Minggu, 23 April 2017

Jadi Penonton Saja

Dari sebuah perbincangan malam tentang sederet tulisan, pada ujungnya tersimpul bahwa saya harus menjadi penonton saja. Tidak perlu jeli atau kritis terhadap tulisan yang ditayangkan; biarkan semuanya terpajang sekehendak hati para penulisnya sebab, toh, mereka sudah lebih hebat daripada saya.

Baiklah. Saya akui, apa yang saya lihat, secara alami, selalu diteruskan ke otak, disambut oleh ingatan, diolah oleh pemikiran, dan keluarlah hasilnya. Selalu begitu. Persoalannya awalnya, anggap saja, berada dalam otak saya sehingga hasilnya tidak sesuai dengan hasil pemikiran orang lain. Yang paling riskan adalah ketika saya mengungkapkannya secara verbal, baik lisan maupun tulisan. 

Saya kira, memang posisi penonton saja sudah lebih dari cukup. Hanya mata. Tidak usah direcoki dengan otak beserta segala isinya. Tidak perlu susah dipahami apalagi ditanggapi, minimal dengan sekilas desah,  tepuk tangan, atau acungan jempol khas saya. Toh, otak mereka jauh lebih berisi bahkan bernas. Maklumlah, mereka sudah sarjana, bukan pelajar SD lagi.

Tetapi, apa faedahnya tayangan mereka? Entahlah. Mungkin justru sangat berfaedah bagi orang lain, bahkan banyak orang.

Sementara saya sendiri tidak mengetahui apa sesungguhnya faedah, apalagi maksud-tujuan mereka menayangkan tulisan, meski tanpa rambu-rambu “dilarang menanggapi”, “dilarang nyinyir”, “dilarang memakai otak”, atau “Wajib menjempoli”. Ah, barangkali seperti pepatah “Dalam celana dapat diduga; dalam tulisan siapa tahu”.

Saya tidak perlu repot menduga-duga mengenai faedah serta maksud-tujuan. Saya tidak perlu memakai otak untuk menerka. Biarkan mata melihat, meski seakan sebuah tatapan kosong. Eh, anggap saja tatapan kosong. Anggap saja kepala saya hanya sebuah tong. Begitukah maunya?

Tetapi juga, apa pula faedahnya saya menjadi penonton saja, apabila sekilas desah atau tepuk tangan tidak menjadi sebuah tanggapan minimalis dari saya? Sekali lagi, entahlah. Mungkin saya seharusnya berpura-pura menjadi mayat hidup (zombie), meski saya tidak pernah bertemu zombie dalam arti sebenarnya, kecuali dari film-film Hollywood atau bukan “mayat rewel” seperti istilahnya Yuli pada Rabu subuh, 1 Maret 2017 itu.

Sampai kini saya masih bergelut dengan otak saya mengenai perbincangan malam itu. Pergelutan yang, saya duga, berpotensi mengusik kenyamanan dan ketentraman rambut saya, seakan saya mengabaikan nasihat terkini, “pakai otak bisa botak”. Kalau menjadi penonton saja seperti seonggok tong menyaksikan tayangan tarian telanjang, sudah barang tentu hal tersebut merupakan pengingkaran bahkan penistaan terhadap diri sendiri.

Jadi, bagaimana? Saya pikir, mending menyeruput kopi dan menyaksikan tarian telanjang di internet. Begini saja aman-nyaman-tentramnya, baik bagi diri sendiri maupun bagi orang lain. Iyakah?  

*******


Panggung Renung, 02-03-2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar