Senin, 08 Mei 2017

Iming-iming Popularitas dari Sebuah Koran Lokal

Saya masih diherankan oleh kawan saya sendiri ketika fotonya masih saja tampil menemani tulisan dan namanya di sebuah koran lokal pada September 2015 ini. Sebelumnya saya sudah mencatatkan bahwa tulisan yang telah dilengkapi dengan nama penulisnya tidaklah perlu ditambahi dengan foto penulisnya apabila sampai di koran tersebut. Apakah masih kurang populer?

Memang, berdasarkan pengamatan saya selama sekian tahun, koran lokal ini selalu berusaha ‘menjual’ karya dan penciptanya tanpa pernah peduli soal hak cipta dan seterusnya. Indoktrinisasinya, “Kami membantu Anda populer bahkan semakin populer melalui karya Anda”, sehingga sangat berhasil mengalihkan perhatian pembaca dari hak atas kekayaan intelektual. Baru di koran lokal inilah tulisan-tulisan kawan saya dimuat. Dulunya, ketika masih di Jawa, baik sebagai mahasiswa maupun karyawan kantoran, tulisan kawan saya tidak pernah tampil di koran-koran lokal pulau Jawa.

Dan, kendati kawan saya itu berpendidikan sangat tinggi dan selalu berpenampilan agamis pada foto di tulisannya, ternyata popularitas tetap menjadi prioritasnya. Memang, siapa pun, termasuk kawan saya, memiliki hak azasi untuk populer (tenar; beken), apalagi dengan status sosial-ekonomi yang telah terbukti. Namun, dengan penampilan agamisnya, apakah tidak cenderung merupakan sebuah pemujaan terhadap diri sendiri, atau dikenal dengan istilah “berhala diri” ataupun “musyrik”?

Tapi terserahlah. Siapa saja berhak untuk memuja dirinya sendiri di hadapan khalayak pembaca koran lokal meskipun wajahnya tidak benar-benar rupawan. Sementara saya masih kolot, suka membaca tulisan tanpa pernah mau memandang wajah penulisnya yang terlampir di dekat tulisannya.

Seingat saya, sekitar tahun 2012-2013, ketika saya rajin membuat komik kartun dan memajangnya di FB untuk sekadar berkelakar atau menyindir, seorang kawan lainnya mengusulkan saya mengirim karya saya secara rutin ke koran lokal tersebut, bahkan ia sempat mengajukannya ke sang petinggi koran.

Kawan saya satu ini memang memiliki kedekatan dengan petinggi koran tersebut. Tulisan-tulisannya pun sering dimuat di koran tersebut, dan, tentunya, lengkap dengan fotonya. Namun saya menolak usulan kawan saya ini.

Alasan saya menolak adalah: 1) saya tidak memerlukan sebuah popularitas bagi diri saya; 2) koran itu tidak menghargai hak atas kekayaan intelektual, meskipun para pengelolanya sangat akrab dengan komik kartun seperti Panji Koming, Timun, Konpopilan, Sukribo, Benny & Mice, dan lain-lain, yang tidak mungkin dihargai 2M (Makasih, Mas); 3) koran lokal tersebut memang selalu lihai mengiming-imingi sebuah popularitas sebagai imbalan atas simbiosa mutualisma.    

Saya memang tidak tertarik dengan ‘jebakan’ popularitas (‘memberhalakan diri’) semacam yang biasa dilakukan kedua kawan saya tadi melalui koran lokal. Di samping itu, sejak pertama tulisan saya dimuat oleh koran komersial, memang tidak pernah disertai dengan foto saya. Tulisan dan nama saya sudah cukuplah, seperti halnya tulisan-tulisan kontributor lainnya. Tidak perlu dipaksa dengan pemuatan foto saya yang berwajah tampan (bandingkan saja dengan orangutan atau bekantan).  

*******

Panggung Renung, 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar