Rabu, 26 April 2017

Petarung Sejati

Dalam hal pertarungan puisi, khususnya kurasi untuk tergabung dalam buku bersama lintas generasi dan wilayah, saya sering menemukan nama sekaligus karya Bambang Widiatmoko (kelahiran Yogyakarta, 26 Oktober 1960), Budhi Setyawan (kelahiran Purworejo, Jawa Tengah, 9 Agustus 1969), Ali Syamsudin Arsy (kelahiran Barabai, Kab. Hulu Sungai Tengah, Kalimantan Selatan, 1964), dan lain-lain. Usia mereka di atas usia saya alias mereka lebih tua tetapi semangat bertarung masih bergelora.

Saya memang berbeda dengan mereka, baik pendidikan maupun sosialitas (komunitas). Mereka berlatar pendidikan sosial, berfokus dalam puisi, dan memiliki komunitas di daerah domisili masing-masing. Sementara saya arsitek, fokus beragam, dan sama sekali tidak berkomunitas sastra (sempat pada Maret 2009 – 18 Oktober 2014) di Balikpapan.  

Dengan perbedaan di atas, saya masih berusaha untuk terjun ke arena pertarungan puisi. Saya sangat menikmati apa pun hasilnya karena kesadaran diri dalam realitas. Menang-kalah atau lolos-tidak lolos merupakan hasil yang lumrah. Menang atau lolos tidak menjadikan saya kaya raya, kalah atau tidak lolos pun tidak menjadikan saya melarat (rugi bandar).

Meskipun setiap hajatan kurasi puisi saya bagi-pajangkan di media sosial, khususnya Mukabuku (Facebook), saya tidak peduli lagi, apakah orang-orang Balikpapan berminat ataukah tidak. Saya sudah bosan mengompori orang-orang itu karena tanggapan mereka sama sekali tidak menarik: "Sibuk". Tetapi kalau acara baca puisi di panggung, aduhai, semangat mereka sudah seperti para penyair hebat yang sama sekali tidak memiliki kesibukan mengelola kemampuan ketika sendiri!

Memang saya terpaksa menjauhi para “penyair” Balikpapan. Semangat saya dan mereka sangat bertolak belakang. Sejak berada di Kota Minyak ini (10 Maret 2009) saya sudah melihat perbedaan itu. Semangat bertarung saya mulai sejak menjadi pemain inti bola voli di SMP, lantas terbawa dalam kegiatan tulis-menulis di Yogyakarta.

Bertarung bukanlah untuk pembuktian. Bagi saya, bertarung hanya merupakan evaluasi terhadap perjalanan saya dalam berkarya. Puisi, cerpen, esai, dan kartun, setelah “gantung bola voli” karena kondisi fisik sangat tidak memungkinkan (pendek, 163 cm!).

Tulis-menulis merupakan kegiatan individual (sendiri), yang jelas berbeda dengan berolah raga bola voli. Tulis-menulis bukanlah suatu kegiatan keroyokan karena konsentrasi personal menjadi satu-satunya kunci untuk berkarya.

Kebetulan saya tidak suka dengan hal-hal keroyokan. Bukan karena saya hebat, melainkan saya selalu berusaha memaksimalkan kemampuan (kapasitas) saya sendiri. Tidak ketinggalan dalam hal pembuatan buku berisi karya tunggal saya, baik puisi, cerpen, esai, gombal, dan kartun.

Memang saya paling tidak menyukai suatu prestasi yang berasal dari belas kasihan atau solidaritas orang-orang yang mengenal saya. Kalau karya saya layak atau tidak layak diperhitungkan, semuanya murni berdasarkan kriteria perhitungan itu. Karya adalah bahan satu-satunya, dan mutlak, untuk diperhitungkan. Bukannya “siapa penciptanya”.

Dengan seringnya saya melihat nama sekaligus karya para petarung sejati, saya semakin menyukai pertarungan demi pertarungan karya meski tanpa hadiah bernilai rupiah, apalagi kalau lolos kurasi, dan karya saya tergabung dengan para petarung sejati dalam sebuah buku bersama. Paling tidak, karya saya pun terabadikan dalam kebersamaan, kendati saya sudah menjadi penyendiri di tengah keramaian perayaan sastra di Kota Beruang Madu.  

*******


Panggung Renung, 2017

1 komentar: