Pada Hari Pahlawan 2016 saya menjadi juara
I Lomba Menulis Esai Se-Kalimantan Timur (Kaltim) dan Kalimantan Utara
(Kaltara). Lomba bertema “Kebahasaan dan Kesastraan” tersebut diselenggarakan
oleh Kantor Bahasa Kaltim sejak 1 Agustus sampai 1 Oktober lalu ditambah batas
waktunya sampai 30 Oktober.
Tentu saja saya sangat senang menjadi
juara I dalam lomba yang juga diikuti dosen, praktisi seni-sastra, dan
mahasiswa tersebut, dan hingga keesokan harinya rasa itu masih meluap-luap.
Saya merasa diri saya melambung melebihi menara api Pertamina Balikpapan. Luar
biasa!
Betapa tidak luar biasa perasaan saya. Pertama, profesi saya adalah arsitek.
Fokus utama seorang arsitek adalah rancangan bangunan alias gambar bangunan. Gambar
sebagai alat komunikasi. Bukan kata, atau kalimat, apalagi panjangnya sampai 10
halaman dengan spasi 1,5.
Kedua, pada saat membuat esai itu saya pun
sedang dalam masa menggambar bangunan kuliner mewah seluas 3.435 meter persegi
dengan permintaan pemesan yang sok tahu padahal tidak mampu memahami perbedaan
antara interior, eksterior, arsitektur, struktur, dan seterusnya. Saya sudah
bersusah payah menerengkan perihal
perencanaan dan perancangan tetapi dia tetap sok tahu, bahkan menyamakan
antara interior dan eksterior.
Oleh sebab pengerjaan gambar bangunan
tidak diawali oleh sebuah kepekatan dalam kontrak kerja, saya menyempatkan diri
untuk membuat esai. Daripada saya terjebak dalam lingkaran omong kosong soal
interior-arsitektur dengan orang itu, lebih baik saya menuliskan pemikiran saya
untuk mengeluarkan apa yang pernah saya pikirkan dan alami selama menjadi warga
Kaltim.
Ketiga, saya mengerjakan esai selama 5 hari
dalam waktu yang terbagi dengan menggambar bangunan. Tentu saja saya harus
mencari data-data terkait, baik dari buku yang saya miliki maupun internet. Waktu
itu saya harus mengirimkan dalam bentuk cetakan sebelum batas akhir 1 Oktober. Selain
itu, saya pernah menuliskan secara seenak saya sendiri tentang budaya
tulis-menulis di Balikpapan.
Memang, jauh waktu sebelumnya, saya sering
membicarakan perihal dunia tulis-menulis dan sastra di Balikpapan bahkan Kaltim
dengan kawan-kawan. Itu kegelisahan saya secara pribadi ketika menyaksikan
realitas. Apalah guna suatu pembicaraan, bukan? Maka, lomba esai tersebut
memberi kesempatan pada saya untuk menyampaikan pendapat secara tertulis dan
bertanggung jawab, meskipun jika tidak masuk nominasi.
Pada lembar biodata penulis secara jujur
saya tuliskan, “Dalam lomba ini ia nekat mengajukan dua butir tulisan berupa
sebutir esai dan sebutir feature walaupun sedang dirundung pekerjaan merancang
bangunan seluas 2.000-an meter persegi. Untuk esai, judulnya ‘Kemiskinan Sastra
dalam Provinsi Terkaya di Indonesia’…. Katanya, sekadar berpartisipasi sebagai
warga Kaltim yang masih mau repot memikirkan hal-hal di luar profesi dan ijazah
terakhirnya sehingga dewan juri tidak perlu repot menilai mutu dua butir tulisannya.”
Keempat, kerja keras saya dalam menggambar
bangunan, ternyata, tidak juga masuk dalam tahap kesepakatan (kontrak kerja. Saya
pun bertengkar dengan pemesan gambar bangunan itu karena dia, didukung seorang
lagi sebagai anteknya, selalu berkelit ketika saya menanyakan perihal
pembayaran, paling tidak uang muka beserta surat kontrak sebagai sebuah
komitmen kerjasama.
Pada 24 Oktober saya batalkan kerjasama
karena mereka (keduanya terkenal sebagai aktivis di gereja; seorang pendoa, dan
seorang pendekor) tidak juga sudi
menyepakati suatu komitmen, meskipun saya sudah memberikan gambar bangunan
dengan format CAD dan Sketchup (3D). Dan, ini kejadian kedua, setelah setahun
sebelumnya seorang anak pendeta tidak mau membayar uang muka atas kerja keras
saya merancang bangunan indekos tiga lantai miliknya.
Kelima, sejak 18 Oktober 2014 saya tidak lagi
bergabung dengan komunitas kesenian maupun penulisan di Balikpapan, apalagi di
Kaltim. Di samping persoalan seorang kawan yang tidak membayar kerja keras saya
merancang renovasi rumah dan tempat usaha (berlantai dua) milik mantan
kekasihnya yang kemudian berjumpa lagi, banyak persoalan mendasar yang kemudian
mengumpul sebagai sebuah tembok yang membatasi pemahaman di antara saya dan
kawan-kawan mengenai kesenian, kepenulisan, media massa, kompensasi, kompetisi,
dan seterusnya.
Saya bisa memahami latar mereka, yang
ketika masih sekolah atau kuliah sama sekali tidak pernah aktif dalam
tulis-menulis dan mengirim karya mereka ke media massa. Mereka dari golongan
keluarga berekonomi kaya sehingga tidak pernah kekurangan dalam kebutuhan
bulanan, baik di rumah maupun ketika bersekolah di luar daerah mereka.
Saya memilih menyendiri dengan menjaga
konsistenitas berkarya, khususnya tulis-menulis. Sejak berada di Balikpapan
pada 10 Maret 2009 saya sudah membawa bekal kegemaran tulis-menulis, dan pernah
bergabung dengan sebuah komunitas kesenian dan tulis-menulis pada 20 Maret 2009.
Bagi saya, menulis merupakan suatu kegiatan perseorangan alias dilakukan
seorang diri dalam suatu suasana tersendiri.
Keenam, pada 1999 saya pernah meraih juara I
Lomba Menulis Esai se-Babel dan Sumsel dalam rangka Ekawarsa Harian Bangka Pos. Pada waktu itu Babel belum
menjadi provinsi sendiri tetapi sedang menuju ke arah pembentukan provinsi
sendiri, dan keluar dari Provinsi Sumatera Selatan. Saya pun belum menjadi
arsitek, yang secara resmi disahkan melalui tahap awal berupa ijazah pendidikan
akhir.
Tentu saja, sebagai seorang putera daerah
yang jarang mudik sekaligus belum merampung skripsi ketika itu, menjadi juara I
setelah bersaing dengan para sarjana merupakan suatu kesenangan tersendiri. Sejak
9 Juni 1987 saya keluar dari kampung halaman dan pulau yang nyaman, seketika
saya ‘hilang’ dari kehidupan masyarakat Babel. Kemudian sekitar 1999 nama dan
karya saya (puisi, cerpen, dan esai) muncul di media lokal (Bangka Pos) tanpa menghadirkan diri saya
seutuhnya.
Ketujuh, sebelum 1999 apalagi 2016 saya tidak
pernah menjadi juara I dalam bidang apa pun ketika bersekolah di Bangka dan Yogyakarta,
kecuali ketika di TK dalam bidang kesehatan gigi se-Kabupaten Bangka. Jangankan
juara I dalam pendidikan, juara III pun saya tidak satu kali pun mengalaminya
karena saya selalu masuk kategori 30 besar dalam jumlah 40 siswa dalam satu
ruang kelas.
Demikian ketujuh alasan saya merasa senang
bukan kepalang ketika menjadi juara I dalam lomba tersebut, apalagi di luar
bidang belajar yang saya tekuni secara resmi selama sekian tahun. Saya tidak
tahu, apakah para juara I, baik rapot (rangking I) di sekolah, pertandingan
antarsekolah atau lulusan terbaik-tercepat-tercerdas juga merasakan suatu
kesenangan tingkat tinggi ketika itu. Tetapi, naif atau sombongkah saya jika
saya mengalami euforia sebagai seorang juara I?
*******
Beranda Khayal, 11 November 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar