Sabtu, 29 Februari 2020

Virus Corona dan Infeksi Pemikiran

Virus Corona yang berkode 2019-nCoV sudah sampai di manakah sejak muncul di Kota Wuhan, China pada akhir Januari 2020? Benarkah jangkauannya sudah melampaui 50 negara, bahkan singgah ke Vatikan pula tanpa menengok Indonesia sekejap pun?

Sementara binatang yang menjadi vektor atau perantara penyakit pneumonia dengan korban jiwa mencapai ribuan ini belumlah jelas. Awalnya kelelawar. Berikutnya trenggiling. Entah apa lagi nanti, di samping isu seputar proyek “senjata biologi”.


Saya tidak mengetahui kebenaran dari semua kabar tentang Covid-19 itu. Saya pun tidak tertarik untuk menelaahnya lebih jauh, dalam ataupun tinggi. Saya bukanlah ahlinya.

Yang jelas, kabar mengenai virus penyakit saluran pernapasan yang menghebohkan setelah SARS dan MERS pun tidak terlepas dari upaya sok tahu segelintir tokoh masyarakat yang sama sekali bukan ahlinya, dan upaya nakal para pemalsu kebenaran melalui berita ataupun ujaran hoaks untuk suatu kepentingan. Memang bertambah runyam urusan 2019-nCoV ini.

Saya tidak mau andil dalam kerunyaman. Saya hanya mau mengatakan bahwa saya perlu berhati-hati dalam persebaran kabar, dan tidak sembarang bersepakat dengan pernyataan orang yang tidak ahli, khususnya tulis-menulis.

Ya, ini berkaitan dengan tulis-menulis. Tidak berbeda ketika saya belajar lebih suntuk mengenai kartun, misalnya kartun humor, kartun opini, kartun politik, karikatur, dan lain sebagainya melalui beberapa buku dan media, meskipun saya sudah bisa menggambar setelah mengikuti bimbingan belajar menggambar di Bandung pada 1991.

Saya belum selesai belajar. Saya masih perlu membaca tulisan-tulisan atau pernyataan-pernyataan yang benar dari para ahli mengenai tulis-menulis. Duduk di depan komputer jinjing yang tengah menayangkan sajian internet merupakan bagian dari ritual pembelajaran saya.

Saya belum selesai berlatih. Saya masih perlu menulis, bahkan dengan genre apa pun untuk meluweskan hubungan antara otak dan jari saya. Duduk dan mengetik pun masih menjadi bagian keseharian saya.

Saya belum selesai mengikuti “ujian” setelah belajar dan berlatih. “Ujian” itu, salah satunya, adalah lomba atau kompetisi. Lomba, apalagi tingkat nasional, merupakan bagian yang sangat penting untuk menguji kemampuan saya setelah belajar dan berlatih secara autodidak.

Belum selesai. Kapan "sudah selesai"? Stroke, hilang ingatan, atau mati.

Oleh sebab itu, selagi "belum selesai", saya selalu menolak anggapan bahwa saya sudah mahir menulis, apalagi distempel “penulis” bahkan “ahli”. Saya tidak suka gegabah atau takabur dengan pernyataan-pernyataan yang cuma sok tahu mengenai tulis-menulis. Sedangkan semua pencapaian dalam kompetisi cukup-lah untuk mengisi biodata saya.

Saya malah tidak mengerti, mengapa sebagian orang bisa mendadak beranggapan bahwa saya sudah begini-begitu dalam tulis-menulis. Padahal, sejujurnya, saya justru khawatir kalau anggapan itu salah besar, menyebar, menular, bahkan menginfeksi pemikiran banyak orang seperti wabah virus Corona.   
*******
Beranda Khayal, 29-2-2020

Belajar dari Yudi pada Musuh Terbesar Pancasila


Masih ingatkah pada sebuah pernyataan “musuh terbesar Pancasila itu agama” yang mendadak menjadi kegaduhan warganet pada 12 Februari 2020?

Pernyataan itu disampaikan oleh Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Prof. Drs. K.H. Yudian Wahyudi, M.A., Ph.D. kepada Detik. "Jadi kalau kita jujur, musuh terbesar Pancasila itu ya agama, bukan kesukuan," ucap Rektor Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Jogjakarta ini.

Padahal, sila ke-1 saja sudah jelas, "Ketuhanan yang Maha Esa". Bagaimana bisa “musuh terbesar Pancasila itu agama”, 'kan?

Kemudian, melalui akun Twitter pada 14/2, Yudi mengklarifikasi pernyataannya. Sia-sia, karena pernyataan “musuh terbesar Pancasila itu agama” telanjur menggaduhkan jagat media internet.
  
Akan tetapi, hikmat apa yang saya peroleh dari hal tersebut?

Begini. Salah tik (saltik), typo, kontradiksi, atau keliru kata dalam pernyataan bukanlah persoalan sepele bagi seseorang yang berambisi disebut sebagai penulis. Bukan persoalan ahistoris atau tuna-sejarah, melainkan arti sebuah kata, pemilihan kata (diksi) dan penggunaan frasa harus benar-benar dipahami terlebih dulu.

Memilih kata "musuh", "terbesar", dan "agama" yang berkaitan dengan Pancasila merupakan kekeliruan yang fatal. Seseorang yang sudah bergelar profesor, berposisi akademisi sebagai rektor di sebuah kampus berbasis agama, dan menjadi pejabat publik ber-Pancasila pun bisa begitu fatal memilih kata, apalagi yang hanya sarjana S-1 di bidang Teknik dan "bukan siapa-siapa" semacam saya ini.

Meski bukan penulis ataupun tidak pernah berambisi menjadi penulis, saya berusaha dengan baik untuk memahami bahwa pilihan hobi tulis-menulis tidaklah serta-merta membebaskan saya dalam pemilihan kata dan seterusnya. Setiap kata memiliki arti atau makna, bahkan "kekuatan", maka keliru kata bisa mengacaukan maksud yang ingin saya sampaikan.

Saya pun berusaha dengan keras untuk menulis atau menggunakan aksara sebagai juru bicara saya dengan berhati-hati. Sebelum benar-benar memahami sebuah kata, apalagi kalimat hingga sebuah tulisan yang utuh, membaca dan mendengar obrolan para penulis merupakan hal yang paling awal saya lakukan.

Maklum saja-lah, selama puluhan tahun alat komunikasi yang biasa saya gunakan adalah gambar. Kebiasaan menggunakan bahasa gambar alias getol mendayagunakan otak kanan memang bertolak belakang dengan bahasa tulisan yang lebih mengutamakan aktivitas otak kiri.

Tidak perlu heran jika dalam sepucuk tulisan, bahkan tulisan-tulisan di blog ini masih terdapat kekeliruan kata. Saya tidak boleh mengklaim bahwa semua kata yang saya sampaikan dalam bentuk sepucuk tulisan telah tepat dan tanpa cela.

Dan, dengan munculnya pernyataan Yudi, seakan seketika saya berhadapan dengan sebuah cermin. Saya merasa wajib mengakui bahwa saya belum selesai dalam pemahaman kata. Saya juga bisa sembrono dengan melakukan kekeliruan yang senada. Tidak sedikit orang yang membaca tulisan ataupun status di akun media sosial saya justru terjadi kesalahpahaman.

*******
Beranda Khayal, 29-2-2020

Jumat, 28 Februari 2020

Kondisi Ekonomi dan Bersyukur


Mapan ekonomi itu menyenangkan. Kebutuhan hidup sekeluarga selalu terpenuhi, bahkan berlebihan hingga kebutuhan mati pun tidak perlu dipikirkan lagi.

Sayangnya, saya tidak pernah mapan dalam hal ekonomi. Mungkin belum atau memang sudah takdir saya. Tidak usah-lah bertanya sampai ke Langit, karena hanya “usaha menjaring angin”.

“Usaha menjaring angin”, maksudnya apa?

Dalam ketidakmapanan itu justru saya terbiasa mengalihkannya dengan hobi. Sejak masa pubertas yang aduhai alias SMA (10 Juni 1987) saya belajar menyiasati “kekurangan”, dimana saya telah “terpisah” dari orangtua, tanpa kendaraan pribadi, dan uang bulanan yang minimalis (Rp60.000,00 / bulan dengan biaya kamar kos sebesar Rp15.000,00 / bulan) tanpa “kekurangan” atau meminta tambahan kepada orangtua setiap akhir bulan.

Seorang kawan yang juga perantau dari Lampung lebih beruntung dengan jatah bulanan yang lebih dari Rp80.000,00. Paling beruntung, ya, kawan yang berasal dari Medan dengan jatah bulanan melebihi Rp150.000,00.

Pada masa itu, meski mengetahui “jarak” angka yang "lumayan", saya tidak pernah iri atau kecewa pada orangtua saya, apalagi sebelum masuk Kelas I SMA, bapak saya mengalami kecelakaan yang parah. Saya telah belajar bersyukur, dan berterima kasih kepada orangtua yang mau menyekolahkan saya ke luar daerah, bahkan Kota Pelajar.

Memang, sih, ketika masa SMA ataupun kuliah berarti saya hanya mengurusi kebutuhan saya sendiri. Akan tetapi, dengan minimalisnya keuangan sehingga riskan untuk bepergian alias tetap berada di kamar kos itu justru membuat saya tekun belajar dan berlatih dalam kemampuan hobi saya. Menggambar dan menulis, minimal menulis cerpen khas remaja pada tahun itu.

Entah bagaimana seandainya jatah bulanan saya dulu berada dalam angka yang besar, bapak saya tidak mengalami kecelakaan, dan ekonomi orangtua tergolong kaya. Mungkin saya akan lebih sering berada di luar indekos, dan asyik dengan pergaulan pubertas yang tengah ganas.

Sebagian kenyataan itu-lah yang saya maksudkan dengan kalimat “usaha menjaring angin”. Dalam “kekurangan”, saya bisa tekun belajar dan berlatih secara autodidak di kamar kos.

Sekian tahun kemudian situasinya jauh berbeda. Saya tidak sendiri. Saya seorang kepala rumah tangga. Bagaimana saya menjalani kewajiban, terutama mencari nafkah, sedangkan hobi sama sekali tidak bisa saya andalkan?

Saya tetap berusaha, meski lebih tiga kali saya hanya menuai kerugian keuangan yang cukup besar gara-gara berteman dengan orang-orang yang selalu mencari untungnya sendiri. Usaha saya pun masih nihil lho!

Memang berat realitas ini, tetapi saya tidak boleh "angkat tangan-kaki", “mundur” atau “keluar” dari kancah pertaruhan nasib. Waktu-waktu yang luang tetap perlu saya siasati untuk berkarya, belajar, dan berlatih terus-menerus.

Dalam kondisi ekonomi yang minimalis, saya pun harus mensyukuri hobi, bahkan talenta, yang turun dari Langit. Saya optimistis bahwa Langit tidak pernah terlena dan terlelap. Hanya saja, mungkin pertanyaannya adalah “kapan”.

“Kapan” adalah urusan Langit. Dalam hal bidang pekerjaan saya sebagai arsitek ataupun tenaga pelaksana pembangunan, saya tidak akan mengurangi kemampuan dengan diam-diam malah meningkatkan permintaan (hak) atau melakukan tindakan tercela. Biarlah Langit yang selalu menaungi hidup saya sekeluarga.

Dan, memang, seandainya ekonomi mapan dengan tabungan berisi angka miliaran hingga triliunan rupiah, saya bisa leluasa meningkatkan kemampuan hobi saya, menambah koleksi buku bermutu internasional, mengajak pertemuan di restoran-restoran papan atas dengan tokoh-tokoh terkenal, bahkan mengembangkan “bisnis” penerbitan sampai sepuas hati saya. Pokoknya, bisa petentang-petenteng dengan lagak-gaya borjuis deh.

Akan tetapi, ya, berandai-andai itu cukuplah, karena realitas tidak perlu saya pungkiri, dan bersyukur tetaplah menjadi kewajiban yang disadari. Bukankah Langit selalu melihat saya, apakah saya mampu bersyukur ataukah tersungkur sembari menggerutu melulu sampai saya mati kelak?

*******
Beranda Khayal, 29-2-2020

Ketika Genre Mengakomodasi Gagasan


Gagasan selalu ada, dan sering kali saya menemukannya hanya ketika bangun tidur. Tinggal bagaimana “kecenderungan” dan “suasana hati” (mood) menarik setiap jemari saya untuk membuat himpunan garis (gambar) atau aksara (tulisan).

Suatu himpunan hanya pengganti dari kata “genre”. Kalau dalam aksara, ya, misalnya puisi, prosa, esai atau opini, gombal, dan seterusnya. Kalau dalam garis, ya, misalnya kartun, sketsa, atau sekadar menuangkan gagasan yang singgah.


Saya jarang sekali dilupakan oleh gagasan, terlebih ketika usai menyeruput secangkir kopi. Hanya saja, setiap gagasan mendadak singgah, belum tentu saya mampu merampungkannya menjadi sebuah karya dalam sekejap.

Puisi, misalnya. Terkesan sepele, bisa dengan beberapa baris dan bait. Saya bisa "bersembunyi" dengan metafora untuk mengungkapkan sesuatu, memainkan rima, dan menyusun dalam baris dan bait agar bisa menjadi sepucuk puisi.

Akan tetapi, apakah tulisan yang saya anggap sebagai puisi itu memang patut disebut puisi?

Cerpen, misalnya lagi. Saya perlu memahami definisi cerpen dan seluk-beluknya, sehingga saya bisa menyebut tulisan saya bergenre prosa.

Akan tetapi lagi, apakah tulisan yang saya anggap sebagai cerpen itu memang patut disebut cerpen?

Lalu tulisan atau gambar, yang saya gunakan untuk mengakomodasi gagasan saya. Apakah gagasan saya berhasil “mengendarai” genre-genre itu?

Mau-tidak mau saya tetap kembali pada konvensi mengenai puisi, prosa, sketsa, kartun, dan lain-lain. Saya menghindar dari jebakan “klaim pribadi”, meski tetap saja saya mengakomodasi gagasan saya sesuka-suka saya.

Kebetulan saya telah melewati masa “mencari jati diri” atau ketenaran. Jebakan ketenaran atau pengultusan diri alias berhala diri telah saya sadari, dan saya akan selalu menghindari dari setiap jebakan di antara masa-masa berkreasi saya.

Dengan kesadaran sebagai “bukan siapa-siapa”, saya tidak usah merecoki diri sekaligus membebani diri saya untuk mengakomodasi gagasan ke genre-genre yang saya pilih tanpa menolah-noleh pada dakwaan atau vonis siapa pun. Saya merdeka dengan pilihan saya dalam gambar dan tulisan.

Demikianlah karya berbentuk garis dan tulisan yang kemudian terkumpul dalam buku-buku tunggal saya. Kumpulan puisi, cerpen, gombal, esai, kartun, dan lain-lain merupakan bukti yang nyata, meski saya kerjakan semua dengan keterbatasan saya.

Dengan keterbatasan-keterbatasan yang manusiawi, saya kerjakan semua menjadi buku tanpa beban “palsu” (dakwaan atau vonis dari banyak kalangan). Dan sebenarnya saya hendak mengatakan bahwa Anda juga mampu, bahkan lebih mampu melakukannya.

*******
Beranda Khayal, 29-2-2020

Kepekaan Menangkap Gagasan


Gagasan, ide, inspirasi, atau ilham bukanlah sesuatu yang langka. Setiap bangun tidur, gagasan selalu menyambut pikiran yang baru terbuka, baik dari rencana kemarin-kemarin maupun dari mimpi alias “bunga tidur” yang “mengusik” dan “menjejak”.

Bukan hanya dari yang telah direncanakan atau yang mendadak muncul dalam nyenyak tetapi “menjejak”, melainkan pula dari “sesuatu” yang seketika menyambut pikiran. Suara, aroma, rasa, kondisi, dan segala sesuatu yang “ditangkap” oleh pancaindera bisa menjadi gagasan.

Kepekaan pancaindera menjadi bagian yang sangat sederhana tetapi penting dalam pengolahan dan pengelolaan gagasan. Tidak perlu menunggu “gagasan cemerlang” yang bakal menghebohkan jagat tulis-menulis. Tinggal bagaimana menuliskannya.

Begitulah. Rencana, mimpi, dan segala yang seketika “ditangkap” oleh pancaindera merupakan gagasan-gagasan yang paling awal. Mudah saja, ‘kan?

Selanjutnya ialah kabar, berita, karya tulis orang lain, atau aneka situasi di luar diri yang sekadar lewat, singgah, atau menjadi bagian dari gagasan “paling awal”. Kemudian keluar dari rumah atau zona pribadi. Hal-hal semacam ini pun kembali kepada kepekaan, baik kepekaan personal/individual (untuk diri sendiri) maupun kepekaan sosial (untuk khalayak di luar diri).

Nah, kalau kepekaan diterapkan sepanjang waktu, apakah gagasan merupakan sesuatu yang langka?

*******
Beranda Khayal, 28-2-2020

Tulis-Menulis Saja


Saya lebih menyukai tulis-menulis daripada “bersastra”. Tulis-menulis lebih luwes daripada bersastra, karena tidak semua tulisan (karya tulis-menulis) “wajib” disebut sebagai karya sastra.

Kesukaan saya ini berdasarkan tulis-menulis dan tulisan itu sendiri. Udaran atau umbaran rasa yang tertulis pun merupakan tulisan; tidak perlu dipaksakan sebagai karya sastra yang cenderung menggunakan kaidah-kaidah atau norma-norma tertentu.

Maklum saja-lah, latar pendidikan saya bukanlah Program Studi Sastra. Buku koleksi saya tidak semuanya adalah buku sastra. Pergaulan sehari-hari saya pun bukanlah di lingkungan sastrawan. Saya pun enggan menjerumuskan diri beserta tulisan saya ke ranah sastra dan sastrawan.

Contoh paling gamblang adalah tulisan-tulisan di JPS yang jelas sekali bukan “Jaringan Penulis Sastra” ini. Saya tidak perlu merepotkan diri dengan tulisan yang berkoridor sastra. Apa yang singgah di kepala, itulah yang saya tuliskan.

Ya, tulis-menulis saja-lah. Suka-suka saja-lah. Semau-maunya saja-lah. Sebebasnya saja-lah. Jangan peduli sebutan. Jangan peduli stempel. Saya hanya mau menikmati pembelajaran dan pelatihan ini dengan santuy untuk saya sendiri.

Sementara pada kesempatan lain ada satu-dua tulisan saya masuk ke ranah sastra, tentu saja, itu saya sengaja setelah memahami genre sastranya. Akan tetapi, mustahil tulisan ecek-ecek semacam ini saya klaim sebagai puisi, ‘kan?

*******
Beranda Khayal, 28-2-2020

Kamis, 27 Februari 2020

Berbagi Apa dalam Komunitas?


Istilah “berbagi” merupakan hal yang terlalu sering muncul, terutama sejak era internet berlari kencang dengan aneka media sosial. Istilah satu ini pun seakan membelok ke arah “pamer” kebaikan, sehingga sebagian menjadikannya sebagai upaya menaikkan martabat masing-masing.

Ketika masih aktif sebagai aktivis pers kampus, saya selalu berbagi “ilmu kartun” dengan adik-adik angkatan. Mau pagi berjumpa pagi pun saya sanggupi. Yang penting, mereka benar-benar belajar, meningkatkan pengetahuan sekaligus kemampuan menarik garis, dan berproduksi dengan konsisten.

Ketika itu juga saya belajar tulis-menulis secara diam-diam, karena tulisan saya pernah “ditertawai” oleh “senior”, dan saya mau menulis sesuka-suka saya sendiri. Tentu saja saya belajar tanpa pembimbing. Salah satu cara saya adalah rajin membaca, dan nekat mencoba.

Dan, ketika semua kembali ke bangku kuliah lalu satu per satu lulus, termasuk saya, entah bagaimana kelanjutannya. Saya tidak bisa memantau kreativitas dan konsistensi mereka karena saya tidak menemukan karya mereka di media massa, kecuali seorang “senior” yang tulisannya saya baca di Menjalah Pantau.

Pada masa itu saya tidak pernah membaca atau mendengar istilah “berbagi”. Saya hanya melakukan sebuah tanggung jawab pribadi-sosial untuk peduli pada adik-adik. Itu saja, sih.

Istilah “berbagi” saya jumpai di Balikpapan dengan sebuah komunitas. Kebetulan kapasitas dan konsistensi saya cukup memadai, baik menggambar maupun menulis. Maka sekitar empat tahun saya mengikuti kegiatan mereka dengan kemasan “berbagi”.

Akan tetapi, saya tidak peduli, mau “berbagi” atau apalah. Semangat “aktivis pers kampus” yang saya bawa. Kalau mau saya ajarkan, mari bertemu dengan saya.

Selama empat tahun akhirnya saya benar-benar jenuh dengan “berbagi”. Bukan berarti saya enggan membagikan “ilmu” saya, khususnya dalam tulis-menulis.

Hal pertama yang menjenuhkan saya adalah semangat para pembelajar yang tidak konsisten dalam ketekunan dan berkarya. Saya merasa segala upaya dan daya saya hanya berujung kesia-siaan.

Hal kedua adalah ketiadaan “ruang” di media lokal untuk mengakomodir sekaligus meregenerasi para penulis. Kalaupun ada “ruang”, berikutnya “tanpa uang” alias tanpa honor. Wajar saja kalau sebagian orang muda tidak konsisten, karena apa gunanya menulis tanpa mendapat hak intelektual, ‘kan?

Hal ketiga adalah prinsip berkarya, berhonor, dan beregenerasi di lingkup lokal terbih dulu dalam pola pikir saya tidak mendapat kepedulian di kalangan rekan komunitas. Ada lagi, ketika perihal hak intelektual bagi kontributor karya berupa buku yang tidak disepakati oleh mereka.

Hal keempat adalah adanya oknum komunitas yang “menunggangi” kegiatan “berbagi” untuk “menaikkan martabatnya, padahal oknum ini sama sekali tidak memiliki kapasitas, kompetensi, dan konsistensi dalam tulis-menulis. Saya sampai jengkel setengah mati!

Keempat hal di atas akhirnya berhasil “menggoyahkan” kepedulian saya. Saya pun introspeksi. Ya, saya bukan siapa-siapa dengan latar pendidikan yang tidak relevan. Mereka memang “siapa-siapa” karena warga lokal.

Ya, sudah-lah. Saya pergi saja, dan memilih berkarya sendirian.

Keputusan untuk menyendiri dan berkarya sendiri ternyata didakwa oleh sebagian orang sebagai keputusan yang egois-tidak mau "berbagi". Dakwaan "egois" ini, menurut saya, termasuk konsekuensi atau risiko. 

Konsekuensi atau risiko yang bagaimana?

Menulis merupakan kegiatan individual atau "seorang diri". Saya tidak leluasa kalau menulis bersama sekian orang, karena cenderung kegiatan berubah menjadi ngobrol, diskusi, dll.

Mereka yang tidak pernah benar-benar suntuk dalam tulis-menulis, tentu saja, tidak memahaminya. Kalau saya jelaskan, apa gunanya? Pola pikir selalu berbeda sejak awal, saya tidak mau merepotkan diri dengan "apa gunanya".

Yang saya pedulikan adalah berkarya, dan selalu mengolah pemikiran saya, meski saya "bukan siapa-siapa" tanpa sebuah komunitas. Dengan semangat “bukan siapa-siapa” saya lebih leluasa untuk berkarya, bahkan saya nekat membuat buku-buku kumpulan karya saya sendiri yang sampai 2019 berjumlah lebih dari 15 buku.

Dengan buku-buku karya tunggal saya lebih leluasa bergerak, baik berdagang maupun “berbagi” secara gratis kepada siapa yang saya mau berikan. Semua saya lakukan sesuka-suka saya tanpa perlu merepotkan diri dengan istilah “berbagi”.

Apakah saya masih enggan "berbagi"?

Dakwaan atau vonis bukanlah untuk saya pikirkan. Saya tidak mungkin bisa menyenangkan siapa pun. Dan sibuk memikirkan hal-hal semacam itu justru cenderung kontra-produktif.

Silakan saja siapa pun mendakwa, memvonis, atau memfitnah. Teras rumah saya terbuka untuk ngobrol. Ngobrol saja tanpa perlu dikemas dengan istilah "berbagi". 

*******
Beranda Khayal, 27-2-2020

Selasa, 25 Februari 2020

Belajar dari Sitti yang Berenang Bisa Hamil

Saya sempat tertegun ketika membaca sebuah berita bahwa kehamilan bisa terjadi ketika seorang wanita berenang dengan laki-laki di kolam renang. Pelajaran mengenai “pembuahan” telah saya pelajari di bangku Kelas V SD dalam mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA), di bangku SMP dalam pelajaran Biologi, dan di bangku SMA hingga tamat karena jurusan A1/Fisika juga terdapat mata pelajaran Biologi, mau-tidak mau menegunkan saya mengenai berita itu.

“Kehamilan,” kata Komisaris Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) bidang Kesehatan, Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif (NAPZA) Sitti Hikmawatty, “tidak menutup kemungkinan dialami seorang wanita yang sedang berenang dengan laki-laki di kolam renang. Kehamilan yang berindikasi dari kolam renang ini sebagai contoh hamil tak langsung (bersentuhan secara fisik). Pertemuan yang tidak langsung misalnya, ada sebuah mediasi di kolam renang. Ada jenis sperma tertentu yang sangat kuat, walaupun tidak terjadi penetrasi, tapi ada pria terangsang dan mengeluarkan sperma, dapat berindikasi hamil.”

Mengenai hamil tersebut, Sitti mengaku bahwa dirinya mendapat referensi dari sebuah jurnal.Saya dapat referensi dari jurnal luar negeri. Nanti saya kirim jurnalnya,” ujarnya kepada wartawan TribunJakarta di kantornya, Jumat siang, 21/2.

Pernyataan alumnus Akademi Ilmu Gizi Bandung, D-IV Gizi Klinik di Universitas Indonesia, S-2 (2007 -2011) untuk program studi Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) di Universitas Negeri Jakarta, dan periode 2017-2022 merupakan komisaris di lembaga milik pemerintah itu seketika disambut olok-olokan netizen, bahkan sampai dimuat di media asing (23/2). Meskipun kemudian (23/2) Sitti mengklarifikasi bahwa pernyataannya merupakan pernyataan pribadinya, dan Sitti meminta maaf atas pernyataannya, toh olokan beserta “hujatan” telanjur membahana.

*
Saya tidak perlu merepotkan diri dengan mengkritisinya secara mendetail. Saya kembalikan pada diri saya sendiri, dan jujur pada diri sendiri, terlebih pelajaran Mengarang sudah diperkenalkan sejak di bangku SD dan pesatnya internet memudahkan siapa pun memahami tentang tulis-menulis.

Seandainya suatu waktu saya membuat pernyataan tentang karya, tulisan , dan sekitarnya, tetapi ternyata keliru sehingga menuai olok-olokan juga, bagaimana, ya?

Misalnya pernyataan saya benar-benar tidak masuk akal alias konyol. Pernyataan saya sampaikan di sekretariat komunitas. Lalu saya menyebut kata “referensi” dan “menjanjikan” tetapi tidak ada buktinya.

Lantas, bagaimana tanggapan orang-orang?

Paling tidak, latar pendidikan akhir saya (S-1, Sarjana Teknik Program Studi Arsitektur) akan menjadi bahan tanggapan, bahkan lelucon dan olok-olokan. Lalu orang-orang mempertanyakan tentang posisi dan kompetensi saya di komunitas. Lalu orang-orang “meragukan” kapasitas saya dan komunitas. Lalu, bagaimana nanti nasib komunitas gara-gara keberadaan saya yang tidak kompeten. Lalu, lalu, dan seterusnya.

*
Tidak mustahil jika suatu waktu saya bisa “tergelincir” dengan membuat pernyataan yang konyol sekaligus menghebohkan jagat tulis-menulis seperti pernyataan Sitti tadi. Tentu saja sangat memalukan dan memilukan bagi komunitas, selain diri saya sendiri, ‘kan?

Oleh sebab itulah saya tidak berani berbuat konyol dengan pernyataan yang “lucu” bisa mengontaminasi komunitas. Saya memilih dengan “menyendiri” dan membuat JPS ini merupakan sikap kritis saya terhadap kapasitas dan kompetensi saya sendiri. Konsekuensi adalah bagian terpenting yang selalu siap saya terima.

*******
Beranda Khayal, 25-2-2020

Minggu, 23 Februari 2020

Agenda Kegiatan dalam Berkomunitas


Komunitas adalah sekelompok orang yang begini-begitu dan seterusnya. Dan banyak komunitas. Saya malas untuk menyebutkan satu per satu.

Saya pun pernah berkomunitas, khususnya di Balikpapan. Sejak Oktober 2014 saya tidak mau lagi berkomunitas, terlebih saya hanya pendatang dan pemikiran saya ternyata sangat tidak penting.

Dari pengalaman saya berkomunitas, satu hal yang sering kali dilewatkan adalah agenda kegiatan yang bisa menjadi suatu indikasi tentang proggresivitas sebuah komunitas. Kalaupun memiliki agenda, sekadar rutinitas, dan tidak ada pengembangan sama sekali.

Agenda bisa disusun untuk satu bulan sampai satu tahun. Agenda bulanan berkaitan dengan kegiatan mingguan. Agenda per tiga atau enam bulan berkaitan dengan kegiatan lebih besar, semisal dalam rangka hari nasional. Dan agenda tahunan, minimal, dalam rangka hari ulang tahun daerah.

Memang, masih banyak agenda yang bisa diolah-kelola. Itu pun harus disepakati bersama sebagai tahapan proggresivitas komunitas, agar terhindar dari rutinitas yang monoton dan menjenuhkan anggota.

Ambil contoh “kelas menulis”. Pertemuan dilakukan saban minggu. Apakah sekadar bertemu dan membahas karya? Tidak adakah pencapaian yang lebih dari sekadar itu, misalnya “membacakan karya” dengan sebaik-baiknya? Dan sampai tiga bulan, adakah evaluasi yang perlu dilakukan sebagai tahap refleksi atas kegiatan yang dilakukan berminggu-minggu itu?  

Selama terlibat dalam kegiatan komunitas, saya belum menemukan adanya agenda yang terolah, tersusun, terkelola, dan terwujud dengan optimal. Sementara gagasan atau pemikiran saya pun sama sekali tidak mendapat tempat dalam diskusi. Rutinitas dan kejenuhan menjadi ujung yang tidak bisa saya hindari.

Mungkin salah satu alasan krusialnya adalah dana dan “modal diri”. Persoalan sebenarnya lebih kepada kesadaran anggota komunitas; apakah mereka mau maju secara bersama ataukah sekadar eksistensial dalam geliat komunitas yang ramai di jagat media sosial.

Ya, sebagian anggota yang sudah berpenghasilan finansial masih “pelit” berbagi dalam komunitasnya sendiri, minimal kas komunitas. Sementara anggota yang belum berpenghasilan, masih juga belum memanfaatkan “modal diri” (skill, kemampuan), dan kurang berinisiatif.

Dana berbentuk keuangan komunitas memang sangat penting untuk menghidupkan komunitas dan menjalankan agenda-agenda kegiatan. Akan tetapi, “modal diri” pun tidak kalah penting untuk itu. Orang berduit belumlah berarti memiliki inisiatif yang kreatif, dan orang kurang berduit justru bisa berpikir dan bertindak kreatif.

Selama saya berkecimpung dalam sebuah komunitas, persoalan dana dan “modal diri” tidak pernah mendapat porsi yang proporsional dalam solusi yang saling menggairahkan bersama. Alasan yang sering kali saya dengar adalah “sibuk”. Kalau sudah begitu, saya sendiri yang kelimpungan memikirkan kelanjutan berkomunitas dan kesinambungan berkegiatan.

Oleh karena itu, akhirnya saya tidak tertarik untuk berkomunitas lagi. Saya tetap mengasah kemampuan saya sendiri dan membuat agenda sendiri, meski keuangan sering mengalami pasang-surut. Paling tidak, “modal diri” selalu tersedia, karena hanya itu yang bisa saya olah-kelola dan wujudkan.

*******
Beranda Khayal, 24-2-2020

Lakukan Saja Sendiri


Kegiatan tulis-menulis merupakan salah satu hobi bagi siapa pun yang bukan jurnalis, panitera, atau penulis profesional. Saya juga menjadikan kegiatan satu ini sebagai hobi, karena bidang saya adalah merencana, merancang, dan melaksanakan terwujudnya sebuah bangunan.

Setiap orang memiliki hobi yang berbeda-beda, dan mengolah-kelola waktu luang dengan cara masing-masing. Oleh karena itu saya tidak bisa mengajak orang lain untuk memiliki hobi yang sama dengan saya.

Saya melakukan saja sendiri tanpa perlu merepotkan diri dengan mengajak, menganjurkan, atau mengompori orang lain, meski pernah terlibat (2009-2014) dalam sebuah komunitas yang sebagian anggotanya sering mengajak, menganjurkan, dan mengompori orang lain untuk menggemari tulis-menulis. Untuk konsisten saja sudah cukup menyita perhatian, tenaga, uang, dan waktu, apalagi kalau nekat mengajak orang lain.

Tidak ketinggalan anjuran untuk mengikuti kompetisi tulis-menulis, baik pemuatan media massa di daerah lain atau nasional maupun perlombaan terbuka. Karena hobi yang dilakukan secara autodidak, mau-tidak mau, kompetisi menjadi bagian terpenting untuk menguji kemampuan atau hasil dari autodidak itu.

Persoalan utama yang saya temui dalam komunitas yang "mengajarkan" perihal tulis-menulis di Balikpapan adalah mayoritas anggotanya tidak konsekuen, apalagi konsisten, menjadikan diri mereka sebagai contoh hidup-nyata. Kalau hanya menganjurkan atau mengompori, mudah saja dilakukan.

Sudah begitu, bagaimana selanjutnya dengan karya (tulisan)? Mau dijadikan bahan obrolan saja ataukah apa?

Kegiatan tulis-menulis pun, bagi saya, tidak cukup sampai pada karya (tulisan), melainkan terabadikan dalam buku yang saya biayai sendiri, kecuali kumpulan kartun yang mendapat donasi dari pihak lain. Puisi, cerpen, esai, dan lain-lain menjadi buku-buku kumpulan karya tunggal sejak 2016-2019.

Dengan apa yang saya mampui, semua buku saya olah-kelola sendiri hingga, mau-tidak mau, saya harus mengeluarkan biaya untuk memiliki penerbit berbadan hukum sendiri pada 2018 karena berkaitan dengan standar literasi dalam bentuk ISBN.

Tulis-menulis memang hobi individual. Alat tulis dan seorang diri. Tidak perlu membuat sebuah tulisan dengan keroyokan. 

Dan, saya menikmati hobi satu ini tanpa perlu merecokinya dengan ambisi menjadi terkenal dan kaya-raya. Apa adanya saja-lah.

*******
Beranda Khayal, 23-2-2020

Sabtu, 22 Februari 2020

Masih Belajar Menulis


Suatu hari akun media sosial saya diajak bergabung ke sebuah grup yang berkaitan dengan karya sastra. Serta-merta saya menolaknya, karena nama grup itu sangat tidak serius. Di samping itu, si pengajak belum konsisten dan konsekuen dalam berkarya sastra.

Sudah saya tolak, beberapa hari kemudian saya diajak bergabung lagi. Tentu saja saya menolak lagi.

Apakah saya angkuh gara-gara menolak ajakan tersebut?

Jujur saja, saya tidak bisa bergabung dengan sekelompok orang yang tidak konsisten dan konsekuen dalam berkarya sastra, atau tulis-menulis. Saya lebih suka bersendiri saja, dan saya telah membuat kelompok sendiri, yaitu Jaringan Penulis Sendirian (JPS).

Bagi saya, berkarya sastra atau berkegiatan tulis-menulis merupakan kegiatan belajar, berlatih, dan berproduksi. Saya sendiri masih terus belajar secara diam-diam. Kalau tidak belajar pada sastrawan atau penulis lainnya yang mumpuni, paling tidak, ya, belajar pada media internet, semisal pusat pembinaan bahasa Indonesia.

Meski bidang pendidikan akhir adalah teknik bangunan, saya tidak bisa menyepelekan pembelajaran tulis-menulis untuk diri saya sendiri, terutama kaidah-kaidah yang “wajib” saya taati. Misalnya saja, ejaan yang disempurnakan atau kata baku. Saya masih belajar perihal kaidah elementer semacam itu melalui internet.

Berkaitan dengan ajakan bergabung dengan sebuah grup tadi, beberapa persoalan “kecil” terlihat jelas. Belum lagi ketika saya sempat membaca sebagian karya  yang terpajang dengan genre tertentu. Aduhai nian!

Saya tidak mau terlibat dalam urusan kebelumtuntantasan memahami perihal tulis-menulis beserta kaidah-kaidahnya. Kalau di situs JPS masih terdapat banyak kesalahan dalam tulis-menulis, jelaslah itu kesalahan saya sendiri, apalagi saya masih belajar tulis-menulis. Tidak perlu membawa tameng “kebersamaan” untuk kesalahan diri sendiri, ‘kan?

Sekian saja dari saya.

*******
Beranda Khayal, 22-2-2020  

Berkawan Saja

Berkawan saja. Tidak perlu ditambah dengan berkongsi atau berkolaborasi dalam profesi yang rasional-proporsional.

Saya sudah mengalami, bahkan lebih tiga kali, ketika menggabungkan antara berkawan dan bekerja sama. Kerugian justru yang saya alami, baik emosional maupun finansial.

Kategori kawan ialah kawan lama dan kawan baru. “Kawan lama” bukan berarti aman-nyaman mengenai urusan profesionalitas. Apalagi, “kawan baru”, bukan?

"Kawan baru" justru jumlahnya lebih banyak, dan di Balikpapan. Lebih dari lima (5) "kawan baru". Saya tidak perlu menyebut satu per satu nama mereka, 'kan? 

Kalau berkawan dan berkongsi terwujud dalam rasionalitas dan proporsionalitas yang kalkulatif, sudah sejak sekian tahun silam saya memiliki tabungan yang lumayan. Saya tidak akan khawatir pada kemungkinan di masa depan.

Rasional dan proporsional yang saya maksudkan adalah melalui surat kontrak kerja yang jelas. Jelas posisi saya sebagai siapa berdasarkan standar pekerjaan yang berlaku, posisi dalam struktur organisasi, pekerjaan apa, uraian pekerjaan (job description), dan hak-hak saya, misalnya salary (gaji), uang makan-minum, transportasi, komunikasi, asuransi kesehatan, dan lain-lain.

Bekerja berdasarkan perkawanan bukan berarti bereslah segala urusan rasio dan proporsi. Profesionalitas tetap menjadi dasar untuk suatu pekerjaan. Sementara perkawanan hanya berkutat dalam lingkaran emosionalitas.

Kupang, contohnya. Tiket penerbangan pergi-pulang memang terjamin, tetapi tidak jelas : 1) pekerjaan apa sebenarnya,  2) berapa lama pekerjaan, dan 3) berapa bayaran per pekerjaan atau bulan.

Pekerjaan apa sebenarnya?

Perbaikan ini, penambahan itu, dan entah apa lagi. Bisa berubah atau tidak perlu dikerjakan sama sekali, karena tergantung pada kondisi keuangan si “kawan lama” yang selalu kedodoran dalam manajemen.

Dengan ketidakjelasan pekerjaan, tentu saja, berimbas pada jadwal pekerjaan (time schedule). Perubahan selalu cepat terjadi, sementara penyelesaian pekerjaan sering tidak terjadi. Sampai kapan saya harus berada di Kupang, apalagi sampai lima kali?

Sudah tidak jelas pekerjaan dan waktu, hak saya pun tidak jelas. Ya, karena tidak ada kontrak kerja. Tanpa kontrak kerja, jelaslah, tidak beresnya semua manajemen.

Di samping itu ialah fasilitas : 4) akomodasi alias tempat tinggal yang layak, 5) transportasi (kendaraan, bahan bakar, dll.), dan 6) komunikasi.

Padahal, "kawan lama" itu sering berkata, "Kita kerja profesional." Dia tidak memahami hakikat profesional, dan contoh paling mudahnya apa. Menuntut orang lain harus profesional, sementara sikap dan cara berpikirnya sangat tidak profesional.

Atau, belum lama ini (akhir 2019), di pinggiran Jakarta. Tiket penerbangan saya bayar sendiri, padahal "kawan lama" ini meminta saya datang untuk membantunya di sebuah proyek.

Sesumbarnya, "Kamu jadi tangan kananku. Kerja denganku santai saja." Kenyataannya, tidak ada "tangan kanan", karena tidak lazim dalam pekerjaan jasa manajemen konstruksi. Dan, begitu saya santai, "kawan lama" ini malah marah, dan suka menyindir-nyindir.

Fasilitas berupa tempat tinggal dan kendaraan yang diberikannya justru membuat saya tekor, karena gaji sudah “all in”. Belum lagi dengan ketiadaan kontrak kerja, dimana posisi-kapasitas sebagai siapa, pekerjaan apa, dan jadwal yang kacau-balau. Sama sekali tidak ada manajemen yang mumpuni, baik manajemen pekerjaan, sumber daya manusia, material, alat kerja, dan seterusnya.

Ikatan emosional sebagai “kawan lama” memang cenderung merugikan saya seutuhnya, baik finansial, emosional, intelektual, dan seterusnya. Ikatan semacam itu hanya menjadikan saya dungu dalam arti sesungguhnya.

Dan, ternyata uang selalu berhasil membuktikan siapa sesungguhnya kawan atau bandit. Berapa pun jumlahnya, uang tidak mungkin berdusta.

Oleh karenanya, kini sejak 2020, saya tidak akan menjerumuskan diri dalam perkawanan yang terkontaminasi dengan perkongsian. Berkawan saja. Itu sangat aman bagi saya sendiri.

*******
Beranda Khayal, 22/2/2020

Jumat, 21 Februari 2020

Kembali Mengatur Waktu dan Tidak Akan Pergi Lagi


Sepulang mudik (13/2) saya mengalami kejenuhan berpikir dan bergerak dalam arti yang sesungguhnya. Saya selalu ingin beristirahat dengan sepuas-puasnya, di samping kembali mengatur waktu.

Waktu istirahat saya dalam satu hari berkisar antara enam sampai delapan jam. Itu pun dimulai dari pukul berapa. Kalau dimulai ketika menjelang subuh, saya bangun bisa menjelang tengah hari.

Meski mudik, kegiatan tulis-menulis tetap saya lakukan. Tidak cukup dengan duduk, saya harus berada di lokasi. Tentu saja lokasi agak jauh, dan waktu bisa lebih dari dua jam. Kalaupun berjarak dekat, saya datangi lebih dari tiga kali dalam waktu tertentu untuk benar-benar mendapatkan situasi pas.

Tidak cukup dengan tulisan, ilustrasi berupa foto pun menjadi bagian penting bagi saya. Melalui kamera ponsel pintar saya membuat banyak foto, dan saya memilih segelintir foto sekaligus mengolahnya lagi, sehingga satu tulisan bisa menghabiskan waktu lebih dari dua hari.  

Di udik, sarana tulis-menulis saya sangat kurang nyaman untuk duduk lebih dari sepuluh menit. Meja pendek dan kursi pendek. Tulang kaki dan punggung harus bekerja secara ekstra keras.

Menekuni hobi yang tidak berbayar semacam itu memang terkesan konyol, bahkan sangat konyol. Menyusahkan diri tanpa mendapat kompensasi, apakah itu tidak sangat konyol dalam pola pikir masyarakat umum, “waktu adalah uang” (time is money)?  

Pada kesempatan lainnya saya harus membersihkan tanaman yang berkembang dengan pesat dan tidak teratur di lingkungan rumah orangtua. Menebang pohon, menebas dahan, cabang, atau ranting. Dan seterusnya, agar lingkungan sekitar rumah orangtua saya bisa “agak” elok dipandang dan dikendalikan.

Dan, mumpung mudik, saya juga memanfaatkan waktu untuk berkumpul dengan saudara dan sahabat. Saya pun keluar rumah untuk bertemu dengan mereka. Ngobrol berjam-jam, bahkan bisa melewati tengah malam.

Ada kalanya saya dan sahabat mengharapkan kehadiran sahabat lainnya yang selalu akrab di media sosial dan jarak tempat ngobrol yang tidak jauh. Akan tetapi, sahabat-sahabat yang diharapkan ternyata enggan hadir.

Sementara di rumah alas rebahan saya tidaklah empuk. Lampit dan selimut menjadi alas rebahan. Padahal lebih dua bulan sebelumnya saya mengalami hal serupa ketika “merantau” di pinggiran Jakarta, selain situasi pekerjaan dan manajemen yang sungguh di luar kelaziman.

Atau, kalau menengok lagi sebelumnya dalam 2019, enam bulan saya bekerja di Kupang dengan kondisi yang sama sekali tidak nyaman. Sudah alas tidur yang minimalis, situasi ruang yang tidak kondusif, ditambah dengan jadwal pekerjaan yang tidak tepat dan kompensasi yang jauh di  bawah standar yang semestinya saya peroleh.

Perantauan dengan pekerjaan itu terjadi dalam alasan utama, yakni “kawan lama”. Saya mengutamakan “kawan lama”, tetapi “kawan lama” selalu lebih mengutamakan “kepentingan”-nya saja. Sungguh paradoks realitas ber-“kawan lama” semacam ini.

Selama saya tidak berada di Balikpapan, dua penjaga rumah kami mati dalam usia muda. Belum lagi persoalan perbaikan-perbaikan bagian bangunan dan penataan tanaman yang “terpaksa” saya tinggalkan, meski hasil jerih-payah berada jauh di bawah standar sepatutnya bagi saya.

Alhasil, kelelahan fisik dan psikis melampaui batas yang biasa saya alami.  Mau-tidak mau, sejak sampai di rumah Balikpapan, saya berupaya untuk tidak berpikir dan bergerak seperti biasa. Saya hanya mau beristirahat, mengembalikan kondisi fisik dan psikis, dan mengatur waktu menjadi biasa dengan tidur malam-bangun pagi.

Upaya saya yang terlihat malas itu bukanlah pembenaran untuk bermalas-malasan, melainkan justru sebuah ancang-ancang untuk berpikir dan berkarya dengan lebih baik dan nyaman. Saya tidak mau lagi mengalami kelelahan-kelelahan yang sangat konyol semacam 2019 atau malah sekian kali ketika saya “terpaksa” merantau pada tahun sebelumnya.

Saya tidak mau lagi “merantau”. Saya mau tetap berada di Balikpapan, apa pun situasi dan realitasnya. Saya sudah tidak berdaya untuk “merantau”, bahkan tidak ada lagi keinginan “merantau” itu. Saya benar-benar jera.

Waktu untuk mudik pun nanti saya batasi dalam empat-lima hari saja. Saya tidak perlu berharap bisa bertemu banyak orang. Saya tidak perlu merepotkan diri dengan menulis, apalagi saya bukanlah penulis.  

Memang, seharusnya saya tetap berada di Balikpapan. Masih banyak yang perlu saya pikirkan dan kerjakan di rumah. Kalaupun harus keluar kota, cukup sekian hari atau tidak sampai satu minggu.

*******
Beranda Khayal, 22 Februari 2020