Senin, 08 Mei 2017

Catatan 18 Oktober : Satu Tahun Kebebasan

(Terpajang di Fb pada 21 Oktober 2015)

Minggu, 18 Oktober 2015, merupakan peringatan Satu Tahun Kebebasan saya dari seluruh kegiatan kesenian massal-komunal di Balikpapan, Kaltim. Saya dan dua kawan merayakannya di Kebun Karya dengan ikan bakar, meskipun kedua kawan tersebut sama sekali tidak mengingatnya.

Saya sangat mengingatnya. Malam Puisi Balikpapan (MPB) ke-17, 18 Oktober 2014, adalah puncak dari segala pertanyaan saya mengenai kegiatan kesenian, khususnya sastra, secara komunal-massal di Kota Minyak. Pertanyaan-pertanyaan seputar keseriusan kawan-kawan pegiat sastra, misalnya dalam penciptaan, pembelajaran, pembimbingan, pendampingan, penampilan, produktivitas, pengarsipan-pendokumentasian, publikasi, pengaderan organisatoris, pembibitan (regenerasi), penghargaan secara khusus, dan lain-lain.

Selain itu, adanya ‘penyusupan personal’ yang sangat kontra-intelektual, kontra-produktif, dan kontra-kualitatif. ‘Penyusupan personal’ ini, bagi sebagian kawan, merupakan persoalan individual yang tidak menjadi bagian dalam interaksi sosial kegiatan. Padahal, mereka lupa, interaksi sosial terjadi justru ketika diadakannya acara MPB sejak pertama kali (Sabtu, 22 Juni 2013) bertema “Puisi untuk Kehidupan” di Kafe D’WA, Gunung Malang, dan satu-satunya alasan tidak bermutu yaitu “kacamata ketinggalan” (tiga acara MPB selalu begitu).

Saya sangat mengingatnya karena saya mengarsipkan berita kegiatannya dengan judul “Bisikan Puisi di Hiruk-Pikuk Balikpapan” yang dimuat oleh sebuah media lokal hal.7, edisi Selasa, 25 Juni 2013. Selanjutnya berjudul “Merah Putih Rendra” di media yang sama, edisi 14 Agustus 2013. Kedua tulisan tersebut serta beberapa tulisan lainnya sama sekali tidak dibayar oleh media lokal itu karena sama sekali kurang menghargai kerja budaya-intelektual yang dilakukan oleh penulis luar media itu.

Sampai pada MPB ke-17 saya sudah tidak hadir, dan tidak akan pernah menghadiri acara serupa berikutnya, termasuk kegiatan kesenian lainnya. Sebagian kawan menyesalkan keputusan saya tetapi mereka sendiri tidak mampu berbuat apa-apa atas kejadian yang menimpa saya serta ‘penyusupan personal’ itu. Hanya penyesalan, apalah artinya ketika tiada upaya nyata untuk mendapatkan penyelesaian terbaik (win win solution) bagi semua. Sejak itu pula saya keluar dari sebuah komunitas kesenian di Balikpapan.

Seorang kawan di sebuah kabupaten pernah mengundang saya untuk hadir dalam hajatan besar mereka. Dengan sangat berat hati saya tidak menyanggupinya. Tidak lupa saya mengirimkan pesan berisi alasan prinsipal mengenai perihal itu. Tentu saja kawan saya sangat menyesalkan jawaban saya. Tetapi, sekali lagi, apalah artinya penyesalan yang sama sekali tidak ada upaya penyelesaian bersama dalam suatu kesadaran sebagai sesama pegiat kesenian. Lagi-lagi saya sendiri yang harus memikirkannya.

Awal (Januari) sampai menjelang akhir (Oktober) 2015 saya sudah tidak memikirkan kelanjutan acara MPB. Masih ada ataukah sedang ‘mati suri’, bukanlah hal yang perlu menjadi bagian dalam kepedulian saya. Dan, apabila kawan-kawan Balikpapan memvonis bahwa sayalah sesungguhnya si pembuat masalah (the real trouble maker), tentu saja, kegiatan MPB tetap manggung dan bergaung.

Maka, satu tahun ini benar-benar saya menyadari betapa pentingnya mengelola diri saya sendiri. Ini Kota Balikpapan, bukan Yogyakarta atau Sungailiat. Rambut di jidat saya semakin tipis. Terlalu banyak yang saya pikirkan, kendati bukanlah hal-hal yang perlu apalagi ‘wajib’ saya pikirkan.

Sementara kawan-kawan lainnya, yang hebat dalam pengetahuan serta tulis-menulis sastra, sudah menomorsekiankan kegiatan kesenian karena alasan utama, yaitu pekerjaan-karier, dan keluarga. Ya, ini Kota Balikpapan, dimana harga-harga kebutuhan hidupnya tidaklah sebanding dengan Yogyakarta dan Sungailiat. Saya menyadarinya meskipun ‘terlambat’.

Satu tahun ini saya berkonsentrasi penuh pada penyiasatan waktu-waktu saya untuk mengantisipasi kebutuhan-kebutuhan hidup sehari-hari. Saya harus menghargai diri saya sendiri karena saya berkesenian bukan sejak satu dekade ini. Saya harus menghargai waktu-waktu saya sendiri sebagai seorang arsitek dan karikaturis bayaran (profesional) di Balikpapan.

Saya pun tidak lagi mengikuti kegiatan ngobrol kesenian, apalagi sastra, seperti sebelumnya, yang biasa berlangsung lebih 4 jam (pulang dini hari). Saya berkarya sastra secara individual, menikmati kesunyian, dan kembali mengirimkannya ke luar Balikpapan. Dengan tergabungnya puisi saya di beberapa buku antologi bersama luar Balikpapan, paling tidak, merupakan ‘penghargaan’ atas konsistenitas saya berkarya sastra. Saya bisa lebih bersemangat atas pilihan saya, selain merancang bangunan dan membuat karikatur pesanan.

Tapi, bukan berarti saya menutup diri dan melarang siapa saja yang hendak belajar, khususnya tulis-menulis. Saya pasti akan mengajarkan asalkan orang itu datang, dan bersungguh-sungguh. Dengan kedatangan dan kesungguhan, itu sudah langkah bagus bagi orang itu sendiri sebab kelak orang itu sendiri-lah yang akan menuai hasilnya. Saya? Saya sudah selesai. Saya hanya harus menjaga konsistenitas dalam berkarya. Tidak ada orang yang memotivasi saya, dan saya sendiri yang harus memotivasi diri saya sendiri.    

Demikian catatan saya mengenai satu tahun ketidakaktifan saya dalam seluruh kegiatan kesenian di Balikpapan bahkan kota dan kabupaten terdekat. Semoga dua kawan saya akhirnya mengerti, mengapa malam Minggu itu ada sajian ikan bakar.

*******

Panggung Renung, 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar