#1
Suatu ketika di April 2013 saya kedatangan seorang
mahasiswa Ekonomi dari sebuah perguruan tinggi. Pada tahun itu saya masih rajin
dalam kegiatan sastra komunal di Kota Minyak, dan dia sedang bersemangat untuk
menekuni kegiatan tulis-menulis, meskipun saya belum pernah membaca tulisannya.
Saya jarang sekali bertemu dengannya karena kesibukannya entah apa saja.
Kami pun ngobrol seputar dunia penulisan dan sastra.
Tentu saja obrolan menjadi asyik ketika ditemani segelas kopi hitam, yang
masing-masing meraciknya sendiri. Kebiasaan saya untuk membiarkan tamu meracik
kopinya sendiri karena saya tidak tahu takaran kopi-gula-air yang sesuai dengan
selera lidah tamu.
Walaupun saya bukanlah seorang penulis berpengalaman
apalagi terkenal, paling tidak, usia kepenulisan saya sudah agak lebih lama
dibanding dirinya. Maka saya menceritakan pengalaman saya dalam belajar menulis
secara gratis tanpa seorang guru pun sampai menjadikan kegiatan menulis sebagai
gaya hidup saya. Ya, gaya hidup pilihan pribadi saya, kendati saya tidak bisa
bergaya dalam tulis-menulis.
Dia juga menceritakan kegiatannya di kampus, selain
kuliah reguler, sampai tertarik untuk belajar tulis-menulis. Tapi dia tidak
tahu pada siapa dia bisa belajar dan bisa benar-benar menguasai tulis-menulis.
Di Balikpapan dan kampusnya, kegiatan tulis-menulis, terlebih sastra, tidak
menjadi bagian dalam budaya mahasiswa. Di samping tidak ada majalah kampus,
juga tidak ada majalah dinding. Mayoritas mahasiswa di kampusnya adalah para
pekerja. Kuliah hanya ‘sekadar’, dan gelar sarjana tidak lebih demi
meningkatkan taraf hidup, baik gaji maupun karier.
Apa yang disampaikannya itu bukanlah hal baru bagi
saya. Kota Balikpapan dibangun oleh minyak. Orang-orang datang ke sini hanya
satu tujuan : uang, baik sebagai pekerja di sektor minyak maupun sektor
sekitarnya.
Saya mengamati, sebagian dari mereka yang berpendidikan tinggi, ujung-ujungnya hanya berorientasi pada uang. Pergaulan antarmahasiswa berkisar pada pekerjaan karena bekerja dan mendapat uang merupakan gengsi dalam pergaulan mereka. Pilihan dia di ekstrakurikuler pun, tidak lebih, sebagai pencitraan agar disebut sebagai aktifis.
Saya mengamati, sebagian dari mereka yang berpendidikan tinggi, ujung-ujungnya hanya berorientasi pada uang. Pergaulan antarmahasiswa berkisar pada pekerjaan karena bekerja dan mendapat uang merupakan gengsi dalam pergaulan mereka. Pilihan dia di ekstrakurikuler pun, tidak lebih, sebagai pencitraan agar disebut sebagai aktifis.
Tentu saja berbeda dengan apa yang saya alami ketika
menjadi mahasiswa di Yogyakarta, dimana pendidikan masih murni untuk menguasai
ilmu, mengasah keahlian, menggali potensi diri, dan membentuk karakter. Hal
tersebut didukung pula dengan unit kegiatan mahasiswa, dimana pengelola kampus
telah menganggarkan dana demi kemajuan intelektualitas dan integritas
mahasiswa sampai menjadi alumni yang mumpuni, baik dalam pekerjaan maupun
organisasi di masyarakat nanti.
Saya memilih pers mahasiswa dari tingkat fakultas
(Teknik) dan universitas. Biasa, proses dan produksi sepenuhnya dibiayai oleh
kampus sehingga saya dan rekan-rekan saya bisa lebih fokus untuk belajar
mengelola media sekaligus menggali potensi masing-masing. Bahkan kampus saya
pun masih menyediakan media untuk seluruh sivitas akademika, bahkan mendapat
honor sebagai ‘penghargaan’ bagi kontributornya, meskipun tidak sebesar yang
diberikan oleh media massa umum karena orientasinya bukanlah untuk uang
(profit).
“Karya-karya Abang apa sajakah?”
Pertanyaan yang lumrah karena selama ini media massa
di Balikpapan bahkan Kalimantan Timur tidak memuat karya-karya sastra atau
catatan budaya. Tidak ada halaman khusus untuk karya sastra atau tulisan budaya
dari penulis luar. Sudah pasti pertanyaan tersebut berkaitan juga dengan
ketiadaan karya saya. Barangkali, bagi media-media tersebut, sastra bukanlah
sebuah menu media yang dapat meraup keuntungan finansial. Pencipta dan
penikmatnya sedikit, serta tidak berprospek secara ekonomi (tidak ‘menjual’).
Oleh sebab itu saya langsung beranjak, mengambil album
kliping koran sekaligus beberapa buku kompilasi yang memuat karya-karya saya,
dan menyodorkan padanya. Satu per satu diamatinya. Entahlah, apakah benar-benar
masuk dalam benaknya ataukah tidak.
“Apakah Abang tidak ingin jadi penulis atau sastrawan
terkenal?”
“Sejak menekuni kegiatan tulis-menulis, saya tidak
pernah berkeinginan untuk terkenal begitu. Pendidikan saya pun tidak
mengarahkan saya menjadi penulis ataupun sastrawan. Menulis, bagi saya,
merupakan upaya menyampaikan pikiran saya selain menggambar. Boleh dikatakan
sebagai tindak perselingkuhan pikiran secara terang-terangan.”
Saya menunjukkan hasil menggambar saya yang terpajang
di dinding ruang tamu. Tidak lupa saya menyampaikan bahwa kebiasaan awal saya
adalah menggambar, bukannya menulis. Yang jelas, secara akademis, saya seorang
arsitek, yang pasti akan selalu menggambar. Bahkan saya sendiri sama sekali
tidak mengerti, bagaimana caranya supaya bisa menjadi terkenal melalui kegiatan
gambar-menggambar, kecuali melakukan kegiatan itu. Minggu Pagi Yogyakarta,
Tabloid Bola, Majalah Bahana, Humor, dan Intisari pernah
memuat gambar kartun saya, toh saya tidak juga terkenal.
Dia menatap hasil menggambar saya. Sekilas. Beralih
kembali pada kliping koran dan buku-buku tadi. Pandangannya agak lama pada
sebuah buku kumpulan cerita pendek dari kegiatan Temu Sastrawan
Indonesia III.
“Bang, aku mau belajar menulis cerpen pada Abang.
Ajari aku, ya, Bang?” Dia menatap saya secara frontal.
“Kamu datang saja ke sini.”
“Benar, ya, Bang?”
“Kalau tidak benar, berarti salah dong?”
Dia tertawa. Lalu berpamitan setelah obrolan diakhiri
dengan ‘permintaan’ belajar menulis cerpen, dan kopi sampai pada endapannya.
Saya mengantarnya hingga gerbang pagar.
Dalam kesendirian timbul pertanyaan pada diri saya
sendiri, apakah saya mampu memenuhi ‘permintaan’-nya apalagi sampai dia menjadi
sastrawan terkenal. Saya kurang mampu berteori, apalagi mengajar sesuatu di
luar pendidikan saya. Karya-karya saya tidaklah bagus, kecuali bagi orang awam.
Saya sendiri tidak terkenal. Tapi, biarlah. Seandainya kelak dia terkenal
karena belajar dari saya, itu pasti kebetulan sekaligus kemujuran bagi saya
secara pribadi. Sebaliknya, seandainya dia gagal terkenal, itu pasti realitas
ketidakmampuan saya.
#2
Satu minggu saya menunggu kedatangannya. Dua minggu.
Tiga minggu. Satu bulan. Enam bulan. Lebih enam bulan berlalu. Dia tidak datang
juga. Padahal kopi sudah saya sediakan meskipun akhirnya selalu habis.
Sekitar Februari 2014 kami bertemu di acara membaca
puisi. Ada berita yang mengejutkan saya.
“Bang, buku kumpulan puisi saya mau diterbitkan oleh
sebuah penerbit di Yogyakarta,” katanya dengan wajah berbinar-binar.
“Wah, hebat!” komentar saya sembari menjabat
tangannya, dan memberi tanda jempol. “Apa nama penerbitnya?”
Dia menyebutkan nama penerbit itu. Sekali lagi saya
memberi jempol. Penerbit di Yogyakarta, wow! Gerak tubuhnya begitu
percaya diri.
Keren, pikir saya. Bagaimana dia tidak keren, lha
wong di antara sekian jumlah mahasiswa yang sering nimbrung dalam
kegiatan sastra, hanya dia yang mendapat kesempatan penerbitan karya, bahkan
oleh penerbit di Yogyakarta. Seingat saya, penerbit itu tidak sudi menerbitkan
kumpulan puisi saya dalam bentuk buku. Dan, tentunya, dia bakal berkesempatan
untuk menjadi sastrawan terkenal secara nasional sesuai dengan ambisinya. Tentu
keren, ‘kan?
#3
Sampai habis tahun 2014 saya tidak pernah mendengar
berita tentang buku kumpulan puisinya. Dan sampai habis Juli 2015 saya tidak
pernah didatanginya, berkaitan dengan ‘permintaan’-nya untuk belajar menulis
cerpen.
Saya sendiri, terhitung sejak Oktober 2014 hingga Juli
2015, tidak lagi mengikuti kegiatan sastra di Balikpapan. Saya masih menulis
cerpen dan puisi. Tulisan-tulisan seenak hati pun masih saya tekuni. Hanya
puisi yang masih mendapat tempat ‘khusus’ di media luar Kalimantan Timur.
Tetapi, ketika puisi saya lolos seleksi dan saya mendapat undangan ke acara
“Tifa Nusantara 2” yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Kabupaten Tangerang,
27 s.d. 29 Agustus 2015, saya tidak bisa hadir.
Sayangnya, dalam daftar tamu undangan itu saya tidak
menemukan karya dan nama dia. Saya pun tidak tahu, apakah dia kini sudah mahir
menulis cerpen, puisi, esai, bahkan menjadi penulis ataupun sastrawan terkenal
dalam rentang waktu 2013-2015 alias 2 tahun. Bukan mustahil hal tersebut
disebabkan oleh ketidakaktifan saya dalam seluruh kegiatan sastra atau
bimbingan tulis-menulis di Balikpapan selama 10 bulan ini (sejak Oktober 2014).
Mungkin saya memang tidak perlu mengetahui
perkembangannya sampai menjadi sastrawan terkenal, baik dalam skala lokal
maupun nasional. Lumrahlah, saya yang tidak terkenal ini akhirnya
ditinggalkannya setelah dia terkenal dan semakin keren. Memang tidak keren saya
ini karena kurang tekun belajar dan tidak juga terkenal!
*******
Panggung Renung, 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar