Tentang seorang bernama
Lia, sudah saya singgung dalam Mengajari
Perihal Tulis-Menulis. Dalam tulisan ini saya angkat kembali.
Lia seorang Sarjana Sastra, dan bergabung dengan sebuah
penerbitan buku swakelola di luar Balikpapan. Saya pernah menyarankan,
sebaiknya Lia membuat penerbitan sendiri di Balikpapan, bukannya mendompleng
penerbitan nun di seberang sana. Sayangnya Lia tidak mau. Saya anggap, Lia
justru tidak mau mandiri, dan mengibarkan nama penerbitan sendiri di daerahnya
sendiri.
Suatu waktu Lia menyampaikan pada saya mengenai rencana mengadakan sebuah hajatan buku, seperti juga pada 2012. Saya diajak ikut bergabung lagi.
Suatu waktu Lia menyampaikan pada saya mengenai rencana mengadakan sebuah hajatan buku, seperti juga pada 2012. Saya diajak ikut bergabung lagi.
Saya menanyakan, apakah para kontributor akan mendapat satu
buku sebagai bukti pemuatan karya mereka. Lia menjawab, tidak karena pembiayaan
buku dilakukan secara mandiri.
Tentu saja saya menolak ajakannya karena bukti berupa buku merupakan suatu penghargaan atas hak intelektual kontributor. Lia sangat tidak memahami itu, bahkan berusaha tidak sudi memahami. Ya, sudah, terserahlah, dan saya tidak akan pernah mau berpartisipasi lagi.
Tentu saja saya menolak ajakannya karena bukti berupa buku merupakan suatu penghargaan atas hak intelektual kontributor. Lia sangat tidak memahami itu, bahkan berusaha tidak sudi memahami. Ya, sudah, terserahlah, dan saya tidak akan pernah mau berpartisipasi lagi.
Sarjana Sastra
Lia seorang Sarjana Sastra. Setahu
saya, kesarjanaan Lia diperoleh dari sebuah kampus di Balikpapan. Saya tidak
mengetahui, apakah semasa kuliah Lia rajin menulis ataukah tidak. Yang saya
tahu dari 2012-2014, tidak ada satu karya tulis Lia di media lokal.
Ketika saya masih bergabung dengan komunitas Malam
Puisi Balikpapan (MPB), lebih dua kali saya menyarankan Lia menulis semacam
berita untuk perhelatan atau pascaperhelatan. Saya sudah memberi tiga
contohnya. Lia tidak mau.
Di samping itu saya pun sering memberi informasi
mengenai ajang pertarungan puisi tingkat interlokal maupun nasional. Lia tidak
mau.
Alasan ketidakmauan Lia adalah kurang percaya diri.
Tentu saja saya heran. Sudah bergelar sarjana, Sarjana Sastra lagi, bagaimana
masih memelihara “kurang percaya diri”?
Saya juga menyampaikan padanya bahwasannya saya
bukanlah Sarjana Sastra, bukan penulis hebat, dan sekitarnya. Saya seorang
Sarjana Teknik tetapi masih mau menulis dan mengikuti perlombaan tulis-menulis,
termasuk bidang sastra. “Abang, sih, ke-pede-an (terlalu percaya diri),”
komentarnya.
Penerbitan Buku
Lia seorang Sarjana Sastra, dan bergabung dengan sebuah
penerbitan buku swakelola di luar Balikpapan. Saya pernah menyarankan,
sebaiknya Lia membuat penerbitan sendiri di Balikpapan, bukannya mendompleng
penerbitan nun di seberang sana. Sayangnya Lia tidak mau. Saya anggap, Lia
justru tidak mau mandiri, dan mengibarkan nama penerbitan sendiri di daerahnya
sendiri.
Saya mengamati, selama hampir satu dekade dengan dasar
teknologi internet ini penerbitan buku swakelola bertumbuh pesat seperti jamur
di musim penghujan. Tidak sedikit penerbitan buku swakelola dikelola oleh
kalangan muda (sebelum berumur 40 tahun). Tidak sedikit pula produk-produknya.
Sekitar 2012, ketika Lia mengajak saya terlibat dalam
penerbitan sebuah buku lokal, saya menanyakan perihal nama penerbitnya. Lia
menyebutkan nama penerbit di Ibukota, dimana Lia dan kawannya menjadi cabang
untuk daerah Balikpapan.
Saya pun mengatakan pada Lia bahwa saya memiliki
penerbitan sendiri (swakelola) bernama Abadi Karya. Sayangnya, pada 2012
penerbitan saya sedang vakum sejak penerbitan buku pertama, kumpulan cerita
pendek “Di Bawah Bayang-bayang Bulan” (2011) karena saya harus bekerja bahkan
sering lembur.
Saya menganjurkan Lia mendirikan penerbitan sendiri. Dengan
memiliki penerbitan sendiri, pengelolaan bisa leluasa dilakukan, termasuk
mengadakan even-even yang ujungnya terabadikan dalam bentuk buku. Lia tidak
mau.
Mengapa Lia tidak mau membuat penerbitan sendiri
dengan menjadikan Balikpapan sebagai markas penerbitannya?
Saya menduga, seperti “tidak mau menulis” dan “ikut
lomba”, alasan Lia adalah “kurang percaya diri”. Alasan satu ini sungguh
kontra-poduktif, menurut saya, terkait dengan banyaknya penerbitan swakelola
selama satu dekade ini. Terlebih, pada awal 2017 Lia mengajak saya bergabung
lagi, tetapi saya menolak, untuk buku kumpulan karya dalam rangka ulang tahun
Kota Balikpapan, masih saja menggunakan penerbitan nun di sana.
Mengapa saya menolak ajakan Lia, meski dibumbui dengan
“kegiatan amal bagi veteran” dan seterusnya?
Harga Jual Buku
Terlepas dari soal penerbitan non-Balikpapan sebagai
daerah tinggal, tentunya, adalah persoalan harga buku. Buku pertama yang
melibatkan saya dibandrol dengan harga Rp.80.000,00 per buku.
Pada waktu itu saya kaget dengan harga buku segitu
karena saya pernah mencetak buku saya dengan harga sekitar Rp.20.000,00 per
buku, dan saya jual dengan harga Rp.35.000,00. Lantas, berapa modal satu buku
sehingga dibandrol dengan harga Rp.80.000,00.
Saya pernah mencoba menggunakan jasa penerbitan buku
Lia itu. Satu buku berbiaya Rp.45.000,00, dan belum termasuk ongkos kirim. Kalau saya cetak 20 eksemplar, berarti perlu dana Rp.900.000,00. Waduh banget! Setelah itu saya tidak mau lagi karena saya memikirkan harga jualnya berapa
nanti.
Dengan harga
cetak sudah cukup tinggi dan berpikir lagi harga jualnya, saya pun berusaha menghidupkan
penerbitan saya sendiri pada pertengahan 2016. Hal ini, tentu saja, membuat saya harus mencari percetakan yang berani mencetak buku dengan jumlah minimalis dengan harga yang mampu saya jangkau.
Tidak sulit karena zaman internet sebegitu pesatnya menyampaikan informasi, bahkan tertera harga untuk jumlah cetaknya. Dengan biaya rata-rata Rp.25.000,00 per buku dan ongkos kirim, saya bisa menjual dengan harga Rp.35.000,00 –Rp.50.000,00. Kalau saya cetak sebanyak 20 eksemplar, berarti perlu dana Rp.500.000,00. Lebih terjangkau, apalagi murni menggunakan logo penerbitan sendiri.
Tidak sulit karena zaman internet sebegitu pesatnya menyampaikan informasi, bahkan tertera harga untuk jumlah cetaknya. Dengan biaya rata-rata Rp.25.000,00 per buku dan ongkos kirim, saya bisa menjual dengan harga Rp.35.000,00 –Rp.50.000,00. Kalau saya cetak sebanyak 20 eksemplar, berarti perlu dana Rp.500.000,00. Lebih terjangkau, apalagi murni menggunakan logo penerbitan sendiri.
Mengenai harga ini pun saya sampaikan kepada Lia. Buku
sastra yang berisi kumpulan bersama, apalagi para kontributornya bukanlah
kalangan sastrawan terkenal (mampu “menjual”), lalu dijual dengan harga sekitar
Rp.80.000,00 lagi, bakal berapa banyak pembelinya?
Hak Cipta Kontributor
Saya menanyakan, apakah para kontributor akan mendapat satu
buku sebagai bukti pemuatan karya mereka. Lia menjawab, tidak karena pembiayaan
buku dilakukan secara mandiri.
Tentu saja saya menolak ajakannya karena bukti berupa buku merupakan suatu penghargaan atas hak intelektual kontributor. Lia sangat tidak memahami itu, bahkan berusaha tidak sudi memahami. Ya, sudah, terserahlah, dan saya tidak akan pernah mau berpartisipasi lagi.
Tentu saja saya menolak ajakannya karena bukti berupa buku merupakan suatu penghargaan atas hak intelektual kontributor. Lia sangat tidak memahami itu, bahkan berusaha tidak sudi memahami. Ya, sudah, terserahlah, dan saya tidak akan pernah mau berpartisipasi lagi.
Pengalaman saya ikut kurasi puisi dimulai pada 2003
dengan buku bernama Dian Sastro For
President #2. Puisi saya lolos, tergabung
di situ, dan saya mendapat 3 eksemplar sebagai pengganti royalti alias
penggunaan hak cipta. Berikutnya juga begitu, edisi ke-3 atau triloginya. Dan
bukan hanya buku kumpulan puisi, sekaligus mendapat buku sebagai bukti sebagai
kontributornya.
Hal tersebut saya sampaikan pada Lia, dan jumlah buku sebagi bukti itu minimal 1 (satu) eksemplar. Ya, Lia menolak
dengan alasan pembiayaan buku dilakukan secara mandiri alias tidak ada sponsor.
Dengan ongkos cetak melalui penerbit jauh itu Rp.45.000,00 per buku, dikalikan 10 kontributor, paling tidak biaya terlepas Rp.450.000,00. Tentu saja bisa menjadi beban bagi "proyek amal" Lia dan kawan-kawan, 'kan? Tetapi, bukankah hak kontributor juga penting, mengingat kerja budaya tulis-menulis bukanlah seperti ritual bangun tidur langsung pipis di kakus.
Sayangnya, perhitungan dan pertimbangan tidak menjadi bagian penting sebelum sampai pada sebuah keputusan. Dua kali saya maklum tetapi, jelas, saya tidak sepakat. Saya maklum karena Lia tidak pernah mengalami apa yang pernah saya alami. Jangankan mengalami (mendapat buku sebagai bukti pemuatan karya), lha wong ikut lomba atau kurasi karya saja Lia tidak mau karena “kurang percaya diri”.
Kalau sudah "tidak mau"dan terkunci dengan pemahamannya sendiri, apalah guna saya menerangkan dan membagi gagasan ini-itu. Jangankan gagasan saya dihargai, para kontributor karya yang sudah bersusah payah untuk menulis dan karya mereka dimuat dalam buku yang terbit itu saja sangat tidak dihargai Lia.
Nah, kalau saya terlibat (bergabung) lagi untuk buku kedua yang tidak menghargai pemikiran kontributor dan rekam jejaknya, bisa jadi, saya sepakat atas tindakan tersebut. Oh, tidak! Saya sangat menghargai kerja budaya. Lebih baik saya tidak terlibat daripada kelak saya kena imbas negatif "proyek amal" Lia ("amal tetapi super-tega)..
Kesimpulan
Akhirnya saya tidak bersedia lagi bergabung dengan
kegiatan Lia, dan lain-lain. Bukannya saya tidak sudi berbagi, tidak berpikir
mengenai perintisan budaya tulis-menulis, dan tidak mau andil proses regenerasi
penulis di Balikpapan lho, ya?
Seperti tulisan-tulisan saya lainnya di blog JPS ini, saya bahkan keluar dari
semua itu karena Lia dan kawan-kawan lebih pandai dan berpengalaman daripada
saya sehingga pengalaman saya jadi nol besar di hadapan mereka. Karena mereka
lebih berpangalaman begitu, ya, sudah. “Nyo nak katonyo,” kata Uwong Kito Galo.
Saya pun harus kembali kepada diri saya, dan
menghidupi penerbitan saya, sekaligus berencana untuk hal-hal yang lebih
bermanfaat di kemudian hari untuk Balikpapan, selain mendepositkan buku (gratis,
tentunya) ke Perpustakaan Daerah-Nasional, dan penulis kata pengantar untuk
setiap terbitan.
Sederhana sajalah menyiasati hidup ini.
*******
Panggung Renung Balikpapan, 3 Mei 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar