Seketika saya teringat,
beberapa bulan sebelumnya dia berslogan “Puisi adalah Nafasku” bersamaan dengan
beberapa pajangan hasil jepretannya sebagai ‘pemberi tahu’ bahwa dia sedang
sibuk menggeluti kegiatan fotografi.
Saya mengenalnya
pertama kali ketika acara-acara berpuisi di Balikpapan. Dia bukanlah mahasiswa
bidang studi sastra tetapi tertarik untuk berpuisi. Koleksi bacaan puisinya
sangatlah minim, apalagi buku berkelas seperti “Tonggak I”, “Tonggak II”, dan
seterusnya.
Ketika dia berslogan
“puisi adalah nafasku”, tentu saja, sekilas luar biasa. Sayangnya, ketertarikan
tersebut tidak dibarengi dengan ketekunan membaca puisi-puisi para penyair
berkaliber masa kini atau pula para pendobrak perpuisian Indonesia, apalagi teori-teori
puisi. Alhasil, puisi-puisinya tidak memiliki karakter khas sebuah puisi dengan
segala kriteria-standarnya, kecuali nuansa jatuh cinta dan protes sosial yang
ditulis secara bugil.
Ya, sayangnya, pada
saat dia belum juga mampu menghasilkan puisi-puisi berkualitas mumpuni, sudah
berpindah fokus ke fotografi, dan memamerkan hasil jepretannya serta begitu
luar biasa berslogan “Puisi adalah Nafasku”. Sementara di waktu-waktu lainnya
dia sama sekali tidak pernah menampilkan puisi-puisinya, meskipun sekadar
sebuah status di beranda FB sebagai bagian dari “nafas” itu. Di situlah
keterkejutan saya!
Keterkejutan? Ya,
sayang sekali, dia terlalu gegabah berslogan. Dia sangat tidak mendalami arti
sebuah kata dan kata lainnya. “Puisi”, dan “nafas”.
Saya pernah mendengar
dia membacakan puisinya seperti yang saya sebutkan; “suasana jatuh cinta” dan
“protes sosial” yang keduanya ditulis secara bugil alias sama sekali tanpa
metafora atau simbol. Tetapi sekian waktu saya tidak pernah menjumpai
puisi-puisinya yang benar-benar sesuai dengan pemilihan kata “puisi” dalam
slogannya.
Berikutnya, tentu saja kata “nafas”. Makhluk hidup bernafas setiap detik atau waktu melalui alat pernafasannya masing-masing. Artinya, nafas adalah hal terpenting bagi makhluk hidup. Makhluk hidup secara konsisten akan bernafas.
Berikutnya, tentu saja kata “nafas”. Makhluk hidup bernafas setiap detik atau waktu melalui alat pernafasannya masing-masing. Artinya, nafas adalah hal terpenting bagi makhluk hidup. Makhluk hidup secara konsisten akan bernafas.
Nah, ketika dia dengan
gagah-perkasa berslogan “Puisi adalah Nafasku”, sungguh berlebihan bahkan omong
kosong belaka. Dia tidak menghasilkan puisi (tidak perlulah bermutu bagus)
setiap detik-waktu, tetapi sudah beralih mendalami fotografi yang hasilnya
tidak lebih bagus daripada hasil jepretan para narsisius-selfian.
Lantas saya berpikir, pertama, apakah dia konsisten dalam
hidup (bernafas); apakah berpuisi adalah nafasnya, sementara fotografi adalah
nafas buatan untuknya? Kedua, apakah
dia mengira bahwa menciptakan sebuah puisi berkualitas itu alangkah
mudahnya–semudah mengucurkan air seni setelah bangun tidur? Ketiga, belum juga jelas konsistenitas
apalagi kualitas puisinya, sudah beralih ke fotografi, apakah dikiranya pula
berfotografi itu semudah memotret bunga, gadis cantik, pemandangan, dan beres
begitu saja?
Sekian waktu saya
berpikir, mengingat puisi sebagian orang muda dalam acara-acara berpuisi atau
berdiskusi sastra di Balikpapan, dan akhir saya semakin memahami bahwa sebagian
orang muda di Balikpapan cenderung mudah berslogan sebagai upaya gagah-gagahan
(istilah di Balikpapan, “pembualan”) tanpa benar-benar memahami bahwa setiap
kata dalam sajak atau puisi memiliki makna yang tidak main-main. Padahal, saya
sering mengungkapkan kepada mereka–bukan hanya dia–bahwasannya saya selalu
mengalami kerepotan serius ketika hendak menciptakan sepucuk puisi yang
benar-benar puisi.
Ya, saya selalu terbuka
kepada mereka–orang-orang muda di Balikpapan, bahwa selama lebih sepuluh tahun,
satu-satunya genre sastra yang paling merepotkan saya adalah puisi. Ibarat
sebuah lukisan, puisi adalah juga semacam lukisan abstrak. Bisa dilihat bentuk
polesan (garis dan warna), komposisi, dan sekitar rupanya tetapi tidaklah bisa
dengan mudah memahaminya dalam satu makna yang telanjang (bugil).
Meskipun saya pernah
mengundang dia datang ke Panggung Renung sekaligus mengisahkan sedikit
perjalanan berpuisi saya, misalnya ada puisi saya yang masuk nominasi sebuah
perlombaan tingkat nasional di Jakarta atau tergabung dalam antologi bersama
beberapa penyair terkenal, dan lain-lain, tidaklah kemudian saya dengan
gagah-perkasa berslogan “Puisi adalah Nafasku”.
Selain ketidakmampuan
saya secara konsisten menghasilkan puisi-puisi bermutu, saya pun harus
“menghidupi” jiwa berkesenian saya lainnya, misalnya menulis cerpen, esei,
kartun humor, kartun opini, karikatur, mural, dan utamanya adalah seni bangunan
(arsitektur sebagaimana ijazah terakhir saya). Saya masih terus berproses
dengan semua yang sudah saya “hidupi” itu tanpa perlu nekat (gegabah) berslogan
instan nan ugal-ugalan semacam dia bahkan sebagian kawannya.
Pada waktu berbeda saya
juga mengenalkan nama seorang penyair yang usianya tidak jauh bertaut dengan
dia serta kawan-kawannya, yaitu Mario F. Lawi, yang berasal dari N.T.T., dan
menjadi pendobrak kepenyairan Indonesia setelah Joko Pinurbo. Tetapi saya tidak
pernah mendengar atau membaca Mario berslogan sedemikian heroik, “Puisi adalah
Nafasku”. Lha kok dia yang belum seberapa ujung kukunya Mario, sudah begitu
nekat berslogan “Puisi adalah Nafasku”?
Akan tetapi, apa boleh
buat. Beginilah realitas saya bergaul dengan sebagian kalangan muda di
Balikpapan.
Saya tidak mengerti,
seberapa daya ingat dia waktu itu, dan hubungan perpuisian saya dalam antologi
bersama dengan beberapa penyair, termasuk penyair yang karyanya tergabung dalam
AADC2, yaitu M. Aan Mansyur. Dan, berhubungan dengan Dian Sastro-nya AADC,
yaitu Dian Sastro for President ! : The
End of Trilogy (Februari 2005). Kalau dia ingat, tentu saja, akan berpikir
ulang untuk berslogan “Puisi adalah Nafasku” lalu membuat status “Hbs ntn AADC jadi kangen nulis puisi lagi apa
masih bisa yah nulis” itu.
Saya terkejut ketika membaca status seorang mahasiswa
di Balikpapan pada beranda FB-nya. “Hbs ntn
AADC jadi kangen nulis puisi lagi apa masih bisa yah nulis,” tulisnya. Saya berpikir, orang
muda ini angin-angin seperti kentut bau atau tidak bau, bukannya nafas.
Tetapi, daripada repot
berpikir ketika membaca status medsos-nya, saya langsung saja hapus dari
pertemanan. Saya memang paling malas memikirkan slogan kosong semacam tong
kosong nyaring bunyinya itu!
*******
Panggung Renung, 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar