Senin, 08 Mei 2017

Krisis Kritisitas Penulis Lokal Balikpapan terhadap Realitas Wilayahnya Sendiri

Dalam lomba ini ia nekat mengajukan dua butir tulisan berupa sebutir esai dan sebutir feature walaupun sedang dirundung pekerjaan merancang bangunan seluas 2.000-an meter persegi. Untuk esai, judulnya “Kemiskinan Sastra dalam Provinsi Terkaya di Indonesia”. Untuk feature, judulnya “Sepenggal Perjalanan Seorang Paus Sastra via Dolorosa”. Katanya, sekadar berpartisipasi sebagai warga Kaltim yang masih mau repot memikirkan hal-hal di luar profesi dan ijazah terakhirnya sehingga dewan juri tidak perlu repot menilai mutu dua butir tulisannya.

Begitulah secuplik biodata saya untuk mengikuti Lomba Menulis Esai Se-Kaltim & Kaltara pada Agustus s.d. Oktober 2016. “… sekadar berpartisipasi sebagai warga Kaltim yang masih mau repot memikirkan hal-hal di luar profesi dan ijazah terakhirnya sehingga dewan juri tidak perlu repot menilai mutu dua butir tulisannya”.

Saya memulai hidup rantau di Balikpapan pada 10 Maret 2009. Sekitar April 2009 mulai ikut berkegiatan kesenian secara kolektif, dan berhenti total pada 18 Oktober 2014 (baca : Catatan 18 Oktober).

18 Oktober 2014 saya tandai sebagai langkah awal saya berkesenian secara individual. Bagi saya, menulis merupakan kegiatan budaya yang dilakukan seorang diri saja. Para penulis terkenal melakukan kerja budaya (tulis-menulis) secara sendiri-sendiri, bukan kolektif atau keroyokan.

Saya harus belajar seperti para penulis terkenal dalam hal berkarya. Saya juga menahan diri untuk tidak bergabung dengan Jaringan Penulis Kaltim (JPK) dengan alasan yang saya tulis dalam Sebuah Undangan Terbuka bagi Penulis di Kaltim. Ketua JPK, Amien Wangsitalaja, juga sudah membacanya.

Meski memutuskan untuk menyendiri, saya berusaha untuk produktif. Karya tertulis saya terkirim ke luar Balikpapan-Kaltim. Puisi, cerpen, dan esai. Karena puisi selalu menjadi karya yang paling sulit saya ciptakan, saya terus-menerus belajar, dan mengirimkannya, khususnya untuk kurasi kumpulan puisi bersama (baca : Eksistensi Karya Pasca-18 Oktober 2014).

Saya sudah tidak tekun mengikuti perkembangan kepenulisan di Balikpapan atau Kaltim melalui media lokalnya. Terakhir, ya, 18 Oktober, dan selanjutnya tidak ada perkembangan yang mampu menampilkan karya-karya yang bisa saya beri apresiasi. Komunitas penulis di Balikpapan tidak menampakkan nama-karya di media nasional atau perhelatan kurasi.    

Puncak dari kesendirian saya mengkritisi realitas dengan esai-esai ringan sekaligus berkarya di Kota Minyak adalah Lomba Menulis Esai Se-Kaltim & Kaltara, 2016, itu. 18 Oktober 2014 s.d 30 Oktober 2016, anggap 2 tahun, merupakan realitas perkembangan kepenulisan di Balikpapan sendiri. Padahal sejatinya lomba diundur selama 1 bulan (gelombang II), yang setelah pengumuman 10 November saya mendapat kabar bahwa sejak gelombang I (Juli-September) esai saya sudah masuk nominasi.

Hasilnya, esai saya diganjar Juara I. Berita Antara Kaltim menuliskan, Untuk kategori esai, juara 1 diraih Agustinus Wahyono dari Balikpapan dengan naskah berjudul "Kemiskinan Sastra dalam Provinsi Terkaya di Indonesia".

Kebetulan seorang penulis Balikpapan (tidak pernah saya kenal secara langsung) bisa Juara III Lomba Menulis Feature-nya. Wiki Kridayanti dari Balikpapan dengan naskah “Kesahajaan di Balik Ketenaran”. Demikian tulis berita Antara Kaltim (http://www.antarakaltim.com/berita/35360/kaltim-umumkan-pemenang-lomba-esai-dan-feature).

Selama sekitar 6,5 tahun akhirnya terbukti seberapa kegigihan saya melatih diri dan kritisitas (daya kritis) minimal terhadap realitas tulis-menulis di Balikpapan bahkan Kaltim. Entah di mana para penulis Balikpapan, yang selama sekian tahun saya lihat begitu tersohor di kalangan orang muda di Balikpapan.

Kritis, bagi saya, bukanlah membenci
, memusuhi atau mendendam, melainkan sikap peduli versi lain. Dengan tulisan kritis, saya harus berupaya berpikir secara jernih. Jernih, dalam hal ini, adalah terbuka atas kenyataan-harapan, dan kekurangan-kelebihan.

Latar jejak perantauan, pergaulan, serta perkembangan informasi antardaerah yang cukup mudah saya akses, tentunya, berpengaruh terhadap daya kritis saya. Tidak cukup hanya berputar dalam pikiran, saya harus menuliskannya sebagai bahan evaluasi bagi diri saya sendiri sebagai upaya belajar menulis dan kritis.

Lomba Menulis Esai Se-Kaltim dan Kaltara 2016 merupakan ajang resmi bagi saya untuk menyampaikan pemikiran saya selama menjadi warga Balikpapan, Kaltim, sekaligus semacam ujian tertulis dari suatu pembelajaran otodidak, dan kritis (tanggap/peduli terhadap realitas lokal). Apakah pemikiran saya bukan sebatas suka-tidak suka (terlalu pribadi) ataukah memang layak menjadi bahan pemikiran para penggiat sastra di Kaltim-Kaltara, hasil lomba itu sangat menentukan jalan pikiran saya.

Saya mengikuti lomba itu, seperti yang saya sampaikan pada awal tulisan, “sekadar berpartisipasi sebagai warga Kaltim yang masih mau repot memikirkan hal-hal di luar profesi dan ijazah terakhirnya sehingga dewan juri tidak perlu repot menilai mutu dua butir tulisannya”. Sekadar berpartisipasi sebagai warga Kaltim karena sebagian penulis di Balikpapan sudah mengetahui bahwa saya gemar menulis.

Dan, sebenarnya, esai juara itu bukanlah tulisan baru yang bahan-bahannya saya simpan rapi (sembunyikan) selama 6,5 tahun. Saya sering melontarkan hal-hal tersebut ketika masih bergabung dengan komunitas penulis di Balikpapan. Saya sering menyampaikan “kegelisahan” saya ketika melihat realitas kerja budaya (tulis-menulis) sebagian orang Balikpapan (di komunitas itu).

“Kegelisahan” harus saya ungkap-tuliskan. “Kegelisahan” harus saya pertanggungjawabkan. “Kegelisahan” harus saya sampaikan kepada pihak-pihak yang berkompeten. Kalau “kegelisahan” sekadar jadi bahan obrolan semalam suntuk, ujung-ujungnya “dimakan angin”, dan para peserta obrolan bisa “masuk angin”.

Bukankah peribahasa “tong kosong nyaring bunyinya” sering disampaikan orang-orang? Bukankah “omong kosong” merupakan kesia-siaan belaka?

Saya, yang pernah menjadi partisipan pembelajaran tulis-menulis di Balikpapan, harus bisa membuktikan bahwa saya bukanlah sekadar omong kosong seperti obrolan semalam suntuk. Saya tidak cukup hanya memotivasi orang muda Balikpapan dengan slogan “Ayo Menulis” dan “Budayakan Tulis-Menulis”. Saya harus membuktikan kepada mereka bahwa saya pun masih menulis, dan berani menarungkan tulisan saya.

Persoalan yang mengemuka, tidak ada seorang di antara mereka yang benar-benar berminat untuk mengkritisi daerah mereka sendiri, meskipun gagasan-gagasannya sudah sering saya sampaikan, dan saya baru 6,5 tahun menjadi warga Balikpapan. Kalau mereka–putera daerah atau lebih 10 tahun menjadi warga Balikpapan–kurang kritis terhadap daerah mereka sendiri, mengapa pendatang semacam saya yang muncul untuk menyampaikan hal itu melalui sebuah lomba di daerah mereka sendiri, ‘kan?

Akan tetapi beginilah realitas kehidupan tulis-menulis dan kritis-mengkritisi di Balikpapan. Kalau budaya lokal dijadikan sebagai alasan, menurut saya, sangat sia-sia pendidikan tinggi yang pernah mereka alami sampai jauh ke luar Balikpapan (baca : Budaya Tulis-Menulis Tidak Kondusif di Kota Balikpapan).

Bisa dibayangkan sekaligus pantas disayangkan. Balikpapan adalah wilayah bermain mereka sejak lahir. Kaltim adalah wilayah secara luas dalam lingkup lokal. Apa susahnya memandang wilayah sendiri dengan sudut pandang yang kritis? Apakah sesungguhnya mereka memang kurang kritis?

Di lain sisi saya berpikir, mereka cenderung membuang waktu untuk ngobrol melulu, dan sama sekali tidak menuliskan pemikiran mereka agar lebih terbaca-terpahami oleh kalangan di luar kelompok ngobrol mereka. Kalau berslogan “Ayo Menulis” dan “Budayakan Tulis-Menulis”, terlalu sering mereka lontarkan. Jangan-jangan sekadar menulis isi hati atau curahan perasaan, yang kemudian bersembunyi sambil berbisik-bisik tetapi tetap mengklaim bahwa mereka kritis.

Kritis hanya berlaku dalam kelompok ngobrol, apalah gunanya? Bukankah hal demikian cenderung menjadikan kelompok obrolan sebagai kelompok kecewa, barisan sakit hati, bahkan benar-benar kontra-produktif bagi diri mereka sendiri?

Kritisitas pun harus diuji -- seberapa kritis pemikiran. Lomba esai itu adalah kesempatan utama untuk mengujinya sebab perlu nyali sekaligus doa (berserah untuk siap kalah). Ya, setiap lomba adalah ujian bagi saya karena selepas kuliah saya tidak pernah lagi mengikuti ujian.

Bagi saya, lomba fiksi adalah ujian utama atas imajinasi. Lomba non-fiksi adalah ujian utama atas kritisitas. Ujian yang tidak utama adalah karya dimuat di media setelah melalui "persaingan" dengan karya orang lain. entahlah bagi orang lain, atau para penulis di Balikpapan.

Namun, konklusi sementara saya, kemungkinan memang mereka kurang kritis. Itu yang pantas disayangkan. Ketika kurang kritis terhadap realitas daerah sendiri, saya yakin, mereka jauh kurang kritis lagi memandang realitas di daerah lainnya, khususnya perkembangan budaya tulis-menulis sekaligus regenerasi penulis di daerah luar Balikpapan. Banyak buku bermutu yang mereka baca sekaligus dipamer-pamerkan, dan mampu mengakses informasi internet, ternyata daya kritis masih mengalami krisis tingkat miris. Apa boleh buat, itu pilihan mereka.

*******

Panggung Renung Balikpapan, 8 Mei 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar