Jumat, 13 September 2019

Tunggu Aku Kaya


Aku tidak mengetahui secara pasti mengenai geliat tulis-menulis di Balikpapan pasca-2014. Kemunculan novel karya Alfian pun masih perlu pembuktian untuk konsistenitas dan kontinyuitas bagi penulis lainnya.

Sementara aku harus menghidupi keluarga, karena aku kepala rumah tangga. Berkeluarga bukanlah sekadar selembar Kartu Keluarga (KK/C 1) yang baru.  

Biaya hidup di Kota Minyak tidaklah murah. Aku tidak memiliki pekerjaan tetap dengan gaji yang banyak. Pergi ke luar Balikpapan dengan alasan bekerja, ternyata, tetap tidak sesuai dengan kelaziman sebuah pekerjaan dan hasil secara finansial.

Mungkin kondisi ini berbeda dengan jika aku bujangan. Kalau bujangan, aku bisa bergerak bebas, karena tidak ada tanggungan. Bisa pagi sampai pagi, siapa yang akan melarang, ‘kan?

Aku tidak menyesali kondisi, karena, toh, aku pindah ke Balikpapan hanya satu alasan, yaitu menikah. Kalau bukan alasan itu, manalah mungkin aku mau pindah ke Balipapan, terlebih biaya hidup yang sangat tinggi.

Akan tetapi, bagaimanapun, aku sudah menjadi warga Balikpapan. Lantas?

Aku harus mengumpulkan banyak uang, memberi jaminan ekonomi untuk keluarga sampai tabunganku berlimpah, barulah aku bisa membantu kaum muda dalam tulis-menulis. Aku harus mapan secara ekonomi, karena realitas tidak cukup sebatas sebuah pekerjaan yang mirip kerja bakti belaka.

Misalnya untuk memenuhi undangan ngobrol. Biasanya di warung atau kafe. Bagaimana kalau aku tidak memiliki uang untuk bahan bakar, dan sekadar minum kopi?

Misalnya lagi untuk emmenuhi undangan ngobrol di luar kota. Apakah tidak perlu uang untuk ongkos perjalanan?

Sepele, ya? Kalau sepele, ya, siapkan uangnya untukku dong. Tidak perlu sampai berjuta-juta rupiah. Cukup ongkos yang ada, bagaimana? Kalau tidak mau memberi ongkos, ya, percuma menyebutnya “sepele”. Sepele saja pelit, apalagi kalau tidak sepele, ‘kan?

Jangan heran lagi kalau aku tidak mau menghadiri acara apa pun yang berbau kesenian atau sastra. Aku belum kaya. Aku belum memiliki uang untuk aku “buang” begitu saja. Keluarga tetap nomor satu, karena aku datang di Balikpapan memang untuk berkeluarga.

Kami juga bukanlah keluarga kaya. Kami tidak mampu membeli mobil. Mobil masih menjadi indikasi kekayaan, karena biaya merawat dan mengoperasionalkan mobil tidaklah murah jika dibandingkan dengan motor.

Dan, jangankan membeli mobil, motor pun merupakan warisan orangtua kami alias aku tidak mampu membeli motor. Itu semua berarti bahwa aku benar-benar tidak memiliki uang yang cukup memadai untuk berkegiatan yang sekadar "membuang" uang di warung kopi.

Di samping itu aku membutuhkan sponsorship dan keterlibatan lembaga atau instansi terkait. Tanpa sponsor, biaya operasional tidak ada. Tanpa lembaga atau instansi terkait, kegiatan tulis-menulis hanya semacam sambilan untuk hal-hal yang tidak kreatif-produktif.

Aku tidak mampu melakukan pembinaan dengan seorang diri saja. Upaya mengolah dan mengelola SDM harus dilakukan dengan tim, supaya pembagian porsi bisa terjadi, konsentrasi bisa tepat sasaran, dan optimasi atas regenerasi penulis bisa terjadi.

Toh, secara pribadi, aku masih terus menulis, bahkan sebagian telah terkumpul dalam buku-buku karya tunggalku. Meski kondisi keuangan sangat minimalis, aku berusaha keras untuk konsisten dalam produktivitas karya.

Sekarang bagaimana dengan putera-puteri Balikpapan sendiri, terlebih persiapan untuk menyambut pembangunan ibu kota baru di Provinsi Kaltim ini    ?  

*******
Kupang, 13 September 2019

Kamis, 12 September 2019

POLITIK HARGA DIRI entah kapan terbit


Baru tujuh artikel. Belum dua puluh. Tiga belas artikel lagi, tetapi entah temanya apa lagi.

Sementara judul sudah ada, dan rencana sampul depan sudah selesai.

Tinggal rajin menulis, mencari data valid, dan menayangkannya di Kompasiana.

Kamis, 15 Agustus 2019

Hadiah dan Ibu dan Ada Aku yang Lain


Mungkin aku masih percaya pada kekuatan telinga dan mata daripada mendayagunakan ketangguhan jiwa dalam upaya menyiasati segala sengketa antarsituasi sehari-hari. Mungkin kamu bingung mengenai apa yang hendak kusampaikan ini.

Baru kini, tepatnya 9 Agustus, aku berani melawan kesewenang-wenangan seorang majikan atau pemberi pekerjaan. Dengan kesewenang-wenangannya itu aku menyatakan bahwa dia justru jauh lebih keji daripada program tanam paksa dan kerja paksa sebelum kemerdekaan Republik Indonesia.

Ya, menurutku, dia sudah keterlaluan memperlakukan aku. Tidak ada hak dan kewajiban yang diterikat oleh aspek formalitas-legalitas, tetapi aku telah memberinya sebagian hasil yang melampaui apa yang pernah diharapkan atau dibayangkannya.

Sebelum 9 Agustus, aku melakoni sebuah peran paling mengenaskan dari sekian episode kehidupan sebelumnya. Kesemua episode itu berangkat dari kemiskinan yang menyusup dalam sumsumku setelah aku berada di luar lingkaran kenyamanan yang dijaminkan oleh sebuah ikatan formal-legal.

Anggap saja sebuah aktualisasi atas pepatah “Sudah jatuh, tertimpa tangga pula”. Sudah miskin, diperas lagi. Apakah itu tidak keterlaluan?

***
Kemiskinan selalu meneteskan keharuan perihal manusia memangsa sesamanya atas nama apa saja. Kemiskinan terlalu lama memperbudak dengan aneka ketakutan dan kecemasan. Kemiskinan hanya menghidupkan hantu-hantu hingga bergentayangan pada setiap perenungan. Bahkan, kemiskinan berhasil melumpuhkan sendi-sendi optimistis.

Kuakui, kemiskinan telah berpengaruh mutlak dalam setiap kegagalanku. Aku mengalami sebuah ketakutan yang akut. Aku gemetar menjelang fajar. Aku menggigil menjelang senja. Kegelapan apa lagikah yang sedang bersiap untuk meringkusku?

Di sisi lain, aku berusaha melakukan pembenaran sebagai upaya serius untuk menghibur diriku. Kemiskinan merupakan sesuatu yang bla-bla-bla-bla. Mungkin juga sebuah usaha santai pada saat situasi semakin sekarat.

***
9 Agustus merupakan hari bersejarah bagiku pada saat situasi semakin sekarat dalam perbudakan dan kesewenang-wenangan. Di toko bahan elektronik “Lancar”, Kupang, aku menerima kabar dari Ibu.

Sewaktu menerima kabar itu, aku belum sadar dari pengaruh sihir perbudakan. Kesadaranku seolah terbelit dalam gulungan kabel NYM 3 X 2,5. Aku menanggapi kabar Ibu dengan datar-datar saja.

Sekian jam setelah menerima kabar itu, barulah saya sadar. Oh, ternyata…

Aku merasa mendapat “sengatan” listrik baru untuk bangkit, dan menjadi sebuah sosok yang seharusnya : berani mengatakan suatu kebenaran yang semestinya dinyatakan.  

***
Saya percaya bahwa seorang ibu memiliki suatu naluri alamiah yang berasal dari sebuah ikatan batin dengan anaknya, meskipun si anak sudah dewasa sekali. Sewaktu masih berkuliah di Jogja, aku pernah ditelepon oleh Ibu melalui telepon milik induk semang.

“Kamu sakit, ya?”

Begitu pertanyaan Ibu, dan saya iyakan.

Beberapa kali telepon dari Ibu selalu hadir pada saat aku sedang mengalami suatu penderitaan atau akan mengalami suatu kesusahan. Dan, sampai usia saya dengan kepala empat ini, naluri Ibu masih saja berfungsi.

***
Mungkin aku masih belum beranjak dari lingkaran duniaku yang lain. Mungkin aku terlalu jauh meninggalkan diriku yang hakiki. Mungkin kamu semakin kebingungan dengan apa yang sesungguhnya hendak kusampaikan ini.

Apa pun itu, kini aku “merasa” memiliki sebuah kekuatan dari Ibu untuk menghadapi praktik-praktik perbudakan antarsesama manusia yang kualami sendiri. Dengan “merasa”, tentu saja, sangat situasional, dan perlu adanya sikap pembenahan yang signifikan hingga “merasa” itu lenyap, dan hakikat “memiliki” merupakan kenyataan yang konkret.

Akan tetapi, untuk sementara ini cukuplah pada tahap “merasa”. Aku harus mengupayakannya seoptimal mungkin agar menjadi sesuatu yang konkret.

Aku melawan kesewenang-wenangan seorang pemberi pekerjaan. Janganlah dia “mentang-mentang” tetapi malah memungkiri seutas hakikat yang mengikat antara manusia dan kemanusiaan. Janganlah ketika aku mengakui kemiskinanku lantas dia boleh seenaknya memperbudak aku.

Memang, keberanianku melawan sikapnya itu cenderung mengungkapkan perihal sisi lain diriku, yakni sisi pemberontak yang mendadak muncul dari kegelapan. Tidak mustahil bahwa perihal ini pun bisa berbalik arah padaku sendiri. Aku wajib waspada.

*******
Kupang, 15 Agustus 2019

Minggu, 19 Mei 2019

Ketika Lapar Mendera


Suntuk menggambar renovasi bangunan dengan detail-detail teknis. Kopi hitam menjadi andalan sejak bangun dari tidur. Kata orang, kopi sangat mendukung konsentrasi. Ya, biasanya begitu yang kulakukan saban hari.

Sementara makan hanyalah ketika lapar. Ketika lapar, makanan apa pun bisa langsung enak. Dan, apabila lapar, paling cepat adalah menyantap kudapan sejenis roti atau gorengan.

Makan untuk hidup. Hidup untuk makan. Keduanya “makan” berbeda makna, bukan?

Esensi makhluk hidup adalah makan. Makan untuk hidup. Jenazah atau mayat tidak memerlukan makanan. Meja juga demikian. Itulah yang kualami pada Sabtu, 19 Mei 2019.

Persoalannya, suntuk menggambar diusik oleh lapar tetapi tidak ada makanan. Satu hari aku belum makan. Kondisiku sedang berada di perantauan (Kupang), dan kembali menjadi bujangan alias jomlo. Celaka!

Eh, tunggu dulu. Jangan seketika memaki hidup dengan “celaka!”.

Di lemari dapur kulihat ada tepung tapioka. Di lemari es alias kulkas ada tepung terigu dan beberapa potong ikan mentah. Tentu saja tersedia bawang, garam, minyak goreng, dan perlengkapan masak-memasak.

Aku pun mengolahnya sampai menjadi kudapan atau gorengan untukku sendiri. Agar ada sentuhan rasa tersendiri, kubuatkan kuah seperti cuka empek-empek bangka.

Maka, kalau sudah didera lapar, apa pun enak, ‘kan? Selanjutnya aku bisa kembali suntuk menggambar.

*******
Kupang, 17 Mei 2019

Senin, 06 Mei 2019

Sekali Lagi, Konsisten dan Konsekuen


Aku sedang malas membuka buku kamus konvensional. Aku mencarinya di internet saja. Cara mudah untuk tulisan sekadar begini.

Konsisten
Menurut KBBI.Web.Id, konsisten/kon·sis·ten/ /konsistĂ©n/ a 1 tetap (tidak berubah-ubah); taat asas; ajek; 2 selaras; sesuai.

Konsekuen
Menurut KBBI.Web.Id, konsekuen/kon·se·ku·en/ /konsekuĂ©n/ a sesuai dengan apa yang telah dikatakan atau diperbuat; berwatak teguh, tidak menyimpang dari apa yang sudah diputuskan

Konsisten dalam Berkarya
Pencipta identik dengan ciptaan; kreator dengan kreasi. Terserah, kamu mau sepakat atau tidak. Aku tidak akan memaksa, terlebih aku memilih apa yang kuinginkan.

Yang penting, kamu bisa melihat sendiri bahwa aku selalu berusaha untuk konsisten melaksanakan pilihan hidupku, baik dalam tulis-menulis maupun dalam gambar-menggambar. Bisa jadi hari ini aku tidak menulis karena kemarin aku menggambar, atau besok aku akan menggambar.

Apalagi sekarang aku sudah memiliki penerbitan sendiri, dan menghasilkan belasan buku. Tulisan dan gambaran (ilustrasi) bisa kusatukan dalam satu karya tunggal. Sangat menyenangkan, meski terkadang merepotkan.

Konsistensi berkaitan dengan berkelanjutan. Konsistensi dalam tulis-menulis, misalnya, berkaitan dengan jumlah tulisan yang selesai selama kurun waktu tertentu. Konsistensi dalam gambar-menggambar yang bukanlah pekerjaan juga begitu.

Konsisten dengan hobi yang sama sekali tidak langsung menghasilkan uang, apalagi dalam jumlah banyak, bagaimana?

Konsisten dalam berkarya yang sama sekali tidak langsung menjadikan terkenal, bagaimana?

Konsekuen dalam Berkarya
Aku selalu berusaha untuk konsekuen dalam berkarya. Uang berlimpah dan tenar berbinar tidak pernah menyambutku. Konsekuensi ini tidaklah pernah singgah dalam impian sebagian orang, 'kan?

Buku-buku tunggalku menjadi bukti dan abadi mengenai konsekuensi itu. Aku tidak perlu repot berkoar-koar perihal berkarya, mengabadikan karya, konsisten atau konsekuen.

Meskipun repot menjalani beberapa pekerjaan (menulis, menggambar, menyunting, menyusun, dan seterusnya) hingga menjadi sebuah buku, bagiku, semua ini merupakan konsekuensi logis yang patut kulakoni, dan kunikmati prosesnya.  Ya, aku tidak akan berkoar mengenai proses dan ini-itu, melainkan bagaimana aku melakukan semua proses sebagai konsekuensi logis yang tidak boleh ditangisi.

Laris manis atau tidak, juga merupakan konsekuensi logis bagiku. Dan, bukankah setiap pilihan selalu menyajikan konsekuensi logis?


Berkarya
Seseorang dikenal dari hobinya (kegemaran; kesukaan). Seseorang dikenal dari apa yang dikerjakannya. Seseorang dikenal dari apa yang dihasilkannya. Seorang pelukis dikenal karena lukisannya. Seorang penulis deikenal karena tulisannya.

Aku tidak perlu dikenal dengan apa pun karena aku hanya mengolah dan mengelola hobi, waktu, dana, dan situasi. Bagiku, semua itu merupakan berkarya, berdaya-upaya, dan menjadi diri sendiri.

Cukuplah berkarya. Tidak usah kutambahi dengan hal-hal lain yang serba muluk. Ya, mumpung (selagi) mampu,  kulakukan saja. Mumpung suka, kulakukan juga dengan sesukaku saja.

Dan, bagaimana dengan kamu sendiri? Terserah kamu-lah!
  
*******
Pinggir Panggung Renung, 3 Mei 2019

Kamis, 02 Mei 2019

Ilustrasi-ilustrasi untuk Sebuah Buku Kumcer


Ilustrasi-ilustrasi untuk buku kumpulan cerpen “Gadis yang Mengendarai Ombak” sudah selesai. Cerpen-cerpen dalam buku ini berangka tahun (titimangsa) 2001 s.d. 2016. Sementara proses atak (tata artistik; lay out) hanya menyisakan penempatan ilustrasi-ilustrasi tersebut.

Rencana Sampul




Rencana Ilustrasi Cerpen-cerpen dalam Buku Itu

Ya, beginilah kenyataan hidupku. Berkarya secara tertulis dan tergambar merupakan  satu-kesatuan yang sangat menyenangkan, meskipun tidak bisa terjadi dalam waktu singkat. Semua kujalani dengan semangat penghargaan atas anugerah dalam hidupku.

Bakat menggambar memang sudah ada sejak kecil. Akan tetapi, tanpa belajar lagi di bimbingan belajar menggambar “Garizt”, Bandung selepas SMA di Yogyakarta, bakat bakal begitu-begitu saja. Tiga bulan penuh aku belajar dengan tekun, dan menyenangkan.

Menulis, kuakui, bukanlah bakat sejak kecil. Di pers mahasiswa dulu aku tidak suka menulis karena aku ilustrator dan penata artistik (lay outer). Akan tetapi, situasi di sekretariatnya sangat kondusif untuk belajar, meskipun secara diam-diam.

Dan, buku-bukuku merupakan dokumentasi dari kombinasi antara menggambar dan menulis, termasuk memilih, menyusun, dan menata.  Tentu saja, sekali lagi, bukan proses yang hanya sekejap dalam satu-dua tahun.

Jadi, buku-bukuku merupakan hasil pengolahan dan pengelolaan atas seluruh kapasitasku. Buku-bukuku adalah aku seutuhnya. Semoga aku bisa konsisten dan konsekuen menjalani semua ini.

*******
 Pinggir Panggung Renung, 2 Mei 2019

Selasa, 30 April 2019

Seorang Oknum Pegiat Literasi Hanya Mau Gratisan


Suatu waktu aku melihat  foto-foto yang dipajang oleh seorang kawan dalam sebuah kelompok literasi. Beberapa orang memamerkan buku yang mereka pegang.

Lantas aku menanggapinya. “Kapan bukumu nyusul?” tulisku.

Ia menjawab, sebentar lagi. Selanjutnya ia minta buku-buku karya tunggalku.

Aku pun menjawab, ada  tujuh buku yang bisa kuberikan. Akan tetapi, aku meminta ia menanggung ongkos kirimnya (ongkir) karena aku tidak memiliki uang, dan posisinya jauh di luar pulau. Kalau aku kaya, pasti kukirimkan secara cuma-cuma tanpa minta ongkir.

Jawabnya, “Kami pikir-pikir dulu, deh.”

***

Memang beginilah kenyataan hidup. Aku bukanlah karyawan. Aku tidak memiliki pendapatan bulanan yang tetap. Aku jarang sekali mendapat penghasilan yang sesuai dengan kapasitasku.

Meski dengan segala keterbatasan, termasuk ketidakmampuan membayar tenaga mumpuni, aku berjuang untuk mendapat uang agar karya-karyaku menjadi abadi dalam buku. Uang seberapa rupiah kuusahakan agar ada bagian untuk menjadi buku.

Kalau mau berhitung untung-rugi, dengan tujuh buku yang kubanderol sekitar Rp40.000,00 per buku, seharusnya aku bisa mendapat Rp280.000,00. Namun, untuk tujuan literasi, kurelakan saja kerugianku itu.

Dari Rp280.000,00 ditambah dengan ongkir, yang kira-kira totalnya Rp350.000,00, apa yang bisa kujadikan contoh mengenai kemandirian pencipta/kreator dengan karya/kreasinya?

***

Salah satu alasan ketidakaktifanku dalam geliat literasi di Balikpapan adalah menjadi donator buku. Jangan serta-merta menghakimu bahwa aku pelit. Sekali lagi, aku tidak memiliki uang, bahkan bisa tekor habis-habisan jika harus mendonasi buku-bukuku. Aku tekor, siapa yang peduli, hah?!

Ah, sudahlah. Aku memang tidak perlu merepotkan diri lantas merugi habis-habisan. Lebih baik aku kembali berkarya. Terserah apa kata orang, karena, toh, orang hanya mudah berkata-kata tanpa benar-benar menyaksikan upayaku berkarya dalam segala keterbatasanku.

*******   
Pinggir Panggung Renung, 30 April 2019

Sabtu, 27 April 2019

Tidak Ada yang Gratis dalam Profesionalisme

Apa profesi Anda? Berapa jam Anda benar-benar melaksanakan profesi Anda? Apakah Anda mendapat upah dari profesi Anda? Apakah Anda menikmati profesi dan upah Anda?

Menurutku, setiap orang memiliki alasan masing-masing untuk berprofesi atau melaksanakan pekerjaan. Tidak perlu munafik jika upah, gaji, tunjangan, honor, atau kompensasi menjadi penting. Terlebih, harga barang dan jasa selalu meningkat, meski sekian persen saja.

Arti Kamus
Kebetulan di rumah ada beberapa kamus bahasa Inggris-Indonesia. Aku menggunakan kamus yang baru kutemukan di rka buku keluarga. Salim’s Ninth Collegiate English-Indonesian Dictionary karangan Drs. Peter Salim, M. A., yang diterbitkan oleh Modern English Press, Jakarta, 2000, dan terdapat pada hlm. 1155.

Profesi (Profession) adalah pekerjaan; jabatan yang membutuhkan pendidikan khusus.

Profesional (Professional) adalah 1. Berkenaan dengan jabatan atau profesi; 2. Ahli; bayaran.

Profesionalisme (Professionalism) adalah ciri-ciri, semangat, atau metode profesional.

Pekerjaanku
Kebetulan aku memiliki usaha penerbitan buku. Buku-buku kuterbitkan adalah karya-karyaku sendiri, sebelum kuterbitkan buku novelnya Alfiansyah (2019).

Yang kukerjaan terhadap buku-bukuku ialah :
1. Menulis, baik fiksi maupun non-fiksi.
Biasanya, kalau menulis merupakan pekerjaan, maka profesiku adalah penulis. Seorang penulis akan menerima upah dari hak ciptanya, yang dikenal dengan istilah “royalti”. Namun aku tidak merasa sebagai penulis.

2. Menggambar, baik sampul, isi (kartun), maupun ilustrasi isi.
Biasanya, orang yang bekerja di bidang ini disebut pelukis, desainer grafis, atau ilustrator. Masing-masing menerima upah sesuai dengan kesepakatan. Sementara, untuk dua buku kumpulan kartunku, biasanya, aku disebut kartunis, dan di situ ada “royalti”.

3. Mengumpulkan, memilah, dan memilih karya.
Biasanya, orang yang melakukan pekerjaan ini disebut penyunting (editor). Seorang penyunting menerima upah yang sesuai dengan kesepakatan.

4. Memeriksa aksara dan menyesuaikan kata.
Biasanya, orang yang melakukan pekerjaan ini disebut penyunting (editor) atau pemeriksa aksara.

5. Menyusun, dan menata dengan gambar.
Biasanya, orang yang melakukan pekerjaan ini disebut penata artistik (layouter).

6. Mengurus International Serial Book Number (ISBN) ke Perpustakaan Nasional RI.
Biasanya, orang yang melakukan pekerjaan ini disebut redaktur atau administrator penerbitan. ada upah untuk seorang administrator.

7. Mengurus pencetakan
Biasanya, orang yang melakukan pekerjaan ini disebut administrator. Ada upah tersendiri untuk administrator.

8. Membiayai sendiri atau mencari donatur
Biasanya, orang yang melakukan pekerjaan ini disebut pemilik penerbitan (penerbit). Penerbit mendapat upah melalui terbitan yang terjual, dan sponsor jika beriklan.

Pekerjaanku yang Sesungguhnya
Untuk mencapai tataran tertentu, paling tidak, seseorang memiliki kemampuan khusus, berkaitan dengan bidang masing-masing. Penulis, ilustrator, desainer grafis, penata artistik, editor, pemeriksa aksara, dan seterusnya.

Dari kedelapan pekerjaan di atas, apakah pekerjaanku sesungguhnya, atau yang paling tepat?

Berikutnya, berapa rupiah yang sepatutnya kuterima dengan pekerjaan itu?

Apakah Anda bisa membayangkan pula, bagaimana aku melakukan pekerjaan-pekerjaan itu?

Investasi Hidup
Aku menginvestasikan hidupku dengan apa saja yang kukerjakan, dari tahap belajar, berlatih, berlomba, dan seterusnya. Kesemuanya tidak bisa kukelola dalam satu minggu, satu bulan, atau satu tahun.

Bertahun-tahun aku menggambar. Bertahun-tahun aku membaca. Bertahun-tahun aku menulis. Bertahun-tahun aku mengikuti perlombaan. Bertahun-tahun… Ya, waktu yang panjang untuk kemudian menyatu dalam bentuk sebuah buku.

Apakah semua itu gratis?

Menggambar saja aku harus mengikuti bimbingan belajar menggambar di Bandung, meskipun aku merasa memiliki bakat menggambar. Belum lagi menulis yang diam-diam kulakukan sejak zaman mahasiswa, bukan?

Bisakah Anda menghitung, berapa rupiah yang telah kuinvestasikan untuk semua itu? Apakah Anda berani memasukkan hal-hal, misalnya konsumsi, transportasi, akomodasi, dan seterusnya?

Berhitung
Apa? Anda minta gratisan untuk apa yang telah kuinvestasikan selama puluhan tahun?

Ya, lebih sepuluh tahun aku menginvestasikan hidupku untuk mengolah dan mengelola kemampuan. Aku masih terus menggambar. Aku masih terus menulis. Aku masih terus belajar, mencari referensi, dan seterusnya. Waktu, pikiran, tenaga, bahkan dana  telah kuinvestasikan untuk meningkatkan kemampuanku.

Sekarang aku sudah berumah tangga atau memiliki keluarga. Dalam kehidupan berumah tangga, ada kebutuhan sehari-hari. Tidak ada yang gratis untuk semua itu, apalagi biaya hidup di Balikpapan tergolong tinggi.

Sekarang aku sudah mematok harga, khususnya jasa. Dengan definisi kata “profesi”, “profesional”, dan “profesionalisme”, dan istilah “investasi hidup”, aku “wajib” mengingatkan Anda mengenai “sebuah harga”. Bukankah Anda pun selalu menuntut “sebuah harga” untuk diri Anda sendiri?  

Sementara aku belum pernah mendapat subsidi dari pemerintah, entah kebutuhan hidup ataupun dana pembinaan. Bahkan, meski belasan buku berisi karya tunggalku sudah terdapat di perpustakaan daerah, tetap saja aku tidak pernah mendapat apa-apa, minimal “penghargaan” yang sepadan.

Jadi, marilah kita berhitung bersama-sama. Akan tetapi, terlalu naif, picik, atau sempit jika Anda menuduh aku mencari untung. Kalau hanya mencari untung, lebih baik aku berdagang sembako saja!

*******
Pinggir Panggung Renung, 27/4/2019

Pasca-Pilpres 2019


Menikmati waktu dengan bermain kata-kata di media sosial memang mengasyikkan. Kebetulan ada uang yang terselip dalam sebuah amplop merah di laci. Lumayan. Tidak lupa, tentunya, secangkir kopi hitam menemaniku menulis santai.

Begini. Ada sengketa suara sejak hitung cepat (Quick Count) muncul. Karena kalah dalam Pilpres 2019, 02 tidak menerima hasil hitung cepat dari lembaga-lembaga survei itu. Lucunya, mereka tidak mempersoalkan hitug cepat untuk Pileg 2019.

Lucunya lagi, pada Pilgub 2017 mereka menerima hitung cepat, dan merayakan kemenangan. Paling lucu, pasca-Pilpres 2019 mereka bersikukuh pada hasil hitung cepat di internal mereka.

Ah, begitulah kalau awalnya sudah terpampang kekalahan. Apalagi sebelum pencoblosan 17 April, mereka sudah berkoar-koar soal menteri-menteri seakan mereka sudah menang.

Sesungguhnya mereka tidak pernah bekerja di lembaga survei. Sesungguhnya mereka tidak pernah benar-benar memahami pekerjaan lembaga survei seperti apa dengan metodelogi yang bagaimana. Hanya kemenangan yang mereka tuntut, meskipun kekalahan tidak bisa dinafikkan begitu saja.

Siang yang sangat gerah. Aku harus berhati-hati dalam berkomentar di medsos. Kemarin istrinya Andre Taulany terkena masalah gara-gara menyebut “sinting” pada Prabowo yang bersujud dan mengklaim kemenangan.

Eh, tapi aku bukan artis atau tokoh masyarakat (public figure). Oh, lebih aman, ya? Memang enak menjadi “bukan siapa-siapa”. 

Siang yang gerah ternyata akan muncul hujan. Ya, ada rintik mengetik di atas seng di atasku. Sementara mendung tidak merata terlihat di atas bukit Gunung Malang. Masih tersisa biru yang lapang.

Aku maish berselancar untuk bermain kata-kata tentang hasil hitung cepat itu. “Jokowi menang lagi. Prabowo kalah lagi”. Itu saja yang kukomentari di kolom komentar media sosial, misalnya Kompas, Detik, CNN, Tirto, Kumparan, dan lain-lain.

Tidak lupa kusematkan gambar yang kuolah lagi dari internet. Lucu. Seru. Menjengkelkan. Ah, bodo amat!

Ada kenikmatan tersendiri melihat komentar para pendukung Prabowo yang marah-marah. Kupermainkan lagi. Pokoknya, benar-benar menyenangkan ketika Jokowi menang lagi secara hitung cepat.  

Azan Azar berkumandang. Mendung mengepung langit pas di atas rumah. Udara sudah sejuk, bahkan agak basah. Entah hujan sudah di mana.

Kopiku menuju endapannya. Sebaiknya kuhabiskan saja, dan menyudahi tulisan ini.

*******
Pinggir Panggung Renung, 22/4/2019

Senin, 15 April 2019

Iri-Dengki


Iri-dengki adalah salah satu sebab, mengapa orang suka memfitnah kawan/rekannya sendiri. Dan, hal semacam ini, sebenarnya, lumrah dan jamak.

Aku terbiasa hidup dalam tekanan fitnah orang. Dengan bekal kemampuanku dalam menggambar dan menulis, fitnah semakin bertubi-tubi menyerangku.

Ada yang menstempel aku “egois” karena tidak mau mengajarkan perihal menggambar atau menulis. Padahal, rumahku terbuka dan pengajaran itu gratis bagi siapa pun yang serius untuk belajar. Dan, kalau bersungguh-sungguh, toh, hasilnya kelak adalah untuk mereka sendiri.

Mungkin karena aku sudah menarik diri dari pergaulan atau kumpul-kumpul di luar rumah. Padahal, lima tahun aku telah memberi diri, termasuk biaya transportasi, toh, tidak seorang pun yang serius untuk belajar.

Mereka tidak akan pernah mengerti ketika aku harus meninggalkan kampung halaman untuk belajar. Mereka tidak pernah mengerti ketika aku harus pindah selama empat bulan untuk mendalami gambar-menggambar, dan selama tiga jam menggambar setiap hari. Mereka tidak akan pernah mengerti ketika harus belajar menggunakan mata-telinga untuk belajar dari pembelajaran tulis-menulis mantan rekan-rekanku di pers mahasiswa.

Ya, mereka tidak akan pernah mengerti keseriusanku dalam pembelajaran itu. Yang mereka mengerti, bagaimana iri-dengki dihidupkan dan dibesar-besarkan untuk membenciku karena aku sudah menarik diri dari kegiatan di luar rumah.

Iri-dengki kian meninggi ketika aku menghasilkan buku-buku tunggalku. Ironi. Miris. Aku berpikir dan berproduksi karena memang itulah yang bisa kulakukan. Sementara mereka justru semakin iri-dengki, dan menyebarkan fitnah yang lebih parah daripada lepra/kusta.

Namun beginilah risiko atau konsekuensi hidup. Aku sudah memahaminya.

*******
 Pinggir Panggung Renung, 15/4/2019  

Minggu, 14 April 2019

Cerpen-cerpen Bertema "Cinta"


Hanya cerpen lama. Semua hanya cinta. Namun “tabungan” karya tidak bisa kubiarkan. Harus menjadi bukuku sendiri.

Aku tidak bermimpi yang serba muluk; “menjadi penulis”. Aku hanya melaksanakan hobi (kegemaran). Cinta adalah bagian dalam sejarah hidup manusia, tetapi menuliskannya dalam bentuk fiksi, tentu saja, cukup menyenangkan bagiku.

Buku berisi 13 cerpen ini masih dalam tahap rencana. Naskahnya sudah ada. Tinggal penyuntingan isi, dan ilustrasinya.


Ilustrasi sampul kubuat pada 14 April 2019. Cat poster di kertas linen. Sungguh-sungguh menyenangkan!

Semoga bisa terbit.

*******
 Pinggir Panggung Renung, 15/4/2019 

Jumat, 12 April 2019

Orang Terkenal

“Eh, Bro, itu si Anu sedang melihat-lihat buku!”
“Eh, Sis, itu si Anu sedang membeli kerupuk!”
“Eh, Gaes, itu si Anu sedang ngambek dekat bak sampah!”

Nyamankah menjadi orang terkenal? Nyamankah ketika berada di manapun, orang-orang di sana mengenal siapa kita, bahkan mengerumuni kita?

Aku tidak akan merasa nyaman kalau selalu menjadi bagian dari perhatian orang bahkan banyak orang. Mengundurkan diri dari segala kegiatan kesenian di Balikpapan pun merupakan bagian dari upaya keluar dari perhatian orang.

Aku tidak mau terkenal atau menjadi terkenal/pesohor/selebritas di Balikpapan. Kemunculanku di BTV hanya untuk menjawab “undangan” Lovie Gustian sebagai upaya mempertanggungjawabkan penerbitanku terhadap buku novel “Setiap Malam adalah Sepi” (2019) karya Alfiansyah.

Aku bisa membantu atau mengajari sedikit mengenai tulis-menulis, tetapi di rumah. Alfian cukup sering datang untuk belajar tulis-menulis atau hal-hal yang terkait dengan dunia tulis-menulis. Naskah buku novelnya pun kubantu dalam hal penyelarasan penokohan dan alur cerita. Ya, sedikit saja, sih.

Selain Alfian dalam hal tulis-menulis, siapa lagi? Tidak seorang pun. Dan, semakin menyembunyikan diri di rumah, semakin hilang namaku dalam perbincangan para pemerhati tulis-menulis. Namun, justru aku lebih leluasa berkarya.

Hal yang tidak berbeda ketika aku berada di kampung halamanku sendiri, Sungailiat. Almarhum bapakku bukanlah orang “asing” bagi sebagian kalangan. Sebagian PNS angkatan tua juga mengenal siapa bapakku karena pernah menjadi murid, khususnya di  STM Sungailiat. Ibu angkatku dan beberapa saudara pernah mengingatkanku, bahwa bapakku orang dikenal di Sungailiat.

Akan tetapi, karena aku dulu jarang mudik (belasna tahun di Jogja), tidak seorang pun mengenalku lagi, kecuali kawan kampung (Sri Pemandang Atas). Begitu bebasnya aku berkelana, bahkan seorang diri berjalan kaki saja menyusuri beberapa pantai pada 2006.

Keleluasaan, kemerdekaan, atau kebebasan merupakan hal terpenting bagiku, baik untuk berkarya maupun bepergian. Sebagai orang tidak terkenal, aku harus mengolah dan mengelola diriku lebih baik atau mendalam lagi. Selama ini cukup berhasil, yaitu buku-bukuku terbit dengan jumlah dan dana secukupnya.

Kurasa itu saja yang bisa kusampaikan di sini.

*******
 Pinggir Panggung Renung, 13/4/2019  

Kamis, 11 April 2019

Setiap Kemarin adalah Usang


Ada rintik mengetik di atap seng. Kopi hitamku masih panas, meski seekor ayam jantan tetangga belakang rumah sudah berteriak di antara dengung mesin pembangkit listrik dari Guung Malang.

Pkl. 03.32 WITA. Jumat, 12 April 2019. Sebentar lagi, 17 April, pencoblosan Pilpres dan Pileg 2019. Aku belum mengurus kartu pemilih tetap di Kebun Karya.

Oh iya, aku belum ke Kebun Karya lagi. Rencana pergi ke sana batal pada Rabu, 10 April lalu, sepulang dari studio Balikpapan TV (BTV) di Gedung Biru Kaltim Post Kilometer 4, karena berangkat-pulang dibonceng Alfian.

Acara di BTV, waktu itu, adalah Gelar Wicara (Talk Show) Ngopi (Ngobrol Pintar) Pkl. 11.00 s.d. 12.00 bertema “Novel Setiap Malam adalah Sepi ”. Novel karya Alfiansyah yang diterbitkan oleh Penerbit Abadi Karya (penerbitanku).




Dok. Vrendy 

Aku sudah “keluar kandang”, dan kusadari ketika hendak terlibat dalam penerbitan buku novel itu. Memang, pada malam pelucuran buku itu, yakni Sabtu malam, 6 April, aku gagal menemukan tempatnya.

Untuk mendampingi Alfian di BTV pun karena aku diteleponnya pada Senin, 8 April. Kupikir, saatnya muncul dan mengaktualisasikan penerbitanku. Kebetulan aku masih memiliki tujuh buku karyaku untuk dokumen/arsip/koleksi karya di BTV.

Ketujuh buku tersebut adalah kumpulan gombal Gombalmukelo (2016), kumpulan puisi Napak Tilas (2016), Waktu Terhenti di Kursi Rotan (2018), Membaca Bukumu di Atas Kakus (2018), kumpulan cerpen Kota Terhilang (2018), Seseorang Mencuri Mata Saya (2018), dan kumpulan artikel utama di Kompasiana “Belum Banyak Berbuat Apa untuk Indonesia” (2018).    
   
Ya, sudahlah. Aku mau mencari hari yang tepat untuk ke Kebun Karya lagi. Selain soal kartu pemilih itu, juga aku harus mengisi pulsa listrik, memperbaiki pintu, mengambil peralatan tukangku, dan membersihkan ilalang yang berada di jalan masuknya.

Mungkin itu saja yang bisa kutulis. Kopi hitamku sudah menunggu seruputan. Sementara rintik mulai ramai mengetik di atap seng, dan beberapa ayam jantan bersahut-sahutan untuk memanggil subuh.

*******
Pinggir Panggung Renung, 12/4/2019

Kamis, 28 Maret 2019

Gerakan Literasi di Balikpapan, Entahlah!


Oh, aku tidak mengetahui apa-apa mengenai gerakan literasi di Balikpapan. Jangan pernah menanyakan perihal semacam itu padaku karena aku memang tidak mengetahuinya.

Dari internet, tepatnya situs Disdik.Balikpapan.Go.Id, kubaca judul berita “Gerakan Indonesia Membaca (GIM) Tahun 2017” (Rabu, 31 Agustus 2017). Cuplikan isinya sebagai berikut:

Gerakan Indonesia Membaca (GIM) Kota Balikpapan Tahun 2017 yang diselenggarakan oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Balikpapan hari Rabu 30 Agustus 2017 di Kampung Literasi Yayasan Tunas Budi Luhur Kota Balikpapan.

Acara di buka oleh Walikota dalam hal ini diwakili oleh  Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Balikpapan, sambutan di hadiri oleh DR. Kastum Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Pembinaan Pendidikan Keaksaraan dan kesetaraan.

Menurutku, seremonial belaka. Entah apa yang selama ini dibaca oleh penulis berita, lha wong menggunakan “di” saja masih payah begitu. Perhatikan “Acara di buka” dan “di hadiri”. Belum lagi lainnya. Padahal, situs resmi milik dinas pendidikan lho! Apa yang akan dididik, dibina, dan seterusnya jika persoalan mendasar saja masih begitu, ‘kan?

Ah, sudahlah. Sebaiknya aku tidak perlu mengetahuinya karena “benteng terakhir” terkait “agen perubahan” itu sendiri masih berlepotan dalam pemahaman bahasa. Terserah sajalah.

Aku akan kembali khusyuk dengan pembelajaran sendiri tanpa perlu slogan dan aneka seremonial. Aku membaca, menulis, membuat buku, dan seterusnya. Tidak peduli pada urusan literasi-literasi apa pun.

Egoiskah? Aku egois kalau sudah berhadapan dengan seremonial, slogan, proyek-proyek, dan hal-hal yang sama sekali tidak berdampak positif dalam kemajuan pemahaman orang muda semacam itu. Lima tahun kuamati, kupikir, cukuplah.

Biar kulanjutkan pengembaraanku di jalan sunyi ini seorang diri. Semoga resolusi 2019 bisa terwujud dengan buku-buku karyaku sendiri.  

*******
Pinggir Panggung Renung, 29/03/2019

Mumpung Jomlo, Menulislah dan Belajarlah!

Menulis merupakan kegiatan yang sangat mudah bagi siapa pun yang telah tamat SD. Ketika dalam pelajaran Bahasa Indonesia SD, sudah ada materi mengenai huruf besar-kecil, suku kata, kalimat langsung-tidak langsung, Subjek-Predikat-Objek-Keterangan (S-P-O-K), dan hal-hal mendasar lainnya.

Saya masih mengingat itu karena saya pernah menamatkan pendidikan SD. Tidak perlu tamat dengan nilai 8 atau 9 dalam pelajaran Bahasa Indonesia, yang penting, tidak 5 alias merah, dan, toh, saya tamat, dan mendapat ijazah. Terlebih, sekarang sudah berijazah sarjana S-1.



Menulis merupakan bukti bahwa saya sudah tamat SD. Dan, menulis tidaklah memerlukan keahlian khusus (bakat) semacam menggambar. Meski sejak SD sudah ada pelajaran Seni Rupa, tetap saja bukanlah hal yang mudah dilakukan jika dibandingkan dengan menulis. Iya, ‘kan?

Sementara saya sudah melakukan keduanya (menggambar dan menulis), dan saya arsitek alias tukang gambar bangunan. Saya tidak sendirian karena masih ada beberapa arsitke lainnya yang malah lebih lihai menulis daripada saya. Artinya, antara keahlian khusus (bakat menggambar) dan keahlian biasa (biasa menulis) bisa saya kelola sesuka saya sendiri. Buku-buku saya merupakan buktinya juga.

Nah, sekarang, bagaimana dengan kawan-kawan pemula yang suka menulis tetapi bukan karena bidang belajar; suka menulis tetapi tidak sanggup menggambar; suka menulis tetapi belum mencapai taraf yang mumpuni?

Saran saya, menulislah dan belajarlah. Menulislah sampai menjadi sebuah tulisan yang utuh. Lakukan terus-menerus. Misalnya menulis puisi. Buatlah puisi.

Namun, jangan lupa, membaca buku-buku puisi karya penyair yang bermutu. Sesekali bacalah teori mengenai puisi, dan kaidah-kaidah penulisan umumnya. Kemudian buatlah puisi lagi.

Apa itu “membaca buku teori mengenai kaidah penulisan”? Meski puisi dengan tameng “licentia puitika”, kaidah dasar wajib dipahami agar bisa menjawab jika ditanyakan mengenai maksud tertentu. Misalnya, ketika puisi berisi “dilanggar” atau “di langgar”, perbedaannya memang sudah dipahami.

Saran saya lagi, beranilah mengikuti pertarungan karya, bahkan di luar daerah. Ya, sekadar “ujian” atas usaha tulis-menulis yang dipelajari dan dilakukan secara autodidak itu.

Ada tiga jenis pertarungan. Pertama, media massa. Kedua, lomba. Ketiga, kurasi untuk karya gabungan. Ingat, jangan hanya di daerah sendiri, melainkan ke luar daerah agar suasana pertarungan bisa terkesan objektif karena tidak mengenal siapa editor, juri atau kuratornya.


Seperti halnya yang pertama, “media massa”, ada juga media massa daring (online). Salah satu yang saya pakai adalah Kompasiana.Com.

Saya menggunakan media pelopor jurnalisme warga (Citizen Journalism) ini sebagai ajang “ujian” saya sendiri. Kalau sebuah tulisan (artikel) saya masuk kategori tertentu, saya akan menjadikannya tabungan untuk calon buku saya. Buku kumpulan “Artikel Utama” di Kompasiana itu sudah saya terbitkan pada 2018. Judulnya, “Belum Banyak Berbuat Apa untuk Indonesia”. Nanti akan disusul buku-buku dari tulisan-tulisan saya di sana.

Bagi saya, kalau tulisan-tulisan saya hanya berpendar-pendar di layar kaca, tidaklah cukup memuaskan. Buku merupakan wadah pamungkas saya untuk mengabadikan karya saya sendiri, termasuk kara seni rupa. Tentu saja sangat memuaskan karena saya bisa menggabungkan keduanya, menulis dan menggambar. Selesaikah?

Saya tidak pernah selesai sampai di situ. Saya masih akan terus menulis dan menggambar. Saya masih akan terus membaca, belajar, dan berlatih.

Nah lagi, kalau kawan-kawan pemula tidak mampu menggambar, kuasailah perihal tulis-menulis. Kuasai satu genre, lalu beralih ke genre lainnya. Puisi, pantun, cerpen, esai/opini, dan lain-lain. Terlebih kalau masih jomlo (“jomblo” tidak baku).

Ya, kalau masih jomlo, olah dan kelolalah kapasitas diri dalam tulis-menulis. Soalnya, kalau sudah berumah tangga, alangkah beratnya usaha itu! terlalu banyak urusan yang akhirnya hanya akan menghentikan usaha tulis-menulis.

Saya sudah belajar dan berlatih serius ketika masih jomlo. Puisi, cerpen, esai/opini saya babat semua selagi (mumpung) jomlo. Ketika sudah berkeluarga, saya hanya mengembangkan kemampuan. Tidak lagi repot dengan belajar dan berlatih sebagai pemula. Sesekali belajar hanya untuk proses pengembangan kemampuan.

Saran terakhir, kalau kawan-kawan pemula belum mampu menguasai tulis-menulis tetapi sudah berhasrat untuk berumah tangga, tinggalkan saja kegiatan tulis-menulis atau keinginan untuk menjadi penulis itu sekarang juga! Sebab, percuma. Tidak akan ada kemajuan apa-apa jika sudah berumah tangga. Mengolah-kelola rumah tangga jauh lebih penting daripada urusan belajar-berlatih tulis-menulis yang sekadar hobi.

Itu saja dari saya.

*******
Pinggir Panggung Renung, 29 Maret 2019

ISBN untuk Buku “Sang Pengendara Aksara” sudah Cair


Gerimis menyambut sore. Seekor anak tikus terlengket dalam jebakan. Aku menyeruput kopi hitam sambil menunggu internet tersambung.

Tadi subuh aku mengirim permohonan ISBN untuk buku “Sang Pengendara Aksara” ke Perpustakaan Nasional RI. Sekadar mencoba bermain dengan waktu karena hari ini Kamis. Apakah ISBN bisa keluar dalam satu hari?

Pasalnya, ketika aku mengurus ISBN untuk buku novelnya Alfian pada hari Jumat, ISBN “cair” pada hari Selasa. Nah, bagaimana kalau kali ini kucoba pada hari Kamis?

Ternyata ISBN sudah “cair”. Tidak sampai satu hari. Puji-syukur kepada Tuhan. Alhamdulillah.


Berarti, lain kali, sebaiknya permohonan ISBN kukirim dari antara Senin s.d. Kamis, kalau mau cepat. Kalau tidak mau cepat, ya, Jumat s.d. Minggu. Ya, selalu ada pilihan di antara cepat atau lambat.

Kurasa begitu sajalah. Aku mau menyeruput kopi lagi.

*******
Pinggir Panggung Renung, 28/03/2019

Rabu, 27 Maret 2019

Satu Calon Buku Kuselesaikan Lagi


Kamis berazan Subuh dari beberapa masjid. Udara masih basah karena selepas Magrib sempat hujan. Kukuruyuk-kukuruyuk bersahutan dengan miaw-miaw seekor anak kucing entah di mana.

Aku baru mengirimkan permohonan ISBN untuk calon bukuku, “Sang Pengendara Aksara”. Buku ke-3 untuk resolusi 2019. Dalam buku ini terdapat 23 artikel seputar kegiatan tulis-menulis, dan berstempel "Pilihan" di Kompasiana.Com. Semua sudah siap naik cetak, kecuali uang untuk biaya pencetakannya.


Tidak perlu menanyakan soal uang itu. Aku hanya bisa mengimani bahwa uang akan ada dengan sendirinya. Bukan karena uang maka aku kemudian menyiapkan apa pun. Uang urusan Tuhan, aku hanya melakukan apa yang bisa kulakukan.

Lalu, bagaimana dengan buku ke-2, “Surga Siap Saji”? Belum kuajukan permohonan ISBN karena ilustrasi isi belum kupindai. Beberapa ilustrasi akan mengubah halaman sehingga belum bisa kucantumkan halaman yang pasti di Daftar Isi. Untuk pengajuan ISBN dan KDT, aku harus memastikan jumlah halamannya.

Ya, resolusi 2019 yang kuimani pada akhir 2018 adalah terbitnya tujuh bukuku. Semua bukuku pada 2019 berupa kumpulan artikelku yang berstempel “Pilihan” (Highlight) dan “Artikel Utama” (Headline) di Kompasiana.Com. Berapa dana yang harus kusiapkan? Lagi, Tuhan yang akan memberikannya. Bagaimana caranya? Urusan Tuhan, biarkan saja.

Aku memang berupaya menyiapkan apa yang bisa kulakukan, khususnya untuk calon buku-bukuku. Untuk membuat satu buku saja, bukan pekerjaan yang mudah dan singkat, semisal dua hari selesai. Meski sampulnya sudah jadi, aku pasti membenahinya sampai siap naik cetak.

Sekarang mumpung ada waktu sebelum buku novel “Setiap Malam adalah Sepi”-nya Alfiansyah datang dari sebuah percetakan di Jawa. Kalau buku novel itu datang, aku harus pergi lagi ke Kupang untuk menyelesaikan pekerjaan arsitekturku yang tertunda. Elcid sudah mengabarkan bahwa aku harus kembali, tetapi beri tahu waktunya.

Mau-tidak mau aku harus pergi, meski berat kutinggalkan Balikpapan, termasuk acara peluncuran novelnya Alfian. Pergi juga, bagiku, waktu yang tepat untuk menjemput rezeki dari Tuhan sehingga aku bisa membiayai pencetakan buku-bukuku.


Tujuh bukuku harus terbit sesuai dengan resolusiku. Untuk apa jika semuanya terbit? Untuk mewujudkan keinginanku dalam pengabadian karya berbentuk buku. Buku-buku yang berisi artikel tematis. Arsitek dan arsitektur. Seputar dunia tulis-menulis. Artikel utama yang perlu pemikiran “lebih”. Tentang korupsi. Tentang sastra dan sudut-sudutnya. Dan seterusnya.

Terus terang, kalau nanti berada di Kupang, aku pasti sibuk berurusan dengan perancangan dan pembangunan. Jiwa dan raga pasti capai ("capek" tidak baku). Aku harus menyiapkannya sebelum capai menderaku. Risiko yang sudah biasa. Mujurnya, novel Alfian sudah selesai.

Sirine pkl.06.00 WITA sudah berbunyi. Kukuruyuk masih bersahut-sahutan. Kicau seekor kutilang liar sudah membuka pagi yang mendung.

Aku harus mengakhiri tulisan sepele ini karena sudah waktuku untuk tidur. Tidur sambil menunggu paket buku novel Alfian datang. Semoga buku novel Alfian membuka kemungkinan-kemungkinan yang positif dan potensial untuk kebaikan bersama sebelum kelak aku tidak mampu pergi ke mana-mana lagi.

*******
Pinggir Panggung Renung, 28/03/2019

Minggu, 24 Maret 2019

Menjadi Diri Sendiri


Senin, 25/3/2019. Pkl. 00.45 WITA. Udara basah, sisa hujan Minggu sore. Nyanyian jangkrik. Musik kendaraan.

Aku sudah menyelesaikan ilustrasi untuk calon bukuku, “Surga Siap Saji”–sebuah kumpulan “Artikel Utama” di Kompasiana.Com. Ilustrasi terakhir adalah karikatur Tilaria Padika aka George Hormat alias Gege.



Enam lembar HVS A4 dengan aneka ilustrasi kugantung dekat tempat dudukku. Aku belum bisa memindai (men-scan) semua itu karena alat pemindaiku rusak sejak tahun lalu. Aku belum memiliki biaya untuk memperbaikinya. Aku memang sedang tidak memiliki uang.

Sementara calon buku “Arsitek yang Menulis” sudah siap memasuki proses pencetakan setelah mendapat ISBN (International Serial Book Number) dari Perpustakaan Nasional RI. Namun, lagi-lagi, aku sedang tidak memiliki uang untuk membiayainya.

Intinya, aku memang tidak memiliki uang untuk semuanya itu.

Aku memang tidak bekerja seperti kebanyakan orang. Mengapa aku tidak bekerja agar menghasilkan uang sekian juta rupiah saban bulan, dan seterusnya, tidak perlu kusampaikan di sini. Apakah kemudian aku harus bersedih?

Terlalu sepele hidup ini jika setiap waktu aku perlu bersedih. Tuhan selalu mengajakku bersuka cita, bahkan senantiasa. Tuhan selalu mengajakku bersyukur dalam segala hal. Firman-Nya selalu hidup, dan berdegup bersama irama jantungku. Bukan karena berduit lantas aku bersuka cita dan bersyukur. Bukan karena buku-bukuku terbit lantas aku akan bersorak-sorai.

Aku sudah menjadi diriku sendiri sejak mengenal-Nya pada 1989. Aku tidak perlu meniru siapa-siapa atau ingin menjadi seperti siapa. Aku tercipta secara khusus. Ya, setiap manusia tercipta secara khusus karena itulah hebatnya Tuhan yang kupercaya.

Tuhan membentuk aku secara khusus dengan talenta dari-Nya yang kugali dalam diriku. Talentaku bukanlah untuk menjadi kaya secara materi, tetapi kaya secara karya. Secara manusiawi, Yesus Kristus hanyalah anak tukang kayu. Yesus Kristus tidak memiliki ternak. Yesus Kristus tidak memiliki lahan. Yesus Kristus hanya memiliki karya, bahkan sampai mati di kayu salib Yesus Kristus tidak memiliki harta benda duniawi.

Malam menjelang dini hari masih menyisakan udara basah dan suara-suara tadi. Aku masih mengetik tulisan sepele ini.

Aku merasa Tuhan tidak mengizinkan aku menggerakkan jari-jari untuk mengetik hal-hal yang tidak baik, kecuali menikmati waktu sebelum kantuk berkunjung lalu mengajakku beranjak ke tempat tidur. Bagiku, Tuhan selalu lebih baik daripada apa pun yang kumiliki atau yang mampu kuraih. Bagiku, menjadi diri sendiri adalah yang terbaik dari segala ambisi yang ditawarkan oleh kehidupan ini.      

*******
Balikpapan, 25 Maret 2019       

Kamis, 14 Maret 2019

Jangan Cengeng, dan Suka Main Keroyok

Rencana 2019 : 7 Buku Kumpulan Esai Karya Gus Noy


Gaes,
Aku bisa menangis, tetapi bukan berarti cengeng. Kalau aku cengeng, tidak akan berani pergi dari ketiak ibuku ketika lulus SMP. Ya, SMA sampai tamat pendidikan Arsitektur aku berada di Yogyakarta, sementara orang tuaku tetap di Sungailiat, Bangka (Babel), tepatnya Kampung Sri Pemandang Atas.

Kampung Sri Pemandang Atas itu sangat pelosok alais jauh dari Ibu Kota Babel, yaitu Pangkalpinang, apalagi Ibu Kota Indonesia. Kampung halamanku tidak pernah menjadi perbincangan apa pun dalam kancah kemajuan Indonesia. Namun aku sangat berterima kasih kepada kampung halamanku, sekaligus bangga dengan selalu menyebutkannya dalam setiap riwayat hidup (biodata) karya-karyaku.  

Gaes,
Di perantauan aku bukanlah menjadi penonton terhadap situasi daerah perantauan sampai kembali ke kampung halaman dan bercerita hingga berbusa-busa mengenai kehebatan daerah perantauan. Ketika Kelas III SMA, aku sudah dipercaya oleh pihak sekolah, khususnya guru Seni Rupa, untuk menjadi juri dalam lomba lukis di sekolah. SMA itu di Kota Pelajar yang juga Kota Budaya, Gaes, sedangkan aku sama sekali asli dari kampung yang jauh dari pelosok kota terkenal di Indonesia.

Apakah karena aku pintar?

Gaes,
Aku bukanlah orang pintar. Aku hanyalah orang beruntung alias bernasib baik/mujur. Untuk bisa melanjutkan belajar ke Yogyakarta saja aku hanya mengandalkan nasib ketika menghadapi Ebtanas. Aku diultimatum oleh ibuku, bahwa nilaiku harus sampai pada angka minimal kalau mau bersekolah di Jawa. Aku seorang pemalas dalam belajar di sekolah. Seluruh saudaraku di Bangka sangat mengenal karakter pemalasku itu. Namun, nasib bin takdir tidaklah bisa dikenali oleh siapa pun.

Gaes,
Aku berubah drastis ketika berada jauh dari kampung halaman. Semakin aku rajin atau berusaha keras, semakin kuandalkan nasib bin takdir yang terwujud. Kesadaran sebagai orang bodoh dan kemauan untuk berubah merupakan jalan terbaik bagi nasib baik/mujur.

Karya-karyaku, baik gambar maupun tulisan, diperhitungkan oleh beberapa penyelenggara lomba ketika aku masih berada di Yogyakarta. Salah satunya adalah nomine Lomba Desain Kaus Oblong “Sewindu Rindu Dagadu”. Ya, di Kota Budaya itulah aku ditempa. Setamat SMA aku sempat belajar menggambar di Bandung melalui bimbingan belajar menggambar bernama “Garizt” yang diasuh oleh HMSRD-ITB karena aku ingin masuk FSRD-ITB, meskipun tiga kali gagal.

Gaes,
Kegagalan tidak pernah membuatku cengeng. Kebodohanku pun tidaklah menjadi alasan untuk iri/dengki pada orang-orang kreatif-menang-juara, apalagi bergabung dengan kelompok pendengki lalu mengeroyok dengan cara mencela atau mencemooh orang-ornag yang kreatif-menang dalam dalam pelbagai perlombaan intelektual.

Gaes,
Jadilah manusia yang tidak cengeng/manja, misalnya selalu minta bantuan untuk mencapai suatu puncak pertandingan atau persaingan intelektual. Pergunakan waktu yang ada untuk menempa diri. Beranilah menjajal kemampuan berpikir dengan cara mengikuti ajang uji nyali (lomba).

Dan jadilah manusia yang mandiri dengan kemampuan sendiri. Tidak perlu bergabung dengan kelompok pencemooh yang hidup dari iri/dengki lalu memfitnah seenak mulut. Kualitas kemanusiaan tidak bisa dikatrol oleh obrolan penuh iri/dengki, bahkan malah sebaliknya, bahwa iri/dengki hanya menjerumuskan kualitas kemanusiaan.

Aku rasa cukup itu saja, Gaes. Selamat menjadi diri sendiri dengan penempaan yang mampu dilakoni secara apa adanya.

*******
Balikpapan, 15 Maret 2019