Selasa, 18 April 2017

Tidak Mengajari Perihal Tulis-Menulis

18 Oktober 2014 adalah suatu tanggal sakral bagi saya untuk tidak lagi merepotkan diri dengan mengajari tulis-menulis kepada orang-orang muda di Balikpapan. Tanggal tersebut bertepatan dengan hajatan baca puisi yang tidak saya kunjungi karena pengkhianatan (penipuan/pendustaan) seorang bukan penyair–sebut saja Degul–tetapi pendusta, termasuk urusan bayar-membayar karya arsitektur bikinan saya.

Saya memang sudah berhenti memotivasi dan mengajari perihal tulis-menulis kepada sebagian generasi muda Balikpapan, termasuk di RT kami, dalam kepenulisan. Selama 6,5 tahun menetap di Balikpapan saya berusaha mendampingi sebagian putera-puteri daerahnya untuk giat menulis sebagai pilihan berbudaya ketika tidak bisa melukis, mengartun, menari, menyanyi, memusik, mematung, mengukir, membatik dan menyeni lainnya.  

Awalnya, 2009, saya datang ke Kota Minyak, dan, tidak sampai satu bulan saya sudah andil dalam kegiatan tulis-menulis bagi generasi muda melalui sebuah komunitas seni. Saya memang nekat–sebuah keberanian yang konyol–menyisihkan sebagian waktu, selain untuk bekerja dan berkeluarga. Saya pun menolak ajakan ketua Dewan Kesenian Balikpapan untuk bergabung karena saya menyukai sebuah kelompok kecil yang sama sekali tidak setenar nama “dewan kesenian”.  

Pendidikan formal saya sangat tidak berkaitan dengan kegiatan tulis-menulis apalagi seni sastra. Akan tetapi, kegemaran saya dalam tulis-menulis sudah dimulai ketika SMA (1989), meski masih dalam lingkup sekolah, melalui majalah sekolah. Saya menulis cerpen dan puisi, selain membuat kartun dan ilustrasi. Saya tidak memiliki prestasi apa pun dalam pelajaran Bahasa Indonesia. Alasan utama saya, jurusan pilihan saya ketika itu adalah Fisika (A1).  

Pendidikan tinggi-formal saya pun tidak mengandalkan kemampuan tulis-menulis. Ya, program studi Arsitektur lebih menekankan kepada kemampuan merancang bangunan dengan garis, analisa ruang,  dan notasi arsitektural. Tulisan panjang-lebar harus diminimalisasi karena gambar menjadi bagian utama sebagai komunikator-representator gagasan.

Akan tetapi, sebelum menjalani OSPEK apalagi kuliah di program studi Arsitektur Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY) 1991, saya sudah bergabung dalam pers mahasiswa tingkat fakultas (Majalah Mahasiswa Teknik Sigma). Itu pun cukup pada posisi ilustrator.  

Saya tidak menjalani proses tulis-menulis secara jelas-nyata di pers mahasiswa. Saya hanya asyik mengartun dan mengilustrasi. Berbeda dengan rekan-rekan saya, yang dibimbing sejak dari awal (0/nol). Akan tetapi, ketika rekan-rekan diajarkan tentang bagaimana menulis, dari memindahkan (translate) hasil wawancara ke komputer, mengolah menjadi sebuah berita, hingga sebagian lainnya membuat tulisan opini, diam-diam saya ‘menguping’ dan memerhatikan proses mereka.  

Selain itu, dengan kemampuan kiriman uang bulanan (Rp.100.000,00 /bulan tahun 1991) yang minimalis, saya nekat membeli majalah, yaitu Humor, Tempo, dan Forum Keadilan di koperasi kampus. Di samping untuk menambah wawasan mengenai kartun (gag cartoon dan political cartoon/editorial cartoon), dan realitas politik versi media massa, juga untuk memelajari teknik menulis opini atau artikel ilmiah populer. Dua-tiga tahun kemudian baru saya berlangganan harian lokal, yaitu Bernas, lalu harian nasional, yakni Kompas.

Dengan kemauan dan kemampuan ‘menguping’ pembelajaran tulis-menulis rekan-rekan, saya mencoba membuat tulisan iseng-iseng seperti yang sering saya jumpai di Majalah Humor.   Tahun berikutnya, sekitar 1994/1995, selain membuat kartun opini, saya mulai menulis artikel opini serius, dan dimuat di Majalah Cita Jaya–sebuah terbitan yang dikelola oleh kalangan sivitas akademika UAJY. Media kampus yang sama sekalI tidak bertabur iklan itu  berani memberi honor kepada kontributor (penulis lepas). Pernah terjadi, empat tulisan, dua kartun opini, dan satu ilustrasi, dimuat dalam satu edisi. Satu tulisan diharga Rp. 15.000,00 dan satu ilustrasi/kartun dihargai Rp. 5.000,00 dengan total Rp. Rp.75.000,00 atau kini (2015) bisa dikalikan 10 alias totalnya Rp 750.000,00.  

Alangkah senangnya saya ketika itu. Semangat untuk menulis pun semakin menyala, apalagi honor bisa saya pakai untuk berlangganan media massa, dan membeli buku sosial-politik, yang sebenarnya sangat ditentang oleh keluarga saya ketika mengetahui bahwasannya saya ‘berselingkuh’ bidang studi. Saya tidak perlu bingung mengisi ‘asupan’ pemikiran saya. Saya pun, sampai sekarang, tetap bangga pada majalah almamater saya itu karena tidak menjadikan kontributor sebagai ‘sapi perah’ belaka, melainkan memanusiakan, dimana kebutuhan berpikir berupa buku dan lain-lain dapat diantisipasi melalui honor .  

Tahun berikutnya barulah saya keluar ‘kandang’ alias mengirim tulisan ke media massa lokal, dan dimuat sekaligus diberi honor oleh Minggu Pagi Yogyakarta. Honornya, Rp. 15.000,00. Kemudian saya mengirim tulisan ke media lokal daerah saya sendiri, yaitu Bangka Pos, dimuat dan diberi honor. Setelah mulai dari kampus, dan dua media lokal, barulah saya ‘berani’ (percaya diri) mengirim tulisan ke media nasional, serta mengikuti lomba menulis esai, cerpen, dan puisi, baik tingkat lokal (Yogyakarta, Bangka, Riau, Pekanbaru) maupun nasional (tentunya Jakarta sebagai Ibukota Indonesia).  

Dalam pergaulan lintas bidang studi dan daerah selama sekian tahun saya sering menemukan kegairahan orang-orang dalam tulis-menulis. Honor pun, jelas, bukanlah sesuatu yang tabu atau rahasia untuk dibicarakan dan diraih dengan semangat intelektual mereka. Tulis-menulis menjadi budaya yang nyata, honor melengkapi kebanggaan dalam kebersamaan dan maju-berkembang bersama, dan proses regenerasi penulis dapat terjadi dalam iklim yang kondusif karena media massa industrial di daerah mereka sudah memahami bahawa tulisan merupakan sebuah karya intelektual.  

Menulis merupakan sebuah kerja budaya-intelektual, tentunya, berbeda dengan, maaf, pipis (kencing) ketika bangun tidur. Artinya, dari gagasan, diolah dengan ini-itu, sampai menjadi sebuah tulisan bukanlah seperti kebelet pipis dan segera mengucur deras ketika berada di sebuah toilet atau di balik tembok. Tentunya sangat keterlaluan jika menulis disamakan dengan membuang hajat, bukan?  

Saya semakin mengerti bahwa sebuah tulisan merupakan karya intelektual yang dilindungi oleh hukum dengan sebutan keren “Hak Kekayaan Intelektual” adalah ketika menjadi seorang pembicara dalam sebuah seminar nasional di Yogyakarta dan Jakarta (2001) setelah sebuah artikel esai saya masuk nominasi dan dimuat dalam buku Bunga Rampai Esai HAKI (Jakarta, 2001). Paling tidak, ketika sebuah karya tulis dimuat oleh sebuah media kapitalis, honor seberapa rupiah pun, menjadi konsekuensi logis bagi media dan penulisnya.     

Bekerja di bidang saya sendiri, yakni arsitek, dan bergaji jutaan rupiah per bulan, tidaklah menyurutkan hasrat-semangat kepenulisan saya. Kalau sudah telanjur cinta, ‘perselingkuhan intelektual’ tetap laju-lancar jaya!

Ya, ‘berselingkuh intelektual’ sudah menjadi gaya hidup saya. Honor pemuatan karya tetap saya ambil karena bisa saya pergunakan untuk membeli buku sastra, menraktir kawan-kawan minum kopi di pinggir jalan Daan Mogot, Jakarta Barat, atau membeli kudapan dan kopi di dekat pintu masuk Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin, Taman Ismail Marzuki.  

Akan tetapi, ketika mulai menetap di Balikpapan, saya merasa bagian wilayah Kalimantan Timur (Kaltim) ini tidaklah seperti daerah-daerah lain yang pernah saya tempati. Bertahun-tahun seorang begawan sastra lokal, yaitu Korrie Layun Rampan, berada di provinsi ini dengan menghasilkan ratusan buku (saya memiliki sebagian saja, yaitu Aliran-Jenis Cerita Pendek, Apresiasi Cerita Pendek 1, Apresiasi Cerita Pendek 2, dan Tokoh-Tokoh Cerita Pendek), saya sama sekali tidak merasakan adanya “budaya tulis-menulis” sebagai bagian dalam realitas pergaulan penduduknya.  

Di Kota Minyak ini berdiri dua media massa cetak industrial yang berafiliasi dengan dua media besar nasional, seperti pula daerah asal saya, Bangka Belitung. Kedua media tersebut menyebarkan media komersialnya ke seluruh Kaltim, yang waktu itu belum terbentuk Kalimantan Utara (Kaltara). Di kedua media besar tingkat lokal tersebut bercokol pula kawan-kawan saya, yang bersinergi di sebuah komunitas.   

Saya selalu berpartisipasi secara aktif dalam pembelajaran tulis-menulis, tetapi kawan-kawan saya (yang bekerja di pers industrial itu) jarang sekali benar-benar mau terlibat langsung. Alasan mereka, 1) pekerjaan yang padat; 2) sudah berkeluarga. Padahal seorang di antaranya, sebut saja Sarwan, adalah putera daerah Balikpapan sendiri, bahkan dengan gamblang beralasan, “Banyak orang yang berani membayar berapa saja agar tulisan mereka dimuat media.”  

Ya, selain merupakan putera daerah asli Balikpapan, Sarwan juga alumni fakultas terkait dari sebuah perguruan tinggi negeri di Jawa Timur, dan kini hidup mapan secara ekonomi dengan bekerja di sebuah media massa besar di Kaltim. Tentu saja Sarwan sudah memiliki rumah sendiri, ditambah sebuah mobil. Artinya, tempat dan transportasi aman.

Akan tetapi, yang saya sesalkan pada diri Sarwan, adalah: 1) Putera daerah; 2) Tulis-menulis adalah bidang studinya; 3) Bekerja dengan posisi penting di media massa lokal; 4) Berekonomi mapan, tetapi sama sekali Sarwan tidak pernah mau terjun secara intens alias sesekali saja untuk meregenerasi penulis-penulis muda di daerahnya sendiri (kampung halamannya sendiri) dengan daya tarik penting-intelektual bernama “honor”.  

Sementara saya, 1) bukan putera daerah asli Balikpapan atau Kaltim; 2) menekuni gambar-menggambar adalah bidang studi saya; 3) bekerja sebagai arsitek mandiri; dan 4) berekonomi serampangan, tetapi selama 5 tahun malah aktif mengajak sebagian orang muda Balikpapan untuk giat menulis. Sungguh keaktifan yang sangat konyol. Lalu, ketika saya menyampaikan betapa pentingnya honor agar calon-calon penulis muda yang belum berekonomi mapan itu bergairah untuk berkarya, ternyata tidak dianggapnya penting.  

Seorang lainnya, sebut saja Demun, pernah menjadi redaktur media massa di Bangka, dan kini menjadi redaktur sebuah media massa cetak industrial di Balikpapan, yang media cetaknya menyebar luas dari Kaltim hingga Kaltara. Tetapi, lagi-lagi, tidak pernah melibatkan diri dalam pembelajaran tulis-menulis maupun pers mahasiswa di Balikpapan. Demun juga tidak peduli soal motivasi dan semangat tulis-menulis di kalangan orang muda Balikpapan. Apa yang pernah dialaminya di Bangka, ternyata tidak bisa diterapkannya di Balikpapan.  

Selain itu, sebuah media massa cetak besar di Kaltim tidak menyediakan ruang untuk rubrik sastra. Kalau untuk rubrik iklan, bisa berhalaman-halaman. Sementara sebuah media lainnya menyediakan ruang untuk cerpen tetapi sama sekali tidak memberi honor bagi penulisnya. Saya maklum karena redakturnya tidak pernah merasakan betapa senangnya cerpen dimuat dan mendapat honor. Dan, saya pun maklum bahwa kedua media massa cetak tersebut sama sekali tidak memahami bahwa menulis merupakan kerja budaya, dan tulisan merupakan hak atas kekayaan intelektual, yang harus dibayar melalui honorarium.  

Ada lagi, mantan rekan saya, sebut saja Zainab, di pers mahasiswa tingkat fakultas dulu, yang kini menetap di Balikpapan dengan tingkat ekonomi yang sangat mapan. Tulisan Zainab sering dimuat di media massa Kaltim. “Honor tidak usah. Yang penting pemikiran saya disebarluaskan,” ungkapnya suatu waktu.  

Saya maklum karena saya kenal siapa Zainab. Ketika menjadi mahasiswa, tunjangan bulanan Zainab memang selalu tercukupi oleh orangtuanya yang cukup kaya. Kini, dalam kemapanan ekonomi yang signifikan, tentu saja, honor yang tidak seberapa itu sangatlah tidak penting.  Lebih dari mampu jika hanya membayar fasilitas internet, membeli buku, dan membeli teh/kudapan untuk menemaninya menulis.  

Pernah suatu waktu saya terlibat sepenuhnya dalam pembelajaran pers mahasiswa di sebuah universitas. Sebagai mantan aktifis pers mahasiswa, tentu saja, saya harus mampu mengajari mereka mengenai dunia penerbitan kampus. Untuk melengkapi pengetahuan mereka, saya pun menulis seputar pers mahasiswa dan kegiatan sastra, lalu mengirimkannya ke media massa lokalnya supaya bisa diarsip dan dibaca berulang-ulang. Lebih dari 10 tulisan saya dimuat, dan tidak mendapat honor, tetapi saya relakan demi regenerasi penulis di Balikpapan.  

Seorang mahasiswa, sebut saja Parmin, yang bercita-cita menjadi penulis, pun giat berlatih, dan satu tulisannya pernah dimuat di media lokal. Akan tetapi, cukup satu kali itu. Parmin tidak lagi mengirimkan tulisannya karena tidak ada honor. Saya mengerti, Parmin pasti ‘kecewa’. Tetapi saya khawatir kalau Parmin menanyakan honor kepada media itu, bukanlah mustahil awak media itu akan menjawab, “Gus Noy saja tidak minta honor, lha kok kamu minta honor?” Ya, saya khawatir, nama saya menjadi salah satu bahan ‘mematikan’ antusiasme Parmin dan kawan-kawannya dalam tulis-menulis.  

Parmin pun pernah menanyakan perihal honorarium bagi seorang penulis kepada F.X. Rudi Gunawan dalam sebuah acara di Balikpapan, tetapi Parmin justru dimarahi oleh seorang ‘senior’ kesenian, sebut saja Oji, bahwa pertanyaan itu sangat tidak patut ditanyakan kepada seorang penulis besar dan dalam acara besar pula.  

Saya maklum atas kemarahan Oji itu lantaran Oji tidak pernah menekuni kegiatan tulis-menulis sejak masa mahasiswa di Yogyakarta. Oji tidak pernah memahami betapa menulis itu sebagai sebuah kerja budaya-intelektual dan layak mendapat ‘penghargaan’ (honor), dan sama sekali tidak pernah menekuni kegiatan tulis-menulis tetapi, kalau berada dalam obrolan sekian orang, Oji selalu berkata, “Ayo nulis!”. Sayangnya, tidak pernah merasakan gaya hidup tulis-menulis apalagi honor, sudah seolah omongannya menjadi “sabda Tuhan”.  

Saya pun menyampaikan kepada Parmin dan beberapa kawan lainnya bahwa selama lebih sepuluh tahun saya menekuni tulis-menulis dan membaca media massa saya belum pernah membaca sebuah berita tentang adanya sebuah perusahaan media massa akhirnya “gulung kertas” alias bangkrut gara-gara membayar honor para penulis luar. Sedangkan media massa cetak industrial di Balikpapan dan Kaltim selalu memberi halaman bagi iklan. Artinya, perusahaan media di Balikpapan dan Kaltim itu pelit (kikir) dan sangat rakus. Kapitalisme bin kanibalisme, ya, begini.  

Itulah pula saya tertawa ketika seorang kawan–sebut saja Kamso–mengajak saya berpikir mengenai ekonomi kreatif di kalangan orang muda Balikpapan. Media massa cetaknya pun sempat mengangkat perihal ekonomi kreatif. Sepele sajalah. Lha wong memberi honor bagi penulis yang karyanya dimuat saja tidak pernah ada, kok tidak malu memampang judul berita berfrase “ekonomi kreatif”? Menulis itu memerlukan kreativitas tertentu. Tapi kalau tidak diberi honor, bisa jadi nantinya “ekonomi kere-aktif”.  

Begitulah, selama 6,5 tahun tinggal di Balikpapan Kota Internasional dengan media massa mencakup seluruh Kaltim hingga Kaltara ini, saya belum benar-benar merasakan kegairahan orang-orang mudanya dalam tulis-menulis. Kawan-kawan saya, yaitu Zainab, dan Oji sama sekali tidak menekuni dunia tulis-menulis tadi, sampai mereka meninggal kelak pun tidak akan pernah memahami arti “honor” seberapa rupiah pun bagi calon-calon penulis di Kota Minyak ini.  

Kawan-kawan lainnya, yaitu Sarwan dan Demun, yang sama-sama menempati posisi penting di media massa cetak industrial, pun tidak peduli, bagaimana menumbuh-kembangkan calon-calon generasi penulis di Balikpapan maupun Kaltim. Hal ini justru sangat miris bagi saya. Seharusnya kedua makhluk ini berperan penuh dalam budaya tulis-menulis di Balikpapan, dan Kaltim.   

Hal lainnya, yang saya amati, tulis-menulis dan karya dimuat media merupakan sebuah upaya pencitraan diri bagi kontributornya. Dengan terpampang foto wajah mereka, pencitraan dan pengultusan menjadi gamblang. Walaupun lebih dari sepuluh tulisan saya dimuat di sebuah media cetak Kaltim, tidak pernah ada satu foto diri saya, baik berukuran pas foto maupun satu badan penuh.  
Meskipun saya ganteng (dibanding orangutan yang sudah dioperasi plastik), saya tidak pernah mau foto diri saya ditampilkan karena akan menjadi “berhala diri”. Itu karena saya sudah terbiasa membaca tulisan-tulisan, baik opini, esai, dan lain-lain, di media cetak yang tidak terpampang foto (wajah) kontributornya. Satu contohnya tulisan-tulisan opini di rubrik opini Kompas. Wajah tidaklah penting, kecuali nama (tanpa perlu saya beri gelar pendidikan) dan tulisan.  

Dan beberapa kontributor yang wajahnya terpampang dengan mendompleng tulisan, sebagian adalah kawan-kawan saya, yang sudah berada dalam taraf ekonomi mapan. Saya menyebut “mapan” adalah dalam satu bulan mereka sudah aman dengan angka sekian juta rupiah dari pekerjaan mereka. Mereka tidak pernah mengalami masa mahasiswa yang tekun menulis suatu karya agar dimuat dan mendapat honor untuk menambah uang bulanan kuliah. Artinya, mereka tidak pernah bermasalah dalam segi kekurangan uang kuliah dan hura-hura.  

Perjuangan saya untuk pengadaan honor bagi kontributor sebuah media massa cetak industrial, khususnya kalangan muda, sama sekali tidak dianggap penting bahkan di antara mereka menuduh saya “materialis”. Padahal saya memikirkan, apa yang bisa didapatkan oleh calon-calon penulis itu, selain karya tulis mereka dimuat. Toh media cetak itu dijual dan memuat bejibun iklan.  

Ya, selama sekian tahun itu mereka sama sekali tidak pernah melihat seberapa keras saya berjuang dalam memotivasi dan pembelajaran tulis-menulis untuk kalangan muda Balikpapan. Kalau honor tidak ada, apa gunanya menulis? Bukankah pulsa modem, kopi/teh, kudapan, dan buku tidak bisa dibeli dengan kertas berisi tulisan yang dimuat media, ‘kan?  

Dengan selalu memerjuangkan honorarium itu saya tiba-tiba menjelma seorang pengemis intelektual demi regenerasi penulis muda di Kota Minyak ini. Sungguh sangat memalukan; pengemis intelektual. Sudah materialis, ditambah “pengemis intelektual”. Sarwan, Demun, Zainab, dan Oji pun tidak pernah melihat bagaimana ketekunan saya menulis, membaca, menyisihkan uang bulanan untuk mengisi otak saya, mengirimkan naskah, dimuat media massa, mendapat honor, atau mengikuti lomba menulis dan mendapat hadiah.

Ada lagi nih, si Lia. Lia seorang Sarjana Sastra, dan bergabung dengan sebuah penerbitan buku swakelola di luar Balikpapan. Saya pernah menyarankan, sebaiknya Lia membuat penerbitan sendiri di Balikpapan, bukannya mendompleng penerbitan nun di seberang sana. Sayangnya Lia tidak mau. Saya anggap, Lia justru tidak mau mandiri, dan mengibarkan nama penerbitan sendiri di daerahnya sendiri.

Suatu waktu Lia menyampaikan pada saya mengenai rencana mengadakan sebuah hajatan buku, seperti juga pada 2012. Saya diajak ikut bergabung lagi.

Saya menanyakan, apakah para kontributor akan mendapat satu buku sebagai bukti pemuatan karya mereka. Lia menjawab, tidak karena pembiayaan buku dilakukan secara mandiri.

Tentu saja saya menolak ajakannya karena bukti berupa buku merupakan suatu penghargaan atas hak intelektual kontributor. Lia sangat tidak memahami itu, bahkan berusaha tidak sudi memahami. Ya, sudah, terserahlah, dan saya tidak akan pernah mau berpartisipasi lagi.   
  

Paling parah adalah Degul. Manusia satu ini diperkenalkan oleh Oji pada saya pada suatu malam. Kata Oji, Degul seorang kontraktor bangunan yang sangat menyukai sastra. Degul juga mengaku Sarjana Teknik Jurusan Teknik Sipil tamatan entah perguruan tinggi apa di Sumatera sana. Sayangnya, saya tidak menanyakan mengenai hal-hal akademisi terkait bidang yang diaku-akunya.

Dalam hal berbicara agama-iman, Degul sangat fasih. Ya, memang begitu. Kalau dalam obrolan dengan sekian orang menyangkut soal puisi, waduh, isinya tambal-sulam dari pendapat saya. Tidak sedikit yang percaya bahwa Degul seorang penyair, dan puisinya pernah dimuat oleh media massa di Sumatera.

Tapi sekian waktu berlalu, saya malah mencurigai Degul karena sama sekali tidak pernah unjuk karya yang signifikan. Pertama, ketika hajatan puisi dengan tajuk malam puisi Balikpapan. Acara pertama hingga ketiga, Degul tidak membaca puisi. Alasannya, “Kacamata ketinggalan.”

Kedua, kalau Degul seorang sarjana dan menyukai tulis-menulis, tentunya ada tulisan-tulisannya yang bisa menjadi bukti bahwa Degul memang seperti apa yang diaku-akunya. Ternyata, nol besar. Tata bahasa dan ejaan sangat belepotan.

Ketiga, Degul memiliki sebuah kelompok, dan pernah membuat satu buku bersama. Lucunya, para kontributor diwajibkan untuk membeli buku itu, ditambah beli kaus oblong dan topi yang tertera nama kelompok mereka. Busyet!

Saya pernah menyampaikan perihal pengalaman saya mengenai buku karya gabungan yang tidak semacam itu, termasuk seperti hajatannya Lia. Degul bersikukuh dengan sikapnya, padahal masa itu tidak satu puisinya pernah bergabung dengan sebuah buku yang melalui tahap kurasi yang ketat. Ya, sudah, saya tidak perlu lagi menyampaikan apa-apa padanya.

Orang-orang di sekitar saya masih teguh pada kepercayaan terhadap Degul. Sementara saya mulai curiga, dan risih. Risihnya saya, Degul selalu berusaha duduk dekat saya apabila ada acara sastra seakan-akan kemampuannya berada sejajar dengan saya. Hal paling menjengkelkan dan saya tegur secara terbuka adalah ketika acara sastra di Tana Paser-Grogot, dimana Degul seenaknya bicara dengan suara yang mengganggu penjelasan saya kepada adik-adik penyuka tulis-menulis.

Kepalingparahan Degul adalah tidak melakukan kewajiban setelah menerima haknya. Ya, soal rancangan bangunan seperti yang saya tulis di awal tadi. Dengan sangat tidak manusia, Degul menyampaikan kepada beberapa kawan, bahwasannya Degul berniat membayarnya. Luar biasa dusta yang disebarkan Degul!

Oleh karenanya, dengan tidak perlu repot-repot seolah seorang pahlawan, sejak 18 Oktober 2014 saya pun mengundurkan diri dari seluruh kegiatan berkesenian secara kolektif, khususnya tulis-menulis dan pers mahasiswa, di Balikpapan. Kepada beberapa orang muda Balikpapan saya sampaikan bahwa saya tidak akan mengajari atau membimbing mereka dalam kegiatan tulis-menulis lagi, kecuali kalau media massa cetak industrial di Balikpapan atau Kaltim sudah mampu menghargai hak intelektual para penulis luar (kontributor tulisan).  

Kini saya seorang diri–meninggalkan orang-orang yang tidak pernah memahami pentingnya honor bagi penulis luar. Saya memerdekakan diri, dan tidak sudi lagi terlibat dalam penjajahan pers kapitalis di Balikpapan atau Kaltim. Lebih baik saya memerdekakan diri daripada sepakat pada sikap Sarwan, Demun, Zainab, Oji, Lia, dan Degul dalam pengisapan (eksploitasi) isi otak dan sumsum para calon penulis di Kota Minyak ini. Lebih baik saya ‘dimusuhi’ oleh mereka daripada sepakat atas tindakan eksploitasi itu.  

Ya, saya sudah merdeka bersama Indonesia yang baru saja merayakan ulang tahun ke-70 (merdeka dari segala bentuk imperialisme asing dalam arti sesungguhnya). Namun di Balikpapan atau Kaltim masih saja terjadi ‘penjajahan’, khususnya ‘penjajahan intelektual’, terhadap generasi mudanya sendiri. Hal ini jelas lebih kejam daripada melakukan kerja rodi zaman penjajahan Belanda maupun romusha zaman penjajahan Jepang karena ‘penjajahan’ kali ini dilakukan oleh sesama bangsa sendiri.

Saya memilih merdeka (sendirian) di Balikpapan daripada tergabung dalam bagian penjajahan media massa cetak industrial beratas nama solidaritas kolektif dengan Sarwan, Demun, Zainab, Oji, Lia, dan Degul. Kemerdekaan saya dalam berkarya seorang diri saya ungkapkan melalui ketekunan saya menulis puisi, cerpen, esai, dan buku yang dimuat di media massa, dan saya terbitkan. Selain buku, dan karya tulis-menulis saya yang masih muncul di media massa, hal paling telak adalah esai saya “Kemiskinan Sastra dalam Provinsi Terkaya di Indonesia” meraih Juara I dalam Lomba Menulis Esai se-Kaltim dan Kaltara yang diselenggarakan oleh Kantor Bahasa Kaltim pada Agustus-Oktober 2016.

18 Oktober 2014 saya memang berhenti mengajari orang-orang muda Balikpapan dalam tulis-menulis tetapi saya tetap tekun untuk berkarya sebab menulis merupakan kegiatan individual. Bukan ketika berada obrolan dan berkelompok-kelompok maka seseorang bisa mahir dalam tulis-menulis. Itu yang sudah saya buktikan kepada mereka. Merdeka!

*******

Panggung Renung Balikpapan, 2015-2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar