Minggu, 28 Mei 2017

Radikalisme Saya Terhadap Agama Lain

Saya terpaksa menyatakan sikap saya terhadap realitas hidup beragama di Indonesia akhir-akhir ini. Alasan saya, orang-orang yang mengenal saya tidak perlu repot menduga sikap saya, terlebih realitas hidup beragama di Indonesia sedang “dimurnikan” melalui banyak ujian terhadap Pancasila-Bhinneka Tunggal Ika, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Saya Kristen, bernama Agustinus Wahyono (Agustinus Wahjono) bernama pena Gus Noy. Saya sering membuka Alkitab, dan belajar mengenai kehidupan Yesus Kristus, Guru Saya. Dan, yang saya dapatkan bahkan menjadi sikap radikal saya dari kisah hidup Guru saya adalah :.

1. Yesus Kristus tidak pernah menista agama lain, misalnya Budha, Hindu, Kong Hucu, ataupun agama penguasa (Kolonial Romawi).
2. Yesus Kristus tidak pernah mengatakan bahwa Yahudi adalah agama yang salah atau keliru.
3. Yesus Kristus melihat kenyataan bahwa oknum-oknum ulama Yahudi melakukan praktik keliru dalam beragama.
4. Yesus Kristus yang kritis akhirnya dibunuh oleh oknum-oknum ulama Yahudi menggunakan tangan penguasa (Kolonial Romawi).
5. Yesus Kristus tidak pernah membuat surat wasiat atau pesan terakhir untuk membenci, mendendam, atau membalas kejahatan (membunuh itu kejahatan menurut Hukum Taurat) oknum-oknum ulama Yahudi maupun penguasa (Romawi), apalagi agama mereka.

Lima hal itu saja yang bisa saya ungkapkan mengenai radikalisme saya. Hal lainnya, pada prinsipnya, ketika saya menganggap bahwa kebenaran saya adalah Yesus Kristus, maka saya harus hidup sebagai pantulan cahaya Kristus. Kalau saya masih saja gagal, tidaklah patut saya menilai penganut agama lain seperti apakah.

Radikalisme saya adalah menuntut diri saya sendiri sebagai murid Yesus secara prinsipal. Sederhananya begitu: diri saya sendiri. Diri saya sendiri yang takut kepada Tuhan, bukannya menakut-nakuti orang lain.

Dan tidak mudah "takut kepada Tuhan" karena lebih sering terjadi adalah takut hidup susah, takut tidak dihargai, takut tidak diakui, dan semuanya menuju diri sendiri yang takut kehilangan diri sendiri. Itulah kesalahan saya yang paling sering: takut pada diri sendiri. Padahal Tuhan baik. Dunia beserta segala isinya hanyalah ujian bagi "takut kepada Tuhan".

Radikalisme "takut kepada Tuhan" juga dengan cara menjauhi larangan-Nya, selain menjalankan perintah-Nya. Perintah-Nya juga adalah "menjauhi larangan-Nya". Seperti 10 penrintah Tuhan. Seperti hukum terutama dan utama. Tidak mudah. Tetapi Roh Kudus yang akan memudahkannya.

Semoga bisa dipahami. Terima kasih.

Salam NKRI, Tuhan Yesus selalu bersama saya  

Jumat, 26 Mei 2017

Jangan Mengkultuskan Gus Noy

Ini peringatan dini. Jangan mengkultuskan saya. Jangan memuja-mengidolakan-mengagumi saya. Saya bukanlah manusia hebat seperti orang-orang yang hebat hingga dikultuskan atau dianggap sejajar dengan nabi.

Mengkultuskan saya sama saja dengan memberhalakan saya. Memberhalakan itu berarti apa yang saya katakan dan lakukan merupakan suatu yang layak dipanuti, diteladani, dipuji, bahkan dipuja/disembah. Mengkultuskan saya sama saja mencuri kemuliaan Tuhan. Itu sangat berbahaya! 

Saya menuliskan ini dengan kesadaran diri sepenuhnya. Saya manusia biasa dengan kekurangan yang manusiawi. Saya yang kurang pandai, tidak cerdas, kurang baik, berakhlak somplak, dan seterusnya.

Kelebihan-kelebihan yang saya miliki tidaklah lebih dari suatu upaya yang saya tekuni secara sadar dan kemauan untuk mengelola diri saya. Semua prestasi yang pernah saya capai tidaklah lebih dari suatu ganjaran atas kesadaran dan kerja keras saya dalam pengelolaan diri.

Saya tidak percaya pada bakat. Yang saya percaya adalah kesadaran sekaligus usaha atas pilihan menekuni suatu bidang, dan berlanjut ke bidang lainnya. Ketika saya memilih suatu bidang yang menarik atau tiba-tiba saya suka, kecenderungan saya adalah menyadari, apakah yang kemudian saya lakukan untuk meyakinkan diri saya sendiri bahwa suatu bidang tersebut bisa saya tekuni, dan mampu secara ilmu maupun ekonomi, hingga mendapat suatu “pengakuan khusus” dari para penggiat di bidang tersebut.

Ya, faktor ekonomi merupakan kesadaran saya paling mendasar. Hal ini dimulai ketika saya melanjutkan sekolah ke Yogyakarta berbekal Nilai Ebtanas Murni (NEM) SMP hanya 40,28 (6 mata pelajaran). Dengan kiriman bulanan Rp.60.000,00 (sewa kamar kos Rp.15.000,00), saya tidak mampu bergerak leluasa. Makan adalah kebutuhan utama, yang dalam satu bulan berbiaya Rp.30.000,00 (kurs nasi lauk telur ceplok Rp.500,00 per porsi). Sisa Rp.15.000,00 harus dibagi antara kebutuhan mendesak, dan persiapan akhir bulan.

Keterbatasan ekonomi tersebut menyebabkan saya lebih sering berada di kos, atau bermain di rumah kawan saya (Yulius Kartika) di belakang toko swalayan “Gardena”, Jl. Urip Sumoharjo, yang tidak jauh dari indekosan saya. Saya harus benar-benar mampu mengelola keuangan pada saat masa puber sedang ganas (saya tidak berani memiliki pacar!).

Keterbatasan ruang gerak itu tidaklah membuat saya kecewa pada kenyataan hidup saya jika saya bandingkan ketika masa SMP dengan leluasa keluyuran setiap malam, dan, tentunya, bertamasya ke pantai-pantai naik sepeda motor bebek Yamaha 1979 (jelas malas belajar!) karena tinggal dengan orangtua. Justru dalam keterbatasan saya mengelola diri saya untuk menyiasati kejenuhan berada dalam lingkungan yang berbeda.

Ketika Kelas III (A1/Fisika) SMA, di samping menjadi anggota majalah sekolah, saya sudah ditunjuk oleh guru bidang Seni Rupa untuk menjadi juri dalam lomba lukis antarkelas. Padahal saya menggambar secara otodidak, dan menilai suatu karya lukis kawan-kawan berdasar pemahaman saya sendiri. Apalagi SMA saya di Kota Budaya Yogyakarta! Guru saya sempat menanyakan kriteria penilaian, dan, kebetulan saya bisa menjawab.

Begitu pula ketika saya kuliah, meski sebelumnya saya sempat menganggur selama 1 tahun untuk mendalami bidang Seni Rupa hingga ikut bimbingan belajar menggambar di Bandung. Kiriman satu bulan sudah meningkat menjadi Rp.75.000,00 per bulan. Sewa kamar kos dibayar per tahun, Rp.225.000,00. Kurs nasi lauk telur ceplok Rp.1.500,00. Dengan keuangan yang sedemikian itu saya mulai membeli Majalah Humor secara rutin di koperasi kampus (bukan berlangganan), yang harganya Rp.2.900,00 per dua minggu. Lalu majalah lainnya, meski tidak rutin.

Saya benar-benar serius mengelola diri ketika terlibat di Majalah Mahasiswa Teknik UAJY, bahkan sejak masa OSPEK (belum kuliah reguler). Ketika menjadi anggota majalah tersebut, saya semakin leluasa berkarya, selain kuliah. Mumpung ada kesempatan belajar, saya benar-benar menggunakan waktu saya di sana, termasuk sudah berpacaran dengan berganti-ganti gadis yang berada di luar Yogyakarta (strategi ekonomi juga, tentunya!).

Perjalanan saya menekuni apa pun yang tiba-tiba menarik, dan saya mampu, memang panjang. Tetapi saya sangat menikmati semua itu. Maka, kalau sekarang saya bisa berkarya bahkan berkompetisi, bukanlah hal yang tidak lazim. Siapa pun pasti mampu melakukan bahkan mencapai suatu prestasi tertentu asalkan serius (tidak hangat-hangat tahi ayam) dan terus-menerus.

Tapi, ingat, semua itu bukan lantas saya tidak pernah melakukan kekurangan, kesalahan, bahkan dosa yang manusiawi. Saya masih manusia biasa dengan kelemahan yang luar biasa. Setiap prestasi yang saya raih, baik menang atau kalah, semua berujung kepada takdir. Saya hanya berusaha semampu saya. Saya hanya berencana untuk suatu prestasi. Keputusan mutlak milik Tuhan saja.

Apakah dengan suatu prestasi lantas saya "menjadi" sesuai dengan prestasi itu?

Ada-tidaknya prestasi, saya tidak mau mengaku-aku (mengklaim) sebagai penulis, baik esais, ceritapendekis (cerpenis), maupun sajakis (penyair). Saya pun tidak memerlukan pengakuan siapa pun hingga menjadi julukan esais, ceritapendekis (cerpenis), maupun sajakis (penyair).

Jadi, jangan pernah mengkultuskan (memberhalakan) saya karena hanya satu-dua kelebihan. Biarkanlah saya sebagai siapa yang biasa-biasa saja sebagaimana manusia umumnya.

Demikianlah sekilas cerita saya sampai saya membuat peringatan ini.

*******

Panggung Renung Balikpapan, 27 Mei 2017 

Kamis, 25 Mei 2017

Terlalu Sering Membaca Tulisan Maka Saya Menulis

Saya menulis karena terlalu sering membaca tulisan. Seperti orang berak atau kencing karena sebelumnya ia makan atau minum.

Bagaimana kalau ia makan atau minum tetapi tanpa pernah berak atau kencing? Mustahil, ‘kan? Atau, kalau saya makan nasi, mustahil, 'kan, saya akan berak berlian atau besi?

Maknanya, apa yang saya tuliskan disebabkan oleh faktor membaca tulisan, entah apa saja tulisan ini.

Kegiatan membaca dan menulis saya mulai ketika :
1. Di rumah semasa SD. Saya membaca surat dari kakak sulung (SMA-nya di Yogyakarta) untuk orangtua, dan orangtua menyuruh saya ikut membacanya. Lalu saya mencoba menulis surat untuk kakak sulung saya. Dan, saya sering membuat surat begitu, sama seperti orang sedang berlatih, lalu dimasukkan ke satu amplop dengan surat orangtua saya.

2. Di kos semasa SMA. Saya rajin membaca buku kumpulan cerita Lupus-nya Hilman. Lalu, kelas III, saya mencoba membuat cerita pendek segaya, dan dimuat di majalah sekolah saya.

3. Di kos semasa kuliah. Saya rajin membaca tulisan di Majalah Humor, Tempo, Forum Keadilan, Kompas, dan lain-lain. Lalu saya pu menulis, khususnya opini dan esai dengan gaya humor dan gaya serius.

4. Di kos semasa akhir kuliah. Saya rajin membaca karya sastra, khususnya cerpen dan puisi. Lalu saya menulis cerpen dan puisi.

Saya tidak sekadar membaca untuk memahami ataupun menikmati isinya. Saya pun akan berusaha memahami tentang penjudulan, alinea pembuka sampai alinea penutup, tata bahasa, gaya bahasa, diksi, ejaan, dan lain-lain.

Dan saya tidak sekadar menulis asal jadi sebuah tulisan. Saya berusaha menulis dengan baik seperti tulisan-tulisan orang hebat sesuai dengan kesukaan (selera) saya. Saya selalu berlatih untuk menghasilkan tulisan-tulisan yang sesuai dengan kesukaan atau selera saya.

Di kemudian hari tulisan-tulisan saya dimuat media massa, dan ada pula yang lolos seleksi-kurasi, bahkan menang suatu lomba, semua itu karena saya rajin membaca dan tekun berlatih tulis-menulis. Ibaratnya lagi, seorang balita akan berak, tentunya ia akan belajar menempatkan posisi pantat dan kaki, yang tergantung jenis jambannya (jongkok atau duduk). Hal tersebut dilatihnya sampai bisa menikmati kegiatan berak hingga membersihkan dirinya sendiri.

Begitu saja sederhananya proses tulis-menulis saya. Tidak ada yang istimewa atau luar biasa.

*******
Panggung Renung Balikpapan, 26 Mei 2017

Selasa, 23 Mei 2017

Satu Tulisan yang Dibaca oleh Lebih dari 16.500 Warganet

Tulisan saya Sedikit Kisah Nyata untuk Bapak Wapres tentang Tionghoa-Kong Hucu, yang kemudian disunting administraturnya menjadi Sedikit Kisah untuk Menanggapi Anggapan Pak JK tentang Tionghoa & Kong Hu Cu, telah dibaca oleh lebih 15.000 warganet di Kompasiana. Tulisan tersebut saya pajang pada 18 Mei 2017, dan angka 16.500 terpantau sampai 6 hari atau pada 24 Mei.  

Jika berminat, silakan lihat sendiri di http://www.kompasiana.com/gusnoy/sedikit-kisah-untuk-menanggapi-anggapan-pak-jk-tentang-tionghoa-kong-hu-cu_591d51911bafbd9b274a3ee3.

Bagi saya secara pribadi, jumlah itu sangat fenomenal, bersejarah, bahkan ada kebanggaan tersendiri karena saya bisa melihat langsung jumlah pembaca (warganet). Demikian pula luar biasa bagi saya selama menjadi seorang Kompasianer–sebutan untuk anggota Kompasiana.

Inilah tulisan pertama saya yang terbaca dengan jumlah cukup banyak sejak pertama kali saya bergabung pada 5 Maret 2013 dengan nama Agustinus Wahyono lalu. Karena akun itu tidak bisa saya akses lagi, berlanjut dengan nama pena saya, Gus Noy, pada 9 Januari 2017.

Dengan nama Agustinus Wahyono, artikel saya berjumlah 450. 13 berlabel “Headline”, dan 144 berlabel “Pilihan”. Jumlah pembaca (warganet) dalam empat besar artikel berlabel “Headline” adalah :
1. 2016: Fajar Pariwisata Indonesia Diwartakan oleh Jokowi, 02 Januari 2016, dibaca oleh 1.635 warganet.
2. Ke-Tionghoa-an antara Jaya Suprana dan Basoeki Tjahaja Poernama, 17 Juni 2015, diibaca oleh 1.541 warganet.
3. Soekarno dan G30S/PKI Berdampak Telak pada Ayahanda Saya, 06 Oktober 2015, dibaca oleh 1.512 warganet.
4. [Bom Sarinah] Spiritualitas Sebagian Orang Indonesia Soal Hidup-Mati, 16 Januari 2016, dibaca oleh 1.135 warganet.

Dengan nama Gus Noy, selama 9 Januari sampai 24 Mei atau sekitar 5 bulan, baru 43 artikel, dan 1 artikel diberi label “Headline”, dan 15 artikel berlabel “Pilihan”. 1 artikel Sedikit Kisah Nyata untuk Bapak Wapres tentang Tionghoa-Kong Hucu itu menjadi “Tren di Google” selama 2 hari.

Empat besar artikel hanya sampai pada angka 1.635 atau kurang dari 2.000 pembaca. Jauh sekali dibandingkan dengan Sedikit Kisah Nyata untuk Bapak Wapres tentang Tionghoa-Kong Hucu yang melebihi angka 16.500 pembaca, atau sekitar 10 kali lipat, bukan?

Saya sendiri terkejut bin heran sekaligus bangga atas pencapaian angka tersebut. Lalu pada 21 Mei sekitar pukul 07.00 saya melihat daftar “Tren di Google”-nya Kompasiana, tulisan tersebut sudah tidak ada.  

Sementara jumlah pembaca masih mungkin bertambah. Saya tidak bisa terus-menerus memantau bertambahannya tetapi berusaha menanggapi komentar yang ada, meskipun belum tentu semua harus saya tanggapi.

Memang belum seberapa jika dibandingkan dengan artikel para penulis lainnya, yang masih terpampang dalam daftar “Tren Google”, bahkan bertambah jumlah pembacanya, meski sudah lewat satu tahun. Saya ambil tiga contoh tulisan (artikel) itu :
1. Asmara Gelap di Tempat Kerja (18) Karena Situs Internet AkuTergoda, yang ditulis oleh Paulus Londo, dipajang pertama pada 05 Januari 2012 lalu diperbarui pada 25 Juni 2015, dan dibaca oleh 828.888 warganet.
2. Siapakah Dalang G 30 S PKI yang Sebenarnya?, yang ditulis oleh Andi Firmansyah, dipajang pertama pada 03 Desember 2013 lalu diperbarui pada 24 Juni 2015, dan dibaca oleh 163.935 warganet.
3. Pengalaman Disunat Dokter Perempuan, yang ditulis oleh Andika, dipajang pertama kali pada 13 Februari 2010 lalu diperbarui pada 26 Juni 2015, dan dibaca oleh 33.005 warganet.

16.500 pembaca memang masih kalah jauh jumlahnya dibandingkan dengan tiga contoh tulisan mereka. Tetapi, bagi saya pribadi, tulisan saya yang baru 16.500-an pembaca sudah jauh melampaui jumlah pembaca pada tulisan saya lainnya. Itu yang saya katakan pada alinea ke-2 tadi, “jumlah itu sangat fenomenal, bersejarah, bahkan ada kebanggaan tersendiri.”

Buncahan perasaan ini seperti juga ketika saya menulis Euforia Sang Juara I, Naifkah? setelah mendapat ganjaran Peringkat I Lomba Menulis Esai Se-Kaltim & Kaltara 2016 lalu, dilengkapi dengan selembar piagam penghargaan. Saya tidak mengetahui secara pasti mengenai para penulis hebat di Kaltim dan Kaltara. Ibarat hutan Kalimantan yang terkenal itu, begitulah ketika saya menjadi warga Kaltim sejak 2009.

Buncahan lainnya terungkap pada tulisan Satu yang Monumental dari Sebuah Tulisan Arsitektur. Tulisan opini 2005, tidak bisa saya ikuti perkembangannya bahkan saya anggap selesai, tetapi kabar dari keluarga di beranda Fb pada 21 Mei 2017 yang berwisata ke Bangka Barat membuat saya bersyukur.

Saya bersyukur karena, 1. Gagasan/ide/ilham yang situasional itu bisa saya olah menjadi tulisan; 2. Situasi yang mendukung saya untuk mengolahnya; 3. Pemahaman sederhana saya mendapat apresiasi; 4. Masing-masing mendapat suatu anugerah; 5. Ada dampak yang terjadi.

Saya akan terus menulis sebab menulis telah menjadi bagian hidup saya dalam penyampaian pemikiran saya yang sederhana ini. Dan, tentu saja, kegiatan tulis-menulis masih bisa berlanjut jika kondisi saya sangat memungkinkan untuk melakukannya.

*******
Panggung Renung Balikpapan, 23 Mei 2017

=================
Sedikit Kisah Nyata untuk Bapak Wapres tentang Tionghoa-Kong Hucu

Pada 15 Mei 2017 aku membaca tulisan yang dipajang di beranda Fb Penulis Hanna Fransisca dari kiriman Muhammad Hamizan dari cuplikan berita berjudul “Soal Kesenjangan Si Kaya & Si Miskin, JK Waswas Luar Biasa”.

Isi cuplikan beritanya begini.
Wapres JK mengingatkan kesenjangan yang ada di Indonesia sudah cukup membahayakan. Sebab, ada perbedaan agama antara si kaya dan si miskin. Hal itu disampaikan JK saat menutup sidang tanwir Muhammadiyah di Ambon, kemarin.
Menurut JK, dengan kondisi ini, kesenjangan di Indonesia lebih berbahaya dibanding di negara lain. Misalnya di Thailand dan Filipina. “Di sana, baik yang kaya maupun miskin memiliki agama yang sama. Sementara di Indonesia yang kaya dan miskin berbeda agama,” ujar JK.
Di Indonesia, kata JK, sebagian besar orang kaya adalah warga keturunan Tionghoa yang beragama Konghuchu maupun Kristen.
(dan seterusnya…)

Sebelumnya Muhammad Hamizan menuliskan, “Yg terhormat Pak JK, yng paling miskin di Indonesia itu org Papua dan bukan muslim. Sedangkan Propinsi termiskin adalah NTT, mayoritas non-muslim pula.

Lalu Penulis Hanna Fransisca yang tingal di Kalimantan Barat bersaksi, “Aku sejak kecil dibesarkan dalam keluarga yang miskin. Kami sekeluarga hanya mampu sewa 1 kamar di rumah tua yang hampir ambruk. Tidak ada bantal, tidak guling, tidak ada selimut. Aku ingat persis,  hanya punya dua gaun usang, sandal jepit kebesaran yang bisa dipakai secara bergantian, tipis dan bolong pula bagian tumitnya. Di kamar hanya ada tikar pandan yang sobek sana-sini, hanya ada lampu minyak tanah. Tidak usah cerita soal pergi ke sekolah, cerita beras di dapur saja harus utang dulu ke warung, pinjam sama tetangga. Tentu tak hanya keluarga kami yang serba kekurangan. Masih banyak lagi saudara yang lain yang jauh lebih terpuruk lagi.”

Mau-tidak mau pikiranku mundur ke ingatan yang pernah kualami dan saksikan pada masa lampau berkaitan dengan stereotipe mengenai orang Tionghoa-Kong Hucu dengan status ekonomi begitu, meskipun sebagian kecil sudah kuabadikan dalam buku Belajar Peta Indonesia (2016). Buku itu sudah ada di Perpustakaan Nasional R.I. Ada dua eksemplar, Pak, di situ. Buku itu aku buat dan terbitkan dalam kerangka mencatat ingatan berbangsa-bernegara sejak dari kampung, Pak, meskipun aku bukanlah siapa-siapa dibanding Bapak.

Aku dilahirkan sampai puber di Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan bersekolah menengah atas Jurusan A1/Fisika sampai lulus kuliah Jurusan Arsitektur di Yogyakarta. Nama Sungailiat memang kalah pamor dibanding Pangkapinang dan Muntok (tempat peleburan bijih timah terbesar sedunia pada masa jaya timah). Sungailiat hanya kota kecil di timur Pulau Bangka dan di utara Pangkalpinang.  Apalagi Kampung Sri Pemandang Atas, Pak.

Pak JK yang terhomat secara regional-nasional-internasional-global,
aku pun sepakat banget pada tulisan Hanna Fransisca, “Aku lebih meyakini etnis apa pun, agama apapun, ada yang miskin ada yang kaya raya macam Pak JK, ada yang baik dan ada yang jahat.”

Ketika aku menikmati masa bersenang-senang di Kampung Sri Pemandang Atas Sungailiat, tidak semua kawan Tionghoa-ku di Bangka hidup seperti stereotipe dari sebagian orang Indonesia. Rumah kami dibangun oleh orang Tionghoa, dari pembantu (kenek/helper) sampai mandor (mandornya/pemborongnya bernama Min Ho).

Dulu keluarga kami pernah memiliki asisten rumah tangga beretnis Tionghoa dan beragama Kong Hucu. Kalau tidak keliru, anaknya dua. Bapak bisa bayangkan, mengapa ada orang Tionghoa menjadi asisten rumah tangga di rumah kami, padahal orangtuaku bukanlah keluarga kaya raya.

Bapakku, Slamet Sudharto, yang kelahiran Madiun 1929, mantan Tentara Pelajar wilayah Malang dengan bersenjatakan senapan mesin (1945-1950, termasuk bagian dari Mobrig, terlibat perang di Peristiwa Surabaya, atau Bapak bisa cari info pada keluarga kami di Sambirejo, Madiun), dan menjadi guru swasta di Sungailiat sejak pertengahan 1950 juga mendidik aku di rumah mengenai Indonesia, Pak.

Guru, Pak. Guru SMP (pagi-siang) dan STM (sore-malam). Guru juga di rumah ketika aku harus belajar mengenai Indonesia karena bapak seorang veteran perang, meski sama sekali tidak pernah diakui negara Indonesia tercinta ini, apalagi menerima gaji pensiun tentara, Pak. Lingkungan rumah dan sekolah sangat mendukung belajar ke-Indonesia-anku, Pak, tanpa perlu repot mencari buku-buku yang masih langka pada waktu itu.

Bapakku juga berkenalan baik dengan setiap kepala aparat di Sungailiat. Zaman Pak Duri (ayahnya Rafika Duri), Pak Saylan, dan seterusnya, karena mantan veteran selalu dekat dengan aparat keamanan sebagai satu keluarga yang berbakti kepada Indonesia. Dari bapak aku belajar mencintai Indonesia yang ber-Bhinneka Tunggal Ika ini, Pak.

Ibuku kelahiran Karanganyar-Solo pada 1939. Seorang mantan karyawan Rumah Sakit Unit Penambangan Timah Bangka. Waktu masih aktif disitu, setiap bulan mendapat jatah sembako lengkap, terhitung dari semua anggota keluarga. Semakin banyak anak, semakin banyak jatah sembakonya. Timah, pada masa itu, Pak, masih dalam masa jaya dengan sebutan “emas putih”, yang pernah menjadi penyumbang devisa nomor dua setelah minyak bumi. Ya, soal makan-minum dan lain-lain, masa kecilku lebih beruntung daripada Hanna Fransisca.

Orangtuaku bisa membayar asisten rumah tangga beretnis Tionghoa karena tidak bermasalah dengan keberadaan sembako bulanan, di samping mengangkat beberapa anak (semuanya beragama Islam) yang sedang bersekolah karena latar ekonomi keluarga mereka yang sangat perlu dibantu (Puji Tuhan, mereka telah hidup mapan secara ekonomi, Pak, karena mereka juga pekerja keras dan Allah Tuhan mereka sangat menyayangi mereka).

Aku pun bergaul dengan anak kampung yang tidak mengenal permainan anak orang kaya di kota. Di kampung halamanku dulu ada seorang penjual tahu dari etnis Tionghoa-Kong Hucu. Belum ada penjual tahu dari etnis lainnya. Sudah tua, berkaus putih polos yang sudah mirip saringan tahu, dan naik sepeda onthel, Pak. Sebelum giliran aku, kakakku sering bertugas menunggu kedatangannya di depan rumah pada pagi hari sekitar pukul 06.00.  

Ada juga penjual ikan keliling sekitar pukul 09.00. Satu ini paling ditunggu ibu-ibu kampung kami karena bisa utang, Pak. Paling laris, meski belum tentu uang langsung ngumpul apalagi harus pakai tukang tagih (dept collector).

Siangnya, sekitar pukul 14.00 ada tukang cukur keliling naik sepeda Pak. Orang Tionghoa-Kong Hucu. Dua orang lagi. Seorang yang aku dan kawan-kawan suka adalah yang selalu terdengar di ujung jalan, “Gunting rambut, tiauw siput, kena kentut!” Berulang-ulang diucapkan dengan irama khas. Dan dia pun suka bercanda ketika sedang mencukur aku atau kawan-kawanku.

Kawan kecilku, namanya Tong Sen, membantu ibunya berjualan kue. Kue-kue dititipkan di warung-warung pada pagi hari ketika dia berangkat sekolah naik sepeda. Sore, sekitar pukul 17.00 dia akan mengambil lagi di warung-warung. Kalau ada sisa, aku dan kawan-kawan kampung diberi kue itu.

Dan, tidak jauh dari kampung kami, dulu ada orang gila satu-satunya, Tionghoa pula, Pak. Namanya Akiun. Gaya berjalan seperti aparat dengan kayu sebagai tongkat atau senjata. Konon (gosip orang kampung), Akiun gila karena mengencingi sebuah kuburan tua yang sudah tidak jelas. Orang kampung kami tidak seorang pun gila, Pak.  Kami diajarkan tetua kampung, kalau mau pipis di alam terbuka (kebun atau hutan), harus bilang, “Numpang kencing, Tuk (Tuk/Atuk=kakek).”

Di sekolahku dulu, Pak, ada kawan sekolah (Etnis Tionghoa) yang berseragam sekolah lusuh, bahkan berhenti sekolah (Kelas 1 SMP) karena berasal dari keluarga miskin. Namanya Tet Khiong. Kecil-kurus. Kelihatan sekali kurang gizi. Ayahnya pernah jadi nelayan tapi kemudian lumpuh karena terkena sengatan ikan kecos (ikan pari kecil yang bertanduk dekat ekor). Dia berlima atau enam saudara, dan dia sulung.

Penjaga bahkan pesuruh SMP kami bernama Apuk adalah orang Tionghoa. Apuk tidak pernah membantah ketika disuruh apa pun oleh kepala sekolah dan guru. Disuruh beli sayur-mayur untuk seorang guru Melayu pun, Apuk berangkat ke pasar berjarak 1,5 km naik sepeda genjot. Tidak jarang Apuk ‘kerjain’ kawan-kawanku, baik kawan Tionghoa, Melayu, Batak, Flores, dan Jawa. Tidak pernah ada prasangka sosial, Pak. Juga sekolah tempat  bapakku mengajar di STM Sungailiat adalah orang Tionghoa.

Ya, Bapak JK bisa bayangkan, bagaimana seandainya sekolah Bapak dulu ada penjaga bahkan pesuruh sekolah beretnis Tionghoa, bahkan seandainya dulu keluarga Bapak memiliki asisten rumah tangga beretnis Tionghoa?

Bapak pun pasti bisa membayangkan, bagaimana masa kecilku dibentuk dalam lingkungan sosial yang menyenangkan tanpa terkontaminasi prasangka sosial dari stereotipe terhadap orang Tionghoa-Kong Hucu.

Ketahuilah, Pak, tidak sedikit buruh kasar, dari pencetak batubata yang berpanas-panas hingga pramuniaga di kawasan pertokoan Tionghoa adalah orang Tionghoa sendiri. Sebagian rumah mereka masih semi permanen pula, Pak.  

Dulu, ketika aku dan kawan-kawan kampung sedang musim main pangkak (adu buah karet), aku sering mencari buah karet di dekat tempat tukang kayu yang beretnis Tionghoa. Makan siang mereka, dengan mataku sendiri kulihat, berupa nasi berlauk ikan asin kecil, Pak. Bukan satu-dua kali kulihat, Pak.

Ada juga kawan Tionghoa-ku, cuma beda kampung, nyaris saban hari makan bulgur, Pak. Apa itu bulgur, Bapak pasti tahu.

Ketahuilah, Pak, generasi awal etnis Tionghoa di Bangka bukanlah berkelas pedagang apalagi pengusaha-pebisnis kelas kakap-hiu-paus. Bukan pula kelas terpelajar dengan kemampuan intelektual serba luar biasa, Pak. Rasa senasib orang Melayu-Tionghoa Bangka sebelum 1900-an terbentuk karena mayoritas orang Tionghoa di Bangka adalah buruh/kuli/pekerja kasar, baik di perkebunan, pertambangan timah (kami mengenal satu istilah usang, "singkek parit", kuli angkut barang, maupun pembuatan bangunan.

Buruh Tionghoa beberapa kali memberontak terhadap Kolonial Belanda. Rasa senasib itulah yang kemudian menyatukan Melayu-Bangka dan Tionghoa dalam persaudaraan nasional melawan Kolonial Belanda. Rumah Mayor Chung A Thiam (orang Tionghoa-Kong Hucu) di Muntok, Bangka Barat, menjadi salah satu saksi sejarah, dimana Belanda menjadikan Chung A Thiam sebagai seorang mayor tentara Belanda untuk meredam pemberontakan orang Tionghoa.

Sejarah itu tertulis dalam buku sejarah Babel, Pak. Aku pernah membacanya di Perpustakaan Daerah Sungailiat. Mungkin ada di Perpustakaan Nasional R.I.

Sekian tahun silam pun, sekitar 1998, ada segelintir pendatang hendak menghasut orang Melayu-Bangka dengan kesesatan nasional itu tetapi tidak berhasil menjadi peristiwa genting, Pak. Sebab, kesatuan masyarakat Melayu-Bangka dan Tionghoa-Bangka sudah terbentuk lebih satu abad.

Yang tidak kalah kesatuannya adalah pernikahan campuran antara Melayu dan Tionghoa. Biasanya, orang Tionghoa-Kong Hucu akan pindah agama (mualaf). Salah seorang mantri sunat yang terkenal adalah Om Nasuwan (kebetulan orang Kampung Sri Pemandang Atas), yang juga menyunat aku (libur kenaikan Kelas 6 SD), Pak. Pada 2012 Om Nasuwan pernah memamerkan “barang bukti” milik seorang mualaf yang sudah dewasa. Om Nasuwan tertawa ngakak, Pak.

Pak JK, orang Babel pun paham, untuk bisa makan, haruslah bekerja keras. Beras bukanlah hasil produk pertanian di tanah Babel yang memiliki kadar asam tinggi. Persawahan baru dirintis pasca-2000. Ada pun ladang padi milik keluarga Melayu-Bangka, dan untuk konsumsi keluarga sendiri.

Sedangkan orang Tionghoa di Bangka pada zaman itu tidak memiliki sawah, Pak. Bagaimana bisa membeli beras? Sebagian orang Tionghoa bisa membeli beras persis seperti yang dikatakan oleh Hanna Fransisca, “… cerita beras di dapur saja harus utang dulu ke warung, pinjam sama tetangga.” Seperti Tet Khiong, atau ada lagi yang hanya menyantap bulgur, Pak.

Kawan SMP-ku, Jat Nen, orang Tionghoa-Kong Hucu di Jalan Laut, adalah pekebun sayur biasa, Pak. Ada juga tetanggaku, keluarga Tionghoa bernama Aciang (Kampung Batu), pekebun sayur biasa, yang aku tahu karena aku sering mancing di area kebun sayur mereka. Anak-anak mereka tidak ada yang bergelar sarjana semacam aku ini, Pak. Jat Nen dan keluarga Aciang memang rajin menggarap kebun sayur, Pak.

Ada lagi kawan SD-ku, namanya Cong Yang, pada 2016 aku datangi ketika dia sedang berjualan ikan di pinggir jalan dekat Kantor Polres Sungailiat. Tidak ada dinding dan atap. Hanya berupa meja panjang. Aku mendatanginya untuk kembali mengingatkan padanya bahwa kami pernah satu kelas ketika SD, Pak. Mungkin dia lupa tetapi aku sangat ingat, apalagi rumah orangtuanya (rumah papan lho, Pak) dekat SD kami, dan ibunya berjualan jajanan di dekat sekolah kami.

Pak JK pasti tahu mantan gubernur Babel bernama Eko Maulana Ali yang pernah mengalahkan Ahok di Pilkada Babel 2007, ‘kan? Pak Eko (mantan murid bapakku di STM Sungailiat) adalah anak angkat orang Tionghoa-Kong Hucu, Pak. Pak Eko dulu disekolahkan oleh keluarga Tionghoa-Kong Hucu, yang hanya memiliki satu anak perempuan. Ayahnya Pak Eko sangat loyal (rajin, jujur, tidak banyak tingkah, dan lain-lain)pada majikannya sehingga anaknya (Pak Eko) diangkat sebagai anak, Pak.

Aku tahu kisah nyata itu dari orangtuaku, Pak. Ibuku masih hidup, Bapak bisa bertanya langsung mengenai Pak Eko, termasuk mantan asisten rumah tangga orangtuaku.

Pada Pilkada Babel 2007 keluarga kami (orangtua kandung dan angkatku Kristen) di Bangka tentu saja memilih Pak Eko (Melayu-Islam), bukannya Ahok (Tionghoa-Kristen), Pak. Apa lagi kalau bukan karena Pak Eko mantan murid bapakku. Sederhana saja itu.

Lucunya, lawan Pak Eko di Pilkada Babel 2007 bernama Ahok yang Tionghoa-Kristen itu malah anak angkat orang Melayu-Belitung, Pak. Kenyataan Babel memang lucu sekaligus guyub-kekeluargaan-kebangsaan, ‘kan, Pak?

Duh, Pak JK, kasihan lho, masih banyak orang Tionghoa yang berekonomi minimalis, dan tidak saja di Bangka dan Belitung. Meski minimalis, mereka tidak lagi memberontak, menghujat pengelola negara, atau menghidupi kedengkian terhadap sesama warga negara Indonesia karena mereka sangat bangga jadi warga negara Indonesia. Mereka memilih bekerja keras, bukannya menyalahkan-nyalahkan tanpa henti.

Aku masih bisa melihat orang-orang Tionghoa-Kong Hucu yang bekerja keras sewaktu mudik 2016 karena bapakku meninggal. Selain Jat Nen, atau Cong Yang, ada juga penjual susu kedelai (thefu sui) dengan sebuah gerobak di Pasar Mambo Sungailiat pada malam hari, Pak. Susu kedelai buatannya enak banget lho. 

Dan kalau sebagian orang Tionghoa-Kong Hucu kaya raya, ya, tidak berbedalah dengan etnis-etnis lainnya dan penganut semua agama di Indonesia. Semua pasti karena bekerja keras. Bukankah Tuhan memiliki hak preogatif mutlak untuk memberi rezeki kepada semua manusia, baik beragama maupun tidak beragama (ateis), bahkan para keluarga koruptor sekalipun?

Pak JK yang baik,
aku mencintai Indonesia dengan segala suku bangsa-etnis dan agama-ateis yang ada. Keluarga besar kami sudah bercampur etnis. Jawa, Melayu-Bangka, Tionghoa-Bangka, Palembang, Minang, Bugis, Mandar, Madura, dan lain-lain. Mayoritas keluarga besar kami beragama Islam, Pak, dan mayoritas tetanggaku di Bangka beragama Islam. Aku bersekolah menengah atas dan kuliah di Yogyakarta, dan kawan-kawanku juga berasal dari aneka suku. Aku kini tinggal di Kalimantan Timur, dan bergaul dengan aneka suku bangsa, Pak. Bahkan keluarga istriku adalah campuran (Tionghoa, Dayak, Bugis, dan Filipina). Aku sangat bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas realitas takdirku ini. Aku bangga jadi orang Indonesia, Pak, meskipun tidak mampu bertamasya keliling Indonesia.

Doaku, Bapak JK selalu sehat sehingga bisa berpiknik selama 6 bulan di Bangka. Jangan lupa singgah di warung kopi Co dekat tugu Adipura Sungailiat. Asyik banget lho, Pak. Tapi yang terpenting, demi NKRI yang heterogen dalam arti sebenar-benarnya, Pak.

Terima kasih, Pak JK. Salam damai sejahtera selalu dari aku.

*******
15 Mei 2017

(terlambat pajang karena jaringan Telkom sedang bermasalah)

Senin, 22 Mei 2017

Euforia Sang Juara I, Naifkah?

Pada Hari Pahlawan 2016 saya menjadi juara I Lomba Menulis Esai Se-Kalimantan Timur (Kaltim) dan Kalimantan Utara (Kaltara). Lomba bertema “Kebahasaan dan Kesastraan” tersebut diselenggarakan oleh Kantor Bahasa Kaltim sejak 1 Agustus sampai 1 Oktober lalu ditambah batas waktunya sampai 30 Oktober.

Tentu saja saya sangat senang menjadi juara I dalam lomba yang juga diikuti dosen, praktisi seni-sastra, dan mahasiswa tersebut, dan hingga keesokan harinya rasa itu masih meluap-luap. Saya merasa diri saya melambung melebihi menara api Pertamina Balikpapan. Luar biasa!

Betapa tidak luar biasa perasaan saya. Pertama, profesi saya adalah arsitek. Fokus utama seorang arsitek adalah rancangan bangunan alias gambar bangunan. Gambar sebagai alat komunikasi. Bukan kata, atau kalimat, apalagi panjangnya sampai 10 halaman dengan spasi 1,5.

Kedua, pada saat membuat esai itu saya pun sedang dalam masa menggambar bangunan kuliner mewah seluas 3.435 meter persegi dengan permintaan pemesan yang sok tahu padahal tidak mampu memahami perbedaan antara interior, eksterior, arsitektur, struktur, dan seterusnya. Saya sudah bersusah payah menerengkan perihal  perencanaan dan perancangan tetapi dia tetap sok tahu, bahkan menyamakan antara interior dan eksterior.

Oleh sebab pengerjaan gambar bangunan tidak diawali oleh sebuah kepekatan dalam kontrak kerja, saya menyempatkan diri untuk membuat esai. Daripada saya terjebak dalam lingkaran omong kosong soal interior-arsitektur dengan orang itu, lebih baik saya menuliskan pemikiran saya untuk mengeluarkan apa yang pernah saya pikirkan dan alami selama menjadi warga Kaltim.

Ketiga, saya mengerjakan esai selama 5 hari dalam waktu yang terbagi dengan menggambar bangunan. Tentu saja saya harus mencari data-data terkait, baik dari buku yang saya miliki maupun internet. Waktu itu saya harus mengirimkan dalam bentuk cetakan sebelum batas akhir 1 Oktober. Selain itu, saya pernah menuliskan secara seenak saya sendiri tentang budaya tulis-menulis di Balikpapan.

 Memang, jauh waktu sebelumnya, saya sering membicarakan perihal dunia tulis-menulis dan sastra di Balikpapan bahkan Kaltim dengan kawan-kawan. Itu kegelisahan saya secara pribadi ketika menyaksikan realitas. Apalah guna suatu pembicaraan, bukan? Maka, lomba esai tersebut memberi kesempatan pada saya untuk menyampaikan pendapat secara tertulis dan bertanggung jawab, meskipun jika tidak masuk nominasi.

Pada lembar biodata penulis secara jujur saya tuliskan, “Dalam lomba ini ia nekat mengajukan dua butir tulisan berupa sebutir esai dan sebutir feature walaupun sedang dirundung pekerjaan merancang bangunan seluas 2.000-an meter persegi. Untuk esai, judulnya ‘Kemiskinan Sastra dalam Provinsi Terkaya di Indonesia’…. Katanya, sekadar berpartisipasi sebagai warga Kaltim yang masih mau repot memikirkan hal-hal di luar profesi dan ijazah terakhirnya sehingga dewan juri tidak perlu repot menilai mutu dua butir tulisannya.”

Keempat, kerja keras saya dalam menggambar bangunan, ternyata, tidak juga masuk dalam tahap kesepakatan (kontrak kerja. Saya pun bertengkar dengan pemesan gambar bangunan itu karena dia, didukung seorang lagi sebagai anteknya, selalu berkelit ketika saya menanyakan perihal pembayaran, paling tidak uang muka beserta surat kontrak sebagai sebuah komitmen kerjasama.

Pada 24 Oktober saya batalkan kerjasama karena mereka (keduanya terkenal sebagai aktivis di gereja; seorang pendoa, dan seorang pendekor)  tidak juga sudi menyepakati suatu komitmen, meskipun saya sudah memberikan gambar bangunan dengan format CAD dan Sketchup (3D). Dan, ini kejadian kedua, setelah setahun sebelumnya seorang anak pendeta tidak mau membayar uang muka atas kerja keras saya merancang bangunan indekos tiga lantai miliknya.

Kelima, sejak 18 Oktober 2014 saya tidak lagi bergabung dengan komunitas kesenian maupun penulisan di Balikpapan, apalagi di Kaltim. Di samping persoalan seorang kawan yang tidak membayar kerja keras saya merancang renovasi rumah dan tempat usaha (berlantai dua) milik mantan kekasihnya yang kemudian berjumpa lagi, banyak persoalan mendasar yang kemudian mengumpul sebagai sebuah tembok yang membatasi pemahaman di antara saya dan kawan-kawan mengenai kesenian, kepenulisan, media massa, kompensasi, kompetisi, dan seterusnya.

Saya bisa memahami latar mereka, yang ketika masih sekolah atau kuliah sama sekali tidak pernah aktif dalam tulis-menulis dan mengirim karya mereka ke media massa. Mereka dari golongan keluarga berekonomi kaya sehingga tidak pernah kekurangan dalam kebutuhan bulanan, baik di rumah maupun ketika bersekolah di luar daerah mereka.

Saya memilih menyendiri dengan menjaga konsistenitas berkarya, khususnya tulis-menulis. Sejak berada di Balikpapan pada 10 Maret 2009 saya sudah membawa bekal kegemaran tulis-menulis, dan pernah bergabung dengan sebuah komunitas kesenian dan tulis-menulis pada 20 Maret 2009. Bagi saya, menulis merupakan suatu kegiatan perseorangan alias dilakukan seorang diri dalam suatu suasana tersendiri.

Keenam, pada 1999 saya pernah meraih juara I Lomba Menulis Esai se-Babel dan Sumsel dalam rangka Ekawarsa Harian Bangka Pos. Pada waktu itu Babel belum menjadi provinsi sendiri tetapi sedang menuju ke arah pembentukan provinsi sendiri, dan keluar dari Provinsi Sumatera Selatan. Saya pun belum menjadi arsitek, yang secara resmi disahkan melalui tahap awal berupa ijazah pendidikan akhir.

Tentu saja, sebagai seorang putera daerah yang jarang mudik sekaligus belum merampung skripsi ketika itu, menjadi juara I setelah bersaing dengan para sarjana merupakan suatu kesenangan tersendiri. Sejak 9 Juni 1987 saya keluar dari kampung halaman dan pulau yang nyaman, seketika saya ‘hilang’ dari kehidupan masyarakat Babel. Kemudian sekitar 1999 nama dan karya saya (puisi, cerpen, dan esai) muncul di media lokal (Bangka Pos) tanpa menghadirkan diri saya seutuhnya.

Ketujuh, sebelum 1999 apalagi 2016 saya tidak pernah menjadi juara I dalam bidang apa pun ketika bersekolah di Bangka dan Yogyakarta, kecuali ketika di TK dalam bidang kesehatan gigi se-Kabupaten Bangka. Jangankan juara I dalam pendidikan, juara III pun saya tidak satu kali pun mengalaminya karena saya selalu masuk kategori 30 besar dalam jumlah 40 siswa dalam satu ruang kelas.

Demikian ketujuh alasan saya merasa senang bukan kepalang ketika menjadi juara I dalam lomba tersebut, apalagi di luar bidang belajar yang saya tekuni secara resmi selama sekian tahun. Saya tidak tahu, apakah para juara I, baik rapot (rangking I) di sekolah, pertandingan antarsekolah atau lulusan terbaik-tercepat-tercerdas juga merasakan suatu kesenangan tingkat tinggi ketika itu. Tetapi, naif atau sombongkah saya jika saya mengalami euforia sebagai seorang juara I?

 *******
Beranda Khayal, 11 November 2016  

Satu yang Monumental dari Sebuah Tulisan Arsitektur

Bagi saya, menjadi arsitek yang bisa menulis merupakan sebuah anugerah. Menjadi arsitek saja sudah merupakan sebuah anugerah, apalagi ditambah bisa menulis.

Baik giat menggambar bangunan sebagai arsitek maupun giat menulis, keduanya memerlukan konsistensi. Saya masih belajar mengenai perkembangan arsitektur melalui kegiatan di Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) Cabang Balikpapan. Saya masih tekun membuat rancangan arsitektur, meski sederhana. Dan soal tulis-menulis, bisa bersanding dengan kegiatan saya berarsitektur.

Paduan antara arsitektur dan tulisan saya lakukan pada pengamatan bangunan. Sebuah tulisan “Robohnya Sejarah Kami” (RSK) merupakan satu contohnya. Tulisan tersebut dimuat di rubrik Opini Harian Bangka Pos pada edisi Selasa, 25 Juli 2005, dan terabadikan dalam buku Siapa Mengontrol Siapa (2016).

Melalui RSK saya mengkritisi tanggapan seorang anggota DPRD Kabupaten Bangka Barat terhadap gedung Kawilasi Timah di Muntok pada sebuah harian daerah, Sabtu 16 Juli 2005. “Bangunan gedung tua tak terawat dan seperti tidak bertuan itu, sangat mengganggu keindahan kota. Dari pihak Timah kalau mau ngasih ke pemda ya hibahkan saja, kalau tidak alangkah baiknya dirobohkan saja daripada mengganggu pemandangan. Masak di tengah kawasan perkotaan ada gedung sarang hantu,” ucap beliau.

Gedung Kawilasi Timah sebelumnya adalah Kantor Pusat Pemerintahan (Residen) Bangka, yang bernama Hoofdbureau Banka Tinwinning Bedriff. Gedung berlantai dua ini dibangun oleh Kolonial Belanda pada tahun 1915 -- saya keliru melihat angka tahun karena faktor kotor pada angka yang kemudian saya tulis 1816.

Bangunan monumental, begitulah istilah dalam mata kuliah pilihan saya. Sebuah bangunan disebut monumental, selain memiliki ukuran besar dan bentuk tertentu, juga latar sejarahnya, gaya, dan usianya.

Meskipun kekurangan informasi (referensi) mengenai gedung Kawilasi Timah, semisal siapa arsiteknya, saya tetap menuliskannya dalam rangka kepedulian terhadap bangunan bersejarah. Terlebih, Muntok dicanangkan sebagai Kota Wisata Sejarah pada waktu itu (2005). Apakah yang juga bisa meyakinkan “Kota Wisata Sejarah”, jika salah satunya bukan berupa banguan bersejarah, ‘kan?

Sudah lama, ya, 2005 alias 12 tahun silam? Lantas apa dampak dari RSK?

Dampak pertama, RSK menjadi bahan pertimbangan Kepala Bappeda Provinsi Babel. Hal ini diberitahukan oleh kakak saya, Antonius Wahyudi, ketika masih berdinas di Bappeda Babel. Sayangnya saya lupa nama kepala dinas Bappeda Babel pada waktu itu.

Dampak kedua, pada 21 Mei 2017 saya melihat foto-foto wisata keluarga kami di Bangka Barat. Satu obyek wisata yang sangat mengagetkan saya adalah Museum Timah Indonesia Muntok. Saya tidak asing pada tampilan depan bangunan tersebut. Bangunan tersebut saya tulis dengan judul RSK, dan telah diperbaiki menjadi museum!

(2017, Koleksi Keluarga)
 (2017, Koleksi Keluarga)


(2017, Koleksi Keluarga)

 (2004, Koleksi Pribadi)
 (2004, Koleksi Pribadi)
(2004, Koleksi Pribadi)

Kemudian saya pajang pada beranda Fb saya pada 22 Mei 2017, dari foto sekarang (2017) maupun foto 2004 ketika saya berada di sana. Tidak lupa saya sematkan pada akun Ketua IAI Pusat Ahmad Djuhara. Komentar beliau, “Terima kasih sudah menjaga arsitektur Indonesia.”

Anugerah lagi, ‘kan?

Konsistenitas dalam kepekaan (kritis) terhadap sekitar, dan tekun mengolah diri bukanlah sekadar angan-angan jika kemudian mendapat anugerah alias penghargaan, meskipun tidak berbentuk uang dari pemerintah atau instansi terkait. Tidak perlulah terlalu berharap atau berambisi apa-apa, anugerah akan datang pada waktunya, meskipun tidak serta-merta pada saat itu.    

*******
Pangung Renung Balikpapan, 22 Mei 2017


Robohnya Sejarah Kami *

Saya amat sangat prihatin ketika membaca sepenggal ucapan seorang anggota DPRD Kabupaten Bangka Barat mengenai gedung Kawilasi Timah di Muntok pada sebuah harian daerah, Sabtu 16 Juli 2005. “Bangunan gedung tua tak terawat dan seperti tidak bertuan itu, sangat mengganggu keindahan kota. Dari pihak Timah kalau mau ngasih ke pemda ya hibahkan saja, kalau tidak alangkah baiknya dirobohkan saja daripada mengganggu pemandangan. Masak di tengah kawasan perkotaan ada gedung sarang hantu,” ucap beliau.

Sungguh saya amat sangat prihatin. Tapi setelah saya melihat gelar kesarjanaan beliau, saya mahfum. Tetapi pula saya khawatir bahwa pernyataan beliau, sebagai wakil rakyat, menjadi semacam slogan dangkal yang mungkin dapat mempengaruhi sebagian orang untuk menindaklanjuti dengan “dirobohkan saja”. Dampaknya, bisa “merobohkan” bangunan-bangunan kuno yang lain, yang belum benar-benar dicermati kadar kesejarahan dan kebudayaannya. Ah, semoga tidak segampang itu pengaruhnya.

Sesuatu yang tidak terawat memang sangat mengganggu keindahan. Namun, untuk kasus gedung bekas Kawilasi Timah, apakah harus semudah itu mengatakan “sangat mengganggu keindahan kota”, “mengganggu pemadangan”, dan “alangkah baiknya dirobohkan saja” di media massa yang jelas-jelas akan dibaca oleh tidak sedikit masyarakat?

Saya memang bukan budayawan dan sejarawan. Saya hanya tahu seupil tentang sejarah Bangka Belitung, Muntok, dan Timah. Seupil. Tapi, meski seupil, saya berusaha menghargai sejarah sesuai dengan takaran seupil saya. Dalam hal ini adalah bangunan tua. Dan saya, sebagai masyarakat biasa serta bukan siapa-siapa, bermaksud memberi secuil-dua cuil pendapat sesuai dengan status saya sebagai masyarakat biasa.

Gedung Kawilasi Timah, atau awalnya bernama Hoofdbureau Banka Tinwinning Bedriff dan sekaligus pusat pemerintahan (Residen) Bangka dibangun tahun 1816. Bukan gedung hiburan malam atau perjudian. Bangunan bergaya kolonial tersebut, seperti yang ditulis pada kalimat awal oleh koran lokal tadi, merupakan bangunan bertingkat pertama kali di Muntok. Waow!

Kota Muntok berjaya bukanlah karena ketika itu sudah ada kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah beserta kompleks rumah dinasnya. Kota Muntok berjaya bukan karena banyak dibangun hotel-hotel walet sekian tingkat ketika itu. Muntok pun dikenal dunia bukan karena penjara kotanya. Gedung itulah yang menjadi salah satu saksi bisu sejarah Kota Muntok lantaran pertama kali menjadi kantor pusat pemerintahan Bangka, bukan hanya Bangka Barat dan sekitarnya. Belum lagi identitas Muntok sebagai Kota Wisata Sejarah.

Dan timah. Ya, timah. Bahkan timah pernah menjadi salah satu penyumbang devisa terbesar di negara kita. Bukan sahang (lada putih). Bukan kelapa sawit. Apalagi ikan sembilang.

Bangunan bekas Kawilasi Timah, yang sangat berkaitan dengan urusan timah itu merupakan bangunan monumental; bangunan yang mempunyai nilai sejarah (termasuk fungsi bangunan saat itu) dan budaya. Serta, tidak mustahil bahwa bangunan kuno tersebut merupakan bagian dari landmark Kota Muntok, di samping Wisma Ranggam, Pesanggrahan Menumbing, Rumah Mayor, Kantor dan Penjara Syahbandar, Klenteng, Masjid Jami’, pabrik peleburan Timah, dan lain-lain. Obyek wisata pun tidak cuma pantai yang elok atau taman atau kebun yang montok.

Di beberapa kota besar di Indonesia modernisasi bukan berarti robohisasi bangunan-bangunan bersejarah. Bangunan-bangunan bergaya arsitektur kolonial yang memiliki nilai sejarah yang tinggi dirawat, dilestarikan, dan diabadikan dalam buku, misalnya buku Arsitektur Kolonial Belanda di IndonesiaArsitektur Kolonial di SurabayaPerkembangan Kota dan Arsitektur Kolonial Belanda di Malang, dan lain-lain.

Kajian-kajian sejarah dan budaya terhadap bangunan-bangunan tua sungguh-sungguh dilakukan, apakah pantas menjadi bangunan cagar budaya ataukah tidak alias “silakan dirobohkan saja”. Yang sempat terpikirkan, maaf, apakah Muntok adalah kota paling besar, paling maju, paling modern di Indonesia saat ini sehingga bangunan monumental bekas Kawilasi Timah itu wajar “dirobohkan saja”?

Saya coba bandingkan dengan New York (Maaf, apakah Muntok lebih modern dan indah dibanding New York?), Amerika Serikat. Saya percaya bahwa sebagian pembaca bisa membayangkan seberapa megah New York, kendati belum pernah ke sana, termasuk saya.

Dalam buku New York, A Guide To The Metropolis, Walking Tours of Architecture and History(Gerard E. Wolfe, Second Edition, New York: McCraw-Hill, Inc, 1988) saya salut pada kepedulian “pemda” New York dalam melestarikan bangunan bersejarah di saat bangunan-bangunan modern-high tech saling berlomba-lomba meraih pelangi dan bintang di sana dengan payung hukum Landmark Preservation Law tahun 1965.

Orang-orang New York, yang jelas-jelas pikirannya jauh lebih modern daripada saya ini, begitu sadar akan sejarah dan karakteristik (Genius Loci) kota beserta komponen fisiknya. Bukan saja persoalan “mengenang sejarah dan masa jaya” karena setiap bangunan monumental memiliki kontribusi sejarah dan budaya masing-masing. Melainkan pula bangunan-bangunan monumental, misalnya Kapel St. Paul (1766), The Germania Building (1865), The Educational Alliance (1891), The Bank of Tokyo (1895), Woolworth Building (1913), The Former America Telephone & Telegraph Building (1917), dan sebagainya itu merupakan khasanah pesona sekaligus obyek wisata budaya yang diunggulkan.

Atau negara tetangga kita, Singapura. Menurut catatan Prof. Ir. Eko Budihardjo, M.Sc., dalam Konservasi Arsitektur sebagai Warisan Budaya (1997), Singapura pernah berbuat keliru dengan membongkar bangunan-bangunan kuno untuk memberikan tempat bagi bangunan baru yang serba modern dengan teknologi canggih. Akibat yang kemudian diderita adalah menurunnya turis mancanegara, karena mereka tidak lagi bisa menikmati keunikan yang khas dari Kota Singa. Menyadari hal tersebut digalakkanlah kegiatan pelestarian atau konservasi; baik arsitekturnya (seperti hotel Raffles) maupun lingkungannnya (seperti China Town, Little India dan Kampung Melayu). Biarpun kesadaran tersebut datang terlambat namun hasilnya toh cukup mengesankan. Wisatawan yang berkunjung ke Singapura disuguhkan dengan obyek wisata yang bervariasi, mulai dari yang berwajah kuno sampai dengan yang berpenampilan modern dan pasca modern.

Sementara dalam tulisan Kawasan Kuno Tambang Emas di Perkotaan (1997) Ir. Harry Miarsano, M.Arch., mengatakan, ada tiga keuntungan yang dapat diperoleh dalam upaya penyelamatan yaitu keuntungan budaya, ekonomi dan sosial. Keuntungan budaya diperoleh karena semakin memperkaya sumber sejarah sehingga akan menambah rasa kedekatan (sense of attachment). Keuntungan ekonomi dapat meningkatkan taraf hidup, omzet penjualan, harga sewa, pajak pendapatan dan mengurangi biaya pergantian (replacement cost). Sedangkan keuntungan sosial timbul karena meningkatnya nilai ekonomi dan menumbuhkan rasa percaya diri pada masyarakat.

Tapi barangkali dari sudut struktural, setelah benar-benar dilakukan uji laboratorium, bangunan tersebut sudah tidak kokoh sehingga bisa berbahaya jika dipergunakan. Perobohan bangunan kuno dapat dimaklumi.

Akan tetapi, alangkah baiknya dibangun kembali bangunan yang memiliki karakteristik bentuk yang sama meskipun fungsi (sebagai kantor pusat pemerintahan) berbeda. Di sini renovasi bukan berarti kehilangan esensi dengan cara robohisasi.

Di samping itu, karena gedung tersebut merupakan properti P.T. Timah Tbk., alangkah baiknya keberadaan bangunan tersebut dimusyawarahkan kembali dengan P.T. Timah Tbk., apakah P.T. Timah Tbk. akan merawat dan memperbaiki seperti aslinya sebagai aset sekaligus obyek studi dan obyek wisata sejarah-budaya, ataukah dihibahkan kepada Pemda Kabupaten Bangka Barat untuk dirawat dan dikelola sebagai kantor sekaligus obyek wisata sejarah-budaya, ataukah mungkin dikelola bersama demi identitas, landmark dan prospek pariwisata Kota Muntok yang pernah berjaya sebagai ibukota pertama di Pulau Bangka. Paling tidak, Pemda Kabupaten Bangka Barat tetap menghargai properti orang lain, pemda bisa tetap bekerja sama secara harmonis dengan P.T. Timah Tbk. demi kemajuan Kabupaten Bangka Barat di masa depan dalam bidang wisata sejarah, P.T. Timah Tbk bisa menyadari betapa berharganya bangunan tua yang mereka miliki, dan lain-lain.

Kemudian, penting sekali didiskusikan juga dengan budayawan, sejarawan, arkeolog, arsitek, pemerintah daerah beserta dinas terkait, kaum akademis, lembaga pemerhati bangunan kuno (haritage), dan komunitas-komunitas terkait lainnya guna menyatukan persepsi dan konvensi mengenai bangunan kuno bernilai sejarah dan budaya, tak terkecuali dalam upaya penataan komponen fisik kota dan pelestarian warisan sejarah-budaya. Apalagi sekarang Babel dan kabupaten-kabupaten pemekaran sedang giat membangun. Hanya saja pembangunan dilakukan alangkah baiknya tidak secara sewenang-wenang menggiatkan perobohan bangunan warisan sejarah-budaya, supaya tidak telanjur menjadi keprihatinan bersama seperti yang sempat dialami Singapura.

Terakhir, alangkah baiknya juga kita berpikir, atau katakanlah berandai-andai, bagaimana prospek bekas gedung Kawilasi Timah tersebut serta bangunan kuno lainnya, selain ‘terpaksa’ bersepakat dengan kalimat “dirobohkan saja”. Jangan sampai malah terjadi “robohnya sejarah kami” akibat kebijakan-kebijakan yang serba tergesa-gesa. Semoga tidak terjadi.

*******

*) Meniru judul roman Robohnya Surau Kami karya A.A. Navis


(kupajang di Kompasiana, 27 Juni 2017, mendapat predikat "Headline", dan judulnya diganti menjadi "Sepucuk Surat untuk Bangunan Monumental di Muntok, Bangka")

Sabtu, 20 Mei 2017

Puisi adalah Nafasku!

Seketika saya teringat, beberapa bulan sebelumnya dia berslogan “Puisi adalah Nafasku” bersamaan dengan beberapa pajangan hasil jepretannya sebagai ‘pemberi tahu’ bahwa dia sedang sibuk menggeluti kegiatan  fotografi.

Saya mengenalnya pertama kali ketika acara-acara berpuisi di Balikpapan. Dia bukanlah mahasiswa bidang studi sastra tetapi tertarik untuk berpuisi. Koleksi bacaan puisinya sangatlah minim, apalagi buku berkelas seperti “Tonggak I”, “Tonggak II”, dan seterusnya.

Ketika dia berslogan “puisi adalah nafasku”, tentu saja, sekilas luar biasa. Sayangnya, ketertarikan tersebut tidak dibarengi dengan ketekunan membaca puisi-puisi para penyair berkaliber masa kini atau pula para pendobrak perpuisian Indonesia, apalagi teori-teori puisi. Alhasil, puisi-puisinya tidak memiliki karakter khas sebuah puisi dengan segala kriteria-standarnya, kecuali nuansa jatuh cinta dan protes sosial yang ditulis secara bugil.

Ya, sayangnya, pada saat dia belum juga mampu menghasilkan puisi-puisi berkualitas mumpuni, sudah berpindah fokus ke fotografi, dan memamerkan hasil jepretannya serta begitu luar biasa berslogan “Puisi adalah Nafasku”. Sementara di waktu-waktu lainnya dia sama sekali tidak pernah menampilkan puisi-puisinya, meskipun sekadar sebuah status di beranda FB sebagai bagian dari “nafas” itu. Di situlah keterkejutan saya!

Keterkejutan? Ya, sayang sekali, dia terlalu gegabah berslogan. Dia sangat tidak mendalami arti sebuah kata dan kata lainnya. “Puisi”, dan “nafas”.

Saya pernah mendengar dia membacakan puisinya seperti yang saya sebutkan; “suasana jatuh cinta” dan “protes sosial” yang keduanya ditulis secara bugil alias sama sekali tanpa metafora atau simbol. Tetapi sekian waktu saya tidak pernah menjumpai puisi-puisinya yang benar-benar sesuai dengan pemilihan kata “puisi” dalam slogannya.

Berikutnya, tentu saja kata “nafas”. Makhluk hidup bernafas setiap detik atau waktu melalui alat pernafasannya masing-masing. Artinya, nafas adalah hal terpenting bagi makhluk hidup. Makhluk hidup secara konsisten akan bernafas.

Nah, ketika dia dengan gagah-perkasa berslogan “Puisi adalah Nafasku”, sungguh berlebihan bahkan omong kosong belaka. Dia tidak menghasilkan puisi (tidak perlulah bermutu bagus) setiap detik-waktu, tetapi sudah beralih mendalami fotografi yang hasilnya tidak lebih bagus daripada hasil jepretan para narsisius-selfian.

Lantas saya berpikir, pertama, apakah dia konsisten dalam hidup (bernafas); apakah berpuisi adalah nafasnya, sementara fotografi adalah nafas buatan untuknya? Kedua, apakah dia mengira bahwa menciptakan sebuah puisi berkualitas itu alangkah mudahnya–semudah mengucurkan air seni setelah bangun tidur? Ketiga, belum juga jelas konsistenitas apalagi kualitas puisinya, sudah beralih ke fotografi, apakah dikiranya pula berfotografi itu semudah memotret bunga, gadis cantik, pemandangan, dan beres begitu saja?

Sekian waktu saya berpikir, mengingat puisi sebagian orang muda dalam acara-acara berpuisi atau berdiskusi sastra di Balikpapan, dan akhir saya semakin memahami bahwa sebagian orang muda di Balikpapan cenderung mudah berslogan sebagai upaya gagah-gagahan (istilah di Balikpapan, “pembualan”) tanpa benar-benar memahami bahwa setiap kata dalam sajak atau puisi memiliki makna yang tidak main-main. Padahal, saya sering mengungkapkan kepada mereka–bukan hanya dia–bahwasannya saya selalu mengalami kerepotan serius ketika hendak menciptakan sepucuk puisi yang benar-benar puisi.

Ya, saya selalu terbuka kepada mereka–orang-orang muda di Balikpapan, bahwa selama lebih sepuluh tahun, satu-satunya genre sastra yang paling merepotkan saya adalah puisi. Ibarat sebuah lukisan, puisi adalah juga semacam lukisan abstrak. Bisa dilihat bentuk polesan (garis dan warna), komposisi, dan sekitar rupanya tetapi tidaklah bisa dengan mudah memahaminya dalam satu makna yang telanjang (bugil).

Meskipun saya pernah mengundang dia datang ke Panggung Renung sekaligus mengisahkan sedikit perjalanan berpuisi saya, misalnya ada puisi saya yang masuk nominasi sebuah perlombaan tingkat nasional di Jakarta atau tergabung dalam antologi bersama beberapa penyair terkenal, dan lain-lain, tidaklah kemudian saya dengan gagah-perkasa berslogan “Puisi adalah Nafasku”.

Selain ketidakmampuan saya secara konsisten menghasilkan puisi-puisi bermutu, saya pun harus “menghidupi” jiwa berkesenian saya lainnya, misalnya menulis cerpen, esei, kartun humor, kartun opini, karikatur, mural, dan utamanya adalah seni bangunan (arsitektur sebagaimana ijazah terakhir saya). Saya masih terus berproses dengan semua yang sudah saya “hidupi” itu tanpa perlu nekat (gegabah) berslogan instan nan ugal-ugalan semacam dia bahkan sebagian kawannya.

Pada waktu berbeda saya juga mengenalkan nama seorang penyair yang usianya tidak jauh bertaut dengan dia serta kawan-kawannya, yaitu Mario F. Lawi, yang berasal dari N.T.T., dan menjadi pendobrak kepenyairan Indonesia setelah Joko Pinurbo. Tetapi saya tidak pernah mendengar atau membaca Mario berslogan sedemikian heroik, “Puisi adalah Nafasku”. Lha kok dia yang belum seberapa ujung kukunya Mario, sudah begitu nekat berslogan “Puisi adalah Nafasku”?

Akan tetapi, apa boleh buat. Beginilah realitas saya bergaul dengan sebagian kalangan muda di Balikpapan.

Saya tidak mengerti, seberapa daya ingat dia waktu itu, dan hubungan perpuisian saya dalam antologi bersama dengan beberapa penyair, termasuk penyair yang karyanya tergabung dalam AADC2, yaitu M. Aan Mansyur. Dan, berhubungan dengan Dian Sastro-nya AADC, yaitu Dian Sastro for President ! : The End of Trilogy (Februari 2005). Kalau dia ingat, tentu saja, akan berpikir ulang untuk berslogan “Puisi adalah Nafasku” lalu membuat status Hbs ntn AADC jadi kangen nulis puisi lagi apa masih bisa yah nulis” itu.

Saya terkejut ketika membaca status seorang mahasiswa di Balikpapan pada beranda FB-nya. “Hbs ntn AADC jadi kangen nulis puisi lagi apa masih bisa yah nulis,” tulisnya. Saya berpikir, orang muda ini angin-angin seperti kentut bau atau tidak bau, bukannya nafas.

Tetapi, daripada repot berpikir ketika membaca status medsos-nya, saya langsung saja hapus dari pertemanan. Saya memang paling malas memikirkan slogan kosong semacam tong kosong nyaring bunyinya itu!   

*******
Panggung Renung, 2016

Sabtu, 13 Mei 2017

Ayo Omong Kosong!

Sejak, anggap saja, 1 April 2009 sampai 18 Oktober 2014, baru saya kenal seorang bernama Oji, seperti yang saya singgung dalam tulisan Tidak Mengajari Perihal Tulis-Menulis. Saya tuliskan lagi cuplikannya.

Oji tidak pernah menekuni kegiatan tulis-menulis sejak masa mahasiswa di Yogyakarta. Oji tidak pernah memahami betapa menulis itu sebagai sebuah kerja budaya-intelektual dan layak mendapat ‘penghargaan’ (honor), dan sama sekali tidak pernah menekuni kegiatan tulis-menulis tetapi, kalau berada dalam obrolan sekian orang, Oji selalu berkata, “Ayo nulis!”. Sayangnya, tidak pernah merasakan gaya hidup tulis-menulis apalagi honor, sudah seolah omongannya menjadi “sabda Tuhan”.

Hal lainnya adalah omong kosong Oji “Ayo Membaca!” pada saat obrol sana-sini berkaitan dengan bahan bacaan. Dia selalu menyeletuk begitu. Saya menyebut “omong kosong” karena saya sama sekali belum pernah membaca tulisan keren si Oji, apalagi dengan referensi yang relevan.

Mungkin Oji sudah mengetahui bahwa para penulis hebat membekali diri dengan bacaan. Tetapi, sayangnya, dia tidak memahami bahwa para penulis hebat tidak membekali diri dengan omong kosong. 

Dan Orang semacam Oji ini bukanlah satu-dua orang yang saya kenal di Balikpapan. Usia dan profesinya pun variatif. Di depan kaum muda belia mereka berlagak macam orang sudah mahir membaca dan menulis, padahal persoalan sepele mengenai "di", dan "di-" sebagai apa dalam kalimat saja masih belepotan seperti murid SD belajar mengarang.

Seperti Demun, misalnya juga. Demun mengaku-aku, rajin menulis dan beberapa kali dimuat di media massa lokal. Pokoknya, selangit deh pengakuannya. Kenyataannya, setiap tulisan ditayangkannya, masih saja terlihat jelas bahwa Demun tidak memahami persoalan sepele itu. Sekali saya kritik, Alasannya, "Lupa." Setelah saya lihat beberapa tulisannya, ternyata memang tidak memahami hal itu. Ujung-ujungnya, ya, terpaksa saya anggap angin lalu saja karena jelas tidak berkualitas apa pun! 

Ya, omong kosong. Tapi apalah faedahnya omong kosong tanpa pernah membuktikan celetukan “Ayo Menulis!” dan “Ayo Membaca!”. Mendingan diam, lalu diam-diam menulis, produktif, dan suatu waktu memberi bukti nyata.  

Begitulah. Jangankan rajin mengikuti arena pertarungan tulisan, melakukan praktik secara konsisten saja hanya bisa omong kosong, Eh, padahal Oji dan kawan-kawannya masih segar-bugar lho. Mata masih bisa membedakan antara cantik dan buruk rupa; antara paha dan dada; antara ribu dan juta. Kalau ditantang berkelahi, pasti mereka maju dengan sangat berani. Ya, mereka belum pikiun atau terkena stroke!

Tetapi, ya, sudahlah. Tidak usah saya pikirkan dan ungkapkan secara rinci. Cukuplah. Cukuplah untuk saya sendiri, dengan konsistenitas berkarya, dan membuat beberapa buku saya. Saya mewujudkan-membuktikan, bukan hanya wacana-rencana alias omong kosong doang (omdo).

Ayo, masih mau cuma omong kosong pada saya?!

*******

Panggung Renung Balikpapan, 14 Mei 2017