Senin, 08 Mei 2017

Belajar Menulis dan Terkenal

(Terpajang di Fb pada 3 Agustus 2015 pukul 23:55)

#1

Suatu ketika di April 2013 saya kedatangan seorang mahasiswa Ekonomi dari sebuah perguruan tinggi. Pada tahun itu saya masih rajin dalam kegiatan sastra komunal di Kota Minyak, dan dia sedang bersemangat untuk menekuni kegiatan tulis-menulis, meskipun saya belum pernah membaca tulisannya. Saya jarang sekali bertemu dengannya karena kesibukannya entah apa saja.

Kami pun ngobrol seputar dunia penulisan dan sastra. Tentu saja obrolan menjadi asyik ketika ditemani segelas kopi hitam, yang masing-masing meraciknya sendiri. Kebiasaan saya untuk membiarkan tamu meracik kopinya sendiri karena saya tidak tahu takaran kopi-gula-air yang sesuai dengan selera lidah tamu.

Walaupun saya bukanlah seorang penulis berpengalaman apalagi terkenal, paling tidak, usia kepenulisan saya sudah agak lebih lama dibanding dirinya. Maka saya menceritakan pengalaman saya dalam belajar menulis secara gratis tanpa seorang guru pun sampai menjadikan kegiatan menulis sebagai gaya hidup saya. Ya, gaya hidup pilihan pribadi saya, kendati saya tidak bisa bergaya dalam tulis-menulis.

Dia juga menceritakan kegiatannya di kampus, selain kuliah reguler, sampai tertarik untuk belajar tulis-menulis. Tapi dia tidak tahu pada siapa dia bisa belajar dan bisa benar-benar menguasai tulis-menulis. Di Balikpapan dan kampusnya, kegiatan tulis-menulis, terlebih sastra, tidak menjadi bagian dalam budaya mahasiswa. Di samping tidak ada majalah kampus, juga tidak ada majalah dinding. Mayoritas mahasiswa di kampusnya adalah para pekerja. Kuliah hanya ‘sekadar’, dan gelar sarjana tidak lebih demi meningkatkan taraf hidup, baik gaji maupun karier.  

Apa yang disampaikannya itu bukanlah hal baru bagi saya. Kota Balikpapan dibangun oleh minyak. Orang-orang datang ke sini hanya satu tujuan : uang, baik sebagai pekerja di sektor minyak maupun sektor sekitarnya.

Saya mengamati, sebagian dari mereka yang berpendidikan tinggi, ujung-ujungnya hanya berorientasi pada uang. Pergaulan antarmahasiswa berkisar pada pekerjaan karena bekerja dan mendapat uang merupakan gengsi dalam pergaulan mereka. Pilihan dia di ekstrakurikuler pun, tidak lebih, sebagai pencitraan agar disebut sebagai aktifis.

Tentu saja berbeda dengan apa yang saya alami ketika menjadi mahasiswa di Yogyakarta, dimana pendidikan masih murni untuk menguasai ilmu, mengasah keahlian, menggali potensi diri, dan membentuk karakter. Hal tersebut didukung pula dengan unit kegiatan mahasiswa, dimana pengelola kampus telah menganggarkan dana  demi kemajuan intelektualitas dan integritas mahasiswa sampai menjadi alumni yang mumpuni, baik dalam pekerjaan maupun organisasi di masyarakat nanti.

Saya memilih pers mahasiswa dari tingkat fakultas (Teknik) dan universitas. Biasa, proses dan produksi sepenuhnya dibiayai oleh kampus sehingga saya dan rekan-rekan saya bisa lebih fokus untuk belajar mengelola media sekaligus menggali potensi masing-masing. Bahkan kampus saya pun masih menyediakan media untuk seluruh sivitas akademika, bahkan mendapat honor sebagai ‘penghargaan’ bagi kontributornya, meskipun tidak sebesar yang diberikan oleh media massa umum karena orientasinya bukanlah untuk uang (profit).

“Karya-karya Abang apa sajakah?”

Pertanyaan yang lumrah karena selama ini media massa di Balikpapan bahkan Kalimantan Timur tidak memuat karya-karya sastra atau catatan budaya. Tidak ada halaman khusus untuk karya sastra atau tulisan budaya dari penulis luar. Sudah pasti pertanyaan tersebut berkaitan juga dengan ketiadaan karya saya. Barangkali, bagi media-media tersebut, sastra bukanlah sebuah menu media yang dapat meraup keuntungan finansial. Pencipta dan penikmatnya sedikit, serta tidak berprospek secara ekonomi (tidak ‘menjual’).

Oleh sebab itu saya langsung beranjak, mengambil album kliping koran sekaligus beberapa buku kompilasi yang memuat karya-karya saya, dan menyodorkan padanya. Satu per satu diamatinya. Entahlah, apakah benar-benar masuk dalam benaknya ataukah tidak. 

“Apakah Abang tidak ingin jadi penulis atau sastrawan terkenal?”

“Sejak menekuni kegiatan tulis-menulis, saya tidak pernah berkeinginan untuk terkenal begitu. Pendidikan saya pun tidak mengarahkan saya menjadi penulis ataupun sastrawan. Menulis, bagi saya, merupakan upaya menyampaikan pikiran saya selain menggambar. Boleh dikatakan sebagai tindak perselingkuhan pikiran secara terang-terangan.”

Saya menunjukkan hasil menggambar saya yang terpajang di dinding ruang tamu. Tidak lupa saya menyampaikan bahwa kebiasaan awal saya adalah menggambar, bukannya menulis. Yang jelas, secara akademis, saya seorang arsitek, yang pasti akan selalu menggambar. Bahkan saya sendiri sama sekali tidak mengerti, bagaimana caranya supaya bisa menjadi terkenal melalui kegiatan gambar-menggambar, kecuali melakukan kegiatan itu. Minggu Pagi Yogyakarta, Tabloid Bola, Majalah BahanaHumor, dan Intisari pernah memuat gambar kartun saya, toh saya tidak juga terkenal.

Dia menatap hasil menggambar saya. Sekilas. Beralih kembali pada kliping koran dan buku-buku tadi. Pandangannya agak lama pada sebuah buku kumpulan cerita pendek dari kegiatan Temu Sastrawan Indonesia III.

“Bang, aku mau belajar menulis cerpen pada Abang. Ajari aku, ya, Bang?” Dia menatap saya secara frontal.

“Kamu datang saja ke sini.”

“Benar, ya, Bang?”

“Kalau tidak benar, berarti salah dong?”

Dia tertawa. Lalu berpamitan setelah obrolan diakhiri dengan ‘permintaan’ belajar menulis cerpen, dan kopi sampai pada endapannya. Saya mengantarnya hingga gerbang pagar.

Dalam kesendirian timbul pertanyaan pada diri saya sendiri, apakah saya mampu memenuhi ‘permintaan’-nya apalagi sampai dia menjadi sastrawan terkenal. Saya kurang mampu berteori, apalagi mengajar sesuatu di luar pendidikan saya. Karya-karya saya tidaklah bagus, kecuali bagi orang awam. Saya sendiri tidak terkenal. Tapi, biarlah. Seandainya kelak dia terkenal karena belajar dari saya, itu pasti kebetulan sekaligus kemujuran bagi saya secara pribadi. Sebaliknya, seandainya dia gagal terkenal, itu pasti realitas ketidakmampuan saya.

#2

Satu minggu saya menunggu kedatangannya. Dua minggu. Tiga minggu. Satu bulan. Enam bulan. Lebih enam bulan berlalu. Dia tidak datang juga. Padahal kopi sudah saya sediakan meskipun akhirnya selalu habis.

Sekitar Februari 2014 kami bertemu di acara membaca puisi. Ada berita yang mengejutkan saya.

“Bang, buku kumpulan puisi saya mau diterbitkan oleh sebuah penerbit di Yogyakarta,” katanya dengan wajah berbinar-binar.

“Wah, hebat!” komentar saya sembari menjabat tangannya, dan memberi tanda jempol. “Apa nama penerbitnya?”

Dia menyebutkan nama penerbit itu. Sekali lagi saya memberi jempol. Penerbit di Yogyakarta, wow! Gerak tubuhnya begitu percaya diri.

Keren, pikir saya. Bagaimana dia tidak keren, lha wong di antara sekian jumlah mahasiswa yang sering nimbrung dalam kegiatan sastra, hanya dia yang mendapat kesempatan penerbitan karya, bahkan oleh penerbit di Yogyakarta. Seingat saya, penerbit itu tidak sudi menerbitkan kumpulan puisi saya dalam bentuk buku. Dan, tentunya, dia bakal berkesempatan untuk menjadi sastrawan terkenal secara nasional sesuai dengan ambisinya. Tentu keren, ‘kan?

#3

Sampai habis tahun 2014 saya tidak pernah mendengar berita tentang buku kumpulan puisinya. Dan sampai habis Juli 2015 saya tidak pernah didatanginya, berkaitan dengan ‘permintaan’-nya untuk belajar menulis cerpen.

Saya sendiri, terhitung sejak Oktober 2014 hingga Juli 2015, tidak lagi mengikuti kegiatan sastra di Balikpapan. Saya masih menulis cerpen dan puisi. Tulisan-tulisan seenak hati pun masih saya tekuni. Hanya puisi yang masih mendapat tempat ‘khusus’ di media luar Kalimantan Timur. Tetapi, ketika puisi saya lolos seleksi dan saya mendapat undangan ke acara “Tifa Nusantara 2” yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Kabupaten Tangerang, 27 s.d. 29 Agustus 2015, saya tidak bisa hadir.

Sayangnya, dalam daftar tamu undangan itu saya tidak menemukan karya dan nama dia. Saya pun tidak tahu, apakah dia kini sudah mahir menulis cerpen, puisi, esai, bahkan menjadi penulis ataupun sastrawan terkenal dalam rentang waktu 2013-2015 alias 2 tahun. Bukan mustahil hal tersebut disebabkan oleh ketidakaktifan saya dalam seluruh kegiatan sastra atau bimbingan tulis-menulis di Balikpapan selama 10 bulan ini (sejak Oktober 2014).

Mungkin saya memang tidak perlu mengetahui perkembangannya sampai menjadi sastrawan terkenal, baik dalam skala lokal maupun nasional. Lumrahlah, saya yang tidak terkenal ini akhirnya ditinggalkannya setelah dia terkenal dan semakin keren. Memang tidak keren saya ini karena kurang tekun belajar dan tidak juga terkenal!

*******

Panggung Renung, 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar