Ini peringatan
dini. Jangan mengkultuskan saya. Jangan memuja-mengidolakan-mengagumi saya. Saya
bukanlah manusia hebat seperti orang-orang yang hebat hingga dikultuskan atau
dianggap sejajar dengan nabi.
Mengkultuskan saya sama saja dengan memberhalakan saya. Memberhalakan itu berarti apa yang saya katakan dan lakukan merupakan suatu yang layak dipanuti, diteladani, dipuji, bahkan dipuja/disembah. Mengkultuskan saya sama saja mencuri kemuliaan Tuhan. Itu sangat berbahaya!
Mengkultuskan saya sama saja dengan memberhalakan saya. Memberhalakan itu berarti apa yang saya katakan dan lakukan merupakan suatu yang layak dipanuti, diteladani, dipuji, bahkan dipuja/disembah. Mengkultuskan saya sama saja mencuri kemuliaan Tuhan. Itu sangat berbahaya!
Saya menuliskan ini
dengan kesadaran diri sepenuhnya. Saya manusia biasa dengan kekurangan yang
manusiawi. Saya yang kurang pandai, tidak cerdas, kurang baik, berakhlak somplak, dan seterusnya.
Kelebihan-kelebihan
yang saya miliki tidaklah lebih dari suatu upaya yang saya tekuni secara sadar
dan kemauan untuk mengelola diri saya. Semua prestasi yang pernah saya capai
tidaklah lebih dari suatu ganjaran atas kesadaran dan kerja keras saya dalam
pengelolaan diri.
Saya tidak percaya
pada bakat. Yang saya percaya adalah kesadaran sekaligus usaha atas pilihan
menekuni suatu bidang, dan berlanjut ke bidang lainnya. Ketika saya memilih
suatu bidang yang menarik atau tiba-tiba saya suka, kecenderungan saya adalah
menyadari, apakah yang kemudian saya lakukan untuk meyakinkan diri saya sendiri
bahwa suatu bidang tersebut bisa saya tekuni, dan mampu secara ilmu maupun
ekonomi, hingga mendapat suatu “pengakuan khusus” dari para penggiat di bidang
tersebut.
Ya, faktor ekonomi
merupakan kesadaran saya paling mendasar. Hal ini dimulai ketika saya melanjutkan
sekolah ke Yogyakarta berbekal Nilai Ebtanas Murni (NEM) SMP hanya 40,28 (6 mata pelajaran). Dengan kiriman bulanan Rp.60.000,00 (sewa kamar kos
Rp.15.000,00), saya tidak mampu bergerak leluasa. Makan adalah kebutuhan utama,
yang dalam satu bulan berbiaya Rp.30.000,00 (kurs nasi lauk telur ceplok
Rp.500,00 per porsi). Sisa Rp.15.000,00 harus dibagi antara kebutuhan mendesak,
dan persiapan akhir bulan.
Keterbatasan ekonomi
tersebut menyebabkan saya lebih sering berada di kos, atau bermain di rumah
kawan saya (Yulius Kartika) di belakang toko swalayan “Gardena”, Jl. Urip
Sumoharjo, yang tidak jauh dari indekosan saya. Saya harus benar-benar mampu
mengelola keuangan pada saat masa puber sedang ganas (saya tidak berani
memiliki pacar!).
Keterbatasan ruang
gerak itu tidaklah membuat saya kecewa pada kenyataan hidup saya jika saya
bandingkan ketika masa SMP dengan leluasa keluyuran setiap malam, dan, tentunya, bertamasya ke pantai-pantai naik
sepeda motor bebek Yamaha 1979 (jelas malas belajar!) karena tinggal dengan orangtua. Justru dalam
keterbatasan saya mengelola diri saya untuk menyiasati kejenuhan berada dalam
lingkungan yang berbeda.
Ketika Kelas III (A1/Fisika)
SMA, di samping menjadi anggota majalah sekolah, saya sudah ditunjuk oleh guru
bidang Seni Rupa untuk menjadi juri dalam lomba lukis antarkelas. Padahal saya
menggambar secara otodidak, dan menilai suatu karya lukis kawan-kawan berdasar
pemahaman saya sendiri. Apalagi SMA saya di Kota Budaya Yogyakarta! Guru saya
sempat menanyakan kriteria penilaian, dan, kebetulan saya bisa menjawab.
Begitu pula ketika
saya kuliah, meski sebelumnya saya sempat menganggur selama 1 tahun untuk
mendalami bidang Seni Rupa hingga ikut bimbingan belajar menggambar di Bandung.
Kiriman satu bulan sudah meningkat menjadi Rp.75.000,00 per bulan. Sewa kamar
kos dibayar per tahun, Rp.225.000,00. Kurs nasi lauk telur ceplok Rp.1.500,00. Dengan
keuangan yang sedemikian itu saya mulai membeli Majalah Humor secara rutin di koperasi kampus (bukan berlangganan),
yang harganya Rp.2.900,00 per dua minggu. Lalu majalah lainnya, meski tidak
rutin.
Saya benar-benar serius
mengelola diri ketika terlibat di Majalah Mahasiswa Teknik UAJY, bahkan sejak masa
OSPEK (belum kuliah reguler). Ketika menjadi anggota majalah tersebut, saya
semakin leluasa berkarya, selain kuliah. Mumpung ada kesempatan belajar, saya
benar-benar menggunakan waktu saya di sana, termasuk sudah berpacaran dengan
berganti-ganti gadis yang berada di luar Yogyakarta (strategi ekonomi juga,
tentunya!).
Perjalanan saya
menekuni apa pun yang tiba-tiba menarik, dan saya mampu, memang panjang. Tetapi
saya sangat menikmati semua itu. Maka, kalau sekarang saya bisa berkarya bahkan
berkompetisi, bukanlah hal yang tidak lazim. Siapa pun pasti mampu melakukan
bahkan mencapai suatu prestasi tertentu asalkan serius (tidak hangat-hangat tahi
ayam) dan terus-menerus.
Tapi, ingat, semua itu bukan lantas saya tidak pernah melakukan kekurangan, kesalahan, bahkan dosa yang manusiawi. Saya masih manusia biasa dengan kelemahan yang luar biasa. Setiap prestasi yang saya raih, baik menang atau kalah, semua berujung kepada takdir. Saya hanya berusaha semampu saya. Saya hanya berencana untuk suatu prestasi. Keputusan mutlak milik Tuhan saja.
Apakah dengan suatu prestasi lantas saya "menjadi" sesuai dengan prestasi itu?
Ada-tidaknya prestasi, saya tidak mau mengaku-aku (mengklaim) sebagai penulis, baik esais, ceritapendekis (cerpenis), maupun sajakis (penyair). Saya pun tidak memerlukan pengakuan siapa pun hingga menjadi julukan esais, ceritapendekis (cerpenis), maupun sajakis (penyair).
Jadi, jangan pernah mengkultuskan (memberhalakan) saya karena hanya satu-dua kelebihan. Biarkanlah saya sebagai siapa yang biasa-biasa saja sebagaimana manusia umumnya.
Tapi, ingat, semua itu bukan lantas saya tidak pernah melakukan kekurangan, kesalahan, bahkan dosa yang manusiawi. Saya masih manusia biasa dengan kelemahan yang luar biasa. Setiap prestasi yang saya raih, baik menang atau kalah, semua berujung kepada takdir. Saya hanya berusaha semampu saya. Saya hanya berencana untuk suatu prestasi. Keputusan mutlak milik Tuhan saja.
Apakah dengan suatu prestasi lantas saya "menjadi" sesuai dengan prestasi itu?
Ada-tidaknya prestasi, saya tidak mau mengaku-aku (mengklaim) sebagai penulis, baik esais, ceritapendekis (cerpenis), maupun sajakis (penyair). Saya pun tidak memerlukan pengakuan siapa pun hingga menjadi julukan esais, ceritapendekis (cerpenis), maupun sajakis (penyair).
Jadi, jangan pernah mengkultuskan (memberhalakan) saya karena hanya satu-dua kelebihan. Biarkanlah saya sebagai siapa yang biasa-biasa saja sebagaimana manusia umumnya.
Demikianlah sekilas
cerita saya sampai saya membuat peringatan ini.
*******
Panggung Renung
Balikpapan, 27 Mei 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar