Suatu waktu aku melihat
foto-foto yang dipajang oleh seorang
kawan dalam sebuah kelompok literasi. Beberapa orang memamerkan buku yang
mereka pegang.
Lantas aku
menanggapinya. “Kapan bukumu nyusul?” tulisku.
Ia menjawab,
sebentar lagi. Selanjutnya ia minta buku-buku karya tunggalku.
Aku pun menjawab,
ada tujuh buku yang bisa kuberikan. Akan
tetapi, aku meminta ia menanggung ongkos kirimnya (ongkir) karena aku tidak
memiliki uang, dan posisinya jauh di luar pulau. Kalau aku kaya, pasti
kukirimkan secara cuma-cuma tanpa minta ongkir.
Jawabnya, “Kami
pikir-pikir dulu, deh.”
***
Memang beginilah
kenyataan hidup. Aku bukanlah karyawan. Aku tidak memiliki pendapatan bulanan
yang tetap. Aku jarang sekali mendapat penghasilan yang sesuai dengan
kapasitasku.
Meski dengan segala
keterbatasan, termasuk ketidakmampuan membayar tenaga mumpuni, aku berjuang
untuk mendapat uang agar karya-karyaku menjadi abadi dalam buku. Uang seberapa
rupiah kuusahakan agar ada bagian untuk menjadi buku.
Kalau mau berhitung
untung-rugi, dengan tujuh buku yang kubanderol sekitar Rp40.000,00 per buku,
seharusnya aku bisa mendapat Rp280.000,00. Namun, untuk tujuan literasi,
kurelakan saja kerugianku itu.
Dari Rp280.000,00
ditambah dengan ongkir, yang kira-kira totalnya Rp350.000,00, apa yang bisa
kujadikan contoh mengenai kemandirian pencipta/kreator dengan karya/kreasinya?
***
Salah satu alasan
ketidakaktifanku dalam geliat literasi di Balikpapan adalah menjadi donator
buku. Jangan serta-merta menghakimu bahwa aku pelit. Sekali lagi, aku tidak
memiliki uang, bahkan bisa tekor habis-habisan jika harus mendonasi buku-bukuku.
Aku tekor, siapa yang peduli, hah?!
Ah, sudahlah. Aku
memang tidak perlu merepotkan diri lantas merugi habis-habisan. Lebih baik aku
kembali berkarya. Terserah apa kata orang, karena, toh, orang hanya mudah berkata-kata tanpa benar-benar menyaksikan
upayaku berkarya dalam segala keterbatasanku.
*******
Pinggir Panggung
Renung, 30 April 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar