Virus Corona yang
berkode 2019-nCoV sudah sampai di manakah sejak muncul di Kota Wuhan, China
pada akhir Januari 2020? Benarkah jangkauannya sudah melampaui 50 negara,
bahkan singgah ke Vatikan pula tanpa menengok Indonesia sekejap pun?
Sementara binatang
yang menjadi vektor atau perantara penyakit pneumonia dengan korban jiwa
mencapai ribuan ini belumlah jelas. Awalnya kelelawar. Berikutnya trenggiling.
Entah apa lagi nanti, di samping isu seputar proyek “senjata biologi”.
Saya tidak
mengetahui kebenaran dari semua kabar tentang Covid-19 itu. Saya pun tidak tertarik untuk
menelaahnya lebih jauh, dalam ataupun tinggi. Saya bukanlah ahlinya.
Yang jelas, kabar
mengenai virus penyakit saluran pernapasan yang menghebohkan setelah SARS dan
MERS pun tidak terlepas dari upaya sok tahu segelintir tokoh masyarakat yang sama sekali bukan ahlinya, dan
upaya nakal para pemalsu kebenaran melalui berita ataupun ujaran hoaks untuk suatu
kepentingan. Memang bertambah runyam urusan 2019-nCoV ini.
Saya tidak mau
andil dalam kerunyaman. Saya hanya mau mengatakan bahwa saya perlu berhati-hati
dalam persebaran kabar, dan tidak sembarang bersepakat dengan pernyataan orang
yang tidak ahli, khususnya tulis-menulis.
Ya, ini berkaitan
dengan tulis-menulis. Tidak berbeda ketika saya belajar lebih suntuk mengenai
kartun, misalnya kartun humor, kartun opini, kartun politik, karikatur, dan lain
sebagainya melalui beberapa buku dan media, meskipun saya sudah bisa menggambar
setelah mengikuti bimbingan belajar menggambar di Bandung pada 1991.
Saya belum selesai
belajar. Saya masih perlu membaca tulisan-tulisan atau pernyataan-pernyataan
yang benar dari para ahli mengenai tulis-menulis. Duduk di depan komputer
jinjing yang tengah menayangkan sajian internet merupakan bagian dari ritual
pembelajaran saya.
Saya belum selesai
berlatih. Saya masih perlu menulis, bahkan dengan genre apa pun untuk
meluweskan hubungan antara otak dan jari saya. Duduk dan mengetik pun masih
menjadi bagian keseharian saya.
Saya belum selesai
mengikuti “ujian” setelah belajar dan berlatih. “Ujian” itu, salah satunya,
adalah lomba atau kompetisi. Lomba, apalagi tingkat nasional, merupakan bagian
yang sangat penting untuk menguji kemampuan saya setelah belajar dan berlatih
secara autodidak.
Belum selesai. Kapan "sudah selesai"? Stroke, hilang ingatan, atau mati.
Oleh sebab itu, selagi "belum selesai", saya selalu menolak anggapan bahwa saya sudah mahir menulis, apalagi distempel “penulis”
bahkan “ahli”. Saya tidak suka gegabah atau takabur dengan pernyataan-pernyataan yang cuma sok tahu mengenai tulis-menulis. Sedangkan semua pencapaian dalam kompetisi cukup-lah untuk mengisi biodata saya.
Saya malah tidak mengerti, mengapa sebagian orang bisa mendadak beranggapan bahwa saya sudah begini-begitu dalam tulis-menulis. Padahal, sejujurnya, saya justru khawatir kalau anggapan itu salah besar, menyebar, menular, bahkan menginfeksi pemikiran banyak orang seperti wabah virus Corona.
*******