Iri-dengki adalah
salah satu sebab, mengapa orang suka memfitnah kawan/rekannya sendiri. Dan, hal
semacam ini, sebenarnya, lumrah dan jamak.
Aku terbiasa hidup
dalam tekanan fitnah orang. Dengan bekal kemampuanku dalam menggambar dan
menulis, fitnah semakin bertubi-tubi menyerangku.
Ada yang menstempel
aku “egois” karena tidak mau mengajarkan perihal menggambar atau menulis.
Padahal, rumahku terbuka dan pengajaran itu gratis bagi siapa pun yang serius
untuk belajar. Dan, kalau bersungguh-sungguh, toh, hasilnya kelak adalah untuk mereka sendiri.
Mungkin karena aku
sudah menarik diri dari pergaulan atau kumpul-kumpul di luar rumah. Padahal,
lima tahun aku telah memberi diri, termasuk biaya transportasi, toh, tidak seorang pun yang serius untuk
belajar.
Mereka tidak akan
pernah mengerti ketika aku harus meninggalkan kampung halaman untuk belajar.
Mereka tidak pernah mengerti ketika aku harus pindah selama empat bulan untuk
mendalami gambar-menggambar, dan selama tiga jam menggambar setiap hari. Mereka
tidak akan pernah mengerti ketika harus belajar menggunakan mata-telinga untuk
belajar dari pembelajaran tulis-menulis mantan rekan-rekanku di pers mahasiswa.
Ya, mereka tidak
akan pernah mengerti keseriusanku dalam pembelajaran itu. Yang mereka mengerti,
bagaimana iri-dengki dihidupkan dan dibesar-besarkan untuk membenciku karena
aku sudah menarik diri dari kegiatan di luar rumah.
Iri-dengki kian
meninggi ketika aku menghasilkan buku-buku tunggalku. Ironi. Miris. Aku
berpikir dan berproduksi karena memang itulah yang bisa kulakukan. Sementara
mereka justru semakin iri-dengki, dan menyebarkan fitnah yang lebih parah
daripada lepra/kusta.
Namun beginilah
risiko atau konsekuensi hidup. Aku sudah memahaminya.
*******
Pinggir Panggung Renung, 15/4/2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar