Saya
masih diherankan oleh kawan saya sendiri ketika fotonya masih saja tampil menemani
tulisan dan namanya di sebuah koran lokal pada September 2015 ini. Sebelumnya
saya sudah mencatatkan bahwa tulisan yang telah dilengkapi dengan nama
penulisnya tidaklah perlu ditambahi dengan foto penulisnya apabila sampai di
koran tersebut. Apakah masih kurang populer?
Memang,
berdasarkan pengamatan saya selama sekian tahun, koran lokal ini selalu
berusaha ‘menjual’ karya dan penciptanya tanpa pernah peduli soal hak cipta dan
seterusnya. Indoktrinisasinya, “Kami membantu Anda populer bahkan semakin
populer melalui karya Anda”, sehingga sangat berhasil mengalihkan perhatian
pembaca dari hak atas kekayaan intelektual. Baru di koran lokal inilah
tulisan-tulisan kawan saya dimuat. Dulunya, ketika masih di Jawa, baik sebagai
mahasiswa maupun karyawan kantoran, tulisan kawan saya tidak pernah tampil di
koran-koran lokal pulau Jawa.
Dan,
kendati kawan saya itu berpendidikan sangat tinggi dan selalu berpenampilan
agamis pada foto di tulisannya, ternyata popularitas tetap menjadi
prioritasnya. Memang, siapa pun, termasuk kawan saya, memiliki hak azasi untuk
populer (tenar; beken), apalagi
dengan status sosial-ekonomi yang telah terbukti. Namun, dengan penampilan
agamisnya, apakah tidak cenderung merupakan sebuah pemujaan terhadap diri
sendiri, atau dikenal dengan istilah “berhala diri” ataupun “musyrik”?
Tapi
terserahlah. Siapa saja berhak untuk memuja dirinya sendiri di hadapan khalayak
pembaca koran lokal meskipun wajahnya tidak benar-benar rupawan. Sementara saya
masih kolot, suka membaca tulisan tanpa pernah mau memandang wajah penulisnya
yang terlampir di dekat tulisannya.
Seingat
saya, sekitar tahun 2012-2013, ketika saya rajin membuat komik kartun dan
memajangnya di FB untuk sekadar berkelakar atau menyindir, seorang kawan
lainnya mengusulkan saya mengirim karya saya secara rutin ke koran lokal
tersebut, bahkan ia sempat mengajukannya ke sang petinggi koran.
Kawan
saya satu ini memang memiliki kedekatan dengan petinggi koran tersebut. Tulisan-tulisannya
pun sering dimuat di koran tersebut, dan, tentunya, lengkap dengan fotonya. Namun
saya menolak usulan kawan saya ini.
Alasan
saya menolak adalah: 1) saya tidak memerlukan sebuah popularitas bagi diri
saya; 2) koran itu tidak menghargai hak atas kekayaan intelektual, meskipun
para pengelolanya sangat akrab dengan komik kartun seperti Panji Koming, Timun, Konpopilan, Sukribo, Benny & Mice,
dan lain-lain, yang tidak mungkin dihargai 2M (Makasih, Mas); 3) koran lokal tersebut memang selalu lihai
mengiming-imingi sebuah popularitas sebagai imbalan atas simbiosa mutualisma.
Saya
memang tidak tertarik dengan ‘jebakan’ popularitas (‘memberhalakan diri’)
semacam yang biasa dilakukan kedua kawan saya tadi melalui koran lokal. Di
samping itu, sejak pertama tulisan saya dimuat oleh koran komersial, memang
tidak pernah disertai dengan foto saya. Tulisan dan nama saya sudah cukuplah,
seperti halnya tulisan-tulisan kontributor lainnya. Tidak perlu dipaksa dengan
pemuatan foto saya yang berwajah tampan (bandingkan saja dengan orangutan atau
bekantan).
*******
Panggung
Renung, 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar