Sabtu, 20 Mei 2017

Puisi adalah Nafasku!

Seketika saya teringat, beberapa bulan sebelumnya dia berslogan “Puisi adalah Nafasku” bersamaan dengan beberapa pajangan hasil jepretannya sebagai ‘pemberi tahu’ bahwa dia sedang sibuk menggeluti kegiatan  fotografi.

Saya mengenalnya pertama kali ketika acara-acara berpuisi di Balikpapan. Dia bukanlah mahasiswa bidang studi sastra tetapi tertarik untuk berpuisi. Koleksi bacaan puisinya sangatlah minim, apalagi buku berkelas seperti “Tonggak I”, “Tonggak II”, dan seterusnya.

Ketika dia berslogan “puisi adalah nafasku”, tentu saja, sekilas luar biasa. Sayangnya, ketertarikan tersebut tidak dibarengi dengan ketekunan membaca puisi-puisi para penyair berkaliber masa kini atau pula para pendobrak perpuisian Indonesia, apalagi teori-teori puisi. Alhasil, puisi-puisinya tidak memiliki karakter khas sebuah puisi dengan segala kriteria-standarnya, kecuali nuansa jatuh cinta dan protes sosial yang ditulis secara bugil.

Ya, sayangnya, pada saat dia belum juga mampu menghasilkan puisi-puisi berkualitas mumpuni, sudah berpindah fokus ke fotografi, dan memamerkan hasil jepretannya serta begitu luar biasa berslogan “Puisi adalah Nafasku”. Sementara di waktu-waktu lainnya dia sama sekali tidak pernah menampilkan puisi-puisinya, meskipun sekadar sebuah status di beranda FB sebagai bagian dari “nafas” itu. Di situlah keterkejutan saya!

Keterkejutan? Ya, sayang sekali, dia terlalu gegabah berslogan. Dia sangat tidak mendalami arti sebuah kata dan kata lainnya. “Puisi”, dan “nafas”.

Saya pernah mendengar dia membacakan puisinya seperti yang saya sebutkan; “suasana jatuh cinta” dan “protes sosial” yang keduanya ditulis secara bugil alias sama sekali tanpa metafora atau simbol. Tetapi sekian waktu saya tidak pernah menjumpai puisi-puisinya yang benar-benar sesuai dengan pemilihan kata “puisi” dalam slogannya.

Berikutnya, tentu saja kata “nafas”. Makhluk hidup bernafas setiap detik atau waktu melalui alat pernafasannya masing-masing. Artinya, nafas adalah hal terpenting bagi makhluk hidup. Makhluk hidup secara konsisten akan bernafas.

Nah, ketika dia dengan gagah-perkasa berslogan “Puisi adalah Nafasku”, sungguh berlebihan bahkan omong kosong belaka. Dia tidak menghasilkan puisi (tidak perlulah bermutu bagus) setiap detik-waktu, tetapi sudah beralih mendalami fotografi yang hasilnya tidak lebih bagus daripada hasil jepretan para narsisius-selfian.

Lantas saya berpikir, pertama, apakah dia konsisten dalam hidup (bernafas); apakah berpuisi adalah nafasnya, sementara fotografi adalah nafas buatan untuknya? Kedua, apakah dia mengira bahwa menciptakan sebuah puisi berkualitas itu alangkah mudahnya–semudah mengucurkan air seni setelah bangun tidur? Ketiga, belum juga jelas konsistenitas apalagi kualitas puisinya, sudah beralih ke fotografi, apakah dikiranya pula berfotografi itu semudah memotret bunga, gadis cantik, pemandangan, dan beres begitu saja?

Sekian waktu saya berpikir, mengingat puisi sebagian orang muda dalam acara-acara berpuisi atau berdiskusi sastra di Balikpapan, dan akhir saya semakin memahami bahwa sebagian orang muda di Balikpapan cenderung mudah berslogan sebagai upaya gagah-gagahan (istilah di Balikpapan, “pembualan”) tanpa benar-benar memahami bahwa setiap kata dalam sajak atau puisi memiliki makna yang tidak main-main. Padahal, saya sering mengungkapkan kepada mereka–bukan hanya dia–bahwasannya saya selalu mengalami kerepotan serius ketika hendak menciptakan sepucuk puisi yang benar-benar puisi.

Ya, saya selalu terbuka kepada mereka–orang-orang muda di Balikpapan, bahwa selama lebih sepuluh tahun, satu-satunya genre sastra yang paling merepotkan saya adalah puisi. Ibarat sebuah lukisan, puisi adalah juga semacam lukisan abstrak. Bisa dilihat bentuk polesan (garis dan warna), komposisi, dan sekitar rupanya tetapi tidaklah bisa dengan mudah memahaminya dalam satu makna yang telanjang (bugil).

Meskipun saya pernah mengundang dia datang ke Panggung Renung sekaligus mengisahkan sedikit perjalanan berpuisi saya, misalnya ada puisi saya yang masuk nominasi sebuah perlombaan tingkat nasional di Jakarta atau tergabung dalam antologi bersama beberapa penyair terkenal, dan lain-lain, tidaklah kemudian saya dengan gagah-perkasa berslogan “Puisi adalah Nafasku”.

Selain ketidakmampuan saya secara konsisten menghasilkan puisi-puisi bermutu, saya pun harus “menghidupi” jiwa berkesenian saya lainnya, misalnya menulis cerpen, esei, kartun humor, kartun opini, karikatur, mural, dan utamanya adalah seni bangunan (arsitektur sebagaimana ijazah terakhir saya). Saya masih terus berproses dengan semua yang sudah saya “hidupi” itu tanpa perlu nekat (gegabah) berslogan instan nan ugal-ugalan semacam dia bahkan sebagian kawannya.

Pada waktu berbeda saya juga mengenalkan nama seorang penyair yang usianya tidak jauh bertaut dengan dia serta kawan-kawannya, yaitu Mario F. Lawi, yang berasal dari N.T.T., dan menjadi pendobrak kepenyairan Indonesia setelah Joko Pinurbo. Tetapi saya tidak pernah mendengar atau membaca Mario berslogan sedemikian heroik, “Puisi adalah Nafasku”. Lha kok dia yang belum seberapa ujung kukunya Mario, sudah begitu nekat berslogan “Puisi adalah Nafasku”?

Akan tetapi, apa boleh buat. Beginilah realitas saya bergaul dengan sebagian kalangan muda di Balikpapan.

Saya tidak mengerti, seberapa daya ingat dia waktu itu, dan hubungan perpuisian saya dalam antologi bersama dengan beberapa penyair, termasuk penyair yang karyanya tergabung dalam AADC2, yaitu M. Aan Mansyur. Dan, berhubungan dengan Dian Sastro-nya AADC, yaitu Dian Sastro for President ! : The End of Trilogy (Februari 2005). Kalau dia ingat, tentu saja, akan berpikir ulang untuk berslogan “Puisi adalah Nafasku” lalu membuat status Hbs ntn AADC jadi kangen nulis puisi lagi apa masih bisa yah nulis” itu.

Saya terkejut ketika membaca status seorang mahasiswa di Balikpapan pada beranda FB-nya. “Hbs ntn AADC jadi kangen nulis puisi lagi apa masih bisa yah nulis,” tulisnya. Saya berpikir, orang muda ini angin-angin seperti kentut bau atau tidak bau, bukannya nafas.

Tetapi, daripada repot berpikir ketika membaca status medsos-nya, saya langsung saja hapus dari pertemanan. Saya memang paling malas memikirkan slogan kosong semacam tong kosong nyaring bunyinya itu!   

*******
Panggung Renung, 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar