(Terpajang di Catatan Fb saya pada 27 Agustus 2015, pkl.15.30 WITA)
Saya membaca status Amien Wangsitalaja melalui akun FB-nya, Senin, 24 Agustus 2015, bahwa pendaftaran terbuka pegiat “Jaring Penulis Kaltim" (JPK). JPK kembali akan diaktifkan dan akan melakukan penyegaran kepengurusan pada awal September ini. Mengundang para pegiat atau pemerhati kepenulisan (utamanya kepenulisan di bidang sastra, seni, budaya) di Kaltim untuk bergabung di JPK. “Bagi yang serius ingin bergabung, harap mengirimkan nomor kontak (hp) ke inbox saya sesegera mungkin,” begitu akhir dari statusnya.
Saya membaca status Amien Wangsitalaja melalui akun FB-nya, Senin, 24 Agustus 2015, bahwa pendaftaran terbuka pegiat “Jaring Penulis Kaltim" (JPK). JPK kembali akan diaktifkan dan akan melakukan penyegaran kepengurusan pada awal September ini. Mengundang para pegiat atau pemerhati kepenulisan (utamanya kepenulisan di bidang sastra, seni, budaya) di Kaltim untuk bergabung di JPK. “Bagi yang serius ingin bergabung, harap mengirimkan nomor kontak (hp) ke inbox saya sesegera mungkin,” begitu akhir dari statusnya.
Beberapa hari, minggu, dan bulan sebelumnya saya telah
menyampaikan secara terbuka kepada kawan-kawan di FB mengenai ketidakaktifan
saya dalam seluruh kegiatan kesenian dan tulis-menulis secara kolektif-komunal
di Balikpapan, Kaltim, sejak 18 Oktober 2014. Tentu saja, ketidakaktifan saya
sangatlah janggal karena sejak sekitar 15 Maret 2009 (mantap menetap di Kota
Minyak ini pada 10 Maret 2009) saya mulai melibatkan diri (tanpa dibayar/gaji) dalam
kegiatan kesenian dan tulis-menulis melalui sebuah komunitas kesenian di
Balikpapan.
Selain terlibat dalam kegiatan kesenian dan
tulis-menulis, khususnya sastra, saya pun melibatkan diri dalam pembelajaran
jurnalistik (pers mahasiswa) di sebuah perguruan tinggi swasta di Balikpapan. Saya
tidak dibayar alias gratis. Tidak cukup dengan pembelajaran secara langsung bahkan
senantiasa menyemangati orang-orang muda tetapi saya lengkapi dengan
tulisan-tulisan yang berisi gagasan seputar pers mahasiswa. Tulisan-tulisan
tersebut dimuat di sebuah media massa cetak industrial tanpa honor, termasuk
honor kepada kontributor lainnya.
Saya mau melakukan semua itu agar proses regenerasi
penulis bisa lebih lancar. Kenyataannya, tidaklah mudah meregenerasi penulis muda
di Balikpapan. Selama lebih sekian tahun saya menyaksikan bahwa beberapa orang
Balikpapan (tinggal di Balikpapan) tampak begitu percaya diri seolah-olah
seorang penulis sejati. Ketika ada kegiatan pembelajaran, orang-orang itu sama
sekali tidak mampu melakukan pengajaran yang mumpuni-memadai. Istilah orang
Balikpapan, “pembualan”, yang artinya “besar omong-lagak”.
Kalaupun ada dua-tiga orang yang dianggap ‘senior’
dalam kepenulisan oleh sebagian orang Balikpapan, saya tidak pernah melihat
dua-tiga orang tersebut benar-benar bersemangat dan bekerja keras dalam
keterlibatan langsung-rutin untuk meregenerasi penulis di daerahnya sendiri. Alasan
“mengutamakan keluarga” adalah alasan yang sering saya dengar.
Saya, sebagai pendatang baru, menyadari kapasitas atas
status kebaruan saya, dan hanya bisa melongo. Kalau hanya alasan “mengutamakan
keluarga”, saya juga bisa begitu, apalagi toh,
saya hanya pendatang, bukannya warga asli Balikpapan. Saya mau terlibat bahkan
aktif-gratis karena kesadaran saya untuk menjadi bagian aktif (bukan hanya
mendompleng tanpa bisa melakukan apa-apa asalkan nama saya dikenal) dalam
proses regenerasi penulis di Balikpapan–tempat saya menetap. Ujung-ujungnya,
orang-orang ‘senior’ itu entah ke mana saja, dan saya yang begitu getol
melakukan proses itu.
Kegetolan saya pun sampai kepada “apa gunanya
orang-orang muda Balikpapan giat menulis”. Balikpapan, dalam pengamatan saya,
merupakan sebuah kota materialistis-hedonis bagi orang-orang mudanya. Uang, hura-hura,
dan pamer ini-itu merupakan kegemaran yang paling menohok mata saya. Sementara
media massa cetak industrial-nya, yang mencakupi wilayah Kaltim dan Kalimantan
Utara (Kaltara), tidak pernah sudi membayar honor kepada para kontributor
tulisan. Lantas, apa gunanya menulis bagi kegemaran orang-orang mudanya?
Saya pun rajin membaca tulisan-tulisan yang dimuat
oleh media massa setempat. Mayoritas kontributornya adalah orang-orang lewat
mudanya dan berekonomi mapan. Honor tidak pernah mereka anggap penting karena
uang bulanan dan isi tabungan sudah lebih dari cukup. Masa muda mereka memang
tidak pernah menjadi kontributor tulisan kepada media massa daerah lainnya,
baik daerah Sumatera, Jawa, dan lain-lain sebagai bagian pembelajaran diri
sekaligus mendapat honor. Sebab, mereka memang berasal dari keluarga
berkecukupan secara materi. Yang terpenting bagi kelompok mapan ini adalah
pencitraan (popularitas).
Ya, pencitraan sebagai ‘penulis’. Selain tidak
menyoalkan honor, juga mereka paling suka menyertakan foto mereka pada tulisan.
Tulisan tidaklah cukup dengan nama penulis tetapi harus dengan foto penulisnya.
Hal ini jelas membuat saya semakin melongo. Tulisan-tulisan saya, baik yang
dimuat di media massa setempat maupun di luar Balikpapan, tidaklah pernah saya
sertakan foto diri saya. Tulisan-tulisan penulis terkenal, ketika menjadi
kontributor tulisan di banyak media massa luar Balikpapan-Kaltim, tidaklah
pernah ‘menyita’ ruang tulisan dengan sebuah foto diri mereka (para penulisnya).
Apakah, kalau tanpa foto penulisnya, sebuah tulisan yang menerakan nama
penulisnya akan tidak sah-afdol?
Latar belakang kemapanan ‘penulis’, baik ketika masih
disantuni orangtua yang kaya maupun ketika sudah mampu meraih kekayaan sendiri,
memang tidak akan mengerti makna sebuah honor yang nilainya jauh di bawah garis
kekayaan orangtua maupun kekayaannya sendiri. Apalagi, mereka sama sekali tidak
pernah terlibat aktif-agresif dalam pembelajaran tulis-menulis untuk meregenerasi
penulis di Balikpapan. Mereka hanya berpikir untuk pencitraan diri mereka
sendiri. Sebuah upaya pelestarian keangkuhan hidup. Tidak lebih.
Pada kenyataannya, setiap ada kegiatan tulis-menulis
bahkan membaca karya sastra, para ‘penulis’ mapan itu memilih tidak aktif
dengan alasan “mengutamakan keluarga” (agar keluarga tetap kaya raya, dan
pencitraan diri-keluarga pun abadi, begitukah?). Lagi-lagi saya ‘terpaksa’
memaklumi dan giat memberi pembelajaran tulis-menulis, dan menyemangati
orang-orang muda Balikpapan pada saat media massa setempat tetap-lestari dalam kekayaan
penuh kekikiran dan ketiadapenghargaan terhadap hak atas kekayaan intelektual.
Selama sekian tahun aktif, saya tidak pernah meminta
bayaran seberapa rupiah pun. Apakah karena saya sudah kaya? Tentu saja tidak.
Hanya kesadaran bahwa saya tiba-tiba menyukai tulis-menulis disebabkan oleh
iklim-atmosfer Yogyakarta yang kondusif, sementara orang-orang muda Balikpapan
(yang tidak pernah merasakan iklim-atmosfer kondusif itu) harus dibantu pada
saat orang-orang tua dan instansi terkait lebih mementingkan diri sendiri
dengan segenap popularitas melampui batas. Tetapi kenyataan yang saya terima
adalah, ibarat peribahasa, “jauh perahu dari pesisir”.
Parahnya, ketika muncul lagi seorang tua yang
mengaku-aku sebagai penyair ‘senior’ di Balikpapan dengan komunitas sastra
internetnya. Ternyata penyair jadi-jadian ini tidak lebih dari seorang pendusta
sejati, baik dalam ranah profesi bidang jasa rancang-bangun maupun
tulis-menulis. Banyak omong kosongnya, dan selalu membawa-nama saya sebagai
upaya untuk meyakinkan sebagian generasi muda di Balikpapan, seolah dia sudah
mengalami suka-duka dalam tulis-menulis seperti yang sudah sekian tahun saya
lewati. Lagi-lagi, klaim diri-nya itu
tidak lebih dari upaya pencitraan. Seorang pendusta memang menyukai pencitraan.
Saya pun jadi korbannya dalam hal imbalan jasa perancangan bangunan.
Pada akhirnya, 18 Oktober 2014, saya menyatakan diri
untuk tidak aktif. Saya telah lelah menyemangati orang-orang muda yang tidak
pernah ‘diperhatikan’ dan ‘dibina’ secara rutin oleh orang-orang tua itu. Sekian
tahun andil-aktif tanpa pernah mendapat imbalan serupiah pun, apalagi bukan
seorang sarjana sastra, redaktur media massa ataupun penulis sejati, dan murni
seorang pendatang, mengapa saya menyusahkan diri saya sendiri seolah pahlawan
kesiangan berharap mendapat sarapan sekaligus makan malam?
Saya pun menyampaikan hal itu kepada beberapa orang
muda di Balikpapan. Juga, saya tidak akan pernah mau mengirimkan tulisan saya
kepada media massa di Balikpapan, sebagaimana tahun sebelumnya bahkan ada
seorang redaktur meminta untuk memuat tulisan saya yang ‘mengritik’ perihal hak
cipta sebuah karya seni sastra, yang ternyata untuk ‘meninju’ kompetitor (napuk nyilih tangan, begitu peribahasa
Jawa).
Kepada orang muda itu saya katakan bahwa saya akan
kembali aktif menyemangati sekaligus terlibat langsung dalam pembelajaran
tulis-menulis dengan satu saja syarat utamanya : media massa cetak industrial
di Balikpapan alias Kaltim bersedia memberi honor kepada para kontributor
tulisan. Persoalan, berapakah nilai honor dan apakah kontributor mau menerima
honor atau tidak, bukanlah persoalan penting.
Terlebih, seperti cuplikan status itu, “kepenulisan (utamanya kepenulisan di
bidang sastra, seni, budaya) di Kaltim”. Media
massa cetak di Balikpapan serta Kaltim sama sekali kurang berminat pada
kepenulisan sastra. Lihat saja lembar halaman edisi Minggu-nya. Lebih 6,5 tahun
di Balikpapan saya bisa melihat, bagaimana perhatian medianya. Alasan apa pun
bisa dibuat oleh awak media, padahal ujung-ujungnya hanyalah “tidak komersial”
alias tidak menguntungkan secara ekonomi bagi media itu. Kalaupun ada media
yang memuat, lagi-lagi, tanpa honor bagi kontributornya. Sempurna!
Menurut saya, honor merupakan penyemangat lengkap,
selain tulisan dimuat dan dibaca banyak orang sehingga ada semangat
‘pencitraan’ (popularitas). Seberapa besarnya pun, bukanlah untuk dipersoalkan.
Sebab, ketika media massa membayar honor, itu berarti media massa sangat
memahami bahwa tulisan–sebagai suatu
karya-cipta–merupakan hak kekayaan atas intelektual. Kalau media setempat turut
berkoar-koar pada waktu produk kesenian Indonesia ‘dicaplok’ oleh Negara Jiran,
justru media itu telah ‘merampok’ hak atas kekayaan intelektual kontributornya
sendiri karena produk medianya dijual dan lembar halamannya bertabur iklan!
Bagi kontributor, yang masih disuap oleh orangtuanya
atau belum terlalu mapan (seorang kuli tetapi gemar menulis), honor sangatlah
penting dalam tata-kelola perekonomiannya. Honor bisa dipakai untuk kepentingan
pribadi, keluarga, maupun sosial. Untuk kepentingan pribadi, terutama dalam hal
pembinaan bagi diri sendiri, misalnya 1) membeli buku–sebagai penambah ilmu; 2) membeli pulsa modem
sehingga tetap lancar mengakses wawasan; 3) kopi-gula dan camilan sehingga bisa
lebih asyik ketika menulis dan hasilnya bisa lebih bagus. Dan lain-lain.
Dalam kaitannya sebagai kepentingan keluarga, honor
bisa dipakai, misalnya, untuk : 1) mengganti (menebus/membayar) waktu yang
seharusnya dipakai untuk keluarga; 2) membeli hadiah kejutan apabila anaknya
meraih suatu prestasi, minimal nilai ulangan hariannya bagus; 3) ditabung
sampai banyak, dan suatu waktu bisa dipakai untuk kepentingan keluarga. Dan
lain-lain.
Sedangkan dalam kaitannya sebagai kepentingan sosial,
misalnya 1) menraktir kawan; 2) menambah sumbangan sukarela dalam rangka suatu
kegiatan sosial; 3) menyebarkan pemahaman yang benar mengenai hak atas kekayaan
intelektual sekaligus menyemangati orang-orang muda, bahwasannya tulisan dapat
menjadi kegiatan yang bernilai ekonomi-material; 4) tidak terus-menerus omong
kosong perihal “ekonomi kreatif” pada saat kreativitas tulis-menulis tidak
menghasilkan bukti nyata berupa honor.
Jujur sajalah, selama tinggal di Balikpapan dan lebih
dari sepuluh tulisan saya dimuat di media massa setempat, belum pernah saya
nekat menjadikan tulisan-tulisan saya itu sebagai alat pembayaran ketika
membeli sesuatu, misalnya bensin, pulsa, kopi, kudapan, dan lain-lain. Apakah
media pemuat tulisan saya itu berani juga menjamin bahwa tulisan saya yang
dimuat itu bisa ditukarkan dengan beras, sayur, daging, dan lain-lain?
Begitulah syaratnya untuk mengembalikan
keaktifan saya dalam keterlibatan meregenerasi penulis muda di Balikpapan,
Kaltim. Sekian tahun saya memikirkan, bagaimana orang-orang muda Balikpapan
bisa bersemangat dalam kegiatan tulis-menulis dan berkarya, dimana honor
sangatlah penting ketika saya diperhadapkan pada dahsyatnya pertumbuhan-perkembangan
penulis muda di luar Balikpapan bahkan Kaltim, misalnya kepulauan Riau, pulau
Sumatera, kepulauan Babel, pulau Jawa, Bali, dan seterusnya.
Contoh yang masih cukup ‘hangat’, dari puisi
yang lolos untuk acara Temu Penyair Tifa Nusantara II di Cikupa, Kabupaten
Tangerang, 27 s.d. 29 Agustus 2015, wakil dari Kaltim hanya dua orang, yaitu
seorang (anggota sebuah komunitas penulis) dari Samarinda dan seorang lagi
(bukan anggota komunitas penulis) dari Balikpapan. Dengan gembar-gembor Otonomi
Khusus lantaran merupakan provinsi (Kaltim) yang kaya raya, sungguh tidak sejajar
dengan kapasitas bersastra penduduknya, jika dibanding dengan provinsi
tetangga, Kalsel. Wakil dari Kalsel untuk acara itu berjumlah lebih sepuluh
penyair.
Maka, ketika membaca undangan melalui status
Amien Wangsitalaja itu, saya hanya mengomentarinya dengan frase dan doa “semoga
sukses”. Meskipun saya seorang warga dan menetap di Balikpapan, Kaltim, saya
tidak akan mengajukan diri untuk bergabung, bahkan dengan komunitas sejenis
lainnya. “Semoga sukses” itu karena saya bisa memahami bahwa apabila kelak
benar-benar sukses hingga budaya tulis-menulis sudah menjadi bagian budaya
masyarakat Kaltim tentulah karena kegigihan para pengelolanya (JPK) dalam niat
luhur, kesadaran, dan kerja keras yang luar biasa.
*******
Kebun Karya, 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar