Dari sebuah
perbincangan malam tentang sederet tulisan, pada ujungnya tersimpul bahwa saya
harus menjadi penonton saja. Tidak perlu jeli atau kritis terhadap tulisan yang
ditayangkan; biarkan semuanya terpajang sekehendak hati para penulisnya sebab,
toh, mereka sudah lebih hebat daripada saya.
Baiklah. Saya akui,
apa yang saya lihat, secara alami, selalu diteruskan ke otak, disambut oleh
ingatan, diolah oleh pemikiran, dan keluarlah hasilnya. Selalu begitu. Persoalannya
awalnya, anggap saja, berada dalam otak saya sehingga hasilnya tidak sesuai
dengan hasil pemikiran orang lain. Yang paling riskan adalah ketika saya
mengungkapkannya secara verbal, baik lisan maupun tulisan.
Saya kira, memang
posisi penonton saja sudah lebih dari cukup. Hanya mata. Tidak usah direcoki dengan
otak beserta segala isinya. Tidak perlu susah dipahami apalagi ditanggapi,
minimal dengan sekilas desah, tepuk
tangan, atau acungan jempol khas saya. Toh, otak mereka jauh lebih berisi bahkan
bernas. Maklumlah, mereka sudah sarjana, bukan pelajar SD lagi.
Tetapi, apa
faedahnya tayangan mereka? Entahlah. Mungkin justru sangat berfaedah bagi orang
lain, bahkan banyak orang.
Sementara saya sendiri
tidak mengetahui apa sesungguhnya faedah, apalagi maksud-tujuan mereka
menayangkan tulisan, meski tanpa rambu-rambu “dilarang menanggapi”, “dilarang
nyinyir”, “dilarang memakai otak”, atau “Wajib menjempoli”. Ah, barangkali
seperti pepatah “Dalam celana dapat diduga; dalam tulisan siapa tahu”.
Saya tidak perlu
repot menduga-duga mengenai faedah serta maksud-tujuan. Saya tidak perlu
memakai otak untuk menerka. Biarkan mata melihat, meski seakan sebuah tatapan
kosong. Eh, anggap saja tatapan kosong. Anggap saja kepala saya hanya sebuah
tong. Begitukah maunya?
Tetapi juga, apa
pula faedahnya saya menjadi penonton saja, apabila sekilas desah atau tepuk
tangan tidak menjadi sebuah tanggapan minimalis dari saya? Sekali lagi,
entahlah. Mungkin saya seharusnya berpura-pura menjadi mayat hidup (zombie), meski saya tidak pernah bertemu
zombie dalam arti sebenarnya, kecuali
dari film-film Hollywood atau bukan “mayat rewel” seperti istilahnya Yuli pada
Rabu subuh, 1 Maret 2017 itu.
Sampai kini saya
masih bergelut dengan otak saya mengenai perbincangan malam itu. Pergelutan
yang, saya duga, berpotensi mengusik kenyamanan dan ketentraman rambut saya,
seakan saya mengabaikan nasihat terkini, “pakai otak bisa botak”. Kalau menjadi
penonton saja seperti seonggok tong menyaksikan tayangan tarian telanjang,
sudah barang tentu hal tersebut merupakan pengingkaran bahkan penistaan
terhadap diri sendiri.
Jadi, bagaimana?
Saya pikir, mending menyeruput kopi dan menyaksikan tarian telanjang di
internet. Begini saja aman-nyaman-tentramnya, baik bagi diri sendiri maupun bagi
orang lain. Iyakah?
*******
Panggung Renung,
02-03-2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar