Rencana 2019 : 7 Buku Kumpulan Esai Karya Gus Noy
Gaes,
Aku bisa menangis,
tetapi bukan berarti cengeng. Kalau aku cengeng, tidak akan berani pergi dari
ketiak ibuku ketika lulus SMP. Ya, SMA sampai tamat pendidikan Arsitektur aku berada di
Yogyakarta, sementara orang tuaku tetap di Sungailiat, Bangka (Babel), tepatnya Kampung Sri Pemandang Atas.
Kampung Sri Pemandang Atas itu sangat pelosok alais jauh dari Ibu Kota Babel, yaitu Pangkalpinang, apalagi Ibu Kota Indonesia. Kampung halamanku tidak pernah menjadi perbincangan apa pun dalam kancah kemajuan Indonesia. Namun aku sangat berterima kasih kepada kampung halamanku, sekaligus bangga dengan selalu menyebutkannya dalam setiap riwayat hidup (biodata) karya-karyaku.
Kampung Sri Pemandang Atas itu sangat pelosok alais jauh dari Ibu Kota Babel, yaitu Pangkalpinang, apalagi Ibu Kota Indonesia. Kampung halamanku tidak pernah menjadi perbincangan apa pun dalam kancah kemajuan Indonesia. Namun aku sangat berterima kasih kepada kampung halamanku, sekaligus bangga dengan selalu menyebutkannya dalam setiap riwayat hidup (biodata) karya-karyaku.
Gaes,
Di perantauan aku bukanlah
menjadi penonton terhadap situasi daerah perantauan sampai kembali ke kampung
halaman dan bercerita hingga berbusa-busa mengenai kehebatan daerah perantauan. Ketika Kelas III SMA, aku sudah dipercaya oleh pihak sekolah,
khususnya guru Seni Rupa, untuk menjadi juri dalam lomba lukis di sekolah. SMA
itu di Kota Pelajar yang juga Kota Budaya, Gaes,
sedangkan aku sama sekali asli dari kampung yang jauh dari pelosok kota
terkenal di Indonesia.
Apakah karena aku
pintar?
Gaes,
Aku bukanlah orang
pintar. Aku hanyalah orang beruntung alias bernasib baik/mujur. Untuk bisa
melanjutkan belajar ke Yogyakarta saja aku hanya mengandalkan nasib ketika
menghadapi Ebtanas. Aku diultimatum oleh ibuku, bahwa nilaiku harus sampai pada
angka minimal kalau mau bersekolah di Jawa. Aku seorang pemalas dalam belajar
di sekolah. Seluruh saudaraku di Bangka sangat mengenal karakter pemalasku itu.
Namun, nasib bin takdir tidaklah bisa dikenali oleh siapa pun.
Gaes,
Aku berubah drastis
ketika berada jauh dari kampung halaman. Semakin aku rajin atau berusaha keras,
semakin kuandalkan nasib bin takdir yang terwujud. Kesadaran sebagai orang
bodoh dan kemauan untuk berubah merupakan jalan terbaik bagi nasib baik/mujur.
Karya-karyaku, baik
gambar maupun tulisan, diperhitungkan oleh beberapa penyelenggara lomba ketika
aku masih berada di Yogyakarta. Salah satunya adalah nomine Lomba Desain Kaus
Oblong “Sewindu Rindu Dagadu”. Ya, di Kota Budaya itulah aku ditempa. Setamat
SMA aku sempat belajar menggambar di Bandung melalui bimbingan belajar
menggambar bernama “Garizt” yang diasuh oleh HMSRD-ITB karena aku ingin masuk
FSRD-ITB, meskipun tiga kali gagal.
Gaes,
Kegagalan tidak pernah
membuatku cengeng. Kebodohanku pun tidaklah menjadi alasan untuk iri/dengki
pada orang-orang kreatif-menang-juara, apalagi bergabung dengan kelompok pendengki lalu mengeroyok
dengan cara mencela atau mencemooh orang-ornag yang kreatif-menang dalam
dalam pelbagai perlombaan intelektual.
Gaes,
Jadilah manusia
yang tidak cengeng/manja, misalnya selalu minta bantuan untuk mencapai suatu
puncak pertandingan atau persaingan intelektual. Pergunakan waktu yang ada untuk
menempa diri. Beranilah menjajal kemampuan berpikir dengan cara mengikuti ajang uji nyali (lomba).
Dan jadilah manusia
yang mandiri dengan kemampuan sendiri. Tidak perlu bergabung dengan kelompok
pencemooh yang hidup dari iri/dengki lalu memfitnah seenak mulut. Kualitas kemanusiaan
tidak bisa dikatrol oleh obrolan penuh iri/dengki, bahkan malah sebaliknya,
bahwa iri/dengki hanya menjerumuskan kualitas kemanusiaan.
Aku rasa cukup itu
saja, Gaes. Selamat menjadi diri
sendiri dengan penempaan yang mampu dilakoni secara apa adanya.
*******
Balikpapan, 15
Maret 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar