9 agustus 2019
Blog ini dikhususkan untuk merekam jejak tulis-menulis lainnya yang merupakan sisi lain seorang Gus Noy. Ya, inilah Jaringan Penulis Sendirian, Jaringan Penulis Semaunya, Jaringan Penulis Sesukanya, dan JANGAN PEDULI SETAN.
Rabu, 18 September 2019
Jumat, 13 September 2019
Tunggu Aku Kaya
Aku tidak
mengetahui secara pasti mengenai geliat tulis-menulis di Balikpapan pasca-2014.
Kemunculan novel karya Alfian pun masih perlu pembuktian untuk konsistenitas
dan kontinyuitas bagi penulis lainnya.
Sementara aku harus
menghidupi keluarga, karena aku kepala rumah tangga. Berkeluarga bukanlah
sekadar selembar Kartu Keluarga (KK/C 1) yang baru.
Biaya hidup di Kota
Minyak tidaklah murah. Aku tidak memiliki pekerjaan tetap dengan gaji yang
banyak. Pergi ke luar Balikpapan dengan alasan bekerja, ternyata, tetap tidak
sesuai dengan kelaziman sebuah pekerjaan dan hasil secara finansial.
Mungkin kondisi ini
berbeda dengan jika aku bujangan. Kalau bujangan, aku bisa bergerak bebas,
karena tidak ada tanggungan. Bisa pagi sampai pagi, siapa yang akan melarang,
‘kan?
Aku tidak menyesali
kondisi, karena, toh, aku pindah ke
Balikpapan hanya satu alasan, yaitu menikah. Kalau bukan alasan itu, manalah
mungkin aku mau pindah ke Balipapan, terlebih biaya hidup yang sangat tinggi.
Akan tetapi,
bagaimanapun, aku sudah menjadi warga Balikpapan. Lantas?
Aku harus
mengumpulkan banyak uang, memberi jaminan ekonomi untuk keluarga sampai
tabunganku berlimpah, barulah aku bisa membantu kaum muda dalam tulis-menulis.
Aku harus mapan secara ekonomi, karena realitas tidak cukup sebatas sebuah
pekerjaan yang mirip kerja bakti belaka.
Misalnya untuk
memenuhi undangan ngobrol. Biasanya di warung atau kafe. Bagaimana kalau aku
tidak memiliki uang untuk bahan bakar, dan sekadar minum kopi?
Misalnya lagi untuk
emmenuhi undangan ngobrol di luar kota. Apakah tidak perlu uang untuk ongkos
perjalanan?
Sepele, ya? Kalau
sepele, ya, siapkan uangnya untukku dong.
Tidak perlu sampai berjuta-juta rupiah. Cukup ongkos yang ada, bagaimana? Kalau
tidak mau memberi ongkos, ya, percuma menyebutnya “sepele”. Sepele saja pelit,
apalagi kalau tidak sepele, ‘kan?
Jangan heran lagi
kalau aku tidak mau menghadiri acara apa pun yang berbau kesenian atau sastra. Aku
belum kaya. Aku belum memiliki uang untuk aku “buang” begitu saja. Keluarga
tetap nomor satu, karena aku datang di Balikpapan memang untuk berkeluarga.
Kami juga bukanlah keluarga kaya. Kami tidak mampu membeli mobil. Mobil masih menjadi indikasi kekayaan, karena biaya merawat dan mengoperasionalkan mobil tidaklah murah jika dibandingkan dengan motor.
Dan, jangankan membeli mobil, motor pun merupakan warisan orangtua kami alias aku tidak mampu membeli motor. Itu semua berarti bahwa aku benar-benar tidak memiliki uang yang cukup memadai untuk berkegiatan yang sekadar "membuang" uang di warung kopi.
Di samping itu aku membutuhkan sponsorship dan keterlibatan lembaga atau instansi terkait. Tanpa sponsor, biaya operasional tidak ada. Tanpa lembaga atau instansi terkait, kegiatan tulis-menulis hanya semacam sambilan untuk hal-hal yang tidak kreatif-produktif.
Kami juga bukanlah keluarga kaya. Kami tidak mampu membeli mobil. Mobil masih menjadi indikasi kekayaan, karena biaya merawat dan mengoperasionalkan mobil tidaklah murah jika dibandingkan dengan motor.
Dan, jangankan membeli mobil, motor pun merupakan warisan orangtua kami alias aku tidak mampu membeli motor. Itu semua berarti bahwa aku benar-benar tidak memiliki uang yang cukup memadai untuk berkegiatan yang sekadar "membuang" uang di warung kopi.
Di samping itu aku membutuhkan sponsorship dan keterlibatan lembaga atau instansi terkait. Tanpa sponsor, biaya operasional tidak ada. Tanpa lembaga atau instansi terkait, kegiatan tulis-menulis hanya semacam sambilan untuk hal-hal yang tidak kreatif-produktif.
Aku tidak mampu
melakukan pembinaan dengan seorang diri saja. Upaya mengolah dan mengelola SDM
harus dilakukan dengan tim, supaya pembagian porsi bisa terjadi, konsentrasi
bisa tepat sasaran, dan optimasi atas regenerasi penulis bisa terjadi.
Toh, secara pribadi, aku masih terus menulis, bahkan sebagian telah
terkumpul dalam buku-buku karya tunggalku. Meski kondisi keuangan sangat
minimalis, aku berusaha keras untuk konsisten dalam produktivitas karya.
Sekarang bagaimana
dengan putera-puteri Balikpapan sendiri, terlebih persiapan untuk menyambut
pembangunan ibu kota baru di Provinsi Kaltim ini ?
*******
Kupang, 13
September 2019
Kamis, 12 September 2019
POLITIK HARGA DIRI entah kapan terbit
Baru tujuh artikel. Belum dua puluh. Tiga belas artikel lagi, tetapi entah temanya apa lagi.
Sementara judul sudah ada, dan rencana sampul depan sudah selesai.
Tinggal rajin menulis, mencari data valid, dan menayangkannya di Kompasiana.
Kamis, 15 Agustus 2019
Hadiah dan Ibu dan Ada Aku yang Lain
Mungkin aku masih
percaya pada kekuatan telinga dan mata daripada mendayagunakan ketangguhan jiwa
dalam upaya menyiasati segala sengketa antarsituasi sehari-hari. Mungkin kamu
bingung mengenai apa yang hendak kusampaikan ini.
Baru kini, tepatnya
9 Agustus, aku berani melawan kesewenang-wenangan seorang majikan atau pemberi
pekerjaan. Dengan kesewenang-wenangannya itu aku menyatakan bahwa dia justru
jauh lebih keji daripada program tanam paksa dan kerja paksa sebelum
kemerdekaan Republik Indonesia.
Ya, menurutku, dia
sudah keterlaluan memperlakukan aku. Tidak ada hak dan kewajiban yang diterikat
oleh aspek formalitas-legalitas, tetapi aku telah memberinya sebagian hasil
yang melampaui apa yang pernah diharapkan atau dibayangkannya.
Sebelum 9 Agustus,
aku melakoni sebuah peran paling mengenaskan dari sekian episode kehidupan sebelumnya.
Kesemua episode itu berangkat dari kemiskinan yang menyusup dalam sumsumku
setelah aku berada di luar lingkaran kenyamanan yang dijaminkan oleh sebuah
ikatan formal-legal.
Anggap saja sebuah
aktualisasi atas pepatah “Sudah jatuh, tertimpa tangga pula”. Sudah miskin,
diperas lagi. Apakah itu tidak keterlaluan?
***
Kemiskinan selalu
meneteskan keharuan perihal manusia memangsa sesamanya atas nama apa saja. Kemiskinan
terlalu lama memperbudak dengan aneka ketakutan dan kecemasan. Kemiskinan hanya
menghidupkan hantu-hantu hingga bergentayangan pada setiap perenungan. Bahkan,
kemiskinan berhasil melumpuhkan sendi-sendi optimistis.
Kuakui, kemiskinan telah berpengaruh mutlak
dalam setiap kegagalanku. Aku mengalami sebuah ketakutan yang akut. Aku gemetar
menjelang fajar. Aku menggigil menjelang senja. Kegelapan apa lagikah yang sedang
bersiap untuk meringkusku?
Di sisi lain, aku berusaha
melakukan pembenaran sebagai upaya serius untuk menghibur diriku. Kemiskinan
merupakan sesuatu yang bla-bla-bla-bla. Mungkin juga sebuah usaha santai pada
saat situasi semakin sekarat.
***
9 Agustus merupakan
hari bersejarah bagiku pada saat situasi semakin sekarat dalam perbudakan dan
kesewenang-wenangan. Di toko bahan elektronik “Lancar”, Kupang, aku menerima
kabar dari Ibu.
Sewaktu menerima
kabar itu, aku belum sadar dari pengaruh sihir perbudakan. Kesadaranku seolah
terbelit dalam gulungan kabel NYM 3 X 2,5. Aku menanggapi kabar Ibu dengan
datar-datar saja.
Sekian jam setelah
menerima kabar itu, barulah saya sadar. Oh, ternyata…
Aku merasa mendapat
“sengatan” listrik baru untuk bangkit, dan menjadi sebuah sosok yang seharusnya
: berani mengatakan suatu kebenaran yang semestinya dinyatakan.
***
Saya percaya bahwa
seorang ibu memiliki suatu naluri alamiah yang berasal dari sebuah ikatan batin
dengan anaknya, meskipun si anak sudah dewasa sekali. Sewaktu masih berkuliah
di Jogja, aku pernah ditelepon oleh Ibu melalui telepon milik induk semang.
“Kamu sakit, ya?”
Begitu pertanyaan
Ibu, dan saya iyakan.
Beberapa kali
telepon dari Ibu selalu hadir pada saat aku sedang mengalami suatu penderitaan
atau akan mengalami suatu kesusahan. Dan, sampai usia saya dengan kepala empat
ini, naluri Ibu masih saja berfungsi.
***
Mungkin aku masih
belum beranjak dari lingkaran duniaku yang lain. Mungkin aku terlalu jauh
meninggalkan diriku yang hakiki. Mungkin kamu semakin kebingungan dengan apa
yang sesungguhnya hendak kusampaikan ini.
Apa pun itu, kini
aku “merasa” memiliki sebuah kekuatan dari Ibu untuk menghadapi praktik-praktik
perbudakan antarsesama manusia yang kualami sendiri. Dengan “merasa”, tentu
saja, sangat situasional, dan perlu adanya sikap pembenahan yang signifikan
hingga “merasa” itu lenyap, dan hakikat “memiliki” merupakan kenyataan yang konkret.
Akan tetapi, untuk
sementara ini cukuplah pada tahap “merasa”. Aku harus mengupayakannya seoptimal
mungkin agar menjadi sesuatu yang konkret.
Aku melawan
kesewenang-wenangan seorang pemberi pekerjaan. Janganlah dia “mentang-mentang”
tetapi malah memungkiri seutas hakikat yang mengikat antara manusia dan
kemanusiaan. Janganlah ketika aku mengakui kemiskinanku lantas dia boleh seenaknya
memperbudak aku.
Memang,
keberanianku melawan sikapnya itu cenderung mengungkapkan perihal sisi lain
diriku, yakni sisi pemberontak yang mendadak muncul dari kegelapan. Tidak
mustahil bahwa perihal ini pun bisa berbalik arah padaku sendiri. Aku wajib
waspada.
*******
Kupang, 15 Agustus
2019
Minggu, 19 Mei 2019
Ketika Lapar Mendera
Suntuk menggambar
renovasi bangunan dengan detail-detail teknis. Kopi hitam menjadi andalan sejak
bangun dari tidur. Kata orang, kopi sangat mendukung konsentrasi. Ya, biasanya
begitu yang kulakukan saban hari.
Sementara makan
hanyalah ketika lapar. Ketika lapar, makanan apa pun bisa langsung enak. Dan, apabila
lapar, paling cepat adalah menyantap kudapan sejenis roti atau gorengan.
Makan untuk hidup.
Hidup untuk makan. Keduanya “makan” berbeda makna, bukan?
Esensi makhluk
hidup adalah makan. Makan untuk hidup. Jenazah atau mayat tidak memerlukan
makanan. Meja juga demikian. Itulah yang kualami pada Sabtu, 19 Mei 2019.
Persoalannya,
suntuk menggambar diusik oleh lapar tetapi tidak ada makanan. Satu hari aku
belum makan. Kondisiku sedang berada di perantauan (Kupang), dan kembali
menjadi bujangan alias jomlo. Celaka!
Eh, tunggu dulu.
Jangan seketika memaki hidup dengan “celaka!”.
Di lemari dapur
kulihat ada tepung tapioka. Di lemari es alias kulkas ada tepung terigu dan beberapa
potong ikan mentah. Tentu saja tersedia bawang, garam, minyak goreng, dan
perlengkapan masak-memasak.
Aku pun mengolahnya
sampai menjadi kudapan atau gorengan untukku sendiri. Agar ada sentuhan rasa
tersendiri, kubuatkan kuah seperti cuka empek-empek bangka.
Maka, kalau sudah
didera lapar, apa pun enak, ‘kan? Selanjutnya aku bisa kembali suntuk
menggambar.
*******
Kupang, 17 Mei 2019
Senin, 06 Mei 2019
Sekali Lagi, Konsisten dan Konsekuen
Aku sedang malas
membuka buku kamus konvensional. Aku mencarinya di internet saja. Cara mudah
untuk tulisan sekadar begini.
Konsisten
Menurut KBBI.Web.Id, konsisten/kon·sis·ten/ /konsistĂ©n/ a 1 tetap
(tidak berubah-ubah); taat asas; ajek; 2 selaras; sesuai.
Konsekuen
Menurut KBBI.Web.Id, konsekuen/kon·se·ku·en/ /konsekuĂ©n/ a sesuai
dengan apa yang telah dikatakan atau diperbuat; berwatak teguh, tidak
menyimpang dari apa yang sudah diputuskan
Konsisten dalam Berkarya
Pencipta identik
dengan ciptaan; kreator dengan kreasi. Terserah, kamu mau sepakat atau tidak.
Aku tidak akan memaksa, terlebih aku memilih apa yang kuinginkan.
Yang penting, kamu
bisa melihat sendiri bahwa aku selalu berusaha untuk konsisten melaksanakan pilihan hidupku, baik dalam tulis-menulis maupun dalam gambar-menggambar. Bisa
jadi hari ini aku tidak menulis karena kemarin aku menggambar, atau besok aku
akan menggambar.
Apalagi sekarang
aku sudah memiliki penerbitan sendiri, dan menghasilkan belasan buku. Tulisan
dan gambaran (ilustrasi) bisa kusatukan dalam satu karya tunggal. Sangat
menyenangkan, meski terkadang merepotkan.
Konsistensi berkaitan dengan berkelanjutan. Konsistensi dalam tulis-menulis, misalnya, berkaitan dengan jumlah tulisan yang selesai selama kurun waktu tertentu. Konsistensi dalam gambar-menggambar yang bukanlah pekerjaan juga begitu.
Konsisten dengan hobi yang sama sekali tidak langsung menghasilkan uang, apalagi dalam jumlah banyak, bagaimana?
Konsisten dalam berkarya yang sama sekali tidak langsung menjadikan terkenal, bagaimana?
Konsekuen dalam Berkarya
Konsisten dengan hobi yang sama sekali tidak langsung menghasilkan uang, apalagi dalam jumlah banyak, bagaimana?
Konsisten dalam berkarya yang sama sekali tidak langsung menjadikan terkenal, bagaimana?
Konsekuen dalam Berkarya
Aku selalu berusaha
untuk konsekuen dalam berkarya. Uang berlimpah dan tenar berbinar tidak pernah menyambutku. Konsekuensi ini tidaklah pernah singgah dalam impian sebagian orang, 'kan?
Buku-buku tunggalku menjadi bukti dan abadi mengenai konsekuensi itu. Aku tidak perlu repot berkoar-koar perihal berkarya, mengabadikan karya, konsisten atau konsekuen.
Buku-buku tunggalku menjadi bukti dan abadi mengenai konsekuensi itu. Aku tidak perlu repot berkoar-koar perihal berkarya, mengabadikan karya, konsisten atau konsekuen.
Meskipun repot
menjalani beberapa pekerjaan (menulis, menggambar, menyunting, menyusun, dan
seterusnya) hingga menjadi sebuah buku, bagiku, semua ini merupakan konsekuensi
logis yang patut kulakoni, dan kunikmati prosesnya. Ya, aku tidak akan berkoar mengenai proses dan
ini-itu, melainkan bagaimana aku melakukan semua proses sebagai konsekuensi
logis yang tidak boleh ditangisi.
Laris manis atau
tidak, juga merupakan konsekuensi logis bagiku. Dan, bukankah setiap pilihan
selalu menyajikan konsekuensi logis?
Berkarya
Seseorang dikenal
dari hobinya (kegemaran; kesukaan). Seseorang dikenal dari apa yang
dikerjakannya. Seseorang dikenal dari apa yang dihasilkannya. Seorang pelukis
dikenal karena lukisannya. Seorang penulis deikenal karena tulisannya.
Aku tidak perlu
dikenal dengan apa pun karena aku hanya mengolah dan mengelola hobi, waktu,
dana, dan situasi. Bagiku, semua itu merupakan berkarya, berdaya-upaya, dan
menjadi diri sendiri.
Cukuplah berkarya.
Tidak usah kutambahi dengan hal-hal lain yang serba muluk. Ya, mumpung (selagi)
mampu, kulakukan saja. Mumpung suka,
kulakukan juga dengan sesukaku saja.
Dan, bagaimana dengan
kamu sendiri? Terserah kamu-lah!
*******
Pinggir Panggung
Renung, 3 Mei 2019
Kamis, 02 Mei 2019
Ilustrasi-ilustrasi untuk Sebuah Buku Kumcer
Ilustrasi-ilustrasi
untuk buku kumpulan cerpen “Gadis yang Mengendarai Ombak” sudah selesai.
Cerpen-cerpen dalam buku ini berangka tahun (titimangsa) 2001 s.d. 2016. Sementara
proses atak (tata artistik; lay out)
hanya menyisakan penempatan ilustrasi-ilustrasi tersebut.
Rencana Sampul
Ya, beginilah
kenyataan hidupku. Berkarya secara tertulis dan tergambar merupakan satu-kesatuan yang sangat menyenangkan,
meskipun tidak bisa terjadi dalam waktu singkat. Semua kujalani dengan semangat
penghargaan atas anugerah dalam hidupku.
Bakat menggambar
memang sudah ada sejak kecil. Akan tetapi, tanpa belajar lagi di bimbingan
belajar menggambar “Garizt”, Bandung selepas SMA di Yogyakarta, bakat bakal begitu-begitu
saja. Tiga bulan penuh aku belajar dengan tekun, dan menyenangkan.
Menulis, kuakui,
bukanlah bakat sejak kecil. Di pers mahasiswa dulu aku tidak suka menulis
karena aku ilustrator dan penata artistik (lay
outer). Akan tetapi, situasi di sekretariatnya sangat kondusif untuk
belajar, meskipun secara diam-diam.
Dan, buku-bukuku
merupakan dokumentasi dari kombinasi antara menggambar dan menulis, termasuk memilih,
menyusun, dan menata. Tentu saja, sekali
lagi, bukan proses yang hanya sekejap dalam satu-dua tahun.
Jadi, buku-bukuku
merupakan hasil pengolahan dan pengelolaan atas seluruh kapasitasku.
Buku-bukuku adalah aku seutuhnya. Semoga aku bisa konsisten dan konsekuen
menjalani semua ini.
*******
Pinggir Panggung Renung, 2 Mei 2019
Selasa, 30 April 2019
Seorang Oknum Pegiat Literasi Hanya Mau Gratisan
Suatu waktu aku melihat
foto-foto yang dipajang oleh seorang
kawan dalam sebuah kelompok literasi. Beberapa orang memamerkan buku yang
mereka pegang.
Lantas aku
menanggapinya. “Kapan bukumu nyusul?” tulisku.
Ia menjawab,
sebentar lagi. Selanjutnya ia minta buku-buku karya tunggalku.
Aku pun menjawab,
ada tujuh buku yang bisa kuberikan. Akan
tetapi, aku meminta ia menanggung ongkos kirimnya (ongkir) karena aku tidak
memiliki uang, dan posisinya jauh di luar pulau. Kalau aku kaya, pasti
kukirimkan secara cuma-cuma tanpa minta ongkir.
Jawabnya, “Kami
pikir-pikir dulu, deh.”
***
Memang beginilah
kenyataan hidup. Aku bukanlah karyawan. Aku tidak memiliki pendapatan bulanan
yang tetap. Aku jarang sekali mendapat penghasilan yang sesuai dengan
kapasitasku.
Meski dengan segala
keterbatasan, termasuk ketidakmampuan membayar tenaga mumpuni, aku berjuang
untuk mendapat uang agar karya-karyaku menjadi abadi dalam buku. Uang seberapa
rupiah kuusahakan agar ada bagian untuk menjadi buku.
Kalau mau berhitung
untung-rugi, dengan tujuh buku yang kubanderol sekitar Rp40.000,00 per buku,
seharusnya aku bisa mendapat Rp280.000,00. Namun, untuk tujuan literasi,
kurelakan saja kerugianku itu.
Dari Rp280.000,00
ditambah dengan ongkir, yang kira-kira totalnya Rp350.000,00, apa yang bisa
kujadikan contoh mengenai kemandirian pencipta/kreator dengan karya/kreasinya?
***
Salah satu alasan
ketidakaktifanku dalam geliat literasi di Balikpapan adalah menjadi donator
buku. Jangan serta-merta menghakimu bahwa aku pelit. Sekali lagi, aku tidak
memiliki uang, bahkan bisa tekor habis-habisan jika harus mendonasi buku-bukuku.
Aku tekor, siapa yang peduli, hah?!
Ah, sudahlah. Aku
memang tidak perlu merepotkan diri lantas merugi habis-habisan. Lebih baik aku
kembali berkarya. Terserah apa kata orang, karena, toh, orang hanya mudah berkata-kata tanpa benar-benar menyaksikan
upayaku berkarya dalam segala keterbatasanku.
*******
Pinggir Panggung
Renung, 30 April 2019
Sabtu, 27 April 2019
Tidak Ada yang Gratis dalam Profesionalisme
Apa profesi Anda? Berapa
jam Anda benar-benar melaksanakan profesi Anda? Apakah Anda mendapat upah dari
profesi Anda? Apakah Anda menikmati profesi dan upah Anda?
Menurutku, setiap
orang memiliki alasan masing-masing untuk berprofesi atau melaksanakan
pekerjaan. Tidak perlu munafik jika upah, gaji, tunjangan, honor, atau
kompensasi menjadi penting. Terlebih, harga barang dan jasa selalu meningkat,
meski sekian persen saja.
Arti Kamus
Kebetulan di rumah
ada beberapa kamus bahasa Inggris-Indonesia. Aku menggunakan kamus yang baru
kutemukan di rka buku keluarga. Salim’s
Ninth Collegiate English-Indonesian Dictionary karangan Drs. Peter Salim,
M. A., yang diterbitkan oleh Modern English Press, Jakarta, 2000, dan terdapat
pada hlm. 1155.
Profesi (Profession) adalah pekerjaan; jabatan yang membutuhkan pendidikan khusus.
Profesional (Professional) adalah 1. Berkenaan dengan jabatan atau profesi;
2. Ahli; bayaran.
Profesionalisme (Professionalism) adalah ciri-ciri,
semangat, atau metode profesional.
Pekerjaanku
Kebetulan aku
memiliki usaha penerbitan buku. Buku-buku kuterbitkan adalah karya-karyaku
sendiri, sebelum kuterbitkan buku novelnya Alfiansyah (2019).
Yang kukerjaan
terhadap buku-bukuku ialah :
1. Menulis, baik
fiksi maupun non-fiksi.
Biasanya, kalau
menulis merupakan pekerjaan, maka profesiku adalah penulis. Seorang penulis
akan menerima upah dari hak ciptanya, yang dikenal dengan istilah “royalti”. Namun
aku tidak merasa sebagai penulis.
2. Menggambar, baik
sampul, isi (kartun), maupun ilustrasi isi.
Biasanya, orang
yang bekerja di bidang ini disebut pelukis, desainer grafis, atau ilustrator. Masing-masing
menerima upah sesuai dengan kesepakatan. Sementara, untuk dua buku kumpulan
kartunku, biasanya, aku disebut kartunis, dan di situ ada “royalti”.
3. Mengumpulkan,
memilah, dan memilih karya.
Biasanya, orang
yang melakukan pekerjaan ini disebut penyunting (editor). Seorang penyunting
menerima upah yang sesuai dengan kesepakatan.
4. Memeriksa aksara
dan menyesuaikan kata.
Biasanya, orang
yang melakukan pekerjaan ini disebut penyunting (editor) atau pemeriksa aksara.
5. Menyusun, dan
menata dengan gambar.
Biasanya, orang
yang melakukan pekerjaan ini disebut penata artistik (layouter).
6. Mengurus
International Serial Book Number (ISBN) ke Perpustakaan Nasional RI.
Biasanya, orang
yang melakukan pekerjaan ini disebut redaktur atau administrator penerbitan. ada upah untuk seorang administrator.
7. Mengurus pencetakan
Biasanya, orang
yang melakukan pekerjaan ini disebut administrator. Ada upah tersendiri untuk administrator.
8. Membiayai
sendiri atau mencari donatur
Biasanya, orang
yang melakukan pekerjaan ini disebut pemilik penerbitan (penerbit). Penerbit mendapat upah melalui terbitan yang terjual, dan sponsor jika beriklan.
Pekerjaanku yang Sesungguhnya
Untuk mencapai
tataran tertentu, paling tidak, seseorang memiliki kemampuan khusus, berkaitan
dengan bidang masing-masing. Penulis, ilustrator, desainer grafis, penata
artistik, editor, pemeriksa aksara, dan seterusnya.
Dari kedelapan
pekerjaan di atas, apakah pekerjaanku sesungguhnya, atau yang paling tepat?
Berikutnya, berapa
rupiah yang sepatutnya kuterima dengan pekerjaan itu?
Apakah Anda bisa
membayangkan pula, bagaimana aku melakukan pekerjaan-pekerjaan itu?
Investasi Hidup
Aku
menginvestasikan hidupku dengan apa saja yang kukerjakan, dari tahap belajar,
berlatih, berlomba, dan seterusnya. Kesemuanya tidak bisa kukelola dalam satu
minggu, satu bulan, atau satu tahun.
Bertahun-tahun aku
menggambar. Bertahun-tahun aku membaca. Bertahun-tahun aku menulis. Bertahun-tahun
aku mengikuti perlombaan. Bertahun-tahun… Ya, waktu yang panjang untuk kemudian
menyatu dalam bentuk sebuah buku.
Apakah semua itu
gratis?
Menggambar saja aku
harus mengikuti bimbingan belajar menggambar di Bandung, meskipun aku merasa
memiliki bakat menggambar. Belum lagi menulis yang diam-diam kulakukan sejak
zaman mahasiswa, bukan?
Bisakah Anda
menghitung, berapa rupiah yang telah kuinvestasikan untuk semua itu? Apakah
Anda berani memasukkan hal-hal, misalnya konsumsi, transportasi, akomodasi, dan
seterusnya?
Berhitung
Apa? Anda minta
gratisan untuk apa yang telah kuinvestasikan selama puluhan tahun?
Ya, lebih sepuluh
tahun aku menginvestasikan hidupku untuk mengolah dan mengelola kemampuan. Aku
masih terus menggambar. Aku masih terus menulis. Aku masih terus belajar,
mencari referensi, dan seterusnya. Waktu, pikiran, tenaga, bahkan dana telah kuinvestasikan untuk meningkatkan
kemampuanku.
Sekarang aku sudah berumah
tangga atau memiliki keluarga. Dalam kehidupan berumah tangga, ada kebutuhan
sehari-hari. Tidak ada yang gratis untuk semua itu, apalagi biaya hidup di
Balikpapan tergolong tinggi.
Sekarang aku sudah
mematok harga, khususnya jasa. Dengan definisi kata “profesi”, “profesional”,
dan “profesionalisme”, dan istilah “investasi hidup”, aku “wajib” mengingatkan
Anda mengenai “sebuah harga”. Bukankah Anda pun selalu menuntut “sebuah harga”
untuk diri Anda sendiri?
Sementara aku belum
pernah mendapat subsidi dari pemerintah, entah kebutuhan hidup ataupun dana
pembinaan. Bahkan, meski belasan buku berisi karya tunggalku sudah terdapat di
perpustakaan daerah, tetap saja aku tidak pernah mendapat apa-apa, minimal “penghargaan”
yang sepadan.
Jadi, marilah kita
berhitung bersama-sama. Akan tetapi, terlalu naif, picik, atau sempit jika Anda
menuduh aku mencari untung. Kalau hanya mencari untung, lebih baik aku berdagang
sembako saja!
*******
Pinggir Panggung Renung,
27/4/2019
Pasca-Pilpres 2019
Menikmati waktu
dengan bermain kata-kata di media sosial memang mengasyikkan. Kebetulan ada
uang yang terselip dalam sebuah amplop merah di laci. Lumayan. Tidak lupa,
tentunya, secangkir kopi hitam menemaniku menulis santai.
Begini. Ada
sengketa suara sejak hitung cepat (Quick Count) muncul. Karena kalah dalam
Pilpres 2019, 02 tidak menerima hasil hitung cepat dari lembaga-lembaga survei
itu. Lucunya, mereka tidak mempersoalkan hitug cepat untuk Pileg 2019.
Lucunya lagi, pada
Pilgub 2017 mereka menerima hitung cepat, dan merayakan kemenangan. Paling
lucu, pasca-Pilpres 2019 mereka bersikukuh pada hasil hitung cepat di internal
mereka.
Ah, begitulah kalau
awalnya sudah terpampang kekalahan. Apalagi sebelum pencoblosan 17 April,
mereka sudah berkoar-koar soal menteri-menteri seakan mereka sudah menang.
Sesungguhnya mereka
tidak pernah bekerja di lembaga survei. Sesungguhnya mereka tidak pernah
benar-benar memahami pekerjaan lembaga survei seperti apa dengan metodelogi
yang bagaimana. Hanya kemenangan yang mereka tuntut, meskipun kekalahan tidak
bisa dinafikkan begitu saja.
Siang yang sangat
gerah. Aku harus berhati-hati dalam berkomentar di medsos. Kemarin istrinya
Andre Taulany terkena masalah gara-gara menyebut “sinting” pada Prabowo yang
bersujud dan mengklaim kemenangan.
Eh, tapi aku bukan
artis atau tokoh masyarakat (public
figure). Oh, lebih aman, ya? Memang enak menjadi “bukan siapa-siapa”.
Siang yang gerah
ternyata akan muncul hujan. Ya, ada rintik mengetik di atas seng di atasku. Sementara
mendung tidak merata terlihat di atas bukit Gunung Malang. Masih tersisa biru
yang lapang.
Aku maish
berselancar untuk bermain kata-kata tentang hasil hitung cepat itu. “Jokowi
menang lagi. Prabowo kalah lagi”. Itu saja yang kukomentari di kolom komentar
media sosial, misalnya Kompas, Detik, CNN, Tirto, Kumparan, dan lain-lain.
Tidak lupa
kusematkan gambar yang kuolah lagi dari internet. Lucu. Seru. Menjengkelkan.
Ah, bodo amat!
Ada kenikmatan
tersendiri melihat komentar para pendukung Prabowo yang marah-marah.
Kupermainkan lagi. Pokoknya, benar-benar menyenangkan ketika Jokowi menang lagi
secara hitung cepat.
Azan Azar
berkumandang. Mendung mengepung langit pas di atas rumah. Udara sudah sejuk,
bahkan agak basah. Entah hujan sudah di mana.
Kopiku menuju
endapannya. Sebaiknya kuhabiskan saja, dan menyudahi tulisan ini.
*******
Pinggir Panggung
Renung, 22/4/2019
Senin, 15 April 2019
Iri-Dengki
Iri-dengki adalah
salah satu sebab, mengapa orang suka memfitnah kawan/rekannya sendiri. Dan, hal
semacam ini, sebenarnya, lumrah dan jamak.
Aku terbiasa hidup
dalam tekanan fitnah orang. Dengan bekal kemampuanku dalam menggambar dan
menulis, fitnah semakin bertubi-tubi menyerangku.
Ada yang menstempel
aku “egois” karena tidak mau mengajarkan perihal menggambar atau menulis.
Padahal, rumahku terbuka dan pengajaran itu gratis bagi siapa pun yang serius
untuk belajar. Dan, kalau bersungguh-sungguh, toh, hasilnya kelak adalah untuk mereka sendiri.
Mungkin karena aku
sudah menarik diri dari pergaulan atau kumpul-kumpul di luar rumah. Padahal,
lima tahun aku telah memberi diri, termasuk biaya transportasi, toh, tidak seorang pun yang serius untuk
belajar.
Mereka tidak akan
pernah mengerti ketika aku harus meninggalkan kampung halaman untuk belajar.
Mereka tidak pernah mengerti ketika aku harus pindah selama empat bulan untuk
mendalami gambar-menggambar, dan selama tiga jam menggambar setiap hari. Mereka
tidak akan pernah mengerti ketika harus belajar menggunakan mata-telinga untuk
belajar dari pembelajaran tulis-menulis mantan rekan-rekanku di pers mahasiswa.
Ya, mereka tidak
akan pernah mengerti keseriusanku dalam pembelajaran itu. Yang mereka mengerti,
bagaimana iri-dengki dihidupkan dan dibesar-besarkan untuk membenciku karena
aku sudah menarik diri dari kegiatan di luar rumah.
Iri-dengki kian
meninggi ketika aku menghasilkan buku-buku tunggalku. Ironi. Miris. Aku
berpikir dan berproduksi karena memang itulah yang bisa kulakukan. Sementara
mereka justru semakin iri-dengki, dan menyebarkan fitnah yang lebih parah
daripada lepra/kusta.
Namun beginilah
risiko atau konsekuensi hidup. Aku sudah memahaminya.
*******
Pinggir Panggung Renung, 15/4/2019
Minggu, 14 April 2019
Cerpen-cerpen Bertema "Cinta"
Hanya cerpen lama. Semua
hanya cinta. Namun “tabungan” karya tidak bisa kubiarkan. Harus menjadi bukuku
sendiri.
Aku tidak bermimpi
yang serba muluk; “menjadi penulis”. Aku hanya melaksanakan hobi (kegemaran). Cinta
adalah bagian dalam sejarah hidup manusia, tetapi menuliskannya dalam bentuk
fiksi, tentu saja, cukup menyenangkan bagiku.
Buku berisi 13
cerpen ini masih dalam tahap rencana. Naskahnya sudah ada. Tinggal penyuntingan
isi, dan ilustrasinya.
Ilustrasi sampul
kubuat pada 14 April 2019. Cat poster di kertas linen. Sungguh-sungguh
menyenangkan!
Semoga bisa terbit.
*******
Pinggir Panggung Renung, 15/4/2019
Jumat, 12 April 2019
Orang Terkenal
“Eh, Bro, itu si
Anu sedang melihat-lihat buku!”
“Eh, Sis, itu si Anu sedang membeli kerupuk!”
“Eh, Gaes, itu si Anu sedang ngambek dekat bak sampah!”
“Eh, Sis, itu si Anu sedang membeli kerupuk!”
“Eh, Gaes, itu si Anu sedang ngambek dekat bak sampah!”
Nyamankah menjadi
orang terkenal? Nyamankah ketika berada di manapun, orang-orang di sana
mengenal siapa kita, bahkan mengerumuni kita?
Aku tidak akan
merasa nyaman kalau selalu menjadi bagian dari perhatian orang bahkan banyak
orang. Mengundurkan diri dari segala kegiatan kesenian di Balikpapan pun
merupakan bagian dari upaya keluar dari perhatian orang.
Aku tidak mau
terkenal atau menjadi terkenal/pesohor/selebritas di Balikpapan. Kemunculanku
di BTV hanya untuk menjawab “undangan” Lovie Gustian sebagai upaya
mempertanggungjawabkan penerbitanku terhadap buku novel “Setiap Malam adalah
Sepi” (2019) karya Alfiansyah.
Aku bisa membantu
atau mengajari sedikit mengenai tulis-menulis, tetapi di rumah. Alfian cukup
sering datang untuk belajar tulis-menulis atau hal-hal yang terkait dengan
dunia tulis-menulis. Naskah buku novelnya pun kubantu dalam hal penyelarasan
penokohan dan alur cerita. Ya, sedikit saja, sih.
Selain Alfian dalam
hal tulis-menulis, siapa lagi? Tidak seorang pun. Dan, semakin menyembunyikan
diri di rumah, semakin hilang namaku dalam perbincangan para pemerhati
tulis-menulis. Namun, justru aku lebih leluasa berkarya.
Hal yang tidak
berbeda ketika aku berada di kampung halamanku sendiri, Sungailiat. Almarhum
bapakku bukanlah orang “asing” bagi sebagian kalangan. Sebagian PNS angkatan
tua juga mengenal siapa bapakku karena pernah menjadi murid, khususnya di STM Sungailiat. Ibu angkatku dan beberapa
saudara pernah mengingatkanku, bahwa bapakku orang dikenal di Sungailiat.
Akan tetapi, karena
aku dulu jarang mudik (belasna tahun di Jogja), tidak seorang pun mengenalku
lagi, kecuali kawan kampung (Sri Pemandang Atas). Begitu bebasnya aku
berkelana, bahkan seorang diri berjalan kaki saja menyusuri beberapa pantai
pada 2006.
Keleluasaan,
kemerdekaan, atau kebebasan merupakan hal terpenting bagiku, baik untuk
berkarya maupun bepergian. Sebagai orang tidak terkenal, aku harus mengolah dan
mengelola diriku lebih baik atau mendalam lagi. Selama ini cukup berhasil,
yaitu buku-bukuku terbit dengan jumlah dan dana secukupnya.
Kurasa itu saja
yang bisa kusampaikan di sini.
*******
Pinggir Panggung Renung, 13/4/2019
Kamis, 11 April 2019
Setiap Kemarin adalah Usang
Ada rintik mengetik
di atap seng. Kopi hitamku masih panas, meski seekor ayam jantan tetangga
belakang rumah sudah berteriak di antara dengung mesin pembangkit listrik dari
Guung Malang.
Pkl. 03.32 WITA. Jumat,
12 April 2019. Sebentar lagi, 17 April, pencoblosan Pilpres dan Pileg 2019. Aku
belum mengurus kartu pemilih tetap di Kebun Karya.
Oh iya, aku belum
ke Kebun Karya lagi. Rencana pergi ke sana batal pada Rabu, 10 April lalu,
sepulang dari studio Balikpapan TV (BTV) di Gedung Biru Kaltim Post Kilometer 4, karena berangkat-pulang dibonceng Alfian.
Acara di BTV, waktu
itu, adalah Gelar Wicara (Talk Show) Ngopi (Ngobrol Pintar) Pkl. 11.00 s.d.
12.00 bertema “Novel Setiap Malam adalah
Sepi ”. Novel karya Alfiansyah yang diterbitkan oleh Penerbit Abadi Karya
(penerbitanku).
Aku sudah “keluar
kandang”, dan kusadari ketika hendak terlibat dalam penerbitan buku novel itu. Memang,
pada malam pelucuran buku itu, yakni Sabtu malam, 6 April, aku gagal menemukan
tempatnya.
Untuk mendampingi
Alfian di BTV pun karena aku diteleponnya pada Senin, 8 April. Kupikir, saatnya
muncul dan mengaktualisasikan penerbitanku. Kebetulan aku masih memiliki tujuh
buku karyaku untuk dokumen/arsip/koleksi karya di BTV.
Ketujuh buku
tersebut adalah kumpulan gombal Gombalmukelo
(2016), kumpulan puisi Napak Tilas
(2016), Waktu Terhenti di Kursi Rotan
(2018), Membaca Bukumu di Atas Kakus
(2018), kumpulan cerpen Kota Terhilang
(2018), Seseorang Mencuri Mata Saya
(2018), dan kumpulan artikel utama di Kompasiana
“Belum Banyak Berbuat Apa untuk Indonesia” (2018).
Ya, sudahlah. Aku mau
mencari hari yang tepat untuk ke Kebun Karya lagi. Selain soal kartu pemilih
itu, juga aku harus mengisi pulsa listrik, memperbaiki pintu, mengambil
peralatan tukangku, dan membersihkan ilalang yang berada di jalan masuknya.
Mungkin itu saja
yang bisa kutulis. Kopi hitamku sudah menunggu seruputan. Sementara rintik
mulai ramai mengetik di atap seng, dan beberapa ayam jantan bersahut-sahutan
untuk memanggil subuh.
*******
Pinggir Panggung
Renung, 12/4/2019
Kamis, 28 Maret 2019
Gerakan Literasi di Balikpapan, Entahlah!
Oh, aku tidak
mengetahui apa-apa mengenai gerakan literasi di Balikpapan. Jangan pernah
menanyakan perihal semacam itu padaku karena aku memang tidak mengetahuinya.
Dari internet,
tepatnya situs Disdik.Balikpapan.Go.Id,
kubaca judul berita “Gerakan Indonesia Membaca (GIM) Tahun 2017” (Rabu, 31 Agustus 2017). Cuplikan isinya sebagai
berikut:
“Gerakan Indonesia Membaca (GIM) Kota Balikpapan Tahun 2017 yang
diselenggarakan oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Balikpapan hari Rabu
30 Agustus 2017 di Kampung Literasi Yayasan Tunas Budi Luhur Kota Balikpapan.
Acara di buka oleh Walikota dalam hal ini
diwakili oleh Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Balikpapan,
sambutan di hadiri oleh DR. Kastum Kementrian Pendidikan dan
Kebudayaan Direktorat Pembinaan Pendidikan Keaksaraan dan kesetaraan.”
Menurutku, seremonial
belaka. Entah apa yang selama ini dibaca oleh penulis berita, lha wong menggunakan “di” saja masih
payah begitu. Perhatikan “Acara di buka” dan “di hadiri”. Belum lagi lainnya. Padahal, situs resmi milik
dinas pendidikan lho! Apa yang akan dididik, dibina, dan seterusnya jika
persoalan mendasar saja masih begitu, ‘kan?
Ah, sudahlah. Sebaiknya
aku tidak perlu mengetahuinya karena “benteng terakhir” terkait “agen perubahan”
itu sendiri masih berlepotan dalam pemahaman bahasa. Terserah sajalah.
Aku akan kembali
khusyuk dengan pembelajaran sendiri tanpa perlu slogan dan aneka seremonial.
Aku membaca, menulis, membuat buku, dan seterusnya. Tidak peduli pada urusan
literasi-literasi apa pun.
Egoiskah? Aku egois
kalau sudah berhadapan dengan seremonial, slogan, proyek-proyek, dan hal-hal
yang sama sekali tidak berdampak positif dalam kemajuan pemahaman orang muda
semacam itu. Lima tahun kuamati, kupikir, cukuplah.
Biar kulanjutkan pengembaraanku di jalan sunyi ini seorang diri. Semoga resolusi 2019 bisa terwujud dengan buku-buku karyaku sendiri.
Biar kulanjutkan pengembaraanku di jalan sunyi ini seorang diri. Semoga resolusi 2019 bisa terwujud dengan buku-buku karyaku sendiri.
*******
Pinggir Panggung
Renung, 29/03/2019
Mumpung Jomlo, Menulislah dan Belajarlah!
Menulis merupakan
kegiatan yang sangat mudah bagi siapa pun yang telah tamat SD. Ketika dalam
pelajaran Bahasa Indonesia SD, sudah ada materi mengenai huruf besar-kecil,
suku kata, kalimat langsung-tidak langsung, Subjek-Predikat-Objek-Keterangan (S-P-O-K),
dan hal-hal mendasar lainnya.
Saya masih
mengingat itu karena saya pernah menamatkan pendidikan SD. Tidak perlu tamat
dengan nilai 8 atau 9 dalam pelajaran Bahasa Indonesia, yang penting, tidak 5
alias merah, dan, toh, saya tamat,
dan mendapat ijazah. Terlebih, sekarang sudah berijazah sarjana S-1.
Menulis merupakan
bukti bahwa saya sudah tamat SD. Dan, menulis tidaklah memerlukan keahlian
khusus (bakat) semacam menggambar. Meski sejak SD sudah ada pelajaran Seni
Rupa, tetap saja bukanlah hal yang mudah dilakukan jika dibandingkan dengan
menulis. Iya, ‘kan?
Sementara saya
sudah melakukan keduanya (menggambar dan menulis), dan saya arsitek alias
tukang gambar bangunan. Saya tidak sendirian karena masih ada beberapa arsitke
lainnya yang malah lebih lihai menulis daripada saya. Artinya, antara keahlian
khusus (bakat menggambar) dan keahlian biasa (biasa menulis) bisa saya kelola
sesuka saya sendiri. Buku-buku saya merupakan buktinya juga.
Nah, sekarang,
bagaimana dengan kawan-kawan pemula yang suka menulis tetapi bukan karena
bidang belajar; suka menulis tetapi tidak sanggup menggambar; suka menulis
tetapi belum mencapai taraf yang mumpuni?
Saran saya,
menulislah dan belajarlah. Menulislah sampai menjadi sebuah tulisan yang utuh. Lakukan
terus-menerus. Misalnya menulis puisi. Buatlah puisi.
Namun, jangan lupa,
membaca buku-buku puisi karya penyair yang bermutu. Sesekali bacalah teori mengenai
puisi, dan kaidah-kaidah penulisan umumnya. Kemudian buatlah puisi lagi.
Apa itu “membaca buku
teori mengenai kaidah penulisan”? Meski puisi dengan tameng “licentia puitika”,
kaidah dasar wajib dipahami agar bisa menjawab jika ditanyakan mengenai maksud
tertentu. Misalnya, ketika puisi berisi “dilanggar” atau “di langgar”,
perbedaannya memang sudah dipahami.
Saran saya lagi,
beranilah mengikuti pertarungan karya, bahkan di luar daerah. Ya, sekadar “ujian”
atas usaha tulis-menulis yang dipelajari dan dilakukan secara autodidak itu.
Ada tiga jenis
pertarungan. Pertama, media massa. Kedua, lomba. Ketiga, kurasi untuk karya gabungan. Ingat, jangan hanya di daerah
sendiri, melainkan ke luar daerah agar suasana pertarungan bisa terkesan
objektif karena tidak mengenal siapa editor, juri atau kuratornya.
Seperti halnya yang
pertama, “media massa”, ada juga media massa daring (online). Salah satu yang saya pakai adalah Kompasiana.Com.
Saya menggunakan
media pelopor jurnalisme warga (Citizen
Journalism) ini sebagai ajang “ujian” saya sendiri. Kalau sebuah tulisan (artikel)
saya masuk kategori tertentu, saya akan menjadikannya tabungan untuk calon buku
saya. Buku kumpulan “Artikel Utama” di Kompasiana
itu sudah saya terbitkan pada 2018. Judulnya, “Belum Banyak Berbuat Apa untuk
Indonesia”. Nanti akan disusul buku-buku dari tulisan-tulisan saya di sana.
Bagi saya, kalau
tulisan-tulisan saya hanya berpendar-pendar di layar kaca, tidaklah cukup
memuaskan. Buku merupakan wadah pamungkas saya untuk mengabadikan karya saya
sendiri, termasuk kara seni rupa. Tentu saja sangat memuaskan karena saya bisa
menggabungkan keduanya, menulis dan menggambar. Selesaikah?
Saya tidak pernah
selesai sampai di situ. Saya masih akan terus menulis dan menggambar. Saya
masih akan terus membaca, belajar, dan berlatih.
Nah lagi, kalau
kawan-kawan pemula tidak mampu menggambar, kuasailah perihal tulis-menulis. Kuasai
satu genre, lalu beralih ke genre lainnya. Puisi, pantun, cerpen, esai/opini,
dan lain-lain. Terlebih kalau masih jomlo (“jomblo” tidak baku).
Ya, kalau masih
jomlo, olah dan kelolalah kapasitas diri dalam tulis-menulis. Soalnya, kalau
sudah berumah tangga, alangkah beratnya usaha itu! terlalu banyak urusan yang
akhirnya hanya akan menghentikan usaha tulis-menulis.
Saya sudah belajar
dan berlatih serius ketika masih jomlo. Puisi, cerpen, esai/opini saya babat
semua selagi (mumpung) jomlo. Ketika sudah berkeluarga, saya hanya
mengembangkan kemampuan. Tidak lagi repot dengan belajar dan berlatih sebagai
pemula. Sesekali belajar hanya untuk proses pengembangan kemampuan.
Saran terakhir,
kalau kawan-kawan pemula belum mampu menguasai tulis-menulis tetapi sudah
berhasrat untuk berumah tangga, tinggalkan saja kegiatan tulis-menulis atau keinginan untuk menjadi penulis itu
sekarang juga! Sebab, percuma. Tidak akan ada kemajuan apa-apa jika sudah
berumah tangga. Mengolah-kelola rumah tangga jauh lebih penting daripada urusan
belajar-berlatih tulis-menulis yang sekadar hobi.
Itu saja dari saya.
*******
Pinggir Panggung Renung, 29
Maret 2019
ISBN untuk Buku “Sang Pengendara Aksara” sudah Cair
Gerimis menyambut
sore. Seekor anak tikus terlengket dalam jebakan. Aku menyeruput kopi hitam
sambil menunggu internet tersambung.
Tadi subuh aku
mengirim permohonan ISBN untuk buku “Sang Pengendara Aksara” ke Perpustakaan
Nasional RI. Sekadar mencoba bermain dengan waktu karena hari ini Kamis. Apakah
ISBN bisa keluar dalam satu hari?
Pasalnya, ketika
aku mengurus ISBN untuk buku novelnya Alfian pada hari Jumat, ISBN “cair” pada hari
Selasa. Nah, bagaimana kalau kali ini kucoba pada hari Kamis?
Ternyata ISBN sudah
“cair”. Tidak sampai satu hari. Puji-syukur kepada Tuhan. Alhamdulillah.
Berarti, lain kali,
sebaiknya permohonan ISBN kukirim dari antara Senin s.d. Kamis, kalau mau cepat.
Kalau tidak mau cepat, ya, Jumat s.d. Minggu. Ya, selalu ada pilihan di antara cepat atau lambat.
Kurasa begitu
sajalah. Aku mau menyeruput kopi lagi.
*******
Pinggir Panggung
Renung, 28/03/2019
Rabu, 27 Maret 2019
Satu Calon Buku Kuselesaikan Lagi
Kamis berazan Subuh dari beberapa masjid. Udara masih basah karena selepas Magrib sempat hujan. Kukuruyuk-kukuruyuk
bersahutan dengan miaw-miaw seekor
anak kucing entah di mana.
Aku baru
mengirimkan permohonan ISBN untuk calon bukuku, “Sang Pengendara Aksara”. Buku
ke-3 untuk resolusi 2019. Dalam buku ini terdapat 23 artikel seputar kegiatan tulis-menulis, dan berstempel "Pilihan" di Kompasiana.Com. Semua sudah siap naik cetak, kecuali uang untuk biaya
pencetakannya.
Tidak perlu
menanyakan soal uang itu. Aku hanya bisa mengimani bahwa uang akan ada dengan
sendirinya. Bukan karena uang maka aku kemudian menyiapkan apa pun. Uang urusan
Tuhan, aku hanya melakukan apa yang bisa kulakukan.
Lalu, bagaimana
dengan buku ke-2, “Surga Siap Saji”? Belum kuajukan permohonan ISBN karena
ilustrasi isi belum kupindai. Beberapa ilustrasi akan mengubah halaman sehingga
belum bisa kucantumkan halaman yang pasti di Daftar Isi. Untuk pengajuan ISBN
dan KDT, aku harus memastikan jumlah halamannya.
Ya, resolusi 2019
yang kuimani pada akhir 2018 adalah terbitnya tujuh bukuku. Semua bukuku pada
2019 berupa kumpulan artikelku yang berstempel “Pilihan” (Highlight) dan “Artikel Utama” (Headline)
di Kompasiana.Com. Berapa dana yang
harus kusiapkan? Lagi, Tuhan yang akan memberikannya. Bagaimana caranya? Urusan
Tuhan, biarkan saja.
Aku memang berupaya
menyiapkan apa yang bisa kulakukan, khususnya untuk calon buku-bukuku. Untuk membuat
satu buku saja, bukan pekerjaan yang mudah dan singkat, semisal dua hari
selesai. Meski sampulnya sudah jadi, aku pasti membenahinya sampai siap naik
cetak.
Sekarang mumpung
ada waktu sebelum buku novel “Setiap Malam adalah Sepi”-nya Alfiansyah datang
dari sebuah percetakan di Jawa. Kalau buku novel itu datang, aku harus pergi
lagi ke Kupang untuk menyelesaikan pekerjaan arsitekturku yang tertunda. Elcid
sudah mengabarkan bahwa aku harus kembali, tetapi beri tahu waktunya.
Mau-tidak mau aku
harus pergi, meski berat kutinggalkan Balikpapan, termasuk acara peluncuran
novelnya Alfian. Pergi juga, bagiku, waktu yang tepat untuk menjemput rezeki
dari Tuhan sehingga aku bisa membiayai pencetakan buku-bukuku.
Tujuh bukuku harus
terbit sesuai dengan resolusiku. Untuk apa jika semuanya terbit? Untuk mewujudkan
keinginanku dalam pengabadian karya berbentuk buku. Buku-buku yang berisi
artikel tematis. Arsitek dan arsitektur. Seputar dunia tulis-menulis. Artikel
utama yang perlu pemikiran “lebih”. Tentang korupsi. Tentang sastra dan
sudut-sudutnya. Dan seterusnya.
Terus terang, kalau nanti berada di Kupang, aku pasti sibuk berurusan dengan perancangan dan pembangunan. Jiwa dan raga pasti capai ("capek" tidak baku). Aku harus menyiapkannya sebelum capai menderaku. Risiko yang sudah biasa. Mujurnya, novel Alfian sudah selesai.
Terus terang, kalau nanti berada di Kupang, aku pasti sibuk berurusan dengan perancangan dan pembangunan. Jiwa dan raga pasti capai ("capek" tidak baku). Aku harus menyiapkannya sebelum capai menderaku. Risiko yang sudah biasa. Mujurnya, novel Alfian sudah selesai.
Sirine pkl.06.00
WITA sudah berbunyi. Kukuruyuk masih
bersahut-sahutan. Kicau seekor kutilang liar sudah membuka pagi yang mendung.
Aku harus
mengakhiri tulisan sepele ini karena sudah waktuku untuk tidur. Tidur sambil
menunggu paket buku novel Alfian datang. Semoga buku novel Alfian membuka
kemungkinan-kemungkinan yang positif dan potensial untuk kebaikan bersama sebelum kelak aku tidak mampu pergi ke mana-mana lagi.
*******
Pinggir Panggung
Renung, 28/03/2019
Minggu, 24 Maret 2019
Menjadi Diri Sendiri
Senin, 25/3/2019.
Pkl. 00.45 WITA. Udara basah, sisa hujan Minggu sore. Nyanyian jangkrik. Musik
kendaraan.
Aku sudah
menyelesaikan ilustrasi untuk calon bukuku, “Surga Siap Saji”–sebuah kumpulan “Artikel
Utama” di Kompasiana.Com. Ilustrasi
terakhir adalah karikatur Tilaria Padika aka George Hormat alias Gege.
Enam lembar HVS A4
dengan aneka ilustrasi kugantung dekat tempat dudukku. Aku belum bisa memindai (men-scan) semua itu karena alat pemindaiku rusak sejak tahun lalu. Aku
belum memiliki biaya untuk memperbaikinya. Aku memang sedang tidak memiliki
uang.
Sementara calon buku
“Arsitek yang Menulis” sudah siap memasuki proses pencetakan setelah mendapat ISBN
(International Serial Book Number) dari Perpustakaan Nasional RI. Namun,
lagi-lagi, aku sedang tidak memiliki uang untuk membiayainya.
Intinya, aku memang
tidak memiliki uang untuk semuanya itu.
Aku memang tidak
bekerja seperti kebanyakan orang. Mengapa aku tidak bekerja agar menghasilkan uang sekian juta rupiah saban bulan, dan seterusnya,
tidak perlu kusampaikan di sini. Apakah kemudian aku harus bersedih?
Terlalu sepele
hidup ini jika setiap waktu aku perlu bersedih. Tuhan selalu mengajakku bersuka
cita, bahkan senantiasa. Tuhan selalu mengajakku bersyukur dalam segala hal. Firman-Nya selalu hidup, dan berdegup bersama irama
jantungku. Bukan karena berduit lantas aku bersuka cita dan bersyukur. Bukan karena
buku-bukuku terbit lantas aku akan bersorak-sorai.
Aku sudah menjadi
diriku sendiri sejak mengenal-Nya pada 1989. Aku tidak perlu meniru siapa-siapa
atau ingin menjadi seperti siapa. Aku tercipta secara khusus. Ya, setiap
manusia tercipta secara khusus karena itulah hebatnya Tuhan yang kupercaya.
Tuhan membentuk aku
secara khusus dengan talenta dari-Nya yang kugali dalam diriku. Talentaku
bukanlah untuk menjadi kaya secara materi, tetapi kaya secara karya. Secara
manusiawi, Yesus Kristus hanyalah anak tukang kayu. Yesus Kristus tidak
memiliki ternak. Yesus Kristus tidak memiliki lahan. Yesus Kristus hanya memiliki
karya, bahkan sampai mati di kayu salib Yesus Kristus tidak memiliki harta
benda duniawi.
Malam menjelang
dini hari masih menyisakan udara basah dan suara-suara tadi. Aku masih mengetik
tulisan sepele ini.
Aku merasa Tuhan tidak
mengizinkan aku menggerakkan jari-jari untuk mengetik hal-hal yang tidak baik,
kecuali menikmati waktu sebelum kantuk berkunjung lalu mengajakku beranjak ke
tempat tidur. Bagiku, Tuhan selalu lebih baik daripada apa pun yang kumiliki
atau yang mampu kuraih. Bagiku, menjadi diri sendiri adalah yang terbaik dari
segala ambisi yang ditawarkan oleh kehidupan ini.
*******
Balikpapan, 25
Maret 2019
Kamis, 14 Maret 2019
Jangan Cengeng, dan Suka Main Keroyok
Rencana 2019 : 7 Buku Kumpulan Esai Karya Gus Noy
Gaes,
Aku bisa menangis,
tetapi bukan berarti cengeng. Kalau aku cengeng, tidak akan berani pergi dari
ketiak ibuku ketika lulus SMP. Ya, SMA sampai tamat pendidikan Arsitektur aku berada di
Yogyakarta, sementara orang tuaku tetap di Sungailiat, Bangka (Babel), tepatnya Kampung Sri Pemandang Atas.
Kampung Sri Pemandang Atas itu sangat pelosok alais jauh dari Ibu Kota Babel, yaitu Pangkalpinang, apalagi Ibu Kota Indonesia. Kampung halamanku tidak pernah menjadi perbincangan apa pun dalam kancah kemajuan Indonesia. Namun aku sangat berterima kasih kepada kampung halamanku, sekaligus bangga dengan selalu menyebutkannya dalam setiap riwayat hidup (biodata) karya-karyaku.
Kampung Sri Pemandang Atas itu sangat pelosok alais jauh dari Ibu Kota Babel, yaitu Pangkalpinang, apalagi Ibu Kota Indonesia. Kampung halamanku tidak pernah menjadi perbincangan apa pun dalam kancah kemajuan Indonesia. Namun aku sangat berterima kasih kepada kampung halamanku, sekaligus bangga dengan selalu menyebutkannya dalam setiap riwayat hidup (biodata) karya-karyaku.
Gaes,
Di perantauan aku bukanlah
menjadi penonton terhadap situasi daerah perantauan sampai kembali ke kampung
halaman dan bercerita hingga berbusa-busa mengenai kehebatan daerah perantauan. Ketika Kelas III SMA, aku sudah dipercaya oleh pihak sekolah,
khususnya guru Seni Rupa, untuk menjadi juri dalam lomba lukis di sekolah. SMA
itu di Kota Pelajar yang juga Kota Budaya, Gaes,
sedangkan aku sama sekali asli dari kampung yang jauh dari pelosok kota
terkenal di Indonesia.
Apakah karena aku
pintar?
Gaes,
Aku bukanlah orang
pintar. Aku hanyalah orang beruntung alias bernasib baik/mujur. Untuk bisa
melanjutkan belajar ke Yogyakarta saja aku hanya mengandalkan nasib ketika
menghadapi Ebtanas. Aku diultimatum oleh ibuku, bahwa nilaiku harus sampai pada
angka minimal kalau mau bersekolah di Jawa. Aku seorang pemalas dalam belajar
di sekolah. Seluruh saudaraku di Bangka sangat mengenal karakter pemalasku itu.
Namun, nasib bin takdir tidaklah bisa dikenali oleh siapa pun.
Gaes,
Aku berubah drastis
ketika berada jauh dari kampung halaman. Semakin aku rajin atau berusaha keras,
semakin kuandalkan nasib bin takdir yang terwujud. Kesadaran sebagai orang
bodoh dan kemauan untuk berubah merupakan jalan terbaik bagi nasib baik/mujur.
Karya-karyaku, baik
gambar maupun tulisan, diperhitungkan oleh beberapa penyelenggara lomba ketika
aku masih berada di Yogyakarta. Salah satunya adalah nomine Lomba Desain Kaus
Oblong “Sewindu Rindu Dagadu”. Ya, di Kota Budaya itulah aku ditempa. Setamat
SMA aku sempat belajar menggambar di Bandung melalui bimbingan belajar
menggambar bernama “Garizt” yang diasuh oleh HMSRD-ITB karena aku ingin masuk
FSRD-ITB, meskipun tiga kali gagal.
Gaes,
Kegagalan tidak pernah
membuatku cengeng. Kebodohanku pun tidaklah menjadi alasan untuk iri/dengki
pada orang-orang kreatif-menang-juara, apalagi bergabung dengan kelompok pendengki lalu mengeroyok
dengan cara mencela atau mencemooh orang-ornag yang kreatif-menang dalam
dalam pelbagai perlombaan intelektual.
Gaes,
Jadilah manusia
yang tidak cengeng/manja, misalnya selalu minta bantuan untuk mencapai suatu
puncak pertandingan atau persaingan intelektual. Pergunakan waktu yang ada untuk
menempa diri. Beranilah menjajal kemampuan berpikir dengan cara mengikuti ajang uji nyali (lomba).
Dan jadilah manusia
yang mandiri dengan kemampuan sendiri. Tidak perlu bergabung dengan kelompok
pencemooh yang hidup dari iri/dengki lalu memfitnah seenak mulut. Kualitas kemanusiaan
tidak bisa dikatrol oleh obrolan penuh iri/dengki, bahkan malah sebaliknya,
bahwa iri/dengki hanya menjerumuskan kualitas kemanusiaan.
Aku rasa cukup itu
saja, Gaes. Selamat menjadi diri
sendiri dengan penempaan yang mampu dilakoni secara apa adanya.
*******
Balikpapan, 15
Maret 2019
Langganan:
Postingan (Atom)