Senin, 15 April 2019

Iri-Dengki


Iri-dengki adalah salah satu sebab, mengapa orang suka memfitnah kawan/rekannya sendiri. Dan, hal semacam ini, sebenarnya, lumrah dan jamak.

Aku terbiasa hidup dalam tekanan fitnah orang. Dengan bekal kemampuanku dalam menggambar dan menulis, fitnah semakin bertubi-tubi menyerangku.

Ada yang menstempel aku “egois” karena tidak mau mengajarkan perihal menggambar atau menulis. Padahal, rumahku terbuka dan pengajaran itu gratis bagi siapa pun yang serius untuk belajar. Dan, kalau bersungguh-sungguh, toh, hasilnya kelak adalah untuk mereka sendiri.

Mungkin karena aku sudah menarik diri dari pergaulan atau kumpul-kumpul di luar rumah. Padahal, lima tahun aku telah memberi diri, termasuk biaya transportasi, toh, tidak seorang pun yang serius untuk belajar.

Mereka tidak akan pernah mengerti ketika aku harus meninggalkan kampung halaman untuk belajar. Mereka tidak pernah mengerti ketika aku harus pindah selama empat bulan untuk mendalami gambar-menggambar, dan selama tiga jam menggambar setiap hari. Mereka tidak akan pernah mengerti ketika harus belajar menggunakan mata-telinga untuk belajar dari pembelajaran tulis-menulis mantan rekan-rekanku di pers mahasiswa.

Ya, mereka tidak akan pernah mengerti keseriusanku dalam pembelajaran itu. Yang mereka mengerti, bagaimana iri-dengki dihidupkan dan dibesar-besarkan untuk membenciku karena aku sudah menarik diri dari kegiatan di luar rumah.

Iri-dengki kian meninggi ketika aku menghasilkan buku-buku tunggalku. Ironi. Miris. Aku berpikir dan berproduksi karena memang itulah yang bisa kulakukan. Sementara mereka justru semakin iri-dengki, dan menyebarkan fitnah yang lebih parah daripada lepra/kusta.

Namun beginilah risiko atau konsekuensi hidup. Aku sudah memahaminya.

*******
 Pinggir Panggung Renung, 15/4/2019  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar