Bagi kita generasi 90-an,
Menulis itu bertarung, bukan jualan.Pram mengajari soal ini.
--- Agus Hernawan, 7 April 2016 ---
Tentang bertarung karya, pernah saya ceritakan secara verbal-vokal kepada beberapa orang muda di Balikpapan. Risiko menceritakan secara verbal-vokal adalah “dimakan angin”. Sementara ingatan selalu mengalami masa rentan ketika berhadapan dengan ramai-padatnya arus lalu lintas sebagaimana dinamika hidup.
Bertarung merupakan upaya uji nyali
(keberanian). Pada saat ilmu dan wawasan dirasa cukup memadai, lantas nyali
diperhadapkan pada kenyataan: beranikah. Di sisi lain, keberanian tanpa dibekali
ilmu dan wawasan, yang kemudian menjadi pertimbangan, bisa jadi malah merupakan
sebuah kenekatan.
Orang muda memiliki semangat yang kian
mengobarkan keberaniannya. Entahlah, apakah keberanian itu sungguh-sungguh sudah
terbekali, ataukah justru kenekatan yang bisa menjadi kekonyolan.
Tidaklah penting terlalu banyak berpikir supaya tidak telanjur mengalami kebotakan dini seperti saya. Yang terpenting: semangat dan berani.
Tidaklah penting terlalu banyak berpikir supaya tidak telanjur mengalami kebotakan dini seperti saya. Yang terpenting: semangat dan berani.
Terkadang pula saya berpikir, tidak sedikit
orang muda kreatif yang berharap karyanya disiarkan sebuah media, apalagi
mendapat honor. Tidak sedikit orang muda kreatif yang berharap karyanya
memenangkan suatu lomba, apalagi berhadiah besar dan nasional. Baik penyiaran
(pemuatan) karya maupun piagam penghargaan suatu lomba, masing-masing memiliki
semangat dan uji nyali yang berbeda-beda. Barangkali pemikiran saya ini justru
keliru.
Saya pernah muda. Dan saya pun pernah
melakukan sebuah keberanian, yang bisa pula sebuah kenekatan, untuk terjun dalam arena pertarungan.
Dalam bidang olah raga, yaitu bola voli, di masa pendidikan menengah pertama. Selesai dan lewat begitu saja. Di tingkat pendidikan menengah atas, keberanian itu beralih ke bidang karya (seni rupa), tetapi masih setaraf pengenalan lingkungan karena belum lama menjadi warga Yogyakarta (dulu KTP saya adalah warga Kotamadya Yogyakarta).
Dalam bidang olah raga, yaitu bola voli, di masa pendidikan menengah pertama. Selesai dan lewat begitu saja. Di tingkat pendidikan menengah atas, keberanian itu beralih ke bidang karya (seni rupa), tetapi masih setaraf pengenalan lingkungan karena belum lama menjadi warga Yogyakarta (dulu KTP saya adalah warga Kotamadya Yogyakarta).
Masa kuliah barulah pertarungan itu dimulai
untuk lingkup di luar lingkungan pergaulan saya. Pertarungan karya, tentunya.
Kebetulan saya tinggal di Yogyakarta, ketika itu, dimana dinamika kesenian dan
pertarungan karya selalu mendayahidupkan sebagian orang muda di sana.
Pertarungan tidaklah melulu berada pada
suatu arena perlombaan, sayembara, dan sejenisnya. Pertarungan pun memasuki
wilayah penyiaran karya di media massa. Yogyakarta yang dipenuhi para petarung
karya yang sangat kreatif, tentu saja, sangat membakar semangat saya untuk
ambil bagian–entahlah bagian siapa yang saya ambil. Pertama adalah menggambar selepas bimbingan belajar menggambar di
“Garizt” – HMFSRD ITB. Kedua adalah
menulis, ketika saya menekuni pers mahasiswa.
Saya pun memadukan keduanya. Misalnya, saya
pernah menggambar untuk kaus oblong, baik di SMA, kampus, maupun suatu
komunitas. Kemudian saya ikut lomba menggambar untuk kaus oblong se-Yogyakarta
dan sekitarnya, dimana Dagadu Djokdja
sedang hebat-hebatnya. Ada juara harapan V, juara pertama, dan nominasi
(nominasi berpiagam ini pada lomba yang diselenggarakan oleh Dagadu asli). Selesai? Tentu tidak.
Ada lomba menulis esai seputar HAKI (Hak
Atas Kekayaan Intelektual) tingkat nasional yang diselenggarakan oleh sebuah
lembaga HAKI di Jakarta. Saya ikut lomba dengan mengirimkan sebuah artikel dari
pengalaman saya dalam merancang gambar kaus oblong untuk bisnis kecil-kecilan
keluarga (Budak Bangka T-shirt).
Menang? Tidak. Tetapi, beberapa minggu kemudian saya mendapat panggilan dari
panitia lomba (lembaga HAKI) untuk menjadi pembicara seminar nasional di sebuah
hotel di Yogyakarta. Cukup? Belum.
Dalam acara tersebut saya bertemu dengan
ketua panitia sekaligus tokoh HAKI Indonesia. Beliau menyampaikan bahwa artikel
esai saya dulu sebenarnya bisa masuk pemenang 3 besar tetapi bla-bla-bla. Saya paham. Lalu beliau
memberikan buku kumpulan tulisan pemenang dan nominasi lomba tersebut. Tulisan
saya berada pada bagian pertama. Selesai? Masih belum, rupanya.
Beliau meminta saya menjadi pembicara lagi
tapi di tingkat lebih tinggi. Di Jakarta, di sebuah seminar bertaraf
internasional (setiap sesi ada pembicara asing dan berbahasa asing), dan saya
bersanding dengan Martha Tilaar. Selesai? Ya, sampai di situ.
Misalnya lagi, bidang kartun, yang mulai
saya tekuni ketika SMA untuk majalah sekolah, juga ‘bergerak’. Dari majalah
sekolah dan kampus yang hanya menjadi bagian pelatihan serius, saya beralih ke
media luar. Tentu saja ‘pertarungan’ karya di media industrial tidaklah seenaknya
seperti di media sekolah dan kampus. Puji Tuhan, pernah dimuat di Mingguan Minggu Pagi, Tabloid Bola, Majalah Rohani (Kristen) Bahana, Majalah Intisari, dan Majalah Humor.
Selesai? Tentu belum.
Saya pun mengikuti lomba kartun opini, dan
karikatur di Yogyakarta. Hasilnya: juara Harapan II (Kartun Opini), dan Juara
II (Karikatur). Selain itu saya pernah menjadi juri lomba karikatur tingkat mahasiswa se-DIY, dan bersanding dengan
seorang ilustrator profesional serta seorang dosen ISI. Dan, saya menulis
artikel budaya berjudul “Katakan dengan Kartun”, yang dimuat di harian Bangka Pos.
Atau, misalnya, bidang tulis-menulis,
selain lomba esai HAKI, adalah menulis artikel opini se-Babel bahkan mungkin
luar Babel dalam rangka ulang tahun Bangka
Pos. Saya masih di Yogyakarta, ketika itu. Karena saya sekian tahun suntuk menggeluti
pers mahasiswa, saya pun menguji kemampuan saya dalam lomba tersebut. Artikel
saya berjudul “Pers Daerah : Siapa Mengontrol Siapa”. Juara I. Lumayan, ‘kan,
daripada sekadar mengaku-aku mantan aktivis pers mahasiswa lalu tidak jadi
apa-apa?
Di lain waktu saya diminta menjadi juri
dalam lomba menulis esai di sebuah SMA Negeri di Sungailiat, Bangka. Dan, tentu
saja, ada beberapa tulisan esai saya dimuat di media massa.
Bidang sastra? Sebenarnya boleh dianggap
sebagai sebuah kenekatan. Tapi, ketika ‘sesuatu’ sedang saya suntuki, tidaklah
sampai menjadi “fantasi untuk memuaskan diri sendiri” belaka.
Ternyata ada juga hasilnya. Tiga piagam penghargaan lomba cerpen, baik Yogyakarta maupun Riau (padahal saya tidak pernah ke sana), saya raih, meskipun bukan Juara I (calon arsitek kok nekat minta juara I). Saya pernah menjadi juri dalam lomba menulis cerpen tingkat pelajar se-DIY. Dan saya menulis artikel tentang cerpen, yang dimuat di sebuah harian Ibukota.
Ternyata ada juga hasilnya. Tiga piagam penghargaan lomba cerpen, baik Yogyakarta maupun Riau (padahal saya tidak pernah ke sana), saya raih, meskipun bukan Juara I (calon arsitek kok nekat minta juara I). Saya pernah menjadi juri dalam lomba menulis cerpen tingkat pelajar se-DIY. Dan saya menulis artikel tentang cerpen, yang dimuat di sebuah harian Ibukota.
Dan seterusnya. Intinya, ketika muda saya
pernah memiliki semangat dan keberanian bahkan kenekatan, meski tidaklah
seberapa hebat apabila disanding-bandingkan dengan orang lain, yang benar-benar
diakui dan dibicarakan oleh banyak kalangan intelektual tingkat nasional dan
internasional.
Kini, ketika masih berbau muda, semangat itu masih menyala, meskipun agak redup karena situasi Balikpapan berbeda dengan daerah-daerah yang pernah saya rantaui. Saya sudah lelah melihat situasi pertarungan karya di Kota Minyak ini.
Kini, ketika masih berbau muda, semangat itu masih menyala, meskipun agak redup karena situasi Balikpapan berbeda dengan daerah-daerah yang pernah saya rantaui. Saya sudah lelah melihat situasi pertarungan karya di Kota Minyak ini.
Bagi saya, penyiaran karya di sebuah media
massa murni industrial-kapitalisme (sebaiknya tidak mengenal siapa redakturnya)
dan piagam lomba (yang juga tidak tahu siapa jurinya) mirip sebuah ujian dalam
masa pendidikan, terlebih di luar bidang belajar saya secara formal. Penyiaran
karya berarti saya mendapat nilai tidak merah untuk suatu waktu tertentu.
Piagam lomba berarti keseriusan saya teruji (untuk suatu waktu tertentu), dan
saya bisa melanjutkan ke jenjang lebih tinggi.
Nah, begitulah sebagian cerita yang pernah
saya sampaikan kepada sebagian orang muda di Balikpapan. Sebagian pertarungan
sebagai upaya pengujian diri. Tidak lupa saya ceritakan contoh lain yang
benar-benar saya tinggalkan, yaitu sepakbola beserta sepatunya (tidak serius,
sih), bola voli (percuma, postur pendek) dan memainkan gitar (hanya bisa tiga
jurus : C-F-G). Itu pun saya sampaikan.
Saya hanya berbagi semangat dan, sedikit,
kenekatan bertarung karya selagi muda kepada mereka. Bahkan, dengan tegas saya
sampaikan, “Apabila tidak serius menekuni sesuatu dan menarungkannnya,
mendingan tinggalkan saja secepatnya. Selesaikan kuliah, kerja, kawin,
keluarga, dan kaya raya. Lupakan kegiatan yang hanya membuang waktu, tenaga,
dan materi percuma, khususnya yang tidak sesuai dengan bidang studi.”
Entahlah, apakah hal-hal semacam ini memiliki nilai penting-berguna ataukah tidak bagi orang muda Balikpapan. Demikian juga ketika saya diganjar Juara I Lomba Menulis Esai Se-Kaltim & Kaltara 2016 lalu, meskipun dalam biodata saya tuliskan "sekadar berpartisipasi sebagai warga Kaltim yang masih mau repot memikirkan hal-hal di luar profesi dan ijazah terakhirnya sehingga dewan juri tidak perlu repot menilai mutu dua butir tulisannya" (tanyakan saja pada panitia, termasuk Amien Wangsitalaja, jika tidak percaya).
Entahlah, apakah hal-hal semacam ini memiliki nilai penting-berguna ataukah tidak bagi orang muda Balikpapan. Demikian juga ketika saya diganjar Juara I Lomba Menulis Esai Se-Kaltim & Kaltara 2016 lalu, meskipun dalam biodata saya tuliskan "sekadar berpartisipasi sebagai warga Kaltim yang masih mau repot memikirkan hal-hal di luar profesi dan ijazah terakhirnya sehingga dewan juri tidak perlu repot menilai mutu dua butir tulisannya" (tanyakan saja pada panitia, termasuk Amien Wangsitalaja, jika tidak percaya).
*******
Panggung Renung, 2015-2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar