Dalam lomba ini
ia nekat mengajukan dua butir tulisan berupa sebutir esai dan sebutir feature
walaupun sedang dirundung pekerjaan merancang bangunan seluas 2.000-an meter
persegi. Untuk esai, judulnya “Kemiskinan Sastra dalam Provinsi Terkaya di
Indonesia”. Untuk feature, judulnya “Sepenggal Perjalanan Seorang Paus Sastra
via Dolorosa”. Katanya, sekadar berpartisipasi sebagai warga Kaltim yang masih
mau repot memikirkan hal-hal di luar profesi dan ijazah terakhirnya sehingga
dewan juri tidak perlu repot menilai mutu dua butir tulisannya.
Begitulah
secuplik biodata saya untuk mengikuti Lomba Menulis Esai Se-Kaltim &
Kaltara pada Agustus s.d. Oktober 2016. “… sekadar
berpartisipasi sebagai warga Kaltim yang masih mau repot memikirkan hal-hal di
luar profesi dan ijazah terakhirnya sehingga dewan juri tidak perlu repot
menilai mutu dua butir tulisannya”.
Saya
memulai hidup rantau di Balikpapan pada 10 Maret 2009. Sekitar April 2009 mulai
ikut berkegiatan kesenian secara kolektif, dan berhenti total pada 18 Oktober
2014 (baca : Catatan 18 Oktober).
18
Oktober 2014 saya tandai sebagai langkah awal saya berkesenian
secara individual. Bagi saya, menulis merupakan kegiatan budaya yang dilakukan
seorang diri saja. Para penulis terkenal melakukan kerja budaya (tulis-menulis)
secara sendiri-sendiri, bukan kolektif atau keroyokan.
Saya
harus belajar seperti para penulis terkenal dalam hal berkarya. Saya juga
menahan diri untuk tidak bergabung dengan Jaringan Penulis Kaltim (JPK) dengan
alasan yang saya tulis dalam Sebuah
Undangan Terbuka bagi Penulis di Kaltim. Ketua JPK, Amien Wangsitalaja,
juga sudah membacanya.
Meski
memutuskan untuk menyendiri, saya berusaha untuk produktif. Karya tertulis saya
terkirim ke luar Balikpapan-Kaltim. Puisi, cerpen, dan esai. Karena puisi
selalu menjadi karya yang paling sulit saya ciptakan, saya terus-menerus
belajar, dan mengirimkannya, khususnya untuk kurasi kumpulan puisi bersama
(baca : Eksistensi
Karya Pasca-18 Oktober 2014).
Saya sudah tidak tekun mengikuti perkembangan kepenulisan di Balikpapan atau Kaltim
melalui media lokalnya. Terakhir, ya, 18 Oktober, dan selanjutnya tidak ada perkembangan yang mampu menampilkan
karya-karya yang bisa saya beri apresiasi. Komunitas penulis di Balikpapan tidak
menampakkan nama-karya di media nasional atau perhelatan kurasi.
Puncak
dari kesendirian saya mengkritisi realitas dengan esai-esai ringan sekaligus
berkarya di Kota Minyak adalah Lomba Menulis Esai Se-Kaltim & Kaltara,
2016, itu. 18 Oktober 2014 s.d 30 Oktober 2016, anggap 2 tahun, merupakan
realitas perkembangan kepenulisan di Balikpapan sendiri. Padahal sejatinya
lomba diundur selama 1 bulan (gelombang II), yang setelah pengumuman 10
November saya mendapat kabar bahwa sejak gelombang I (Juli-September) esai saya
sudah masuk nominasi.
Hasilnya,
esai saya diganjar Juara I. Berita Antara
Kaltim menuliskan, Untuk kategori esai, juara 1 diraih
Agustinus Wahyono dari Balikpapan dengan naskah berjudul "Kemiskinan
Sastra dalam Provinsi Terkaya di Indonesia".
Kebetulan
seorang penulis Balikpapan (tidak pernah saya kenal secara langsung) bisa Juara
III Lomba Menulis Feature-nya. Wiki
Kridayanti dari Balikpapan dengan naskah “Kesahajaan di Balik Ketenaran”.
Demikian tulis berita Antara Kaltim (http://www.antarakaltim.com/berita/35360/kaltim-umumkan-pemenang-lomba-esai-dan-feature).
Selama
sekitar 6,5 tahun akhirnya terbukti seberapa kegigihan saya melatih diri dan kritisitas (daya kritis) minimal terhadap realitas tulis-menulis di Balikpapan bahkan Kaltim. Entah di mana para
penulis Balikpapan, yang selama sekian tahun saya lihat begitu tersohor di
kalangan orang muda di Balikpapan.
Kritis, bagi saya, bukanlah membenci, memusuhi atau mendendam, melainkan sikap peduli versi lain. Dengan tulisan kritis, saya harus berupaya berpikir secara jernih. Jernih, dalam hal ini, adalah terbuka atas kenyataan-harapan, dan kekurangan-kelebihan.
Latar jejak perantauan, pergaulan, serta perkembangan informasi antardaerah yang cukup mudah saya akses, tentunya, berpengaruh terhadap daya kritis saya. Tidak cukup hanya berputar dalam pikiran, saya harus menuliskannya sebagai bahan evaluasi bagi diri saya sendiri sebagai upaya belajar menulis dan kritis.
Lomba Menulis Esai Se-Kaltim dan Kaltara 2016 merupakan ajang resmi bagi saya untuk menyampaikan pemikiran saya selama menjadi warga Balikpapan, Kaltim, sekaligus semacam ujian tertulis dari suatu pembelajaran otodidak, dan kritis (tanggap/peduli terhadap realitas lokal). Apakah pemikiran saya bukan sebatas suka-tidak suka (terlalu pribadi) ataukah memang layak menjadi bahan pemikiran para penggiat sastra di Kaltim-Kaltara, hasil lomba itu sangat menentukan jalan pikiran saya.
Saya
mengikuti lomba itu, seperti yang saya sampaikan pada awal tulisan, “sekadar berpartisipasi sebagai warga Kaltim
yang masih mau repot memikirkan hal-hal di luar profesi dan ijazah terakhirnya
sehingga dewan juri tidak perlu repot menilai mutu dua butir tulisannya”.
Sekadar berpartisipasi sebagai warga Kaltim karena sebagian penulis di
Balikpapan sudah mengetahui bahwa saya gemar menulis.
Dan,
sebenarnya, esai juara itu bukanlah tulisan baru yang bahan-bahannya saya
simpan rapi (sembunyikan) selama 6,5 tahun. Saya sering melontarkan hal-hal
tersebut ketika masih bergabung dengan komunitas penulis di Balikpapan. Saya
sering menyampaikan “kegelisahan” saya ketika melihat realitas kerja budaya
(tulis-menulis) sebagian orang Balikpapan (di komunitas
itu).
“Kegelisahan” harus saya ungkap-tuliskan. “Kegelisahan”
harus saya pertanggungjawabkan. “Kegelisahan” harus saya sampaikan kepada
pihak-pihak yang berkompeten. Kalau “kegelisahan” sekadar jadi bahan obrolan
semalam suntuk, ujung-ujungnya “dimakan angin”, dan para peserta obrolan bisa “masuk
angin”.
Bukankah peribahasa “tong kosong nyaring bunyinya” sering
disampaikan orang-orang? Bukankah “omong kosong” merupakan kesia-siaan belaka?
Saya, yang pernah menjadi partisipan pembelajaran
tulis-menulis di Balikpapan, harus bisa membuktikan bahwa saya bukanlah sekadar
omong kosong seperti obrolan semalam suntuk. Saya tidak cukup hanya memotivasi
orang muda Balikpapan dengan slogan “Ayo Menulis” dan “Budayakan Tulis-Menulis”.
Saya harus membuktikan kepada mereka bahwa saya pun masih menulis, dan berani
menarungkan tulisan saya.
Persoalan
yang mengemuka, tidak ada seorang di antara mereka yang benar-benar berminat
untuk mengkritisi daerah mereka sendiri, meskipun gagasan-gagasannya sudah
sering saya sampaikan, dan saya baru 6,5 tahun menjadi warga Balikpapan. Kalau
mereka–putera daerah atau lebih 10 tahun menjadi warga Balikpapan–kurang kritis
terhadap daerah mereka sendiri, mengapa pendatang semacam saya yang muncul
untuk menyampaikan hal itu melalui sebuah lomba di daerah mereka sendiri, ‘kan?
Akan
tetapi beginilah realitas kehidupan tulis-menulis dan kritis-mengkritisi di
Balikpapan. Kalau budaya lokal dijadikan sebagai alasan, menurut saya, sangat
sia-sia pendidikan tinggi yang pernah mereka alami sampai jauh ke luar
Balikpapan (baca : Budaya Tulis-Menulis Tidak Kondusif di Kota
Balikpapan).
Bisa
dibayangkan sekaligus pantas disayangkan. Balikpapan adalah wilayah bermain
mereka sejak lahir. Kaltim adalah wilayah secara luas dalam lingkup lokal. Apa
susahnya memandang wilayah sendiri dengan sudut pandang yang kritis? Apakah sesungguhnya
mereka memang kurang kritis?
Di lain sisi saya berpikir, mereka cenderung membuang
waktu untuk ngobrol melulu, dan sama
sekali tidak menuliskan pemikiran mereka agar lebih terbaca-terpahami oleh
kalangan di luar kelompok ngobrol mereka. Kalau berslogan “Ayo Menulis” dan “Budayakan
Tulis-Menulis”, terlalu sering mereka lontarkan. Jangan-jangan sekadar menulis
isi hati atau curahan perasaan, yang kemudian bersembunyi sambil berbisik-bisik
tetapi tetap mengklaim bahwa mereka kritis.
Kritis hanya berlaku dalam kelompok ngobrol, apalah
gunanya? Bukankah hal demikian cenderung menjadikan kelompok obrolan sebagai
kelompok kecewa, barisan sakit hati, bahkan benar-benar kontra-produktif bagi
diri mereka sendiri?
Kritisitas pun harus diuji -- seberapa kritis pemikiran. Lomba esai itu adalah kesempatan utama untuk mengujinya sebab perlu nyali sekaligus doa (berserah untuk siap kalah). Ya, setiap lomba adalah ujian bagi saya karena selepas kuliah saya tidak pernah lagi mengikuti ujian.
Bagi saya, lomba fiksi adalah ujian utama atas imajinasi. Lomba non-fiksi adalah ujian utama atas kritisitas. Ujian yang tidak utama adalah karya dimuat di media setelah melalui "persaingan" dengan karya orang lain. entahlah bagi orang lain, atau para penulis di Balikpapan.
Kritisitas pun harus diuji -- seberapa kritis pemikiran. Lomba esai itu adalah kesempatan utama untuk mengujinya sebab perlu nyali sekaligus doa (berserah untuk siap kalah). Ya, setiap lomba adalah ujian bagi saya karena selepas kuliah saya tidak pernah lagi mengikuti ujian.
Bagi saya, lomba fiksi adalah ujian utama atas imajinasi. Lomba non-fiksi adalah ujian utama atas kritisitas. Ujian yang tidak utama adalah karya dimuat di media setelah melalui "persaingan" dengan karya orang lain. entahlah bagi orang lain, atau para penulis di Balikpapan.
Namun, konklusi sementara saya, kemungkinan memang mereka kurang kritis. Itu yang pantas disayangkan. Ketika
kurang kritis terhadap realitas daerah sendiri, saya yakin, mereka jauh kurang
kritis lagi memandang realitas di daerah lainnya, khususnya perkembangan budaya
tulis-menulis sekaligus regenerasi penulis di daerah luar Balikpapan. Banyak
buku bermutu yang mereka baca sekaligus dipamer-pamerkan, dan mampu mengakses
informasi internet, ternyata daya kritis masih mengalami krisis tingkat miris.
Apa boleh buat, itu pilihan mereka.
*******
Panggung
Renung Balikpapan, 8 Mei 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar