Selasa, 23 Mei 2017

Satu Tulisan yang Dibaca oleh Lebih dari 16.500 Warganet

Tulisan saya Sedikit Kisah Nyata untuk Bapak Wapres tentang Tionghoa-Kong Hucu, yang kemudian disunting administraturnya menjadi Sedikit Kisah untuk Menanggapi Anggapan Pak JK tentang Tionghoa & Kong Hu Cu, telah dibaca oleh lebih 15.000 warganet di Kompasiana. Tulisan tersebut saya pajang pada 18 Mei 2017, dan angka 16.500 terpantau sampai 6 hari atau pada 24 Mei.  

Jika berminat, silakan lihat sendiri di http://www.kompasiana.com/gusnoy/sedikit-kisah-untuk-menanggapi-anggapan-pak-jk-tentang-tionghoa-kong-hu-cu_591d51911bafbd9b274a3ee3.

Bagi saya secara pribadi, jumlah itu sangat fenomenal, bersejarah, bahkan ada kebanggaan tersendiri karena saya bisa melihat langsung jumlah pembaca (warganet). Demikian pula luar biasa bagi saya selama menjadi seorang Kompasianer–sebutan untuk anggota Kompasiana.

Inilah tulisan pertama saya yang terbaca dengan jumlah cukup banyak sejak pertama kali saya bergabung pada 5 Maret 2013 dengan nama Agustinus Wahyono lalu. Karena akun itu tidak bisa saya akses lagi, berlanjut dengan nama pena saya, Gus Noy, pada 9 Januari 2017.

Dengan nama Agustinus Wahyono, artikel saya berjumlah 450. 13 berlabel “Headline”, dan 144 berlabel “Pilihan”. Jumlah pembaca (warganet) dalam empat besar artikel berlabel “Headline” adalah :
1. 2016: Fajar Pariwisata Indonesia Diwartakan oleh Jokowi, 02 Januari 2016, dibaca oleh 1.635 warganet.
2. Ke-Tionghoa-an antara Jaya Suprana dan Basoeki Tjahaja Poernama, 17 Juni 2015, diibaca oleh 1.541 warganet.
3. Soekarno dan G30S/PKI Berdampak Telak pada Ayahanda Saya, 06 Oktober 2015, dibaca oleh 1.512 warganet.
4. [Bom Sarinah] Spiritualitas Sebagian Orang Indonesia Soal Hidup-Mati, 16 Januari 2016, dibaca oleh 1.135 warganet.

Dengan nama Gus Noy, selama 9 Januari sampai 24 Mei atau sekitar 5 bulan, baru 43 artikel, dan 1 artikel diberi label “Headline”, dan 15 artikel berlabel “Pilihan”. 1 artikel Sedikit Kisah Nyata untuk Bapak Wapres tentang Tionghoa-Kong Hucu itu menjadi “Tren di Google” selama 2 hari.

Empat besar artikel hanya sampai pada angka 1.635 atau kurang dari 2.000 pembaca. Jauh sekali dibandingkan dengan Sedikit Kisah Nyata untuk Bapak Wapres tentang Tionghoa-Kong Hucu yang melebihi angka 16.500 pembaca, atau sekitar 10 kali lipat, bukan?

Saya sendiri terkejut bin heran sekaligus bangga atas pencapaian angka tersebut. Lalu pada 21 Mei sekitar pukul 07.00 saya melihat daftar “Tren di Google”-nya Kompasiana, tulisan tersebut sudah tidak ada.  

Sementara jumlah pembaca masih mungkin bertambah. Saya tidak bisa terus-menerus memantau bertambahannya tetapi berusaha menanggapi komentar yang ada, meskipun belum tentu semua harus saya tanggapi.

Memang belum seberapa jika dibandingkan dengan artikel para penulis lainnya, yang masih terpampang dalam daftar “Tren Google”, bahkan bertambah jumlah pembacanya, meski sudah lewat satu tahun. Saya ambil tiga contoh tulisan (artikel) itu :
1. Asmara Gelap di Tempat Kerja (18) Karena Situs Internet AkuTergoda, yang ditulis oleh Paulus Londo, dipajang pertama pada 05 Januari 2012 lalu diperbarui pada 25 Juni 2015, dan dibaca oleh 828.888 warganet.
2. Siapakah Dalang G 30 S PKI yang Sebenarnya?, yang ditulis oleh Andi Firmansyah, dipajang pertama pada 03 Desember 2013 lalu diperbarui pada 24 Juni 2015, dan dibaca oleh 163.935 warganet.
3. Pengalaman Disunat Dokter Perempuan, yang ditulis oleh Andika, dipajang pertama kali pada 13 Februari 2010 lalu diperbarui pada 26 Juni 2015, dan dibaca oleh 33.005 warganet.

16.500 pembaca memang masih kalah jauh jumlahnya dibandingkan dengan tiga contoh tulisan mereka. Tetapi, bagi saya pribadi, tulisan saya yang baru 16.500-an pembaca sudah jauh melampaui jumlah pembaca pada tulisan saya lainnya. Itu yang saya katakan pada alinea ke-2 tadi, “jumlah itu sangat fenomenal, bersejarah, bahkan ada kebanggaan tersendiri.”

Buncahan perasaan ini seperti juga ketika saya menulis Euforia Sang Juara I, Naifkah? setelah mendapat ganjaran Peringkat I Lomba Menulis Esai Se-Kaltim & Kaltara 2016 lalu, dilengkapi dengan selembar piagam penghargaan. Saya tidak mengetahui secara pasti mengenai para penulis hebat di Kaltim dan Kaltara. Ibarat hutan Kalimantan yang terkenal itu, begitulah ketika saya menjadi warga Kaltim sejak 2009.

Buncahan lainnya terungkap pada tulisan Satu yang Monumental dari Sebuah Tulisan Arsitektur. Tulisan opini 2005, tidak bisa saya ikuti perkembangannya bahkan saya anggap selesai, tetapi kabar dari keluarga di beranda Fb pada 21 Mei 2017 yang berwisata ke Bangka Barat membuat saya bersyukur.

Saya bersyukur karena, 1. Gagasan/ide/ilham yang situasional itu bisa saya olah menjadi tulisan; 2. Situasi yang mendukung saya untuk mengolahnya; 3. Pemahaman sederhana saya mendapat apresiasi; 4. Masing-masing mendapat suatu anugerah; 5. Ada dampak yang terjadi.

Saya akan terus menulis sebab menulis telah menjadi bagian hidup saya dalam penyampaian pemikiran saya yang sederhana ini. Dan, tentu saja, kegiatan tulis-menulis masih bisa berlanjut jika kondisi saya sangat memungkinkan untuk melakukannya.

*******
Panggung Renung Balikpapan, 23 Mei 2017

=================
Sedikit Kisah Nyata untuk Bapak Wapres tentang Tionghoa-Kong Hucu

Pada 15 Mei 2017 aku membaca tulisan yang dipajang di beranda Fb Penulis Hanna Fransisca dari kiriman Muhammad Hamizan dari cuplikan berita berjudul “Soal Kesenjangan Si Kaya & Si Miskin, JK Waswas Luar Biasa”.

Isi cuplikan beritanya begini.
Wapres JK mengingatkan kesenjangan yang ada di Indonesia sudah cukup membahayakan. Sebab, ada perbedaan agama antara si kaya dan si miskin. Hal itu disampaikan JK saat menutup sidang tanwir Muhammadiyah di Ambon, kemarin.
Menurut JK, dengan kondisi ini, kesenjangan di Indonesia lebih berbahaya dibanding di negara lain. Misalnya di Thailand dan Filipina. “Di sana, baik yang kaya maupun miskin memiliki agama yang sama. Sementara di Indonesia yang kaya dan miskin berbeda agama,” ujar JK.
Di Indonesia, kata JK, sebagian besar orang kaya adalah warga keturunan Tionghoa yang beragama Konghuchu maupun Kristen.
(dan seterusnya…)

Sebelumnya Muhammad Hamizan menuliskan, “Yg terhormat Pak JK, yng paling miskin di Indonesia itu org Papua dan bukan muslim. Sedangkan Propinsi termiskin adalah NTT, mayoritas non-muslim pula.

Lalu Penulis Hanna Fransisca yang tingal di Kalimantan Barat bersaksi, “Aku sejak kecil dibesarkan dalam keluarga yang miskin. Kami sekeluarga hanya mampu sewa 1 kamar di rumah tua yang hampir ambruk. Tidak ada bantal, tidak guling, tidak ada selimut. Aku ingat persis,  hanya punya dua gaun usang, sandal jepit kebesaran yang bisa dipakai secara bergantian, tipis dan bolong pula bagian tumitnya. Di kamar hanya ada tikar pandan yang sobek sana-sini, hanya ada lampu minyak tanah. Tidak usah cerita soal pergi ke sekolah, cerita beras di dapur saja harus utang dulu ke warung, pinjam sama tetangga. Tentu tak hanya keluarga kami yang serba kekurangan. Masih banyak lagi saudara yang lain yang jauh lebih terpuruk lagi.”

Mau-tidak mau pikiranku mundur ke ingatan yang pernah kualami dan saksikan pada masa lampau berkaitan dengan stereotipe mengenai orang Tionghoa-Kong Hucu dengan status ekonomi begitu, meskipun sebagian kecil sudah kuabadikan dalam buku Belajar Peta Indonesia (2016). Buku itu sudah ada di Perpustakaan Nasional R.I. Ada dua eksemplar, Pak, di situ. Buku itu aku buat dan terbitkan dalam kerangka mencatat ingatan berbangsa-bernegara sejak dari kampung, Pak, meskipun aku bukanlah siapa-siapa dibanding Bapak.

Aku dilahirkan sampai puber di Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan bersekolah menengah atas Jurusan A1/Fisika sampai lulus kuliah Jurusan Arsitektur di Yogyakarta. Nama Sungailiat memang kalah pamor dibanding Pangkapinang dan Muntok (tempat peleburan bijih timah terbesar sedunia pada masa jaya timah). Sungailiat hanya kota kecil di timur Pulau Bangka dan di utara Pangkalpinang.  Apalagi Kampung Sri Pemandang Atas, Pak.

Pak JK yang terhomat secara regional-nasional-internasional-global,
aku pun sepakat banget pada tulisan Hanna Fransisca, “Aku lebih meyakini etnis apa pun, agama apapun, ada yang miskin ada yang kaya raya macam Pak JK, ada yang baik dan ada yang jahat.”

Ketika aku menikmati masa bersenang-senang di Kampung Sri Pemandang Atas Sungailiat, tidak semua kawan Tionghoa-ku di Bangka hidup seperti stereotipe dari sebagian orang Indonesia. Rumah kami dibangun oleh orang Tionghoa, dari pembantu (kenek/helper) sampai mandor (mandornya/pemborongnya bernama Min Ho).

Dulu keluarga kami pernah memiliki asisten rumah tangga beretnis Tionghoa dan beragama Kong Hucu. Kalau tidak keliru, anaknya dua. Bapak bisa bayangkan, mengapa ada orang Tionghoa menjadi asisten rumah tangga di rumah kami, padahal orangtuaku bukanlah keluarga kaya raya.

Bapakku, Slamet Sudharto, yang kelahiran Madiun 1929, mantan Tentara Pelajar wilayah Malang dengan bersenjatakan senapan mesin (1945-1950, termasuk bagian dari Mobrig, terlibat perang di Peristiwa Surabaya, atau Bapak bisa cari info pada keluarga kami di Sambirejo, Madiun), dan menjadi guru swasta di Sungailiat sejak pertengahan 1950 juga mendidik aku di rumah mengenai Indonesia, Pak.

Guru, Pak. Guru SMP (pagi-siang) dan STM (sore-malam). Guru juga di rumah ketika aku harus belajar mengenai Indonesia karena bapak seorang veteran perang, meski sama sekali tidak pernah diakui negara Indonesia tercinta ini, apalagi menerima gaji pensiun tentara, Pak. Lingkungan rumah dan sekolah sangat mendukung belajar ke-Indonesia-anku, Pak, tanpa perlu repot mencari buku-buku yang masih langka pada waktu itu.

Bapakku juga berkenalan baik dengan setiap kepala aparat di Sungailiat. Zaman Pak Duri (ayahnya Rafika Duri), Pak Saylan, dan seterusnya, karena mantan veteran selalu dekat dengan aparat keamanan sebagai satu keluarga yang berbakti kepada Indonesia. Dari bapak aku belajar mencintai Indonesia yang ber-Bhinneka Tunggal Ika ini, Pak.

Ibuku kelahiran Karanganyar-Solo pada 1939. Seorang mantan karyawan Rumah Sakit Unit Penambangan Timah Bangka. Waktu masih aktif disitu, setiap bulan mendapat jatah sembako lengkap, terhitung dari semua anggota keluarga. Semakin banyak anak, semakin banyak jatah sembakonya. Timah, pada masa itu, Pak, masih dalam masa jaya dengan sebutan “emas putih”, yang pernah menjadi penyumbang devisa nomor dua setelah minyak bumi. Ya, soal makan-minum dan lain-lain, masa kecilku lebih beruntung daripada Hanna Fransisca.

Orangtuaku bisa membayar asisten rumah tangga beretnis Tionghoa karena tidak bermasalah dengan keberadaan sembako bulanan, di samping mengangkat beberapa anak (semuanya beragama Islam) yang sedang bersekolah karena latar ekonomi keluarga mereka yang sangat perlu dibantu (Puji Tuhan, mereka telah hidup mapan secara ekonomi, Pak, karena mereka juga pekerja keras dan Allah Tuhan mereka sangat menyayangi mereka).

Aku pun bergaul dengan anak kampung yang tidak mengenal permainan anak orang kaya di kota. Di kampung halamanku dulu ada seorang penjual tahu dari etnis Tionghoa-Kong Hucu. Belum ada penjual tahu dari etnis lainnya. Sudah tua, berkaus putih polos yang sudah mirip saringan tahu, dan naik sepeda onthel, Pak. Sebelum giliran aku, kakakku sering bertugas menunggu kedatangannya di depan rumah pada pagi hari sekitar pukul 06.00.  

Ada juga penjual ikan keliling sekitar pukul 09.00. Satu ini paling ditunggu ibu-ibu kampung kami karena bisa utang, Pak. Paling laris, meski belum tentu uang langsung ngumpul apalagi harus pakai tukang tagih (dept collector).

Siangnya, sekitar pukul 14.00 ada tukang cukur keliling naik sepeda Pak. Orang Tionghoa-Kong Hucu. Dua orang lagi. Seorang yang aku dan kawan-kawan suka adalah yang selalu terdengar di ujung jalan, “Gunting rambut, tiauw siput, kena kentut!” Berulang-ulang diucapkan dengan irama khas. Dan dia pun suka bercanda ketika sedang mencukur aku atau kawan-kawanku.

Kawan kecilku, namanya Tong Sen, membantu ibunya berjualan kue. Kue-kue dititipkan di warung-warung pada pagi hari ketika dia berangkat sekolah naik sepeda. Sore, sekitar pukul 17.00 dia akan mengambil lagi di warung-warung. Kalau ada sisa, aku dan kawan-kawan kampung diberi kue itu.

Dan, tidak jauh dari kampung kami, dulu ada orang gila satu-satunya, Tionghoa pula, Pak. Namanya Akiun. Gaya berjalan seperti aparat dengan kayu sebagai tongkat atau senjata. Konon (gosip orang kampung), Akiun gila karena mengencingi sebuah kuburan tua yang sudah tidak jelas. Orang kampung kami tidak seorang pun gila, Pak.  Kami diajarkan tetua kampung, kalau mau pipis di alam terbuka (kebun atau hutan), harus bilang, “Numpang kencing, Tuk (Tuk/Atuk=kakek).”

Di sekolahku dulu, Pak, ada kawan sekolah (Etnis Tionghoa) yang berseragam sekolah lusuh, bahkan berhenti sekolah (Kelas 1 SMP) karena berasal dari keluarga miskin. Namanya Tet Khiong. Kecil-kurus. Kelihatan sekali kurang gizi. Ayahnya pernah jadi nelayan tapi kemudian lumpuh karena terkena sengatan ikan kecos (ikan pari kecil yang bertanduk dekat ekor). Dia berlima atau enam saudara, dan dia sulung.

Penjaga bahkan pesuruh SMP kami bernama Apuk adalah orang Tionghoa. Apuk tidak pernah membantah ketika disuruh apa pun oleh kepala sekolah dan guru. Disuruh beli sayur-mayur untuk seorang guru Melayu pun, Apuk berangkat ke pasar berjarak 1,5 km naik sepeda genjot. Tidak jarang Apuk ‘kerjain’ kawan-kawanku, baik kawan Tionghoa, Melayu, Batak, Flores, dan Jawa. Tidak pernah ada prasangka sosial, Pak. Juga sekolah tempat  bapakku mengajar di STM Sungailiat adalah orang Tionghoa.

Ya, Bapak JK bisa bayangkan, bagaimana seandainya sekolah Bapak dulu ada penjaga bahkan pesuruh sekolah beretnis Tionghoa, bahkan seandainya dulu keluarga Bapak memiliki asisten rumah tangga beretnis Tionghoa?

Bapak pun pasti bisa membayangkan, bagaimana masa kecilku dibentuk dalam lingkungan sosial yang menyenangkan tanpa terkontaminasi prasangka sosial dari stereotipe terhadap orang Tionghoa-Kong Hucu.

Ketahuilah, Pak, tidak sedikit buruh kasar, dari pencetak batubata yang berpanas-panas hingga pramuniaga di kawasan pertokoan Tionghoa adalah orang Tionghoa sendiri. Sebagian rumah mereka masih semi permanen pula, Pak.  

Dulu, ketika aku dan kawan-kawan kampung sedang musim main pangkak (adu buah karet), aku sering mencari buah karet di dekat tempat tukang kayu yang beretnis Tionghoa. Makan siang mereka, dengan mataku sendiri kulihat, berupa nasi berlauk ikan asin kecil, Pak. Bukan satu-dua kali kulihat, Pak.

Ada juga kawan Tionghoa-ku, cuma beda kampung, nyaris saban hari makan bulgur, Pak. Apa itu bulgur, Bapak pasti tahu.

Ketahuilah, Pak, generasi awal etnis Tionghoa di Bangka bukanlah berkelas pedagang apalagi pengusaha-pebisnis kelas kakap-hiu-paus. Bukan pula kelas terpelajar dengan kemampuan intelektual serba luar biasa, Pak. Rasa senasib orang Melayu-Tionghoa Bangka sebelum 1900-an terbentuk karena mayoritas orang Tionghoa di Bangka adalah buruh/kuli/pekerja kasar, baik di perkebunan, pertambangan timah (kami mengenal satu istilah usang, "singkek parit", kuli angkut barang, maupun pembuatan bangunan.

Buruh Tionghoa beberapa kali memberontak terhadap Kolonial Belanda. Rasa senasib itulah yang kemudian menyatukan Melayu-Bangka dan Tionghoa dalam persaudaraan nasional melawan Kolonial Belanda. Rumah Mayor Chung A Thiam (orang Tionghoa-Kong Hucu) di Muntok, Bangka Barat, menjadi salah satu saksi sejarah, dimana Belanda menjadikan Chung A Thiam sebagai seorang mayor tentara Belanda untuk meredam pemberontakan orang Tionghoa.

Sejarah itu tertulis dalam buku sejarah Babel, Pak. Aku pernah membacanya di Perpustakaan Daerah Sungailiat. Mungkin ada di Perpustakaan Nasional R.I.

Sekian tahun silam pun, sekitar 1998, ada segelintir pendatang hendak menghasut orang Melayu-Bangka dengan kesesatan nasional itu tetapi tidak berhasil menjadi peristiwa genting, Pak. Sebab, kesatuan masyarakat Melayu-Bangka dan Tionghoa-Bangka sudah terbentuk lebih satu abad.

Yang tidak kalah kesatuannya adalah pernikahan campuran antara Melayu dan Tionghoa. Biasanya, orang Tionghoa-Kong Hucu akan pindah agama (mualaf). Salah seorang mantri sunat yang terkenal adalah Om Nasuwan (kebetulan orang Kampung Sri Pemandang Atas), yang juga menyunat aku (libur kenaikan Kelas 6 SD), Pak. Pada 2012 Om Nasuwan pernah memamerkan “barang bukti” milik seorang mualaf yang sudah dewasa. Om Nasuwan tertawa ngakak, Pak.

Pak JK, orang Babel pun paham, untuk bisa makan, haruslah bekerja keras. Beras bukanlah hasil produk pertanian di tanah Babel yang memiliki kadar asam tinggi. Persawahan baru dirintis pasca-2000. Ada pun ladang padi milik keluarga Melayu-Bangka, dan untuk konsumsi keluarga sendiri.

Sedangkan orang Tionghoa di Bangka pada zaman itu tidak memiliki sawah, Pak. Bagaimana bisa membeli beras? Sebagian orang Tionghoa bisa membeli beras persis seperti yang dikatakan oleh Hanna Fransisca, “… cerita beras di dapur saja harus utang dulu ke warung, pinjam sama tetangga.” Seperti Tet Khiong, atau ada lagi yang hanya menyantap bulgur, Pak.

Kawan SMP-ku, Jat Nen, orang Tionghoa-Kong Hucu di Jalan Laut, adalah pekebun sayur biasa, Pak. Ada juga tetanggaku, keluarga Tionghoa bernama Aciang (Kampung Batu), pekebun sayur biasa, yang aku tahu karena aku sering mancing di area kebun sayur mereka. Anak-anak mereka tidak ada yang bergelar sarjana semacam aku ini, Pak. Jat Nen dan keluarga Aciang memang rajin menggarap kebun sayur, Pak.

Ada lagi kawan SD-ku, namanya Cong Yang, pada 2016 aku datangi ketika dia sedang berjualan ikan di pinggir jalan dekat Kantor Polres Sungailiat. Tidak ada dinding dan atap. Hanya berupa meja panjang. Aku mendatanginya untuk kembali mengingatkan padanya bahwa kami pernah satu kelas ketika SD, Pak. Mungkin dia lupa tetapi aku sangat ingat, apalagi rumah orangtuanya (rumah papan lho, Pak) dekat SD kami, dan ibunya berjualan jajanan di dekat sekolah kami.

Pak JK pasti tahu mantan gubernur Babel bernama Eko Maulana Ali yang pernah mengalahkan Ahok di Pilkada Babel 2007, ‘kan? Pak Eko (mantan murid bapakku di STM Sungailiat) adalah anak angkat orang Tionghoa-Kong Hucu, Pak. Pak Eko dulu disekolahkan oleh keluarga Tionghoa-Kong Hucu, yang hanya memiliki satu anak perempuan. Ayahnya Pak Eko sangat loyal (rajin, jujur, tidak banyak tingkah, dan lain-lain)pada majikannya sehingga anaknya (Pak Eko) diangkat sebagai anak, Pak.

Aku tahu kisah nyata itu dari orangtuaku, Pak. Ibuku masih hidup, Bapak bisa bertanya langsung mengenai Pak Eko, termasuk mantan asisten rumah tangga orangtuaku.

Pada Pilkada Babel 2007 keluarga kami (orangtua kandung dan angkatku Kristen) di Bangka tentu saja memilih Pak Eko (Melayu-Islam), bukannya Ahok (Tionghoa-Kristen), Pak. Apa lagi kalau bukan karena Pak Eko mantan murid bapakku. Sederhana saja itu.

Lucunya, lawan Pak Eko di Pilkada Babel 2007 bernama Ahok yang Tionghoa-Kristen itu malah anak angkat orang Melayu-Belitung, Pak. Kenyataan Babel memang lucu sekaligus guyub-kekeluargaan-kebangsaan, ‘kan, Pak?

Duh, Pak JK, kasihan lho, masih banyak orang Tionghoa yang berekonomi minimalis, dan tidak saja di Bangka dan Belitung. Meski minimalis, mereka tidak lagi memberontak, menghujat pengelola negara, atau menghidupi kedengkian terhadap sesama warga negara Indonesia karena mereka sangat bangga jadi warga negara Indonesia. Mereka memilih bekerja keras, bukannya menyalahkan-nyalahkan tanpa henti.

Aku masih bisa melihat orang-orang Tionghoa-Kong Hucu yang bekerja keras sewaktu mudik 2016 karena bapakku meninggal. Selain Jat Nen, atau Cong Yang, ada juga penjual susu kedelai (thefu sui) dengan sebuah gerobak di Pasar Mambo Sungailiat pada malam hari, Pak. Susu kedelai buatannya enak banget lho. 

Dan kalau sebagian orang Tionghoa-Kong Hucu kaya raya, ya, tidak berbedalah dengan etnis-etnis lainnya dan penganut semua agama di Indonesia. Semua pasti karena bekerja keras. Bukankah Tuhan memiliki hak preogatif mutlak untuk memberi rezeki kepada semua manusia, baik beragama maupun tidak beragama (ateis), bahkan para keluarga koruptor sekalipun?

Pak JK yang baik,
aku mencintai Indonesia dengan segala suku bangsa-etnis dan agama-ateis yang ada. Keluarga besar kami sudah bercampur etnis. Jawa, Melayu-Bangka, Tionghoa-Bangka, Palembang, Minang, Bugis, Mandar, Madura, dan lain-lain. Mayoritas keluarga besar kami beragama Islam, Pak, dan mayoritas tetanggaku di Bangka beragama Islam. Aku bersekolah menengah atas dan kuliah di Yogyakarta, dan kawan-kawanku juga berasal dari aneka suku. Aku kini tinggal di Kalimantan Timur, dan bergaul dengan aneka suku bangsa, Pak. Bahkan keluarga istriku adalah campuran (Tionghoa, Dayak, Bugis, dan Filipina). Aku sangat bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas realitas takdirku ini. Aku bangga jadi orang Indonesia, Pak, meskipun tidak mampu bertamasya keliling Indonesia.

Doaku, Bapak JK selalu sehat sehingga bisa berpiknik selama 6 bulan di Bangka. Jangan lupa singgah di warung kopi Co dekat tugu Adipura Sungailiat. Asyik banget lho, Pak. Tapi yang terpenting, demi NKRI yang heterogen dalam arti sebenar-benarnya, Pak.

Terima kasih, Pak JK. Salam damai sejahtera selalu dari aku.

*******
15 Mei 2017

(terlambat pajang karena jaringan Telkom sedang bermasalah)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar