Senin, 08 Mei 2017

Pertemuan dengan Gol A Gong dalam Bengkel Sastra Guru di Balikpapan

Minggu, 7 Juni 2015, 08.00–12.00 WITA saya bertemu (tepatnya: menemui) Heri “Gol A Gong” Hendrayana Harris. Sekitar satu tahun lalu Gol A Gong sudah berkunjung ke Balikpapan dalam rangka peninjauan taman bacaan masyarakat, dimana Gol A Gong menjabat sebagai Ketua Taman Bacaan Masyarakat se-Indonesia. Sayangnya, saya tidak sedang berada di Balikpapan, melainkan di Kupang, Nusa Tenggara Timur dalam rangka suatu pekerjaan rancang-bangun. Ya, saya seorang arsitek yang bekerja mandiri.

Kunjungan Gol A Gong kali ini karena ‘ditugaskan’ sebagai pemateri tunggal dalam kegiatan “Bengkel Sastra Guru : Cerita Rakyat” di SMA Patra Dharma, Balikpapan, Kalimantan Timur. Kegiatan tersebut digagas oleh Balai Bahasa dari Pusat Pembinaan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Tentu saja dengan janjian pada hari-hari sebelumnya, yang batal pada malam Minggu di Lamin Pohon, kompleks VnW, karena Gol A Gong ‘diculik’ panitia ke Penajam Paser Utara.

Saya bersikeras harus bertemu selagi saya dan bapaknya “Si Roy” ini berada di Balikpapan. Sampai kemudian dia meminta saya datang pada kegiatannya, yang berlangsung sejak 5 Juni (3 hari). Saya sangat menghormati (respect) terhadap seorang penulis senior Indonesia, yang telah menghasilkan banyak buku ini. Di samping itu, jujur saja, saya sedang ‘mengincar’ semangat kepenulisannya. Dengan bertemu secara langsung, saya berharap, semangat kepenulisan saya bisa tersegarkan kembali, meskipun saya bukanlah seorang penulis!   

Tidak lupa saya mengajak Alfian Syah, putera daerah Balikpapan, yang sedang giat menulis (bercita-cita jadi penulis) sembari hendak mengakhiri kuliah tingkat akhir di Teknik Mesin Universitas Balikpapan. Saya berpikir bahwa “kata estafet” dunia kepenulisan di Balikpapan, salah satunya, berada di tangannya. Orang muda Balikpapan lainnya? Maaf, saya kurang bergaul. Saya hanya bisa mengajak yang memang kelihatan, dari orang hingga tulisannya. Kalau hanya orang, saban hari saya melihat penjaja premium eceran. Mosok to saya ajak juga?

Saya tidak mengira jika kemudian Gol A Gong mengundang saya untuk berbagi pengalaman selama 15 menit di depan peserta, yang terdiri dari guru Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) dan Sekolah Dasar (SD) se-Kota Balikpapan. Dari rumah saya hanya mengira bahwa kami (saya dan Alfian) akan bertemu sesaat, berjabat tangan, ngobrol 5-10 menit, dan kami pun bisa segera pulang dengan kelegaan seorang yang telah ‘melunasi utang’.

Dalam kesempatan ngobrol di acara yang sekitar 99% pesertanya adalah ibu guru tersebut, langsung juga Gol A Gong membuka sesi tanya-jawab dengan para peserta. Sekitar 4-5 peserta mengajukan pertanyaan, baik dari pengalaman maupun keinginan melanjutkan kegiatan tulis-menulis. Kalau soal pengalaman, baiklah, saya bisa berbagi dan memberi tambahan semangat kepada mereka. Tetapi, sampai pada soal “kelanjutan tulis-menulis”, bahkan Gol A Gong pun langsung “mengajukan” saya untuk menindaklanjutinya, bukanlah persoalan mudah. Bukan persoalan mudah, kamsud-nya?

Begini. Ada beberapa hal (kasus?) yang menjadi “bukan persoalan mudah” bagi saya. Sejak menetapkan diri untuk tinggal dan menjadi warga Balikpapan pada 10 Maret 2009 (6 tahun!) dan terlibat dalam kegiatan tulis-menulis melalui komunitas Balikpapan Art Foundation (BAF), semangat kepenulisan orang-orang muda Balikpapan hanya sementara. Dari lebih sepuluh peserta, belum seorang pun benar-benar berani menekuni kegiatan tulis-menulis secara murni dan konsekuan. Ada juga peserta yang ingin berproses secara instan (biasalah, semangat sebagian orang muda) alias langsung mahir dan karya-karyanya mendapat penghargaan (pujian) se-antero Indonesia, bukannya benar-benar tekun berlatih dan berproduksi.  

Hal berikutnya, ketiadaan halaman Budaya di media massa (cetak) industrial-komersial se-Balikpapan ataupun Kaltim. 6 tahun sebagai penduduk Balikpapan-Kaltim, belum pernah saya temukan satu halaman penuh untuk rubrik Budaya di media massa (cetak)-nya. Di Bangka-Belitung (daerah asal saya) ada media massa yang memberi ruang itu. Di Yogyakarta (saya ber-SMA dan berkuliah di sana), juga ada. Dari pergaulan dengan kawan-kawan dari Sumatera, Jawa, dan NTT, di daerah mereka juga ada ruang untuk budaya dalam satu halaman khusus.

Nah, di Balikpapan (kotamadya termodern bahkan menjuluki dirinya sendiri sebagai “Kota Internasional”) atau Kaltim (provinsi terkaya di Indonesia bahkan sejak 2014 ngotot untuk dijadikan sebagai daerah “Otonomi Khusus” di Indonesia karena kaya-raya), media massanya sama sekali tidak peduli pada segi budaya lokal dalam hal tulis-menulis beraroma daerah. Dalam hal ini, peran “agent of change” dalam bidang budaya, ternyata nihil alias gagal. Justru, saya menduga, media massa di Balikpapan alias Kaltim cenderung andil secara aktif dalam kegiatan eksploitasi kekayaan Kaltim. Meraup kekayaan menjadi begitu darurat (urgent), daripada andil dalam pembudayaan-permberdayaan calon penulis di daerahnya sendiri.

Saya bandingkan dengan Babel, yang jauh dari glamour Balikpapan-Kaltim, media massanya masih memberi ruang (satu halaman penuh) bagi budaya, termasuk budaya lokal, semisal pantun. Sebagai media industrial-komersial, memang tetap realistis tetapi tetap pula menjadikan budaya sebagai bagian yang perlu pula mendapat ruang. Honor pun diberikan sebagai sebuah bentuk penghargaan (menghargai kemampuan intelektual para penulis yang berkontribusi dalam media itu), meskipun tidak sampai sekian juta rupiah. Bagaimana dengan media massa di Sumatera atau Jawa? Tetap ada ‘penghargaan’.

Tidaklah demikian dengan di Balikpapan-Kaltim. Seorang awak media di Balikpapan-Kaltim mengatakan kepada saya, tidak sedikit orang (penuliskah?) yang justru berani membayar ke media agar tulisannya dimuat (tentu saja motivasinya berbeda dengan penulis sejati). Luar biasa! Alasan itu pun dijadikan dasar argumentasi untuk menolak pemberian honor kepada penulis luar. Luar biasa lagi! Padahal, saya berani bertaruh, pemberian honor kepada penulis luar akan berdampak positif, bukannya malah membuat perusahaan media tersebut “gulung kertas” (bangkrut).

Dampak positif dalam pengetahuan minimalis saya adalah, pertama, penulis dan calon penulis dihargai secara total (bukan hanya pemuatan karyanya); kedua, penulis dan calon penulis yang mendapat honor bisa menambah referensinya dengan membeli buku-buku lagi tanpa mengganggu stabilitas ekonominya; ketiga, orang-orang muda yang sedang giat menggeluti tulis-menulis bisa terpacu untuk ikut ‘berkompetisi’ apalagi mendapat ‘kompensasi’ untuk menambah semangat dan intelektualitas mereka; keempat, pemahaman bersama (media dan penulis luar media itu) bahwa tulis-menulis adalah kegiatan intelektual yang pantas mendapat ‘penghargaan’; kelima, kegiatan tulis-menulis sebagai suatu kerja budaya dapat berkembang pesat seperti daerah-daerah lainnya sehingga benar-benar menarik untuk dijadikan sebuah profesi alternatif di Balikpapan-Kaltim selain menjadi karyawan (buruh) di perusahaan-perusahaan minyak, gas, batubara, kelapa sawit, property, dan sekitarnya.

Sayang sekali, media massa di Balikpapan-Kaltim sama sekali sangat kurang memahami dampak positif tersebut, walaupun para elit perusahaan bukanlah baru kemarin sore membuka usaha pers industri, dan sudah berkali-kali keliling Indonesia bahkan bisa bertamasya dengan bangga-bahagia ke luar negeri. Saya menduga, para elit dalam perusahaan media massa di Balikpapan-Kaltim tidak pernah benar-benar menjadi penulis pada masa muda (masa sebelum mapan sebagai elit perusahaan), yang selalu berharap tulisan dimuat dan mendapat honor untuk menyiasati kebutuhan hidup. Para elit itu tidak pernah merasakan, betapa mendebar-debarnya menunggu hari Minggu sebagai ‘perayaan budaya’ seperti halnya banyak media massa di luar Balikpapan-Kaltim.

Tapi, baiklah. Saya tidak bisa berbuat apa-apa untuk media massa di Balikpapan-Kaltim yang sangat kaya tetapi sangat kikir itu. Saya tidak bisa berbuat apa-apa pada saat para awak media itu hanya mementingkan perut dan kaki mereka. Saya tidak bisa berbuat apa-apa ketika “agent of change” hanya slogan atau jargon kosong. Saya menyadari siapa saya, yang bukan siapa-siapa ini.

Yang saya bisa lakukan adalah memberi saran kepada orang-orang muda atau calon penulis di Balikpapan, kirimkan karya ke media massa di luar Balikpapan-Kaltim. Pergunakan internet seoptimal mungkin untuk mendapat informasi tentang alamat redaksi dan kompetisi (lomba) yang sedang diadakan. Bertarunglah secara nasional di sana. Kalau menembus media atau menang lomba, minimal bisa untuk membeli buku dan mengganti ongkos beli kopi.

Juga memanfaatkan blog dan media jejaring sosial. Meski tidak dibayar, minimal bisa untuk bereksistensi diri karena dibaca oleh lebih dari 5 orang. Itu kalau memang motivasinya agar dibaca, dipuja-puji, dan dianggap benar-benar seorang penulis hebat nan dahsyat. Mudah saja sejak era internet langsung merangsek ke segala pelosok Indonesia, ‘kan?
 
Di samping itu, tentu saja, terlibat aktif dalam kegiatan tulis-menulis di Balikpapan. Bukankah saran tidaklah ampuh bahkan paling manjur-mujarab apabila saya tidak bisa berbuat apa-apa untuk melakukan pelatihan, pembinaan, atau pendampingan orang-orang muda?

Dan saya menambahkan, bahwa kegiatan tulis-menulis sebaiknya dilakukan dengan motivasi yang murni dan siap menerima konsekuensi sebagai sebuah kecintaan, minimal cinta kepada kegemaran (saya tidak berani menyebutnya “bakat”) diri sendiri. Kalau tanpa dasar kemurnian atau cinta, kekecewaan bukanlah mimpi buruk semata. Paling parah kalau kecewa pada saya karena saya tidak mampu memberi pelatihan atau pendampingan yang memadai-mumpuni, meskipun sejak awal perkenalan saya sudah menyebutkan ijazah terakhir saya sebagai Sarjana Teknik Program Studi Arsitektur dan berprofesi sebagai arsitek.

Berikutnya, Balikpapan memiliki tokoh-tokoh sastra yang disegani, minimal oleh orang Balikpapan sendiri. Tokoh-tokoh ini sudah ada lebih dari 15 tahun sebelum saya datang. Setiap ada perlombaan, minimal membaca puisi yang wajib secara deklamasi saja, tokoh-tokoh sastra itu selalu menjadi jurinya. Lha saya ini siapakah dibandingkan mereka? Saya selalu melihat siapa diri saya, baik di depan cermin maupun di depan sendok. Kapasitas dan kualitas saya sangat jauh di bawah mereka.

Balikpapan pun memiliki lebih dari 5 Sarjana Sastra. Mereka lahir-besar dan berkeluarga di Balikpapan. Saya mengenal beberapa di antara mereka. Tetapi, malangnya dunia kepenulisan di Kota Minyak ini, orang-orang yang saya kenal itu sama sekali tidak peduli pada pertumbuhan dan perkembangan calon penulis di kotanya sendiri. Maksud saya, mereka tidak mau terlibat aktif dalam pengajaran atau pelatihan tulis-menulis secara gratis. Ketika ada orang-orang muda Balikpapan mulai menyukai tulis-menulis dan hendak belajar tapi gratis, mereka justru ‘menyodorkan’ saya, yang sama sekali tidak pernah mengenyam bangku pendidikan Sastra satu semester pun.

Ditambah lagi, selama 6 tahun menjadi warga Balikpapan, saya menyaksikan bahwa keberadaan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, dan Dewan Kesenian Balikpapan yang tidak pernah melakukan pendidikan non-formal di bidang kepenulisan secara gratis bagi generasi muda (pelajar dan mahasiswa). Yang berbayar saja tidak ada, apalagi yang gratis. Kompetisi atau perlombaan berkarya sastra pun tidak pernah dilakukan secara rutin (saban tahun dalam even-even tertentu). Lantas, siapa dan lembaga mana lagi yang bisa dipercaya untuk dapat memberikan pelatihan tulis-menulis secara rutin untuk memulai budaya tulis-menulis bahkan sastra?

Puncaknya, masih  perihal “bukan persoalan mudah”, pada pertengahan Oktober 2014 saya mengundurkan diri dari segala kegiatan kesenian, termasuk pengajaran mengenai kegiatan tulis-menulis. Di samping akumulasi persoalan (kepasifan pemerintah daerah, lembaga terkait, media massa industrial-komersial lokal, tokoh-tokoh sastra, dan Sarjana Sastra lokal serta penulis-penulis lokal) yang tidak pernah juga terselesaikan, saya ‘ditipu’ (secara materi) oleh seorang ‘pegiat’ sastra di Balikpapan, yang masih rekan dalam profesi rancang-bangun saya. Dari 2009 sampai dengan 2014 saya sudah memberikan diri untuk membantu pengembangan potensi tulis-menulis orang-orang muda Balikpapan secara gratis, malah ‘ditipu’ dalam usaha perbaikan perekonomian saya. Sungguh memukul saya secara telak!

Dari pertengahan Oktober 2014 sampai pertengahan 2015 (sekitar 7 bulan) saya berusaha menghindar dari setiap hal yang berbau “pengabdian” atau “kepedulian” terhadap orang-orang muda Balikpapan dalam bidang tulis-menulis. Saya hanya seorang pendatang. Saya seorang arsitek, bukannya sastrawan, guru Sastra, atau penulis profesional. Saya pun harus menafkahi keluarga, bukannya intelektualitas saya harus digratiskan melulu dan piring-gelas di rumah hanya berisi mimpi-mimpi.

Kini, tepatnya 7 Juni dan acara “Bengkel Sastra Guru” itu, saya ‘diminta’ oleh Gol A Gong untuk terlibat dalam pelatihan tingkat lanjut bagi guru-guru yang sudah ibu-ibu alias memiliki keluarga dengan segala kebutuhan penting (urgent). Secara ekonomi, mereka berada dalam taraf mapan, karena Pemerintah Kota pun sangat memperhatikan kesejahteraan guru-guru. Tulis-menulis bukanlah sebuah kegiatan yang menjadi bagian penting dalam hidup mereka dan keluarga. Sementara saya, bagaimana?

Terus terang, dengan tidak mengurangi rasa hormat dan penghargaan setinggi-tinggi kepada Gol A Gong, saya tidak berani menjanjikan untuk memenuhi permintaan tersebut. Saya harus realistis terhadap diri sendiri : kepala rumah tangga, perekonomian keluarga sangat jauh dari standar “mapan”, seorang arsitek berijazah S.T. (sering ditipu oleh rekan kerja), bukan penulis- sastrawan, sudah menyatakan secara tertulis bahwa saya mengundurkan diri (Ketua BAF pun sudah tidak sudi saya hubungi),  dan nama-karya saya tidak terkenal di kalangan penulis-sastrawan Indonesia.

Realita yang tidak perlu saya tutupi, bahwa pertemuan dengan Gol A Gong hanya sekadar pertemuan. Maksud saya, tidak ada sesuatu apa pun yang bisa saya berikan sebagai kenang-kenangan, semisal batu akik yang sedang ramai diperbincangkan oleh kalangan seluruh Indonesia. Sebagai suatu penghargaan terhadap senior, tentu saja lumrah jika saya memberikan batu akik yang bagus. Tetapi saya tidak mampu membelikannya. Sama sekali tidak ada uang untuk bisa membelinya. Apakah demi gengsi atau menutupi rasa malu, lantas saya berutang kepada seorang kawan untuk membelikan kenang-kenangan itu?

Jadi, bagaimana? Apakah saya harus kembali memikirkan pengembangan potensi orang lain yang sudah terjamin secara materi pada saat saya belum juga mampu memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga secara memadai dan berkesinambungan? Lagi-lagi saya harus berpikir realistis: tanggung jawab laki-laki yang legal-formal sebagai kepala rumah tangga. Soal kepedulian terhadap lingkungan (daerah tinggal), tentu saja tidaklah pantas hanya ‘mengeksploitasi’ saya mentang-mentang saya seorang pendatang, ‘kan?

*******

Panggung Renung, 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar