(Terpajang di Fb pada 21 Oktober 2015)
Minggu, 18 Oktober 2015, merupakan peringatan Satu
Tahun Kebebasan saya dari seluruh kegiatan kesenian massal-komunal di
Balikpapan, Kaltim. Saya dan dua kawan merayakannya di Kebun Karya dengan ikan
bakar, meskipun kedua kawan tersebut sama sekali tidak mengingatnya.
Saya sangat mengingatnya. Malam Puisi Balikpapan (MPB)
ke-17, 18 Oktober 2014, adalah puncak dari segala pertanyaan saya mengenai
kegiatan kesenian, khususnya sastra, secara komunal-massal di Kota Minyak.
Pertanyaan-pertanyaan seputar keseriusan kawan-kawan pegiat sastra, misalnya
dalam penciptaan, pembelajaran, pembimbingan, pendampingan, penampilan,
produktivitas, pengarsipan-pendokumentasian, publikasi, pengaderan
organisatoris, pembibitan (regenerasi), penghargaan secara khusus, dan
lain-lain.
Selain itu, adanya ‘penyusupan personal’ yang sangat
kontra-intelektual, kontra-produktif, dan kontra-kualitatif. ‘Penyusupan
personal’ ini, bagi sebagian kawan, merupakan persoalan individual yang tidak
menjadi bagian dalam interaksi sosial kegiatan. Padahal, mereka lupa, interaksi
sosial terjadi justru ketika diadakannya acara MPB sejak pertama kali (Sabtu,
22 Juni 2013) bertema “Puisi untuk Kehidupan” di Kafe D’WA, Gunung Malang, dan
satu-satunya alasan tidak bermutu yaitu “kacamata ketinggalan” (tiga acara MPB
selalu begitu).
Saya sangat mengingatnya karena saya mengarsipkan
berita kegiatannya dengan judul “Bisikan Puisi di Hiruk-Pikuk Balikpapan” yang
dimuat oleh sebuah media lokal hal.7, edisi Selasa, 25 Juni 2013. Selanjutnya
berjudul “Merah Putih Rendra” di media yang sama, edisi 14 Agustus 2013. Kedua
tulisan tersebut serta beberapa tulisan lainnya sama sekali tidak dibayar oleh
media lokal itu karena sama sekali kurang menghargai kerja budaya-intelektual
yang dilakukan oleh penulis luar media itu.
Sampai pada MPB ke-17 saya sudah tidak hadir, dan
tidak akan pernah menghadiri acara serupa berikutnya, termasuk kegiatan
kesenian lainnya. Sebagian kawan menyesalkan keputusan saya tetapi mereka
sendiri tidak mampu berbuat apa-apa atas kejadian yang menimpa saya serta
‘penyusupan personal’ itu. Hanya penyesalan, apalah artinya ketika tiada upaya
nyata untuk mendapatkan penyelesaian terbaik (win win solution) bagi
semua. Sejak itu pula saya keluar dari sebuah komunitas kesenian di Balikpapan.
Seorang kawan di sebuah kabupaten pernah mengundang
saya untuk hadir dalam hajatan besar mereka. Dengan sangat berat hati saya
tidak menyanggupinya. Tidak lupa saya mengirimkan pesan berisi alasan prinsipal
mengenai perihal itu. Tentu saja kawan saya sangat menyesalkan jawaban saya.
Tetapi, sekali lagi, apalah artinya penyesalan yang sama sekali tidak ada upaya
penyelesaian bersama dalam suatu kesadaran sebagai sesama pegiat kesenian.
Lagi-lagi saya sendiri yang harus memikirkannya.
Awal (Januari) sampai menjelang akhir (Oktober) 2015
saya sudah tidak memikirkan kelanjutan acara MPB. Masih ada ataukah sedang
‘mati suri’, bukanlah hal yang perlu menjadi bagian dalam kepedulian saya. Dan,
apabila kawan-kawan Balikpapan memvonis bahwa sayalah sesungguhnya si pembuat
masalah (the real trouble maker), tentu saja, kegiatan MPB tetap manggung
dan bergaung.
Maka, satu tahun ini benar-benar saya menyadari betapa
pentingnya mengelola diri saya sendiri. Ini Kota Balikpapan, bukan Yogyakarta
atau Sungailiat. Rambut di jidat saya semakin tipis. Terlalu banyak yang saya
pikirkan, kendati bukanlah hal-hal yang perlu apalagi ‘wajib’ saya pikirkan.
Sementara kawan-kawan lainnya, yang hebat dalam
pengetahuan serta tulis-menulis sastra, sudah menomorsekiankan kegiatan
kesenian karena alasan utama, yaitu pekerjaan-karier, dan keluarga. Ya, ini
Kota Balikpapan, dimana harga-harga kebutuhan hidupnya tidaklah sebanding
dengan Yogyakarta dan Sungailiat. Saya menyadarinya meskipun ‘terlambat’.
Satu tahun ini saya berkonsentrasi penuh pada
penyiasatan waktu-waktu saya untuk mengantisipasi kebutuhan-kebutuhan hidup
sehari-hari. Saya harus menghargai diri saya sendiri karena saya berkesenian
bukan sejak satu dekade ini. Saya harus menghargai waktu-waktu saya sendiri
sebagai seorang arsitek dan karikaturis bayaran (profesional) di Balikpapan.
Saya pun tidak lagi mengikuti kegiatan ngobrol
kesenian, apalagi sastra, seperti sebelumnya, yang biasa berlangsung lebih 4
jam (pulang dini hari). Saya berkarya sastra secara individual, menikmati
kesunyian, dan kembali mengirimkannya ke luar Balikpapan. Dengan tergabungnya
puisi saya di beberapa buku antologi bersama luar Balikpapan, paling tidak,
merupakan ‘penghargaan’ atas konsistenitas saya berkarya sastra. Saya bisa
lebih bersemangat atas pilihan saya, selain merancang bangunan dan membuat
karikatur pesanan.
Tapi, bukan berarti saya menutup diri dan melarang siapa saja yang hendak belajar, khususnya tulis-menulis. Saya pasti akan mengajarkan asalkan orang itu datang, dan bersungguh-sungguh. Dengan kedatangan dan kesungguhan, itu sudah langkah bagus bagi orang itu sendiri sebab kelak orang itu sendiri-lah yang akan menuai hasilnya. Saya? Saya sudah selesai. Saya hanya harus menjaga konsistenitas dalam berkarya. Tidak ada orang yang memotivasi saya, dan saya sendiri yang harus memotivasi diri saya sendiri.
Tapi, bukan berarti saya menutup diri dan melarang siapa saja yang hendak belajar, khususnya tulis-menulis. Saya pasti akan mengajarkan asalkan orang itu datang, dan bersungguh-sungguh. Dengan kedatangan dan kesungguhan, itu sudah langkah bagus bagi orang itu sendiri sebab kelak orang itu sendiri-lah yang akan menuai hasilnya. Saya? Saya sudah selesai. Saya hanya harus menjaga konsistenitas dalam berkarya. Tidak ada orang yang memotivasi saya, dan saya sendiri yang harus memotivasi diri saya sendiri.
Demikian catatan saya mengenai satu tahun
ketidakaktifan saya dalam seluruh kegiatan kesenian di Balikpapan bahkan kota
dan kabupaten terdekat. Semoga dua kawan saya akhirnya mengerti, mengapa malam
Minggu itu ada sajian ikan bakar.
*******
Panggung Renung, 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar