Senin, 08 Mei 2017

Sebuah Undangan Terbuka Bagi Penulis di Kaltim

(Terpajang di Catatan Fb saya pada 27 Agustus 2015, pkl.15.30 WITA)

Saya membaca status Amien Wangsitalaja melalui akun FB-nya, Senin, 24 Agustus 2015, bahwa pendaftaran terbuka pegiat “Jaring Penulis Kaltim" (JPK). JPK kembali akan diaktifkan dan akan melakukan penyegaran kepengurusan pada awal September ini. Mengundang para pegiat atau pemerhati kepenulisan (utamanya kepenulisan di bidang sastra, seni, budaya) di Kaltim untuk bergabung di JPK. “Bagi yang serius ingin bergabung, harap mengirimkan nomor kontak (hp) ke inbox saya sesegera mungkin,” begitu akhir dari statusnya.

Beberapa hari, minggu, dan bulan sebelumnya saya telah menyampaikan secara terbuka kepada kawan-kawan di FB mengenai ketidakaktifan saya dalam seluruh kegiatan kesenian dan tulis-menulis secara kolektif-komunal di Balikpapan, Kaltim, sejak 18 Oktober 2014. Tentu saja, ketidakaktifan saya sangatlah janggal karena sejak sekitar 15 Maret 2009 (mantap menetap di Kota Minyak ini pada 10 Maret 2009) saya mulai melibatkan diri (tanpa dibayar/gaji) dalam kegiatan kesenian dan tulis-menulis melalui sebuah komunitas kesenian di Balikpapan.

Selain terlibat dalam kegiatan kesenian dan tulis-menulis, khususnya sastra, saya pun melibatkan diri dalam pembelajaran jurnalistik (pers mahasiswa) di sebuah perguruan tinggi swasta di Balikpapan. Saya tidak dibayar alias gratis. Tidak cukup dengan pembelajaran secara langsung bahkan senantiasa menyemangati orang-orang muda tetapi saya lengkapi dengan tulisan-tulisan yang berisi gagasan seputar pers mahasiswa. Tulisan-tulisan tersebut dimuat di sebuah media massa cetak industrial tanpa honor, termasuk honor kepada kontributor lainnya.

Saya mau melakukan semua itu agar proses regenerasi penulis bisa lebih lancar. Kenyataannya, tidaklah mudah meregenerasi penulis muda di Balikpapan. Selama lebih sekian tahun saya menyaksikan bahwa beberapa orang Balikpapan (tinggal di Balikpapan) tampak begitu percaya diri seolah-olah seorang penulis sejati. Ketika ada kegiatan pembelajaran, orang-orang itu sama sekali tidak mampu melakukan pengajaran yang mumpuni-memadai. Istilah orang Balikpapan, “pembualan”, yang artinya “besar omong-lagak”.

Kalaupun ada dua-tiga orang yang dianggap ‘senior’ dalam kepenulisan oleh sebagian orang Balikpapan, saya tidak pernah melihat dua-tiga orang tersebut benar-benar bersemangat dan bekerja keras dalam keterlibatan langsung-rutin untuk meregenerasi penulis di daerahnya sendiri. Alasan “mengutamakan keluarga” adalah alasan yang sering saya dengar.   

Saya, sebagai pendatang baru, menyadari kapasitas atas status kebaruan saya, dan hanya bisa melongo. Kalau hanya alasan “mengutamakan keluarga”, saya juga bisa begitu, apalagi toh, saya hanya pendatang, bukannya warga asli Balikpapan. Saya mau terlibat bahkan aktif-gratis karena kesadaran saya untuk menjadi bagian aktif (bukan hanya mendompleng tanpa bisa melakukan apa-apa asalkan nama saya dikenal) dalam proses regenerasi penulis di Balikpapan–tempat saya menetap. Ujung-ujungnya, orang-orang ‘senior’ itu entah ke mana saja, dan saya yang begitu getol melakukan proses itu.

Kegetolan saya pun sampai kepada “apa gunanya orang-orang muda Balikpapan giat menulis”. Balikpapan, dalam pengamatan saya, merupakan sebuah kota materialistis-hedonis bagi orang-orang mudanya. Uang, hura-hura, dan pamer ini-itu merupakan kegemaran yang paling menohok mata saya. Sementara media massa cetak industrial-nya, yang mencakupi wilayah Kaltim dan Kalimantan Utara (Kaltara), tidak pernah sudi membayar honor kepada para kontributor tulisan. Lantas, apa gunanya menulis bagi kegemaran orang-orang mudanya?

Saya pun rajin membaca tulisan-tulisan yang dimuat oleh media massa setempat. Mayoritas kontributornya adalah orang-orang lewat mudanya dan berekonomi mapan. Honor tidak pernah mereka anggap penting karena uang bulanan dan isi tabungan sudah lebih dari cukup. Masa muda mereka memang tidak pernah menjadi kontributor tulisan kepada media massa daerah lainnya, baik daerah Sumatera, Jawa, dan lain-lain sebagai bagian pembelajaran diri sekaligus mendapat honor. Sebab, mereka memang berasal dari keluarga berkecukupan secara materi. Yang terpenting bagi kelompok mapan ini adalah pencitraan (popularitas).

Ya, pencitraan sebagai ‘penulis’. Selain tidak menyoalkan honor, juga mereka paling suka menyertakan foto mereka pada tulisan. Tulisan tidaklah cukup dengan nama penulis tetapi harus dengan foto penulisnya. Hal ini jelas membuat saya semakin melongo. Tulisan-tulisan saya, baik yang dimuat di media massa setempat maupun di luar Balikpapan, tidaklah pernah saya sertakan foto diri saya. Tulisan-tulisan penulis terkenal, ketika menjadi kontributor tulisan di banyak media massa luar Balikpapan-Kaltim, tidaklah pernah ‘menyita’ ruang tulisan dengan sebuah foto diri mereka (para penulisnya). Apakah, kalau tanpa foto penulisnya, sebuah tulisan yang menerakan nama penulisnya akan tidak sah-afdol?

Latar belakang kemapanan ‘penulis’, baik ketika masih disantuni orangtua yang kaya maupun ketika sudah mampu meraih kekayaan sendiri, memang tidak akan mengerti makna sebuah honor yang nilainya jauh di bawah garis kekayaan orangtua maupun kekayaannya sendiri. Apalagi, mereka sama sekali tidak pernah terlibat aktif-agresif dalam pembelajaran tulis-menulis untuk meregenerasi penulis di Balikpapan. Mereka hanya berpikir untuk pencitraan diri mereka sendiri. Sebuah upaya pelestarian keangkuhan hidup. Tidak lebih.

Pada kenyataannya, setiap ada kegiatan tulis-menulis bahkan membaca karya sastra, para ‘penulis’ mapan itu memilih tidak aktif dengan alasan “mengutamakan keluarga” (agar keluarga tetap kaya raya, dan pencitraan diri-keluarga pun abadi, begitukah?). Lagi-lagi saya ‘terpaksa’ memaklumi dan giat memberi pembelajaran tulis-menulis, dan menyemangati orang-orang muda Balikpapan pada saat media massa setempat tetap-lestari dalam kekayaan penuh kekikiran dan ketiadapenghargaan terhadap hak atas kekayaan intelektual.

Selama sekian tahun aktif, saya tidak pernah meminta bayaran seberapa rupiah pun. Apakah karena saya sudah kaya? Tentu saja tidak. Hanya kesadaran bahwa saya tiba-tiba menyukai tulis-menulis disebabkan oleh iklim-atmosfer Yogyakarta yang kondusif, sementara orang-orang muda Balikpapan (yang tidak pernah merasakan iklim-atmosfer kondusif itu) harus dibantu pada saat orang-orang tua dan instansi terkait lebih mementingkan diri sendiri dengan segenap popularitas melampui batas. Tetapi kenyataan yang saya terima adalah, ibarat peribahasa, “jauh perahu dari pesisir”.

Parahnya, ketika muncul lagi seorang tua yang mengaku-aku sebagai penyair ‘senior’ di Balikpapan dengan komunitas sastra internetnya. Ternyata penyair jadi-jadian ini tidak lebih dari seorang pendusta sejati, baik dalam ranah profesi bidang jasa rancang-bangun maupun tulis-menulis. Banyak omong kosongnya, dan selalu membawa-nama saya sebagai upaya untuk meyakinkan sebagian generasi muda di Balikpapan, seolah dia sudah mengalami suka-duka dalam tulis-menulis seperti yang sudah sekian tahun saya lewati. Lagi-lagi, klaim diri-nya itu tidak lebih dari upaya pencitraan. Seorang pendusta memang menyukai pencitraan. Saya pun jadi korbannya dalam hal imbalan jasa perancangan bangunan.

Pada akhirnya, 18 Oktober 2014, saya menyatakan diri untuk tidak aktif. Saya telah lelah menyemangati orang-orang muda yang tidak pernah ‘diperhatikan’ dan ‘dibina’ secara rutin oleh orang-orang tua itu. Sekian tahun andil-aktif tanpa pernah mendapat imbalan serupiah pun, apalagi bukan seorang sarjana sastra, redaktur media massa ataupun penulis sejati, dan murni seorang pendatang, mengapa saya menyusahkan diri saya sendiri seolah pahlawan kesiangan berharap mendapat sarapan sekaligus makan malam?

Saya pun menyampaikan hal itu kepada beberapa orang muda di Balikpapan. Juga, saya tidak akan pernah mau mengirimkan tulisan saya kepada media massa di Balikpapan, sebagaimana tahun sebelumnya bahkan ada seorang redaktur meminta untuk memuat tulisan saya yang ‘mengritik’ perihal hak cipta sebuah karya seni sastra, yang ternyata untuk ‘meninju’ kompetitor (napuk nyilih tangan, begitu peribahasa Jawa).  

Kepada orang muda itu saya katakan bahwa saya akan kembali aktif menyemangati sekaligus terlibat langsung dalam pembelajaran tulis-menulis dengan satu saja syarat utamanya : media massa cetak industrial di Balikpapan alias Kaltim bersedia memberi honor kepada para kontributor tulisan. Persoalan, berapakah nilai honor dan apakah kontributor mau menerima honor atau tidak, bukanlah persoalan penting.

Terlebih, seperti cuplikan status itu, “kepenulisan (utamanya kepenulisan di bidang sastra, seni, budaya) di Kaltim”. Media massa cetak di Balikpapan serta Kaltim sama sekali kurang berminat pada kepenulisan sastra. Lihat saja lembar halaman edisi Minggu-nya. Lebih 6,5 tahun di Balikpapan saya bisa melihat, bagaimana perhatian medianya. Alasan apa pun bisa dibuat oleh awak media, padahal ujung-ujungnya hanyalah “tidak komersial” alias tidak menguntungkan secara ekonomi bagi media itu. Kalaupun ada media yang memuat, lagi-lagi, tanpa honor bagi kontributornya. Sempurna!

Menurut saya, honor merupakan penyemangat lengkap, selain tulisan dimuat dan dibaca banyak orang sehingga ada semangat ‘pencitraan’ (popularitas). Seberapa besarnya pun, bukanlah untuk dipersoalkan. Sebab, ketika media massa membayar honor, itu berarti media massa sangat memahami bahwa tulisan–sebagai  suatu karya-cipta–merupakan hak kekayaan atas intelektual. Kalau media setempat turut berkoar-koar pada waktu produk kesenian Indonesia ‘dicaplok’ oleh Negara Jiran, justru media itu telah ‘merampok’ hak atas kekayaan intelektual kontributornya sendiri karena produk medianya dijual dan lembar halamannya bertabur iklan!

Bagi kontributor, yang masih disuap oleh orangtuanya atau belum terlalu mapan (seorang kuli tetapi gemar menulis), honor sangatlah penting dalam tata-kelola perekonomiannya. Honor bisa dipakai untuk kepentingan pribadi, keluarga, maupun sosial. Untuk kepentingan pribadi, terutama dalam hal pembinaan bagi diri sendiri, misalnya 1) membeli buku–sebagai  penambah ilmu; 2) membeli pulsa modem sehingga tetap lancar mengakses wawasan; 3) kopi-gula dan camilan sehingga bisa lebih asyik ketika menulis dan hasilnya bisa lebih bagus. Dan lain-lain.

Dalam kaitannya sebagai kepentingan keluarga, honor bisa dipakai, misalnya, untuk : 1) mengganti (menebus/membayar) waktu yang seharusnya dipakai untuk keluarga; 2) membeli hadiah kejutan apabila anaknya meraih suatu prestasi, minimal nilai ulangan hariannya bagus; 3) ditabung sampai banyak, dan suatu waktu bisa dipakai untuk kepentingan keluarga. Dan lain-lain.

Sedangkan dalam kaitannya sebagai kepentingan sosial, misalnya 1) menraktir kawan; 2) menambah sumbangan sukarela dalam rangka suatu kegiatan sosial; 3) menyebarkan pemahaman yang benar mengenai hak atas kekayaan intelektual sekaligus menyemangati orang-orang muda, bahwasannya tulisan dapat menjadi kegiatan yang bernilai ekonomi-material; 4) tidak terus-menerus omong kosong perihal “ekonomi kreatif” pada saat kreativitas tulis-menulis tidak menghasilkan bukti nyata berupa honor.       

Jujur sajalah, selama tinggal di Balikpapan dan lebih dari sepuluh tulisan saya dimuat di media massa setempat, belum pernah saya nekat menjadikan tulisan-tulisan saya itu sebagai alat pembayaran ketika membeli sesuatu, misalnya bensin, pulsa, kopi, kudapan, dan lain-lain. Apakah media pemuat tulisan saya itu berani juga menjamin bahwa tulisan saya yang dimuat itu bisa ditukarkan dengan beras, sayur, daging, dan lain-lain?

Begitulah syaratnya untuk mengembalikan keaktifan saya dalam keterlibatan meregenerasi penulis muda di Balikpapan, Kaltim. Sekian tahun saya memikirkan, bagaimana orang-orang muda Balikpapan bisa bersemangat dalam kegiatan tulis-menulis dan berkarya, dimana honor sangatlah penting ketika saya diperhadapkan pada dahsyatnya pertumbuhan-perkembangan penulis muda di luar Balikpapan bahkan Kaltim, misalnya kepulauan Riau, pulau Sumatera, kepulauan Babel, pulau Jawa, Bali, dan seterusnya.

Contoh yang masih cukup ‘hangat’, dari puisi yang lolos untuk acara Temu Penyair Tifa Nusantara II di Cikupa, Kabupaten Tangerang, 27 s.d. 29 Agustus 2015, wakil dari Kaltim hanya dua orang, yaitu seorang (anggota sebuah komunitas penulis) dari Samarinda dan seorang lagi (bukan anggota komunitas penulis) dari Balikpapan. Dengan gembar-gembor Otonomi Khusus lantaran merupakan provinsi (Kaltim) yang kaya raya, sungguh tidak sejajar dengan kapasitas bersastra penduduknya, jika dibanding dengan provinsi tetangga, Kalsel. Wakil dari Kalsel untuk acara itu berjumlah lebih sepuluh penyair. 

Maka, ketika membaca undangan melalui status Amien Wangsitalaja itu, saya hanya mengomentarinya dengan frase dan doa “semoga sukses”. Meskipun saya seorang warga dan menetap di Balikpapan, Kaltim, saya tidak akan mengajukan diri untuk bergabung, bahkan dengan komunitas sejenis lainnya. “Semoga sukses” itu karena saya bisa memahami bahwa apabila kelak benar-benar sukses hingga budaya tulis-menulis sudah menjadi bagian budaya masyarakat Kaltim tentulah karena kegigihan para pengelolanya (JPK) dalam niat luhur, kesadaran, dan kerja keras yang luar biasa.

*******

Kebun Karya, 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar