesombongan. Logika dan realita yang tidak sebangun, tampaknya.
Saya selalu mengatakan bahwa sampai 2017 bahkan kalau
sehat walafiat saya masih berproses, apalagi proses yang saya lakukan berada
pada jenis (genre) yang berbeda-beda,
termasuk kembali menggaris untuk kartun-karikatur. Puisi, cerpen, atau esai
saya hanya segelintir yang sudi dimuat media massa, jika media massa dijadikan
barometer atas mutu suatu karya.
Saya pun masih harus berjuang. Saya masih harus
menghadapi pertarungan demi pertarungan atau ujian demi ujian bernama lomba
menulis ini-itu. Tidak semuanya berujung pada hasil kemenangan. Saya bukan
siapa-siapa dalam dunia penulisan Indonesia!
Lantas, apa yang patut untuk saya sombongkan sampai
merasa diri sebagai paling jago menulis di Balikpapan?
Dan, ketika saya masih harus belajar keras dan fokus,
semua saya lakukan tanpa seorang pembimbing pun. Saya belajar sendiri dari mencari
bacaan-referensi, menganalisis, membuat hingga menjadi suatu karya.
Semua itu saya lakukan sendirian tanpa rekan diskusi atau berbagi ilmu di Balikpapan ini. Paham, ‘kan, apa artinya “sendiri”?
Semua itu saya lakukan sendirian tanpa rekan diskusi atau berbagi ilmu di Balikpapan ini. Paham, ‘kan, apa artinya “sendiri”?
Apakah bukan sebaliknya, justru mereka yang merasa
paling jago dalam tulis-menulis sehingga sama sekali tidak sudi mendengar bahkan menimbang saran-saran saya,
termasuk mengenai membukukan karya tulis-menulis orang lain?
Dengan tidak sudi menimbang saran-saran saya, saya
anggap di situlah letak kesombongan mereka, seakan-akan mereka sudah paling
segalanya, padahal realitanya tidaklah demikian sampai saat saya menulis ini. Tetapi,
memang, tidak mudah meneliti diri sendiri, dan malah mudah menuding saya yang
sombong-sok paling jago menulis.
Demikianlah tanggapan saya mengenai selentingan
tersebut. Mereka, yang membesarkan suara selentingan dengan pengeras suara,
masih harus sering berkaca di kamar mereka sendiri.
Saya tidak perlu bersusah-payah membawa kaca (cermin)
untuk mereka sebab mereka sudah dewasa, sudah sangat memahami film khusus
dewasa. Mereka sudah bisa memilih antara yang baik-berguna dan buruk-merugikan.
Saya akan tetap dengan semangat saya dalam
tulis-menulis. Sesekali ikut bertarung karya di media massa maupun kurasi buku,
meskipun mereka tidak pernah bertarung karya karena sudah merasa paling hebat
menulis se-Indonesia raya.
Begitu saja jalan gampang-lempang untuk saya lakoni.
*******
Panggung
Renung Balikpapan, 18 April 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar