Selasa, 18 April 2017

Sekali Lagi, Tidak Akan Mengajari Tulis-Menulis

Setelah saya berhasil menjuarai Lomba Menulis Esai 2016 itu, beberapa kawan meminta saya memberi materi penulisan. Semula saya tertarik untuk menyanggupi karena, saya pikir, mereka serius. Beberapa waktu kemudian saya batalkan.

Lho, mengapa?

Kejadian awalnya, seorang di antara mereka hendak mengikuti suatu lomba, dan dia memajang sebagian tulisannya di media sosial. Ada beberapa kesalahan, yang kemudian saya bantu untuk dikoreksi kembali. Dia tidak menerima koreksi, bahkan… Ah, sudahlah.

Bagaimana saya bisa mengajari jika belum apa-apa sudah begitu, seakan dia sudah melampaui saya? Kalau memang dia sudah melampaui saya, lebih baik dia saja yang mengajari kawan-kawan itu, ‘kan?

Selanjutnya, dengan status pendidikan mereka yang sudah sarjana alias lulus ujian skripsi, pengajaran tulis-menulis bukanlah perkara mudah. Pertama, kesetaraan status pendidikan; sesama sarjana. Dengan kesetaraan pendidikan, ego menjadi pertaruhan yang serius. Dan seterusnya.

Kedua, waktu. Seminggu satu kali, atau dua minggu sekali, atau, bagaimana?

Sebagian besar sudah bekerja, bahkan berumah tangga. Apakah mereka mau memberi sedikit waktu untuk saya ajarkan seperti ketika saya begitu suntuk belajar di pers kampus?

Tulis-menulis pun bukanlah suatu kegiatan yang cepat-instan. Waktu pun tidak bisa diukur dengan jumlah (kuantitas). Keseriusan dari niat menjadi kunci utama, bukannya niat segera mahir lantas cepat menepuk dada!

Proses tidak bisa diukur dengan waktu. Fokus-serius dapat memangkas waktu, selain materi yang tepat-sederhana. Sementara saya harus menyiapkan materi, tentunya. Tetapi saya tidak bekerja seperti mereka, alias pendapatan bulanan saya tidak sebesar yang mereka peroleh setiap bulan. Tersering saya tidak memiliki pendapatan serupiah pun!

Waktu adalah uang, begitulah idiom yang dipahami oleh kalangan profesional, dan kepala keluarga. Mereka bisa menyisihkan waktu dengan jaminan finansial sudah beres untuk keluarga. Lha, saya bagaimana? Pengajarannya gratis lagi, ya?

Lebih baik dengan kemampuan finansial yang sangat memadai itu mereka membayar seorang pengajar yang selalu siap mengajar mereka dengan materi yang mujarab. Sementara saya tidak perlu membuang waktu yang sebenarnya berbayar, ‘kan?

Ketiga, tempat.  Saya harus mengukur tempat dengan jarak karena berkaitan erat dengan biaya transportasi untuk suatu kegiatan gratis. Jarak pun berkaitan dengan waktu. Dan seterusnya.

Bagi saya, tempat yang tidak perlu repot saya jangkau adalah rumah saya sendiri. Rumah saya selalu terbuka bagi siapa pun yang ingin belajar, dan tidak perlu membayar lebih kepada warung kopi. Bahkan, saya menyediakan dua rumah. Di Martadinata, dan di kebun Kilo 4 dengan rumah tipe 40 yang permanen.

Kenyataan yang selalu mengemuka, mereka sama sekali tidak memiliki keseriusan secara konsisten. Saya tidak perlu juga menanyakan ketidakseriusan itu. Keputusan belajar bukanlah wewenang saya. Yang terpenting, "siapa membutuhkan siapa" dalam pembelajaran tulis-menulis.

Ketiga hal itu sajalah yang bisa saya uraikan. Intinya saya menolak.

Saya dan mereka bukanlah mahasiswa lagi, yang memiliki banyak kesempatan untuk belajar bidang lain. Masa pembelajaran tulis-menulis sebaiknya dilakukan ketika masa SMA atau kuliah S-1, dan skripsi merupakan bukti sudah lulus tahap tulis-menulis secara akademis sehingga, boleh dianggap, tulis-menulis bukanlah suatu kegiatan baru.

Bagi saya, sungguh terlambat mereka hendak belajar tulis-menulis. Apalagi, di era internet, aksesbilitas terhadap pembelajaran lebih mudah dibanding zaman saya yang tanpa internet. Apakah karena mereka ingin segera-instan? Entahlah.

Dan, kalau keberhasilan saya meraih juara I dalam lomba esai itu dijadikan sebagai salah satu ukuran kualitas kepenulisan saya, saya pikir, hal itu terlalu berlebihan. Dalam biodata lomba, saya tuliskan bahwa tujuan saya mengikuti lomba hanya berdasarkan status kependudukan saya sebagai warga Kaltim alias registrasi (eksistensi). Juara I merupakan dampaknya. Itu yang mereka kurang pahami hingga sekarang.

*******

Panggung Renung Balikpapan, 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar