Minggu, 7 Juni 2015, 08.00–12.00 WITA saya
bertemu (tepatnya: menemui) Heri “Gol A Gong” Hendrayana Harris. Sekitar satu
tahun lalu Gol A Gong sudah berkunjung ke Balikpapan dalam rangka peninjauan
taman bacaan masyarakat, dimana Gol A Gong menjabat sebagai Ketua Taman Bacaan
Masyarakat se-Indonesia. Sayangnya, saya tidak sedang berada di Balikpapan,
melainkan di Kupang, Nusa Tenggara Timur dalam rangka suatu pekerjaan
rancang-bangun. Ya, saya seorang arsitek yang bekerja mandiri.
Kunjungan Gol A Gong kali ini karena
‘ditugaskan’ sebagai pemateri tunggal dalam kegiatan “Bengkel Sastra Guru :
Cerita Rakyat” di SMA Patra Dharma, Balikpapan, Kalimantan Timur. Kegiatan
tersebut digagas oleh Balai Bahasa dari Pusat Pembinaan Badan Pengembangan dan Pembinaan
Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Tentu saja
dengan janjian pada hari-hari sebelumnya, yang batal pada malam Minggu di Lamin
Pohon, kompleks VnW, karena Gol A Gong ‘diculik’ panitia ke Penajam Paser
Utara.
Saya bersikeras harus bertemu selagi saya
dan bapaknya “Si Roy” ini berada di Balikpapan. Sampai kemudian dia meminta
saya datang pada kegiatannya, yang berlangsung sejak 5 Juni (3 hari). Saya
sangat menghormati (respect) terhadap
seorang penulis senior Indonesia, yang telah menghasilkan banyak buku ini. Di
samping itu, jujur saja, saya sedang ‘mengincar’ semangat kepenulisannya.
Dengan bertemu secara langsung, saya berharap, semangat kepenulisan saya bisa
tersegarkan kembali, meskipun saya bukanlah seorang penulis!
Tidak lupa saya mengajak Alfian Syah,
putera daerah Balikpapan, yang sedang giat menulis (bercita-cita jadi penulis)
sembari hendak mengakhiri kuliah tingkat akhir di Teknik Mesin Universitas Balikpapan.
Saya berpikir bahwa “kata estafet” dunia kepenulisan di Balikpapan, salah
satunya, berada di tangannya. Orang muda Balikpapan lainnya? Maaf, saya kurang
bergaul. Saya hanya bisa mengajak yang memang kelihatan, dari orang hingga
tulisannya. Kalau hanya orang, saban hari saya melihat penjaja premium eceran. Mosok to saya ajak juga?
Saya tidak mengira jika kemudian Gol A Gong
mengundang saya untuk berbagi pengalaman selama 15 menit di depan peserta, yang
terdiri dari guru Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) dan Sekolah Dasar (SD)
se-Kota Balikpapan. Dari rumah saya hanya mengira bahwa kami (saya dan Alfian) akan
bertemu sesaat, berjabat tangan, ngobrol 5-10 menit, dan kami pun bisa segera pulang
dengan kelegaan seorang yang telah ‘melunasi utang’.
Dalam kesempatan ngobrol di acara yang sekitar
99% pesertanya adalah ibu guru tersebut, langsung juga Gol A Gong membuka sesi
tanya-jawab dengan para peserta. Sekitar 4-5 peserta mengajukan pertanyaan,
baik dari pengalaman maupun keinginan melanjutkan kegiatan tulis-menulis. Kalau
soal pengalaman, baiklah, saya bisa berbagi dan memberi tambahan semangat
kepada mereka. Tetapi, sampai pada soal “kelanjutan tulis-menulis”, bahkan Gol
A Gong pun langsung “mengajukan” saya untuk menindaklanjutinya, bukanlah
persoalan mudah. Bukan persoalan mudah, kamsud-nya?
Begini. Ada beberapa hal (kasus?) yang
menjadi “bukan persoalan mudah” bagi saya. Sejak menetapkan diri untuk tinggal
dan menjadi warga Balikpapan pada 10 Maret 2009 (6 tahun!) dan terlibat dalam
kegiatan tulis-menulis melalui komunitas Balikpapan Art Foundation (BAF),
semangat kepenulisan orang-orang muda Balikpapan hanya sementara. Dari lebih
sepuluh peserta, belum seorang pun benar-benar berani menekuni kegiatan
tulis-menulis secara murni dan konsekuan. Ada juga peserta yang ingin berproses
secara instan (biasalah, semangat sebagian orang muda) alias langsung mahir dan
karya-karyanya mendapat penghargaan (pujian) se-antero Indonesia, bukannya
benar-benar tekun berlatih dan berproduksi.
Hal berikutnya, ketiadaan halaman Budaya di media massa (cetak)
industrial-komersial se-Balikpapan ataupun Kaltim. 6 tahun sebagai penduduk
Balikpapan-Kaltim, belum pernah saya temukan satu halaman penuh untuk rubrik
Budaya di media massa (cetak)-nya. Di Bangka-Belitung (daerah asal saya) ada
media massa yang memberi ruang itu. Di Yogyakarta (saya ber-SMA dan berkuliah
di sana), juga ada. Dari pergaulan dengan kawan-kawan dari Sumatera, Jawa, dan
NTT, di daerah mereka juga ada ruang untuk budaya dalam satu halaman khusus.
Nah, di Balikpapan (kotamadya termodern
bahkan menjuluki dirinya sendiri sebagai “Kota Internasional”) atau Kaltim
(provinsi terkaya di Indonesia bahkan sejak 2014 ngotot untuk dijadikan sebagai
daerah “Otonomi Khusus” di Indonesia karena kaya-raya), media massanya sama
sekali tidak peduli pada segi budaya lokal dalam hal tulis-menulis beraroma
daerah. Dalam hal ini, peran “agent of change” dalam bidang budaya, ternyata nihil
alias gagal. Justru, saya menduga, media massa di Balikpapan alias Kaltim
cenderung andil secara aktif dalam kegiatan eksploitasi kekayaan Kaltim. Meraup
kekayaan menjadi begitu darurat (urgent),
daripada andil dalam pembudayaan-permberdayaan calon penulis di daerahnya
sendiri.
Saya bandingkan dengan Babel, yang jauh
dari glamour Balikpapan-Kaltim, media
massanya masih memberi ruang (satu halaman penuh) bagi budaya, termasuk budaya
lokal, semisal pantun. Sebagai media industrial-komersial, memang tetap
realistis tetapi tetap pula menjadikan budaya sebagai bagian yang perlu pula
mendapat ruang. Honor pun diberikan sebagai sebuah bentuk penghargaan
(menghargai kemampuan intelektual para penulis yang berkontribusi dalam media
itu), meskipun tidak sampai sekian juta rupiah. Bagaimana dengan media massa di
Sumatera atau Jawa? Tetap ada ‘penghargaan’.
Tidaklah demikian dengan di
Balikpapan-Kaltim. Seorang awak media di Balikpapan-Kaltim mengatakan kepada
saya, tidak sedikit orang (penuliskah?) yang justru berani membayar ke media
agar tulisannya dimuat (tentu saja motivasinya berbeda dengan penulis sejati).
Luar biasa! Alasan itu pun dijadikan dasar argumentasi untuk menolak pemberian
honor kepada penulis luar. Luar biasa lagi! Padahal, saya berani bertaruh,
pemberian honor kepada penulis luar akan berdampak positif, bukannya malah
membuat perusahaan media tersebut “gulung kertas” (bangkrut).
Dampak positif dalam pengetahuan minimalis
saya adalah, pertama, penulis dan
calon penulis dihargai secara total (bukan hanya pemuatan karyanya); kedua, penulis dan calon penulis yang
mendapat honor bisa menambah referensinya dengan membeli buku-buku lagi tanpa
mengganggu stabilitas ekonominya; ketiga,
orang-orang muda yang sedang giat menggeluti tulis-menulis bisa terpacu untuk
ikut ‘berkompetisi’ apalagi mendapat ‘kompensasi’ untuk menambah semangat dan intelektualitas
mereka; keempat, pemahaman bersama
(media dan penulis luar media itu) bahwa tulis-menulis adalah kegiatan
intelektual yang pantas mendapat ‘penghargaan’; kelima, kegiatan tulis-menulis sebagai suatu kerja budaya dapat
berkembang pesat seperti daerah-daerah lainnya sehingga benar-benar menarik
untuk dijadikan sebuah profesi alternatif di Balikpapan-Kaltim selain menjadi
karyawan (buruh) di perusahaan-perusahaan minyak, gas, batubara, kelapa sawit,
property, dan sekitarnya.
Sayang sekali, media massa di
Balikpapan-Kaltim sama sekali sangat kurang memahami dampak positif tersebut,
walaupun para elit perusahaan bukanlah baru kemarin sore membuka usaha pers
industri, dan sudah berkali-kali keliling Indonesia bahkan bisa bertamasya dengan
bangga-bahagia ke luar negeri. Saya menduga, para elit dalam perusahaan media
massa di Balikpapan-Kaltim tidak pernah benar-benar menjadi penulis pada masa
muda (masa sebelum mapan sebagai elit perusahaan), yang selalu berharap tulisan
dimuat dan mendapat honor untuk menyiasati kebutuhan hidup. Para elit itu tidak
pernah merasakan, betapa mendebar-debarnya menunggu hari Minggu sebagai
‘perayaan budaya’ seperti halnya banyak media massa di luar Balikpapan-Kaltim.
Tapi, baiklah. Saya tidak bisa berbuat
apa-apa untuk media massa di Balikpapan-Kaltim yang sangat kaya tetapi sangat
kikir itu. Saya tidak bisa berbuat apa-apa pada saat para awak media itu hanya
mementingkan perut dan kaki mereka. Saya tidak bisa berbuat apa-apa ketika
“agent of change” hanya slogan atau jargon kosong. Saya menyadari siapa saya,
yang bukan siapa-siapa ini.
Yang saya bisa lakukan adalah memberi saran
kepada orang-orang muda atau calon penulis di Balikpapan, kirimkan karya ke
media massa di luar Balikpapan-Kaltim. Pergunakan internet seoptimal mungkin
untuk mendapat informasi tentang alamat redaksi dan kompetisi (lomba) yang
sedang diadakan. Bertarunglah secara nasional di sana. Kalau menembus media
atau menang lomba, minimal bisa untuk membeli buku dan mengganti ongkos beli
kopi.
Juga memanfaatkan blog dan media jejaring
sosial. Meski tidak dibayar, minimal bisa untuk bereksistensi diri karena
dibaca oleh lebih dari 5 orang. Itu kalau memang motivasinya agar dibaca, dipuja-puji,
dan dianggap benar-benar seorang penulis hebat nan dahsyat. Mudah saja sejak
era internet langsung merangsek ke segala pelosok Indonesia, ‘kan?
Di samping itu, tentu saja, terlibat aktif
dalam kegiatan tulis-menulis di Balikpapan. Bukankah saran tidaklah ampuh
bahkan paling manjur-mujarab apabila saya tidak bisa berbuat apa-apa untuk melakukan
pelatihan, pembinaan, atau pendampingan orang-orang muda?
Dan saya menambahkan, bahwa kegiatan
tulis-menulis sebaiknya dilakukan dengan motivasi yang murni dan siap menerima
konsekuensi sebagai sebuah kecintaan, minimal cinta kepada kegemaran (saya
tidak berani menyebutnya “bakat”) diri sendiri. Kalau tanpa dasar kemurnian
atau cinta, kekecewaan bukanlah mimpi buruk semata. Paling parah kalau kecewa
pada saya karena saya tidak mampu memberi pelatihan atau pendampingan yang
memadai-mumpuni, meskipun sejak awal perkenalan saya sudah menyebutkan ijazah
terakhir saya sebagai Sarjana Teknik Program Studi Arsitektur dan berprofesi
sebagai arsitek.
Berikutnya, Balikpapan memiliki tokoh-tokoh
sastra yang disegani, minimal oleh orang Balikpapan sendiri. Tokoh-tokoh ini
sudah ada lebih dari 15 tahun sebelum saya datang. Setiap ada perlombaan,
minimal membaca puisi yang wajib secara deklamasi saja, tokoh-tokoh sastra itu
selalu menjadi jurinya. Lha saya ini
siapakah dibandingkan mereka? Saya selalu melihat siapa diri saya, baik di
depan cermin maupun di depan sendok. Kapasitas dan kualitas saya sangat jauh di
bawah mereka.
Balikpapan pun memiliki lebih dari 5
Sarjana Sastra. Mereka lahir-besar dan berkeluarga di Balikpapan. Saya mengenal
beberapa di antara mereka. Tetapi, malangnya dunia kepenulisan di Kota Minyak
ini, orang-orang yang saya kenal itu sama sekali tidak peduli pada pertumbuhan
dan perkembangan calon penulis di kotanya sendiri. Maksud saya, mereka tidak
mau terlibat aktif dalam pengajaran atau pelatihan tulis-menulis secara gratis.
Ketika ada orang-orang muda Balikpapan mulai menyukai tulis-menulis dan hendak
belajar tapi gratis, mereka justru ‘menyodorkan’ saya, yang sama sekali tidak
pernah mengenyam bangku pendidikan Sastra satu semester pun.
Ditambah lagi, selama 6 tahun menjadi warga
Balikpapan, saya menyaksikan bahwa keberadaan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan,
dan Dewan Kesenian Balikpapan yang tidak pernah melakukan pendidikan non-formal
di bidang kepenulisan secara gratis bagi generasi muda (pelajar dan mahasiswa).
Yang berbayar saja tidak ada, apalagi yang gratis. Kompetisi atau perlombaan
berkarya sastra pun tidak pernah dilakukan secara rutin (saban tahun dalam
even-even tertentu). Lantas, siapa dan lembaga mana lagi yang bisa dipercaya
untuk dapat memberikan pelatihan tulis-menulis secara rutin untuk memulai
budaya tulis-menulis bahkan sastra?
Puncaknya, masih perihal “bukan persoalan mudah”, pada
pertengahan Oktober 2014 saya mengundurkan diri dari segala kegiatan kesenian,
termasuk pengajaran mengenai kegiatan tulis-menulis. Di samping akumulasi
persoalan (kepasifan pemerintah daerah, lembaga terkait, media massa
industrial-komersial lokal, tokoh-tokoh sastra, dan Sarjana Sastra lokal serta
penulis-penulis lokal) yang tidak pernah juga terselesaikan, saya ‘ditipu’ (secara
materi) oleh seorang ‘pegiat’ sastra di Balikpapan, yang masih rekan dalam
profesi rancang-bangun saya. Dari 2009 sampai dengan 2014 saya sudah memberikan
diri untuk membantu pengembangan potensi tulis-menulis orang-orang muda
Balikpapan secara gratis, malah ‘ditipu’ dalam usaha perbaikan perekonomian
saya. Sungguh memukul saya secara telak!
Dari pertengahan Oktober 2014 sampai
pertengahan 2015 (sekitar 7 bulan) saya berusaha menghindar dari setiap hal
yang berbau “pengabdian” atau “kepedulian” terhadap orang-orang muda Balikpapan
dalam bidang tulis-menulis. Saya hanya seorang pendatang. Saya seorang arsitek,
bukannya sastrawan, guru Sastra, atau penulis profesional. Saya pun harus
menafkahi keluarga, bukannya intelektualitas saya harus digratiskan melulu dan piring-gelas di rumah hanya
berisi mimpi-mimpi.
Kini, tepatnya 7 Juni dan acara “Bengkel
Sastra Guru” itu, saya ‘diminta’ oleh Gol A Gong untuk terlibat dalam pelatihan
tingkat lanjut bagi guru-guru yang sudah ibu-ibu alias memiliki keluarga dengan
segala kebutuhan penting (urgent). Secara
ekonomi, mereka berada dalam taraf mapan, karena Pemerintah Kota pun sangat
memperhatikan kesejahteraan guru-guru. Tulis-menulis bukanlah sebuah kegiatan
yang menjadi bagian penting dalam hidup mereka dan keluarga. Sementara saya,
bagaimana?
Terus terang, dengan tidak mengurangi rasa
hormat dan penghargaan setinggi-tinggi kepada Gol A Gong, saya tidak berani
menjanjikan untuk memenuhi permintaan tersebut. Saya harus realistis terhadap
diri sendiri : kepala rumah tangga, perekonomian keluarga sangat jauh dari
standar “mapan”, seorang arsitek berijazah S.T. (sering ditipu oleh rekan
kerja), bukan penulis- sastrawan, sudah menyatakan secara tertulis bahwa saya
mengundurkan diri (Ketua BAF pun sudah tidak sudi saya hubungi), dan nama-karya saya tidak terkenal di kalangan
penulis-sastrawan Indonesia.
Realita yang tidak perlu saya tutupi, bahwa
pertemuan dengan Gol A Gong hanya sekadar pertemuan. Maksud saya, tidak ada
sesuatu apa pun yang bisa saya berikan sebagai kenang-kenangan, semisal batu
akik yang sedang ramai diperbincangkan oleh kalangan seluruh Indonesia. Sebagai
suatu penghargaan terhadap senior, tentu saja lumrah jika saya memberikan batu
akik yang bagus. Tetapi saya tidak mampu membelikannya. Sama sekali tidak ada
uang untuk bisa membelinya. Apakah demi gengsi atau menutupi rasa malu, lantas
saya berutang kepada seorang kawan untuk membelikan kenang-kenangan itu?
Jadi, bagaimana? Apakah saya harus kembali
memikirkan pengembangan potensi orang lain yang sudah terjamin secara materi
pada saat saya belum juga mampu memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga secara
memadai dan berkesinambungan? Lagi-lagi saya harus berpikir realistis: tanggung
jawab laki-laki yang legal-formal sebagai kepala rumah tangga. Soal kepedulian
terhadap lingkungan (daerah tinggal), tentu saja tidaklah pantas hanya
‘mengeksploitasi’ saya mentang-mentang saya seorang pendatang, ‘kan?
*******
Panggung Renung, 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar