Sejak, anggap saja, 1 April 2009 sampai 18 Oktober
2014, baru saya kenal seorang bernama Oji, seperti yang saya singgung dalam
tulisan Tidak Mengajari Perihal Tulis-Menulis.
Saya tuliskan lagi cuplikannya.
Oji
tidak pernah menekuni kegiatan tulis-menulis sejak masa mahasiswa di
Yogyakarta. Oji tidak pernah memahami betapa menulis itu sebagai sebuah kerja
budaya-intelektual dan layak mendapat ‘penghargaan’ (honor), dan sama
sekali tidak pernah menekuni kegiatan tulis-menulis tetapi, kalau berada dalam
obrolan sekian orang, Oji selalu berkata, “Ayo nulis!”. Sayangnya, tidak
pernah merasakan gaya hidup tulis-menulis apalagi honor, sudah seolah
omongannya menjadi “sabda Tuhan”.
Hal lainnya adalah omong kosong Oji “Ayo Membaca!”
pada saat obrol sana-sini berkaitan dengan bahan bacaan. Dia selalu menyeletuk
begitu. Saya menyebut “omong kosong” karena saya sama sekali belum pernah
membaca tulisan keren si Oji, apalagi dengan referensi yang relevan.
Mungkin Oji sudah mengetahui bahwa para penulis hebat membekali
diri dengan bacaan. Tetapi, sayangnya, dia tidak memahami bahwa para penulis
hebat tidak membekali diri dengan omong kosong.
Dan Orang semacam Oji ini bukanlah satu-dua orang yang saya kenal di Balikpapan. Usia dan profesinya pun variatif. Di depan kaum muda belia mereka berlagak macam orang sudah mahir membaca dan menulis, padahal persoalan sepele mengenai "di", dan "di-" sebagai apa dalam kalimat saja masih belepotan seperti murid SD belajar mengarang.
Seperti Demun, misalnya juga. Demun mengaku-aku, rajin menulis dan beberapa kali dimuat di media massa lokal. Pokoknya, selangit deh pengakuannya. Kenyataannya, setiap tulisan ditayangkannya, masih saja terlihat jelas bahwa Demun tidak memahami persoalan sepele itu. Sekali saya kritik, Alasannya, "Lupa." Setelah saya lihat beberapa tulisannya, ternyata memang tidak memahami hal itu. Ujung-ujungnya, ya, terpaksa saya anggap angin lalu saja karena jelas tidak berkualitas apa pun!
Dan Orang semacam Oji ini bukanlah satu-dua orang yang saya kenal di Balikpapan. Usia dan profesinya pun variatif. Di depan kaum muda belia mereka berlagak macam orang sudah mahir membaca dan menulis, padahal persoalan sepele mengenai "di", dan "di-" sebagai apa dalam kalimat saja masih belepotan seperti murid SD belajar mengarang.
Seperti Demun, misalnya juga. Demun mengaku-aku, rajin menulis dan beberapa kali dimuat di media massa lokal. Pokoknya, selangit deh pengakuannya. Kenyataannya, setiap tulisan ditayangkannya, masih saja terlihat jelas bahwa Demun tidak memahami persoalan sepele itu. Sekali saya kritik, Alasannya, "Lupa." Setelah saya lihat beberapa tulisannya, ternyata memang tidak memahami hal itu. Ujung-ujungnya, ya, terpaksa saya anggap angin lalu saja karena jelas tidak berkualitas apa pun!
Ya, omong kosong. Tapi apalah faedahnya omong kosong
tanpa pernah membuktikan celetukan “Ayo Menulis!” dan “Ayo Membaca!”. Mendingan
diam, lalu diam-diam menulis, produktif, dan suatu waktu memberi bukti nyata.
Begitulah. Jangankan rajin mengikuti arena pertarungan tulisan, melakukan praktik secara konsisten saja hanya bisa omong kosong, Eh, padahal Oji dan kawan-kawannya masih segar-bugar lho. Mata masih bisa membedakan antara cantik dan buruk rupa; antara paha dan dada; antara ribu dan juta. Kalau ditantang berkelahi, pasti mereka maju dengan sangat berani. Ya, mereka belum pikiun atau terkena stroke!
Tetapi, ya, sudahlah. Tidak usah saya pikirkan dan ungkapkan secara rinci. Cukuplah. Cukuplah untuk saya sendiri, dengan konsistenitas berkarya, dan membuat beberapa buku saya. Saya mewujudkan-membuktikan, bukan hanya wacana-rencana alias omong kosong doang (omdo).
Ayo, masih mau cuma omong kosong pada saya?!
Tetapi, ya, sudahlah. Tidak usah saya pikirkan dan ungkapkan secara rinci. Cukuplah. Cukuplah untuk saya sendiri, dengan konsistenitas berkarya, dan membuat beberapa buku saya. Saya mewujudkan-membuktikan, bukan hanya wacana-rencana alias omong kosong doang (omdo).
Ayo, masih mau cuma omong kosong pada saya?!
*******
Panggung Renung Balikpapan, 14 Mei 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar