18 Oktober 2014 adalah suatu tanggal sakral bagi saya
untuk tidak lagi merepotkan diri dengan mengajari tulis-menulis kepada orang-orang
muda di Balikpapan. Tanggal tersebut bertepatan dengan hajatan baca puisi yang
tidak saya kunjungi karena pengkhianatan (penipuan/pendustaan) seorang bukan
penyair–sebut saja Degul–tetapi pendusta, termasuk urusan bayar-membayar karya
arsitektur bikinan saya.
Saya memang sudah
berhenti memotivasi dan mengajari perihal tulis-menulis
kepada sebagian generasi muda Balikpapan, termasuk di RT kami, dalam
kepenulisan. Selama 6,5 tahun menetap di Balikpapan saya berusaha mendampingi
sebagian putera-puteri daerahnya untuk giat menulis sebagai pilihan berbudaya
ketika tidak bisa melukis, mengartun, menari, menyanyi, memusik, mematung,
mengukir, membatik dan menyeni lainnya.
Awalnya, 2009, saya datang ke Kota Minyak, dan, tidak sampai
satu bulan saya sudah andil dalam kegiatan tulis-menulis bagi generasi muda
melalui sebuah komunitas seni. Saya memang nekat–sebuah keberanian yang
konyol–menyisihkan sebagian waktu, selain untuk bekerja dan berkeluarga. Saya
pun menolak ajakan ketua Dewan Kesenian Balikpapan untuk bergabung karena saya
menyukai sebuah kelompok kecil yang sama sekali tidak setenar nama “dewan
kesenian”.
Pendidikan formal saya sangat tidak berkaitan dengan kegiatan
tulis-menulis apalagi seni sastra. Akan tetapi, kegemaran saya dalam
tulis-menulis sudah dimulai ketika SMA (1989), meski masih dalam lingkup sekolah,
melalui majalah sekolah. Saya menulis cerpen dan puisi, selain membuat kartun
dan ilustrasi. Saya tidak memiliki prestasi apa pun dalam pelajaran Bahasa
Indonesia. Alasan utama saya, jurusan pilihan saya ketika itu adalah Fisika
(A1).
Pendidikan tinggi-formal saya pun tidak mengandalkan
kemampuan tulis-menulis. Ya, program studi Arsitektur lebih menekankan kepada
kemampuan merancang bangunan dengan garis, analisa ruang, dan notasi
arsitektural. Tulisan panjang-lebar harus diminimalisasi karena gambar menjadi
bagian utama sebagai komunikator-representator gagasan.
Akan tetapi, sebelum menjalani OSPEK apalagi kuliah di
program studi Arsitektur Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY) 1991, saya
sudah bergabung dalam pers mahasiswa tingkat fakultas (Majalah Mahasiswa Teknik
Sigma). Itu pun cukup pada posisi
ilustrator.
Saya tidak menjalani proses tulis-menulis secara jelas-nyata
di pers mahasiswa. Saya hanya asyik mengartun dan mengilustrasi. Berbeda dengan
rekan-rekan saya, yang dibimbing sejak dari awal (0/nol). Akan tetapi, ketika
rekan-rekan diajarkan tentang bagaimana menulis, dari memindahkan (translate) hasil wawancara ke komputer,
mengolah menjadi sebuah berita, hingga sebagian lainnya membuat tulisan opini,
diam-diam saya ‘menguping’ dan memerhatikan proses mereka.
Selain itu, dengan kemampuan kiriman uang bulanan
(Rp.100.000,00
/bulan tahun 1991) yang minimalis, saya nekat membeli majalah, yaitu Humor, Tempo, dan Forum Keadilan
di koperasi kampus. Di samping untuk menambah wawasan mengenai kartun (gag cartoon dan political cartoon/editorial cartoon), dan realitas politik versi media massa, juga
untuk memelajari teknik menulis opini atau artikel ilmiah populer. Dua-tiga
tahun kemudian baru saya berlangganan harian lokal, yaitu Bernas, lalu harian nasional, yakni Kompas.
Dengan kemauan dan kemampuan ‘menguping’ pembelajaran
tulis-menulis rekan-rekan, saya mencoba membuat tulisan iseng-iseng seperti
yang sering saya jumpai di Majalah Humor.
Tahun berikutnya, sekitar 1994/1995, selain membuat kartun opini, saya
mulai menulis artikel opini serius, dan dimuat di Majalah Cita Jaya–sebuah terbitan yang dikelola oleh kalangan sivitas
akademika UAJY. Media kampus yang sama sekalI tidak bertabur iklan itu
berani memberi honor kepada kontributor (penulis lepas). Pernah terjadi,
empat tulisan, dua kartun opini, dan satu ilustrasi, dimuat dalam satu edisi.
Satu tulisan diharga Rp. 15.000,00 dan satu ilustrasi/kartun dihargai Rp. 5.000,00 dengan total Rp.
Rp.75.000,00
atau kini (2015) bisa dikalikan 10 alias totalnya Rp 750.000,00.
Alangkah senangnya saya ketika itu. Semangat untuk menulis
pun semakin menyala, apalagi honor bisa saya pakai untuk berlangganan media
massa, dan membeli buku sosial-politik, yang sebenarnya sangat ditentang oleh
keluarga saya ketika mengetahui bahwasannya saya ‘berselingkuh’ bidang studi.
Saya tidak perlu bingung mengisi ‘asupan’ pemikiran saya. Saya pun, sampai
sekarang, tetap bangga pada majalah almamater saya itu karena tidak menjadikan
kontributor sebagai ‘sapi perah’ belaka, melainkan memanusiakan, dimana
kebutuhan berpikir berupa buku dan lain-lain dapat diantisipasi melalui honor .
Tahun berikutnya barulah saya keluar ‘kandang’ alias mengirim
tulisan ke media massa lokal, dan dimuat sekaligus diberi honor oleh Minggu Pagi Yogyakarta. Honornya, Rp.
15.000,00.
Kemudian saya mengirim tulisan ke media lokal daerah saya sendiri, yaitu Bangka
Pos, dimuat dan diberi honor. Setelah mulai dari kampus, dan dua media lokal,
barulah saya ‘berani’ (percaya diri) mengirim tulisan ke media nasional, serta
mengikuti lomba menulis esai, cerpen, dan puisi, baik tingkat lokal
(Yogyakarta, Bangka, Riau, Pekanbaru) maupun nasional (tentunya Jakarta sebagai
Ibukota Indonesia).
Dalam pergaulan lintas bidang studi dan daerah selama sekian
tahun saya sering menemukan kegairahan orang-orang dalam tulis-menulis. Honor
pun, jelas, bukanlah sesuatu yang tabu atau rahasia untuk dibicarakan dan
diraih dengan semangat intelektual mereka. Tulis-menulis menjadi budaya yang
nyata, honor melengkapi kebanggaan dalam kebersamaan dan maju-berkembang
bersama, dan proses regenerasi penulis dapat terjadi dalam iklim yang kondusif
karena media massa industrial di daerah mereka sudah memahami bahawa tulisan
merupakan sebuah karya intelektual.
Menulis merupakan sebuah kerja budaya-intelektual, tentunya,
berbeda dengan, maaf, pipis (kencing) ketika bangun tidur. Artinya, dari
gagasan, diolah dengan ini-itu, sampai menjadi sebuah tulisan bukanlah seperti
kebelet pipis dan segera mengucur deras ketika berada di sebuah toilet atau di
balik tembok. Tentunya sangat keterlaluan jika menulis disamakan dengan
membuang hajat, bukan?
Saya semakin mengerti bahwa sebuah tulisan merupakan karya
intelektual yang dilindungi oleh hukum dengan sebutan keren “Hak Kekayaan
Intelektual” adalah ketika menjadi seorang pembicara dalam sebuah seminar
nasional di Yogyakarta dan Jakarta (2001) setelah sebuah artikel esai saya
masuk nominasi dan dimuat dalam buku Bunga Rampai Esai HAKI (Jakarta, 2001).
Paling tidak, ketika sebuah karya tulis dimuat oleh sebuah media kapitalis,
honor seberapa rupiah pun, menjadi konsekuensi logis bagi media dan
penulisnya.
Bekerja di bidang saya sendiri, yakni arsitek, dan bergaji
jutaan rupiah per bulan, tidaklah menyurutkan hasrat-semangat kepenulisan saya.
Kalau sudah telanjur cinta, ‘perselingkuhan intelektual’ tetap laju-lancar
jaya!
Ya, ‘berselingkuh intelektual’ sudah menjadi gaya hidup saya.
Honor pemuatan karya tetap saya ambil karena bisa saya pergunakan untuk membeli
buku sastra, menraktir kawan-kawan minum kopi di pinggir jalan Daan Mogot,
Jakarta Barat, atau membeli kudapan dan kopi di dekat pintu masuk Pusat
Dokumentasi Sastra H.B. Jassin, Taman Ismail Marzuki.
Akan tetapi, ketika mulai menetap di Balikpapan, saya merasa
bagian wilayah Kalimantan Timur (Kaltim) ini tidaklah seperti daerah-daerah
lain yang pernah saya tempati. Bertahun-tahun seorang begawan sastra lokal,
yaitu Korrie Layun Rampan, berada di provinsi ini dengan menghasilkan ratusan
buku (saya memiliki sebagian saja, yaitu Aliran-Jenis Cerita Pendek, Apresiasi
Cerita Pendek 1, Apresiasi Cerita Pendek 2, dan Tokoh-Tokoh Cerita Pendek),
saya sama sekali tidak merasakan adanya “budaya tulis-menulis” sebagai bagian
dalam realitas pergaulan penduduknya.
Di Kota Minyak ini berdiri dua media massa cetak industrial
yang berafiliasi dengan dua media besar nasional, seperti pula daerah asal
saya, Bangka Belitung. Kedua media tersebut menyebarkan media komersialnya ke
seluruh Kaltim, yang waktu itu belum terbentuk Kalimantan Utara (Kaltara). Di kedua
media besar tingkat lokal tersebut bercokol pula kawan-kawan saya, yang
bersinergi di sebuah komunitas.
Saya selalu berpartisipasi secara aktif dalam pembelajaran
tulis-menulis, tetapi kawan-kawan saya (yang bekerja di pers industrial itu)
jarang sekali benar-benar mau terlibat langsung. Alasan mereka, 1) pekerjaan
yang padat; 2) sudah berkeluarga. Padahal seorang di antaranya, sebut saja
Sarwan, adalah putera daerah Balikpapan sendiri, bahkan dengan gamblang
beralasan, “Banyak orang yang berani membayar berapa saja agar tulisan mereka
dimuat media.”
Ya, selain merupakan putera daerah asli Balikpapan, Sarwan
juga alumni fakultas terkait dari sebuah perguruan tinggi negeri di Jawa Timur,
dan kini hidup mapan secara ekonomi dengan bekerja di sebuah media massa besar
di Kaltim. Tentu saja Sarwan sudah memiliki rumah sendiri, ditambah sebuah mobil. Artinya, tempat dan transportasi aman.
Akan tetapi, yang saya sesalkan pada diri Sarwan, adalah: 1) Putera daerah; 2) Tulis-menulis adalah bidang studinya; 3) Bekerja dengan posisi penting di media massa lokal; 4) Berekonomi mapan, tetapi sama sekali Sarwan tidak pernah mau terjun secara intens alias sesekali saja untuk meregenerasi penulis-penulis muda di daerahnya sendiri (kampung halamannya sendiri) dengan daya tarik penting-intelektual bernama “honor”.
Akan tetapi, yang saya sesalkan pada diri Sarwan, adalah: 1) Putera daerah; 2) Tulis-menulis adalah bidang studinya; 3) Bekerja dengan posisi penting di media massa lokal; 4) Berekonomi mapan, tetapi sama sekali Sarwan tidak pernah mau terjun secara intens alias sesekali saja untuk meregenerasi penulis-penulis muda di daerahnya sendiri (kampung halamannya sendiri) dengan daya tarik penting-intelektual bernama “honor”.
Sementara saya, 1) bukan putera daerah asli Balikpapan atau
Kaltim; 2) menekuni gambar-menggambar adalah bidang studi saya; 3) bekerja
sebagai arsitek mandiri; dan 4) berekonomi serampangan, tetapi selama 5 tahun
malah aktif mengajak sebagian orang muda Balikpapan untuk giat menulis. Sungguh
keaktifan yang sangat konyol. Lalu, ketika saya menyampaikan betapa pentingnya
honor agar calon-calon penulis muda yang belum berekonomi mapan itu bergairah
untuk berkarya, ternyata tidak dianggapnya penting.
Seorang lainnya, sebut saja Demun, pernah menjadi redaktur
media massa di Bangka, dan kini menjadi redaktur sebuah media massa cetak
industrial di Balikpapan, yang media cetaknya menyebar luas dari Kaltim hingga
Kaltara. Tetapi, lagi-lagi, tidak pernah melibatkan diri dalam pembelajaran
tulis-menulis maupun pers mahasiswa di Balikpapan. Demun juga tidak peduli soal
motivasi dan semangat tulis-menulis di kalangan orang muda Balikpapan. Apa yang
pernah dialaminya di Bangka, ternyata tidak bisa diterapkannya di Balikpapan.
Selain itu, sebuah media massa cetak besar di Kaltim tidak
menyediakan ruang untuk rubrik sastra. Kalau untuk rubrik iklan, bisa
berhalaman-halaman. Sementara sebuah media lainnya menyediakan ruang untuk
cerpen tetapi sama sekali tidak memberi honor bagi penulisnya. Saya maklum
karena redakturnya tidak pernah merasakan betapa senangnya cerpen dimuat dan
mendapat honor. Dan, saya pun maklum bahwa kedua media massa cetak tersebut
sama sekali tidak memahami bahwa menulis merupakan kerja budaya, dan tulisan
merupakan hak atas kekayaan intelektual, yang harus dibayar melalui honorarium.
Ada lagi, mantan rekan saya, sebut saja Zainab, di pers
mahasiswa tingkat fakultas dulu, yang kini menetap di Balikpapan dengan tingkat
ekonomi yang sangat mapan. Tulisan Zainab sering dimuat di media massa Kaltim.
“Honor tidak usah. Yang penting pemikiran saya disebarluaskan,” ungkapnya suatu
waktu.
Saya maklum karena saya kenal siapa Zainab. Ketika menjadi
mahasiswa, tunjangan bulanan Zainab memang selalu tercukupi oleh orangtuanya
yang cukup kaya. Kini, dalam kemapanan ekonomi yang signifikan, tentu saja,
honor yang tidak seberapa itu sangatlah tidak penting. Lebih dari mampu
jika hanya membayar fasilitas internet, membeli buku, dan membeli teh/kudapan
untuk menemaninya menulis.
Pernah suatu waktu saya terlibat sepenuhnya dalam
pembelajaran pers mahasiswa di sebuah universitas. Sebagai mantan aktifis pers
mahasiswa, tentu saja, saya harus mampu mengajari mereka mengenai dunia
penerbitan kampus. Untuk melengkapi pengetahuan mereka, saya pun menulis
seputar pers mahasiswa dan kegiatan sastra, lalu mengirimkannya ke media massa
lokalnya supaya bisa diarsip dan dibaca berulang-ulang. Lebih dari 10 tulisan
saya dimuat, dan tidak mendapat honor, tetapi saya relakan demi regenerasi
penulis di Balikpapan.
Seorang mahasiswa, sebut saja Parmin, yang bercita-cita
menjadi penulis, pun giat berlatih, dan satu tulisannya pernah dimuat di media
lokal. Akan tetapi, cukup satu kali itu. Parmin tidak lagi mengirimkan
tulisannya karena tidak ada honor. Saya mengerti, Parmin pasti ‘kecewa’. Tetapi
saya khawatir kalau Parmin menanyakan honor kepada media itu, bukanlah mustahil
awak media itu akan menjawab, “Gus Noy saja tidak minta honor, lha kok kamu
minta honor?” Ya, saya khawatir, nama saya menjadi salah satu bahan ‘mematikan’
antusiasme Parmin dan kawan-kawannya dalam tulis-menulis.
Parmin pun pernah menanyakan perihal honorarium bagi seorang
penulis kepada F.X. Rudi Gunawan dalam sebuah acara di Balikpapan, tetapi
Parmin justru dimarahi oleh seorang ‘senior’ kesenian, sebut saja Oji, bahwa
pertanyaan itu sangat tidak patut ditanyakan kepada seorang penulis besar dan
dalam acara besar pula.
Saya maklum atas kemarahan Oji itu lantaran Oji tidak pernah
menekuni kegiatan tulis-menulis sejak masa mahasiswa di Yogyakarta. Oji tidak
pernah memahami betapa menulis itu sebagai sebuah kerja budaya-intelektual dan
layak mendapat ‘penghargaan’ (honor),
dan sama sekali tidak pernah menekuni kegiatan tulis-menulis tetapi, kalau
berada dalam obrolan sekian orang, Oji selalu berkata, “Ayo nulis!”. Sayangnya, tidak pernah merasakan gaya hidup tulis-menulis
apalagi honor, sudah seolah omongannya menjadi “sabda Tuhan”.
Saya pun menyampaikan kepada Parmin dan beberapa kawan
lainnya bahwa selama lebih sepuluh tahun saya menekuni tulis-menulis dan
membaca media massa saya belum pernah membaca sebuah berita tentang adanya
sebuah perusahaan media massa akhirnya “gulung kertas” alias bangkrut gara-gara
membayar honor para penulis luar. Sedangkan media massa cetak industrial di
Balikpapan dan Kaltim selalu memberi halaman bagi iklan. Artinya, perusahaan
media di Balikpapan dan Kaltim itu pelit (kikir) dan sangat rakus. Kapitalisme
bin kanibalisme,
ya, begini.
Itulah pula saya tertawa ketika seorang kawan–sebut saja Kamso–mengajak saya berpikir
mengenai ekonomi kreatif di kalangan orang muda Balikpapan. Media massa
cetaknya pun sempat mengangkat perihal ekonomi kreatif. Sepele sajalah. Lha wong memberi honor bagi penulis yang
karyanya dimuat saja tidak pernah ada, kok tidak malu memampang judul berita
berfrase “ekonomi kreatif”? Menulis itu memerlukan kreativitas tertentu. Tapi
kalau tidak diberi honor, bisa jadi nantinya “ekonomi kere-aktif”.
Begitulah, selama 6,5 tahun tinggal di Balikpapan Kota
Internasional dengan media massa mencakup seluruh Kaltim hingga Kaltara ini,
saya belum benar-benar merasakan kegairahan orang-orang mudanya dalam
tulis-menulis. Kawan-kawan saya, yaitu Zainab, dan Oji sama sekali tidak
menekuni dunia tulis-menulis tadi, sampai mereka meninggal kelak pun tidak akan
pernah memahami arti “honor” seberapa rupiah pun bagi calon-calon penulis di
Kota Minyak ini.
Kawan-kawan lainnya, yaitu Sarwan dan Demun, yang sama-sama menempati posisi penting di media massa cetak industrial, pun tidak peduli, bagaimana menumbuh-kembangkan calon-calon generasi penulis di Balikpapan maupun Kaltim. Hal ini justru sangat miris bagi saya. Seharusnya kedua makhluk ini berperan penuh dalam budaya tulis-menulis di Balikpapan, dan Kaltim.
Hal lainnya, yang saya amati, tulis-menulis dan karya dimuat
media merupakan sebuah upaya pencitraan diri bagi kontributornya. Dengan
terpampang foto wajah mereka, pencitraan dan pengultusan menjadi gamblang.
Walaupun lebih dari sepuluh tulisan saya dimuat di sebuah media cetak Kaltim,
tidak pernah ada satu foto diri saya, baik berukuran pas foto maupun satu badan
penuh.
Meskipun saya ganteng (dibanding orangutan yang sudah
dioperasi plastik), saya tidak pernah mau foto diri saya ditampilkan karena
akan menjadi “berhala diri”. Itu karena saya sudah terbiasa membaca
tulisan-tulisan, baik opini, esai, dan lain-lain, di media cetak yang tidak
terpampang foto (wajah) kontributornya. Satu contohnya tulisan-tulisan opini di
rubrik opini Kompas. Wajah tidaklah
penting, kecuali nama (tanpa perlu saya beri gelar pendidikan) dan tulisan.
Dan beberapa kontributor yang wajahnya terpampang dengan
mendompleng tulisan, sebagian adalah kawan-kawan saya, yang sudah berada dalam
taraf ekonomi mapan. Saya menyebut “mapan” adalah dalam satu bulan mereka sudah
aman dengan angka sekian juta rupiah dari pekerjaan mereka. Mereka tidak pernah
mengalami masa mahasiswa yang tekun menulis suatu karya agar dimuat dan
mendapat honor untuk menambah uang bulanan kuliah. Artinya, mereka tidak pernah
bermasalah dalam segi kekurangan uang kuliah dan hura-hura.
Perjuangan saya untuk pengadaan honor bagi kontributor sebuah
media massa cetak industrial, khususnya kalangan muda, sama sekali tidak
dianggap penting bahkan di antara mereka menuduh saya “materialis”. Padahal
saya memikirkan, apa yang bisa didapatkan oleh calon-calon penulis itu, selain
karya tulis mereka dimuat. Toh media cetak itu dijual dan memuat bejibun iklan.
Ya, selama sekian tahun itu mereka sama sekali tidak pernah
melihat seberapa keras saya berjuang dalam memotivasi dan pembelajaran
tulis-menulis untuk kalangan muda Balikpapan. Kalau honor tidak ada, apa
gunanya menulis? Bukankah pulsa modem, kopi/teh, kudapan, dan buku tidak bisa
dibeli dengan kertas berisi tulisan yang dimuat media, ‘kan?
Dengan selalu memerjuangkan honorarium itu saya tiba-tiba
menjelma seorang pengemis intelektual demi regenerasi penulis muda di Kota
Minyak ini. Sungguh sangat memalukan; pengemis intelektual. Sudah materialis,
ditambah “pengemis intelektual”. Sarwan, Demun, Zainab, dan Oji pun tidak pernah
melihat bagaimana ketekunan saya menulis, membaca, menyisihkan uang bulanan
untuk mengisi otak saya, mengirimkan naskah, dimuat media massa, mendapat
honor, atau mengikuti lomba menulis dan mendapat hadiah.
Ada lagi nih, si Lia. Lia seorang
Sarjana Sastra, dan bergabung dengan sebuah penerbitan buku swakelola di luar Balikpapan. Saya pernah menyarankan, sebaiknya Lia membuat penerbitan sendiri di Balikpapan, bukannya mendompleng penerbitan nun di seberang sana. Sayangnya Lia tidak mau. Saya anggap, Lia justru tidak mau mandiri, dan mengibarkan nama penerbitan sendiri di daerahnya sendiri.
Suatu waktu Lia menyampaikan pada saya mengenai rencana mengadakan sebuah hajatan buku, seperti juga pada 2012. Saya diajak ikut bergabung lagi.
Suatu waktu Lia menyampaikan pada saya mengenai rencana mengadakan sebuah hajatan buku, seperti juga pada 2012. Saya diajak ikut bergabung lagi.
Saya menanyakan, apakah para kontributor
akan mendapat satu buku sebagai bukti pemuatan karya mereka. Lia menjawab,
tidak karena pembiayaan buku dilakukan secara mandiri.
Tentu saja saya menolak ajakannya karena bukti berupa buku merupakan suatu penghargaan atas hak intelektual kontributor. Lia sangat tidak memahami itu, bahkan berusaha tidak sudi memahami. Ya, sudah, terserahlah, dan saya tidak akan pernah mau berpartisipasi lagi.
Tentu saja saya menolak ajakannya karena bukti berupa buku merupakan suatu penghargaan atas hak intelektual kontributor. Lia sangat tidak memahami itu, bahkan berusaha tidak sudi memahami. Ya, sudah, terserahlah, dan saya tidak akan pernah mau berpartisipasi lagi.
Paling parah adalah Degul. Manusia
satu ini diperkenalkan oleh Oji pada saya pada suatu malam. Kata Oji, Degul
seorang kontraktor bangunan yang sangat menyukai sastra. Degul juga mengaku Sarjana Teknik Jurusan Teknik Sipil tamatan entah perguruan tinggi apa di
Sumatera sana. Sayangnya, saya tidak menanyakan mengenai hal-hal akademisi
terkait bidang yang diaku-akunya.
Dalam hal berbicara agama-iman, Degul
sangat fasih. Ya, memang begitu. Kalau dalam obrolan dengan sekian orang
menyangkut soal puisi, waduh, isinya tambal-sulam dari pendapat saya. Tidak
sedikit yang percaya bahwa Degul seorang penyair, dan puisinya pernah dimuat
oleh media massa di Sumatera.
Tapi sekian waktu berlalu, saya malah
mencurigai Degul karena sama sekali tidak pernah unjuk karya yang signifikan. Pertama, ketika hajatan puisi dengan
tajuk malam puisi Balikpapan. Acara pertama hingga ketiga, Degul tidak membaca
puisi. Alasannya, “Kacamata ketinggalan.”
Kedua,
kalau Degul seorang sarjana dan menyukai tulis-menulis, tentunya ada
tulisan-tulisannya yang bisa menjadi bukti bahwa Degul memang seperti apa yang
diaku-akunya. Ternyata, nol besar. Tata bahasa dan ejaan sangat belepotan.
Ketiga,
Degul memiliki sebuah kelompok, dan pernah membuat satu buku bersama. Lucunya,
para kontributor diwajibkan untuk membeli buku itu, ditambah beli kaus oblong
dan topi yang tertera nama kelompok mereka. Busyet!
Saya pernah menyampaikan perihal
pengalaman saya mengenai buku karya gabungan yang tidak semacam itu, termasuk
seperti hajatannya Lia. Degul bersikukuh dengan sikapnya, padahal masa itu
tidak satu puisinya pernah bergabung dengan sebuah buku yang melalui tahap
kurasi yang ketat. Ya, sudah, saya tidak perlu lagi menyampaikan apa-apa
padanya.
Orang-orang di sekitar saya masih
teguh pada kepercayaan terhadap Degul. Sementara saya mulai curiga, dan risih.
Risihnya saya, Degul selalu berusaha duduk dekat saya apabila ada acara sastra
seakan-akan kemampuannya berada sejajar dengan saya. Hal paling menjengkelkan
dan saya tegur secara terbuka adalah ketika acara sastra di Tana Paser-Grogot,
dimana Degul seenaknya bicara dengan suara yang mengganggu penjelasan saya
kepada adik-adik penyuka tulis-menulis.
Kepalingparahan Degul adalah tidak
melakukan kewajiban setelah menerima haknya. Ya, soal rancangan bangunan
seperti yang saya tulis di awal tadi. Dengan sangat tidak manusia, Degul
menyampaikan kepada beberapa kawan, bahwasannya Degul berniat membayarnya. Luar
biasa dusta yang disebarkan Degul!
Oleh karenanya, dengan tidak perlu repot-repot seolah seorang
pahlawan, sejak 18 Oktober 2014 saya pun mengundurkan diri dari seluruh
kegiatan berkesenian secara kolektif, khususnya tulis-menulis dan pers
mahasiswa, di Balikpapan. Kepada beberapa orang muda Balikpapan saya sampaikan
bahwa saya tidak akan mengajari atau membimbing mereka dalam kegiatan
tulis-menulis lagi, kecuali kalau media massa cetak industrial di Balikpapan
atau Kaltim sudah mampu menghargai hak intelektual para penulis luar
(kontributor tulisan).
Kini saya seorang diri–meninggalkan orang-orang yang tidak
pernah memahami pentingnya honor bagi penulis luar. Saya memerdekakan diri, dan
tidak sudi lagi terlibat dalam penjajahan pers kapitalis di Balikpapan atau
Kaltim. Lebih baik saya memerdekakan diri daripada sepakat pada sikap Sarwan,
Demun, Zainab, Oji, Lia, dan Degul
dalam pengisapan (eksploitasi) isi otak dan sumsum para calon penulis di Kota
Minyak ini. Lebih baik saya ‘dimusuhi’ oleh mereka daripada sepakat atas
tindakan eksploitasi itu.
Ya, saya sudah merdeka bersama Indonesia yang baru saja
merayakan ulang tahun ke-70 (merdeka dari segala bentuk imperialisme asing
dalam arti sesungguhnya). Namun di Balikpapan atau Kaltim masih saja terjadi
‘penjajahan’, khususnya ‘penjajahan intelektual’, terhadap generasi mudanya
sendiri. Hal ini jelas lebih kejam daripada melakukan kerja rodi zaman
penjajahan Belanda maupun romusha zaman penjajahan Jepang karena ‘penjajahan’
kali ini dilakukan oleh sesama bangsa sendiri.
Saya memilih merdeka (sendirian) di Balikpapan daripada
tergabung dalam bagian penjajahan media massa cetak industrial beratas nama
solidaritas kolektif dengan Sarwan, Demun, Zainab, Oji, Lia, dan Degul. Kemerdekaan
saya dalam berkarya seorang diri saya ungkapkan melalui ketekunan saya menulis puisi,
cerpen, esai, dan buku yang dimuat di media massa, dan saya terbitkan. Selain
buku, dan karya tulis-menulis saya yang masih muncul di media massa, hal paling
telak adalah esai saya “Kemiskinan Sastra dalam Provinsi Terkaya di Indonesia”
meraih Juara I dalam Lomba Menulis Esai se-Kaltim dan Kaltara yang
diselenggarakan oleh Kantor Bahasa Kaltim pada Agustus-Oktober 2016.
18 Oktober 2014 saya memang berhenti
mengajari orang-orang muda Balikpapan dalam tulis-menulis tetapi saya tetap
tekun untuk berkarya sebab menulis merupakan kegiatan individual. Bukan ketika
berada obrolan dan berkelompok-kelompok maka seseorang bisa mahir dalam tulis-menulis.
Itu yang sudah saya buktikan kepada mereka. Merdeka!
*******
Tidak ada komentar:
Posting Komentar