Kamis, 28 Maret 2019

Mumpung Jomlo, Menulislah dan Belajarlah!

Menulis merupakan kegiatan yang sangat mudah bagi siapa pun yang telah tamat SD. Ketika dalam pelajaran Bahasa Indonesia SD, sudah ada materi mengenai huruf besar-kecil, suku kata, kalimat langsung-tidak langsung, Subjek-Predikat-Objek-Keterangan (S-P-O-K), dan hal-hal mendasar lainnya.

Saya masih mengingat itu karena saya pernah menamatkan pendidikan SD. Tidak perlu tamat dengan nilai 8 atau 9 dalam pelajaran Bahasa Indonesia, yang penting, tidak 5 alias merah, dan, toh, saya tamat, dan mendapat ijazah. Terlebih, sekarang sudah berijazah sarjana S-1.



Menulis merupakan bukti bahwa saya sudah tamat SD. Dan, menulis tidaklah memerlukan keahlian khusus (bakat) semacam menggambar. Meski sejak SD sudah ada pelajaran Seni Rupa, tetap saja bukanlah hal yang mudah dilakukan jika dibandingkan dengan menulis. Iya, ‘kan?

Sementara saya sudah melakukan keduanya (menggambar dan menulis), dan saya arsitek alias tukang gambar bangunan. Saya tidak sendirian karena masih ada beberapa arsitke lainnya yang malah lebih lihai menulis daripada saya. Artinya, antara keahlian khusus (bakat menggambar) dan keahlian biasa (biasa menulis) bisa saya kelola sesuka saya sendiri. Buku-buku saya merupakan buktinya juga.

Nah, sekarang, bagaimana dengan kawan-kawan pemula yang suka menulis tetapi bukan karena bidang belajar; suka menulis tetapi tidak sanggup menggambar; suka menulis tetapi belum mencapai taraf yang mumpuni?

Saran saya, menulislah dan belajarlah. Menulislah sampai menjadi sebuah tulisan yang utuh. Lakukan terus-menerus. Misalnya menulis puisi. Buatlah puisi.

Namun, jangan lupa, membaca buku-buku puisi karya penyair yang bermutu. Sesekali bacalah teori mengenai puisi, dan kaidah-kaidah penulisan umumnya. Kemudian buatlah puisi lagi.

Apa itu “membaca buku teori mengenai kaidah penulisan”? Meski puisi dengan tameng “licentia puitika”, kaidah dasar wajib dipahami agar bisa menjawab jika ditanyakan mengenai maksud tertentu. Misalnya, ketika puisi berisi “dilanggar” atau “di langgar”, perbedaannya memang sudah dipahami.

Saran saya lagi, beranilah mengikuti pertarungan karya, bahkan di luar daerah. Ya, sekadar “ujian” atas usaha tulis-menulis yang dipelajari dan dilakukan secara autodidak itu.

Ada tiga jenis pertarungan. Pertama, media massa. Kedua, lomba. Ketiga, kurasi untuk karya gabungan. Ingat, jangan hanya di daerah sendiri, melainkan ke luar daerah agar suasana pertarungan bisa terkesan objektif karena tidak mengenal siapa editor, juri atau kuratornya.


Seperti halnya yang pertama, “media massa”, ada juga media massa daring (online). Salah satu yang saya pakai adalah Kompasiana.Com.

Saya menggunakan media pelopor jurnalisme warga (Citizen Journalism) ini sebagai ajang “ujian” saya sendiri. Kalau sebuah tulisan (artikel) saya masuk kategori tertentu, saya akan menjadikannya tabungan untuk calon buku saya. Buku kumpulan “Artikel Utama” di Kompasiana itu sudah saya terbitkan pada 2018. Judulnya, “Belum Banyak Berbuat Apa untuk Indonesia”. Nanti akan disusul buku-buku dari tulisan-tulisan saya di sana.

Bagi saya, kalau tulisan-tulisan saya hanya berpendar-pendar di layar kaca, tidaklah cukup memuaskan. Buku merupakan wadah pamungkas saya untuk mengabadikan karya saya sendiri, termasuk kara seni rupa. Tentu saja sangat memuaskan karena saya bisa menggabungkan keduanya, menulis dan menggambar. Selesaikah?

Saya tidak pernah selesai sampai di situ. Saya masih akan terus menulis dan menggambar. Saya masih akan terus membaca, belajar, dan berlatih.

Nah lagi, kalau kawan-kawan pemula tidak mampu menggambar, kuasailah perihal tulis-menulis. Kuasai satu genre, lalu beralih ke genre lainnya. Puisi, pantun, cerpen, esai/opini, dan lain-lain. Terlebih kalau masih jomlo (“jomblo” tidak baku).

Ya, kalau masih jomlo, olah dan kelolalah kapasitas diri dalam tulis-menulis. Soalnya, kalau sudah berumah tangga, alangkah beratnya usaha itu! terlalu banyak urusan yang akhirnya hanya akan menghentikan usaha tulis-menulis.

Saya sudah belajar dan berlatih serius ketika masih jomlo. Puisi, cerpen, esai/opini saya babat semua selagi (mumpung) jomlo. Ketika sudah berkeluarga, saya hanya mengembangkan kemampuan. Tidak lagi repot dengan belajar dan berlatih sebagai pemula. Sesekali belajar hanya untuk proses pengembangan kemampuan.

Saran terakhir, kalau kawan-kawan pemula belum mampu menguasai tulis-menulis tetapi sudah berhasrat untuk berumah tangga, tinggalkan saja kegiatan tulis-menulis atau keinginan untuk menjadi penulis itu sekarang juga! Sebab, percuma. Tidak akan ada kemajuan apa-apa jika sudah berumah tangga. Mengolah-kelola rumah tangga jauh lebih penting daripada urusan belajar-berlatih tulis-menulis yang sekadar hobi.

Itu saja dari saya.

*******
Pinggir Panggung Renung, 29 Maret 2019

Tidak ada komentar:

Posting Komentar