Dalam hal
pertarungan puisi, khususnya kurasi untuk tergabung dalam buku bersama lintas
generasi dan wilayah, saya sering menemukan nama sekaligus karya Bambang
Widiatmoko (kelahiran Yogyakarta, 26 Oktober 1960), Budhi Setyawan (kelahiran
Purworejo, Jawa Tengah, 9 Agustus 1969), Ali Syamsudin Arsy (kelahiran Barabai,
Kab. Hulu Sungai Tengah, Kalimantan Selatan, 1964), dan lain-lain. Usia mereka
di atas usia saya alias mereka lebih tua tetapi semangat bertarung masih
bergelora.
Saya memang berbeda
dengan mereka, baik pendidikan maupun sosialitas (komunitas). Mereka berlatar
pendidikan sosial, berfokus dalam puisi, dan memiliki komunitas di daerah
domisili masing-masing. Sementara saya arsitek, fokus beragam, dan sama sekali tidak
berkomunitas sastra (sempat pada Maret 2009 – 18 Oktober 2014) di Balikpapan.
Dengan perbedaan di
atas, saya masih berusaha untuk terjun ke arena pertarungan puisi. Saya sangat
menikmati apa pun hasilnya karena kesadaran diri dalam realitas. Menang-kalah atau lolos-tidak lolos merupakan hasil yang lumrah. Menang atau lolos tidak menjadikan saya kaya raya, kalah atau tidak lolos pun tidak menjadikan saya melarat (rugi bandar).
Meskipun setiap
hajatan kurasi puisi saya bagi-pajangkan di media sosial, khususnya Mukabuku (Facebook), saya tidak peduli lagi,
apakah orang-orang Balikpapan berminat ataukah tidak. Saya sudah bosan
mengompori orang-orang itu karena tanggapan mereka sama sekali tidak menarik: "Sibuk". Tetapi
kalau acara baca puisi di panggung, aduhai, semangat mereka sudah seperti para
penyair hebat yang sama sekali tidak memiliki kesibukan mengelola kemampuan ketika sendiri!
Memang saya
terpaksa menjauhi para “penyair” Balikpapan. Semangat saya dan mereka sangat
bertolak belakang. Sejak berada di Kota Minyak ini (10 Maret 2009) saya sudah
melihat perbedaan itu. Semangat bertarung saya mulai sejak menjadi pemain inti
bola voli di SMP, lantas terbawa dalam kegiatan tulis-menulis di Yogyakarta.
Bertarung bukanlah
untuk pembuktian. Bagi saya, bertarung hanya merupakan evaluasi terhadap
perjalanan saya dalam berkarya. Puisi, cerpen, esai, dan kartun, setelah “gantung
bola voli” karena kondisi fisik sangat tidak memungkinkan (pendek, 163 cm!).
Tulis-menulis
merupakan kegiatan individual (sendiri), yang jelas berbeda dengan berolah raga
bola voli. Tulis-menulis bukanlah suatu kegiatan keroyokan karena konsentrasi
personal menjadi satu-satunya kunci untuk berkarya.
Kebetulan saya tidak suka dengan hal-hal keroyokan. Bukan karena saya hebat, melainkan saya selalu berusaha memaksimalkan kemampuan (kapasitas) saya sendiri. Tidak ketinggalan dalam hal pembuatan buku berisi karya tunggal saya, baik puisi, cerpen, esai, gombal, dan kartun.
Kebetulan saya tidak suka dengan hal-hal keroyokan. Bukan karena saya hebat, melainkan saya selalu berusaha memaksimalkan kemampuan (kapasitas) saya sendiri. Tidak ketinggalan dalam hal pembuatan buku berisi karya tunggal saya, baik puisi, cerpen, esai, gombal, dan kartun.
Memang saya paling tidak
menyukai suatu prestasi yang berasal dari belas kasihan atau solidaritas orang-orang
yang mengenal saya. Kalau karya saya layak atau tidak layak diperhitungkan,
semuanya murni berdasarkan kriteria perhitungan itu. Karya adalah bahan
satu-satunya, dan mutlak, untuk diperhitungkan. Bukannya “siapa penciptanya”.
Dengan seringnya
saya melihat nama sekaligus karya para petarung sejati, saya semakin menyukai pertarungan demi
pertarungan karya meski tanpa hadiah bernilai rupiah, apalagi kalau lolos
kurasi, dan karya saya tergabung dengan para petarung sejati dalam sebuah buku
bersama. Paling tidak, karya saya pun terabadikan dalam kebersamaan, kendati
saya sudah menjadi penyendiri di tengah keramaian perayaan sastra di Kota
Beruang Madu.
*******
Panggung Renung,
2017
luar biasa
BalasHapus