Rabu, 03 Mei 2017

Seorang Generasi Milenial Bergelar Sarjana Sastra yang Bernama Lia

Tentang seorang bernama Lia, sudah saya singgung dalam Mengajari Perihal Tulis-Menulis. Dalam tulisan ini saya angkat kembali.

Lia seorang Sarjana Sastra, dan bergabung dengan sebuah penerbitan buku swakelola di luar Balikpapan. Saya pernah menyarankan, sebaiknya Lia membuat penerbitan sendiri di Balikpapan, bukannya mendompleng penerbitan nun di seberang sana. Sayangnya Lia tidak mau. Saya anggap, Lia justru tidak mau mandiri, dan mengibarkan nama penerbitan sendiri di daerahnya sendiri.

Suatu waktu Lia menyampaikan pada saya mengenai rencana mengadakan sebuah hajatan buku, seperti juga pada 2012. Saya diajak ikut bergabung lagi.

Saya menanyakan, apakah para kontributor akan mendapat satu buku sebagai bukti pemuatan karya mereka. Lia menjawab, tidak karena pembiayaan buku dilakukan secara mandiri. 

Tentu saja saya menolak ajakannya karena bukti berupa buku merupakan suatu penghargaan atas hak intelektual kontributor. Lia sangat tidak memahami itu, bahkan berusaha tidak sudi memahami. Ya, sudah, terserahlah, dan saya tidak akan pernah mau berpartisipasi lagi.
    


Sarjana Sastra

Lia seorang Sarjana Sastra. Setahu saya, kesarjanaan Lia diperoleh dari sebuah kampus di Balikpapan. Saya tidak mengetahui, apakah semasa kuliah Lia rajin menulis ataukah tidak. Yang saya tahu dari 2012-2014, tidak ada satu karya tulis Lia di media lokal.

Ketika saya masih bergabung dengan komunitas Malam Puisi Balikpapan (MPB), lebih dua kali saya menyarankan Lia menulis semacam berita untuk perhelatan atau pascaperhelatan. Saya sudah memberi tiga contohnya. Lia tidak mau.

Di samping itu saya pun sering memberi informasi mengenai ajang pertarungan puisi tingkat interlokal maupun nasional. Lia tidak mau.

Alasan ketidakmauan Lia adalah kurang percaya diri. Tentu saja saya heran. Sudah bergelar sarjana, Sarjana Sastra lagi, bagaimana masih memelihara “kurang percaya diri”?

Saya juga menyampaikan padanya bahwasannya saya bukanlah Sarjana Sastra, bukan penulis hebat, dan sekitarnya. Saya seorang Sarjana Teknik tetapi masih mau menulis dan mengikuti perlombaan tulis-menulis, termasuk bidang sastra. “Abang, sih, ke-pede-an (terlalu percaya diri),” komentarnya.     

Penerbitan Buku

Lia seorang Sarjana Sastra, dan bergabung dengan sebuah penerbitan buku swakelola di luar Balikpapan. Saya pernah menyarankan, sebaiknya Lia membuat penerbitan sendiri di Balikpapan, bukannya mendompleng penerbitan nun di seberang sana. Sayangnya Lia tidak mau. Saya anggap, Lia justru tidak mau mandiri, dan mengibarkan nama penerbitan sendiri di daerahnya sendiri.

Saya mengamati, selama hampir satu dekade dengan dasar teknologi internet ini penerbitan buku swakelola bertumbuh pesat seperti jamur di musim penghujan. Tidak sedikit penerbitan buku swakelola dikelola oleh kalangan muda (sebelum berumur 40 tahun). Tidak sedikit pula produk-produknya.

Sekitar 2012, ketika Lia mengajak saya terlibat dalam penerbitan sebuah buku lokal, saya menanyakan perihal nama penerbitnya. Lia menyebutkan nama penerbit di Ibukota, dimana Lia dan kawannya menjadi cabang untuk daerah Balikpapan.

Saya pun mengatakan pada Lia bahwa saya memiliki penerbitan sendiri (swakelola) bernama Abadi Karya. Sayangnya, pada 2012 penerbitan saya sedang vakum sejak penerbitan buku pertama, kumpulan cerita pendek “Di Bawah Bayang-bayang Bulan” (2011) karena saya harus bekerja bahkan sering lembur.

Saya menganjurkan Lia mendirikan penerbitan sendiri. Dengan memiliki penerbitan sendiri, pengelolaan bisa leluasa dilakukan, termasuk mengadakan even-even yang ujungnya terabadikan dalam bentuk buku. Lia tidak mau.

Mengapa Lia tidak mau membuat penerbitan sendiri dengan menjadikan Balikpapan sebagai markas penerbitannya?

Saya menduga, seperti “tidak mau menulis” dan “ikut lomba”, alasan Lia adalah “kurang percaya diri”. Alasan satu ini sungguh kontra-poduktif, menurut saya, terkait dengan banyaknya penerbitan swakelola selama satu dekade ini. Terlebih, pada awal 2017 Lia mengajak saya bergabung lagi, tetapi saya menolak, untuk buku kumpulan karya dalam rangka ulang tahun Kota Balikpapan, masih saja menggunakan penerbitan nun di sana.

Mengapa saya menolak ajakan Lia, meski dibumbui dengan “kegiatan amal bagi veteran” dan seterusnya?


Harga Jual Buku

Terlepas dari soal penerbitan non-Balikpapan sebagai daerah tinggal, tentunya, adalah persoalan harga buku. Buku pertama yang melibatkan saya dibandrol dengan harga Rp.80.000,00 per buku.

Pada waktu itu saya kaget dengan harga buku segitu karena saya pernah mencetak buku saya dengan harga sekitar Rp.20.000,00 per buku, dan saya jual dengan harga Rp.35.000,00. Lantas, berapa modal satu buku sehingga dibandrol dengan harga Rp.80.000,00.

Saya pernah mencoba menggunakan jasa penerbitan buku Lia itu. Satu buku berbiaya Rp.45.000,00, dan belum termasuk ongkos kirim. Kalau saya cetak 20 eksemplar, berarti perlu dana Rp.900.000,00. Waduh banget! Setelah itu saya tidak mau lagi karena saya memikirkan harga jualnya berapa nanti.

Dengan harga cetak sudah cukup tinggi dan berpikir lagi harga jualnya, saya pun berusaha menghidupkan penerbitan saya sendiri pada pertengahan 2016. Hal ini, tentu saja, membuat saya harus mencari percetakan yang berani mencetak buku dengan jumlah minimalis dengan harga yang mampu saya jangkau. 

Tidak sulit karena zaman internet sebegitu pesatnya menyampaikan informasi, bahkan tertera harga untuk jumlah cetaknya. Dengan biaya rata-rata Rp.25.000,00 per buku dan ongkos kirim, saya bisa menjual dengan harga Rp.35.000,00 –Rp.50.000,00. Kalau saya cetak sebanyak 20 eksemplar, berarti perlu dana Rp.500.000,00. Lebih terjangkau, apalagi murni menggunakan logo penerbitan sendiri.

Mengenai harga ini pun saya sampaikan kepada Lia. Buku sastra yang berisi kumpulan bersama, apalagi para kontributornya bukanlah kalangan sastrawan terkenal (mampu “menjual”), lalu dijual dengan harga sekitar Rp.80.000,00 lagi, bakal berapa banyak pembelinya?


Hak Cipta Kontributor

Saya menanyakan, apakah para kontributor akan mendapat satu buku sebagai bukti pemuatan karya mereka. Lia menjawab, tidak karena pembiayaan buku dilakukan secara mandiri. 

Tentu saja saya menolak ajakannya karena bukti berupa buku merupakan suatu penghargaan atas hak intelektual kontributor. Lia sangat tidak memahami itu, bahkan berusaha tidak sudi memahami. Ya, sudah, terserahlah, dan saya tidak akan pernah mau berpartisipasi lagi.

Pengalaman saya ikut kurasi puisi dimulai pada 2003 dengan buku bernama Dian Sastro For President #2. Puisi saya lolos, tergabung di situ, dan saya mendapat 3 eksemplar sebagai pengganti royalti alias penggunaan hak cipta. Berikutnya juga begitu, edisi ke-3 atau triloginya. Dan bukan hanya buku kumpulan puisi, sekaligus mendapat buku sebagai bukti sebagai kontributornya.

Hal tersebut saya sampaikan pada Lia, dan jumlah buku sebagi bukti itu minimal 1 (satu) eksemplar. Ya, Lia menolak dengan alasan pembiayaan buku dilakukan secara mandiri alias tidak ada sponsor.

Dengan ongkos cetak melalui penerbit jauh itu Rp.45.000,00 per buku, dikalikan 10 kontributor, paling tidak biaya terlepas Rp.450.000,00. Tentu saja bisa menjadi beban bagi "proyek amal" Lia dan kawan-kawan, 'kan? Tetapi, bukankah hak kontributor juga penting, mengingat kerja budaya tulis-menulis bukanlah seperti ritual bangun tidur langsung pipis di kakus.

Sayangnya, perhitungan dan pertimbangan tidak menjadi bagian penting sebelum sampai pada sebuah keputusan. Dua kali saya maklum tetapi, jelas, saya tidak sepakat. Saya maklum karena Lia tidak pernah mengalami apa yang pernah saya alami. Jangankan mengalami (mendapat buku sebagai bukti pemuatan karya), lha wong ikut lomba atau kurasi karya saja Lia tidak mau karena “kurang percaya diri”.

Kalau sudah "tidak mau"dan terkunci dengan pemahamannya sendiri, apalah guna saya menerangkan dan membagi gagasan ini-itu. Jangankan gagasan saya dihargai, para kontributor karya yang sudah bersusah payah untuk menulis dan karya mereka dimuat dalam buku yang terbit itu saja sangat tidak dihargai Lia.

Nah, kalau saya terlibat (bergabung) lagi untuk buku kedua yang tidak menghargai pemikiran kontributor dan rekam jejaknya, bisa jadi, saya sepakat atas tindakan tersebut. Oh, tidak! Saya sangat menghargai kerja budaya. Lebih baik saya tidak terlibat daripada kelak saya kena imbas negatif "proyek amal" Lia ("amal tetapi super-tega)..


Kesimpulan

Akhirnya saya tidak bersedia lagi bergabung dengan kegiatan Lia, dan lain-lain. Bukannya saya tidak sudi berbagi, tidak berpikir mengenai perintisan budaya tulis-menulis, dan tidak mau andil proses regenerasi penulis di Balikpapan lho, ya?

Seperti tulisan-tulisan saya lainnya di blog JPS ini, saya bahkan keluar dari semua itu karena Lia dan kawan-kawan lebih pandai dan berpengalaman daripada saya sehingga pengalaman saya jadi nol besar di hadapan mereka. Karena mereka lebih berpangalaman begitu, ya, sudah. “Nyo nak katonyo,” kata Uwong Kito Galo.

Saya pun harus kembali kepada diri saya, dan menghidupi penerbitan saya, sekaligus berencana untuk hal-hal yang lebih bermanfaat di kemudian hari untuk Balikpapan, selain mendepositkan buku (gratis, tentunya) ke Perpustakaan Daerah-Nasional, dan penulis kata pengantar untuk setiap terbitan.

Sederhana sajalah menyiasati hidup ini.   

*******

Panggung Renung Balikpapan, 3 Mei 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar