Senin, 22 Mei 2017

Euforia Sang Juara I, Naifkah?

Pada Hari Pahlawan 2016 saya menjadi juara I Lomba Menulis Esai Se-Kalimantan Timur (Kaltim) dan Kalimantan Utara (Kaltara). Lomba bertema “Kebahasaan dan Kesastraan” tersebut diselenggarakan oleh Kantor Bahasa Kaltim sejak 1 Agustus sampai 1 Oktober lalu ditambah batas waktunya sampai 30 Oktober.

Tentu saja saya sangat senang menjadi juara I dalam lomba yang juga diikuti dosen, praktisi seni-sastra, dan mahasiswa tersebut, dan hingga keesokan harinya rasa itu masih meluap-luap. Saya merasa diri saya melambung melebihi menara api Pertamina Balikpapan. Luar biasa!

Betapa tidak luar biasa perasaan saya. Pertama, profesi saya adalah arsitek. Fokus utama seorang arsitek adalah rancangan bangunan alias gambar bangunan. Gambar sebagai alat komunikasi. Bukan kata, atau kalimat, apalagi panjangnya sampai 10 halaman dengan spasi 1,5.

Kedua, pada saat membuat esai itu saya pun sedang dalam masa menggambar bangunan kuliner mewah seluas 3.435 meter persegi dengan permintaan pemesan yang sok tahu padahal tidak mampu memahami perbedaan antara interior, eksterior, arsitektur, struktur, dan seterusnya. Saya sudah bersusah payah menerengkan perihal  perencanaan dan perancangan tetapi dia tetap sok tahu, bahkan menyamakan antara interior dan eksterior.

Oleh sebab pengerjaan gambar bangunan tidak diawali oleh sebuah kepekatan dalam kontrak kerja, saya menyempatkan diri untuk membuat esai. Daripada saya terjebak dalam lingkaran omong kosong soal interior-arsitektur dengan orang itu, lebih baik saya menuliskan pemikiran saya untuk mengeluarkan apa yang pernah saya pikirkan dan alami selama menjadi warga Kaltim.

Ketiga, saya mengerjakan esai selama 5 hari dalam waktu yang terbagi dengan menggambar bangunan. Tentu saja saya harus mencari data-data terkait, baik dari buku yang saya miliki maupun internet. Waktu itu saya harus mengirimkan dalam bentuk cetakan sebelum batas akhir 1 Oktober. Selain itu, saya pernah menuliskan secara seenak saya sendiri tentang budaya tulis-menulis di Balikpapan.

 Memang, jauh waktu sebelumnya, saya sering membicarakan perihal dunia tulis-menulis dan sastra di Balikpapan bahkan Kaltim dengan kawan-kawan. Itu kegelisahan saya secara pribadi ketika menyaksikan realitas. Apalah guna suatu pembicaraan, bukan? Maka, lomba esai tersebut memberi kesempatan pada saya untuk menyampaikan pendapat secara tertulis dan bertanggung jawab, meskipun jika tidak masuk nominasi.

Pada lembar biodata penulis secara jujur saya tuliskan, “Dalam lomba ini ia nekat mengajukan dua butir tulisan berupa sebutir esai dan sebutir feature walaupun sedang dirundung pekerjaan merancang bangunan seluas 2.000-an meter persegi. Untuk esai, judulnya ‘Kemiskinan Sastra dalam Provinsi Terkaya di Indonesia’…. Katanya, sekadar berpartisipasi sebagai warga Kaltim yang masih mau repot memikirkan hal-hal di luar profesi dan ijazah terakhirnya sehingga dewan juri tidak perlu repot menilai mutu dua butir tulisannya.”

Keempat, kerja keras saya dalam menggambar bangunan, ternyata, tidak juga masuk dalam tahap kesepakatan (kontrak kerja. Saya pun bertengkar dengan pemesan gambar bangunan itu karena dia, didukung seorang lagi sebagai anteknya, selalu berkelit ketika saya menanyakan perihal pembayaran, paling tidak uang muka beserta surat kontrak sebagai sebuah komitmen kerjasama.

Pada 24 Oktober saya batalkan kerjasama karena mereka (keduanya terkenal sebagai aktivis di gereja; seorang pendoa, dan seorang pendekor)  tidak juga sudi menyepakati suatu komitmen, meskipun saya sudah memberikan gambar bangunan dengan format CAD dan Sketchup (3D). Dan, ini kejadian kedua, setelah setahun sebelumnya seorang anak pendeta tidak mau membayar uang muka atas kerja keras saya merancang bangunan indekos tiga lantai miliknya.

Kelima, sejak 18 Oktober 2014 saya tidak lagi bergabung dengan komunitas kesenian maupun penulisan di Balikpapan, apalagi di Kaltim. Di samping persoalan seorang kawan yang tidak membayar kerja keras saya merancang renovasi rumah dan tempat usaha (berlantai dua) milik mantan kekasihnya yang kemudian berjumpa lagi, banyak persoalan mendasar yang kemudian mengumpul sebagai sebuah tembok yang membatasi pemahaman di antara saya dan kawan-kawan mengenai kesenian, kepenulisan, media massa, kompensasi, kompetisi, dan seterusnya.

Saya bisa memahami latar mereka, yang ketika masih sekolah atau kuliah sama sekali tidak pernah aktif dalam tulis-menulis dan mengirim karya mereka ke media massa. Mereka dari golongan keluarga berekonomi kaya sehingga tidak pernah kekurangan dalam kebutuhan bulanan, baik di rumah maupun ketika bersekolah di luar daerah mereka.

Saya memilih menyendiri dengan menjaga konsistenitas berkarya, khususnya tulis-menulis. Sejak berada di Balikpapan pada 10 Maret 2009 saya sudah membawa bekal kegemaran tulis-menulis, dan pernah bergabung dengan sebuah komunitas kesenian dan tulis-menulis pada 20 Maret 2009. Bagi saya, menulis merupakan suatu kegiatan perseorangan alias dilakukan seorang diri dalam suatu suasana tersendiri.

Keenam, pada 1999 saya pernah meraih juara I Lomba Menulis Esai se-Babel dan Sumsel dalam rangka Ekawarsa Harian Bangka Pos. Pada waktu itu Babel belum menjadi provinsi sendiri tetapi sedang menuju ke arah pembentukan provinsi sendiri, dan keluar dari Provinsi Sumatera Selatan. Saya pun belum menjadi arsitek, yang secara resmi disahkan melalui tahap awal berupa ijazah pendidikan akhir.

Tentu saja, sebagai seorang putera daerah yang jarang mudik sekaligus belum merampung skripsi ketika itu, menjadi juara I setelah bersaing dengan para sarjana merupakan suatu kesenangan tersendiri. Sejak 9 Juni 1987 saya keluar dari kampung halaman dan pulau yang nyaman, seketika saya ‘hilang’ dari kehidupan masyarakat Babel. Kemudian sekitar 1999 nama dan karya saya (puisi, cerpen, dan esai) muncul di media lokal (Bangka Pos) tanpa menghadirkan diri saya seutuhnya.

Ketujuh, sebelum 1999 apalagi 2016 saya tidak pernah menjadi juara I dalam bidang apa pun ketika bersekolah di Bangka dan Yogyakarta, kecuali ketika di TK dalam bidang kesehatan gigi se-Kabupaten Bangka. Jangankan juara I dalam pendidikan, juara III pun saya tidak satu kali pun mengalaminya karena saya selalu masuk kategori 30 besar dalam jumlah 40 siswa dalam satu ruang kelas.

Demikian ketujuh alasan saya merasa senang bukan kepalang ketika menjadi juara I dalam lomba tersebut, apalagi di luar bidang belajar yang saya tekuni secara resmi selama sekian tahun. Saya tidak tahu, apakah para juara I, baik rapot (rangking I) di sekolah, pertandingan antarsekolah atau lulusan terbaik-tercepat-tercerdas juga merasakan suatu kesenangan tingkat tinggi ketika itu. Tetapi, naif atau sombongkah saya jika saya mengalami euforia sebagai seorang juara I?

 *******
Beranda Khayal, 11 November 2016  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar