Sabtu, 29 April 2017

Sengaja Menghapus Pertemanan di Media Sosial

Saya sengaja menghapus pertemanan di media sosial dengan Oji, Sarwan, Demun, Zaenab, Lia, dan Sibukwan, bahkan memblokir Degul, yang kesemuanya tinggal di Balikpapan. Mengapa kejam sekali?

Hanya persoalan idealisme berkarya. Saya tidak mau lagi membaca status mereka sehari-hari, yang cenderung mengusik pikiran saya. Saya tidak mau terganggu dengan hal-hal yang, bagi saya, kontra-produktif. 

Terus terang, saya pasti mengapresiasi, dan memberi ucapan “salut” atau “hebat” apabila saya menemukan nama dan karya mereka selalu muncul dalam arena pertarungan karya tingkat nasional, baik lomba ataupun kurasi karya untuk tergabung dalam buku bersama. Saya tidak patut menahan diri untuk memberi apresiasi karena, bagaimanapun, saya wajib jujur-obyektif-sportif dalam lalu-lintas kenyataan dari suatu hasil pertarungan karya.

Sebaliknya, kalau cuma “jago kandang” pada era internet kini, ya, sudahlah, selesai pertemanan itu. Saya tidak bermaksud menyombongkan diri tetapi saya telanjur kecewa atas kebiasaan mereka (Lia, Sibukwan, dan lain-lain) menjadi “jago kandang”, dan gemar gemetar menghadapi arena pertarungan karya yang sering dipajang di media sosial. Saya bosan memotivasi orang-orang itu untuk selalu siap mengadu nyali.

Saya tidak mau bertambah kecewa gara-gara membaca status mereka yang begituan. Kecewa sudah mengendap sekian tahun, saya tidak akan membuatnya menjadi-jadi sehingga menjadi bumerang bagi saya dengan bentuk yang kontra-produktif. Biarkan saya memotivasi diri saya sendiri, dan mereka memotivasi diri mereka sendiri.

Sementara lainnya, Sarwan dan Demun, seakan menderita tuli permanen, atau justru kesombongan kronis. Menjadi senior di media tidak lantas membuka ruang karya sekaligus dengan penghargaan finansial yang lazim diberikan media industrial untuk lebih memotivasi para yunior yang sedang bersemangat muda dalam berkarya. Keduanya mencari aman-nyaman secara finansial berkesinambungan untuk diri mereka sendiri.

Sebenarnya saya pun sangat menginginkan mapan secara ekonomi, apalagi sudah berkeluarga. Menjadi suami bukanlah persoalan mudah ketika kebutuhan hidup masih dinilai dengan uang, bukannya sertifikat penghargaan atau kliping tulisan.

Oji, bagaimana? Ah, terlalu banyak omong. Lagaknya mengompori, Oji sendiri tidak pernah konsisten dalam berkarya. Kalau ada ajakan, yang sekaligus langsung memuat karyanya, barulah Oji berkarya. Itu pun biasanya hanya lingkup kecil alias Balikpapan. Selain itu saya pernah membantu dana cuma-cuma agar Oji bisa lebih serius berkarya tetapi, yah, entahlah.

Zaenab, juga bagaimana? Zaenab sudah mapan. Semasa mahasiswa, Zaenab tidak pernah mengirim karya ke media umum karena sudah terdukung penuh oleh ekonomi orangtuanya. Kini rajin mengirim ke media lokal semata demi popularitas dan kemapanannya sendiri tanpa peduli mengenai pentingnya honor bagi kontributor dan proses regenerasi yang juga perlu “gizi”.

Paling parah payahnya memang Degul, yang terpaksa saya blokir. Pendusta (termasuk suka omong kosong), penghisap darah, manusia anti-profesionalisme, dan degil akut. Pantasnya si Degul ini ditenggelamkan saja di Teluk Balikpapan supaya berguna bagi para penghuninya. Ah, Bu Susi Pujiastuti mana, ya?

Jadi?

Ya, jadi. Jangankan soal kesengajaan menghapus pertemanan di dunia maya, di dunia nyata saja saya menjauh dari mereka. Saya memilih menyepi, berkarya sendiri, produktif sendiri, kreatif sendiri, menguji nyali sendiri, dan senang-susah sendiri.

*******

Panggung Renung Balikpapan, 2017


Tulisan di bawah ini bersumber dari : http://intisari.grid.id/Wellness/Psychology/Interaksi-Sosial-Ternyata-Berpengaruh-Pada-Kebahagiaan-Dan-Kecerdasan-Seseorang

Interaksi Sosial Ternyata Berpengaruh Pada Kebahagiaan dan Kecerdasan Seseorang

Rabu, 30 Maret 2016 08:00 WIB


Intisari-Online.com - Apakah Anda seorang adalah seorang penyendiri yang lebih senang tinggal dirumah sambil membaca buku daripada pergi berpesta? Jika demikian, psikolog mengatakan mungkin ada penjelasan yang baik untuk itu.

Nyatanya, Anda tidak perlu menghabiskan banyak waktu dengan teman-teman Anda untuk menjadi bahagia, menurut penelitian yang dipublikasikan bulan lalu di British Journal of Psychology.
Untuk penelitian ini, peneliti menganalisis data survei dari 15.000 orang dewasa berusia antara 18-28, termasuk informasi tentang lingkungan hidup, kesejahteraan, IQ dan hubungan mereka.

Setelah mengontrol data untuk status sosial ekonomi, para peneliti menemukan bahwa orang yang kecerdasannya dibawah rata-rata (yang diukur dengan tes IQ) dan tinggal di lingkungan populasi kepadatan tinggi (seperti kota-kota besar) menyatakan rendahnya tingkat kepuasan hidup daripada mereka yang hidup di daerah pedesaan.

Data tersebut juga mengungkapkan bahwa semakin banyak interaksi sosial dengan teman-teman dekat mereka, semakin bahagia mereka (yang memiliki kecerdasan IQ dibawah rata-rata).

Namun, sebaliknya untuk orang-orang dengan IQ diatas rata-rata—mereka lebih puas dengan kehidupan mereka dan merasa lebih bahagia ketika mereka menghabiskan waktu lebih sedikit dengan teman-teman dekat mereka atau menyendiri.

“Otak manusia rata-rata mungkin telah berevolusi untuk berfungsi dengan sangat baik di lingkungan pedesaan dengan orang-orang yang lebih sedikit. Ketika ditempatkan di perkotaan dengan kepadatan penduduk tinggi, otak kita mungkin mengirim sinyal untuk membagi ke dalam lingkaran sosial yang lebih kecil,” kata Dr. Satoshi Kanazawa, seorang psikolog di London School of Economics dan penulis utama penelitian tersebut, seperti dilansir Huffington Post.

Hal senada juga disampaikan Dr. Carol Graham, peneliti dari  Brookings Institute, mengatakan bahwa orang yang  cerdas melihat bersosialisasi sebagai gangguan dari hal-hal yang lebih penting, seperti mengejar karir jangka panjang atau target perbaikan diri. Pilihannya sekarang ada pada Anda, bahagia karena bersosialisasi juga penting, namun ada kalanya kita butuh menyediakan waktu bagi diri sendiri. 


(Carolyn Gregoire/ Huffington Post)
Reporter : Okke Nuraini Oscar
Editor : Okke Nuraini Oscar

Jumat, 28 April 2017

Eksistensi Karya Sepanjang 2017 Pasca-18 Oktober 2014

18 Oktober 2014 sebagai tonggak kepergian saya dari segala kegiatan bersastra, baik baca puisi, kelas menulis ini-itu, kumpul seniman maupun berkomunitas, semacam Malam Puisi Balikpapan, di Balikpapan. Menyepi dan mengolah-mengelola kata-kata menjadi keseharian saya.

Saya sangat menikmati semua itu dengan penuh kesadaran diri bahwa karya menjadi keutamaan, dan berskala melampaui wilayah “kandang” sendiri (Balikpapan). Karya merupakan eksistensi saya. Berkarya sastra merupakan kegiatan individual yang eksistensial-aktual, dan saya lakukan terus-menerus sampai kelak saya tidak mampu lagi melakukannya.

Beberapa tahap-tahap proses eksistensialitas berkarya tersebut saya catatkan :


2017

CERPEN :
1.      Menguburkan Anjing disiarkan oleh Nusantaranews, 26 April.
2.      Sebuah Pesanan Gambar Bangunan disiarkan oleh Biem, 25 April
3.   Boy disiarkan oleh Banjarmasin Post, 23 Juli

CERITA ANAK :
1.      Berlibur di Kebun menjadi juru kunci para pemenang (nomor 15 dari 15 pemenang) Sayembara Penulisan Cerita Anak se-Kaltim dan Kaltara 2017, yang diumumkan pada 28 Oktober 2017, dan disiarkan di Kaltim Post. (http://www.kliksamarinda.com/berita-6921-ini-para-pemenang-sayembara-penulisan-cerita-anak-kantor-bahasa-kaltim-2017-.html)

PUISI
 :
1. Dua puisi (Mengendarai Kalong Menuju Lenamu, dan Sekelebat Tiada Kudapat) lolos kurasi untuk buku antologi puisi Jendela Pekalongan (Dewan Kesenian Kota Pekalongan, Jawa Tengah), Pengumuman pada 25 Juli.
2. Puisi Selembar Daun Sahang Mencari Serambut Akar masuk nominasi 10 besar (nomor 7) dalam Lomba Cipta Puisi Krakatau Award 2017 (Dinas Pariwisata Provinsi Lampung), dan bergabung dengan puisi lainnya untuk buku antologi puisi Hikayat Secangkir Robusta yang berisi 50 puisi terpilih.

ESAI :
1. Mungkinkan Menerbitkan Buku Tanpa Penerbit dan ISBN? dipajang di blog Indie Book Corner (https://www.bukuindie.com/mungkinkah-menerbitkan-buku-tanpa-penerbit-dan-isbn/) pada 25 Juli, setelah mendapat predikat "Headline" di blog Kompasiana pada 26 Juni.
2. Belum Banyak Berbuat Apa untuk Indonesia  diganjar menang pertama dalam Flashblogging Kompasiana 17 Agustusan (http://www.kompasiana.com/kompasiana/599f4a871ceeef5590198ba2/inilah-para-jawara-yang-menaklukkan-kompasiana17an)

BUKU
Buku Swakelola :
A.    Kumpulan Kartun :
1.      Potret Diri Oji
2.      Tersenyum Pun Boleh

=======================================
2016

LOMBA
1.      Juara I Lomba Menulis Esai Se-Kaltim & Kaltara, Kantor Bahasa Kaltim.

BUKU
Buku Swakelola :
A.    Kumpulan Puisi :
1.      Cinta Usang
2.      Napak Tilas

B.     Kumpulan Cerpen :
1.      Rambo
2.      Aku Ingin Menjadi Malam
3.      Gadis yang Mengendarai Ombak

C.     Kumpulan Esai :
1.      Belajar Peta Indonesia
2.      Siapa Mengontrol Siapa

D.    Kumpulan Gombal :
1.      Gombalmukelo

Buku Bersama, baik melalui lomba maupun kurasi :
1.      Antologi Puisi Puisi Klungkung: Tanah Tua, Tanah Cinta (Museum Seni Lukis Klasik Nyoman Gunarsa, Klungkung, Bali, 2016)
2.      Antologi Puisi Karya 250 Penyair Terbaik Indonesia Baju Baru untuk Puisi & Hal-hal yang Belum Kita Mengerti (Bebuku Publisher, Surakarta, 2016)
3.      Antologi Seribu Puisimini Pilihan Lainnya Aquarium & Delusi (Bebuku Publisher, Surakarta, 2016)
4.      Antologi Puisi Menanam Kenangan (Bebuku Publisher, Surakarta, 2016)
5.      Antologi Puisi Mak Renta (Penerbit Jentera, Jakarta, 2016)
6.      Antologi Puisi Temu Penyair Nusantara Pasie Karam (Dewan Kesenian Aceh Barat & Disbudpar Aceh Barat, 2016)
7.      Antologi Puisi Sahabat Rose Sajak Embara (Rose Book, Trenggalek, Jawa Timur, 2016)
8.      Antologi Puisi Kampungan Goyang WC (Yabawande - RIC Karya, Semarang, Jawa Tengah, 2016)

2015

PUISI :

1. Forum Sastra Bekasi (FSB), Jawa Barat, dalam rangka ulang tahunnya yang ke-4, dan dimuat dalam Edisi Khusus Puisi Buletin Jejak edisi 49, April 2015. Ada dua puisi saya yang terpilih, yaitu Secangkir Kopi Hitam Kafe Batam, dan Penyair Mawar.


Secangkir Kopi Hitam Kafe Batam

Siang yang basah tidak menyisakan kisah
Paha dada ayam goreng berkurung tepung
Dalam adukan lingerie mi goreng
Pada secangkir kopi hitam temaram
Berpayung merek minuman ringan

Yang ada hanya kertas-kertas
Berkisah air mata merembes
Kata-kata dari kaki-kaki kepala-kepala
Disirami sinar rembulan memantul
Pada batang-batang pensil warna

Yang ada hanya kertas-kertas
Berkisah licinnya jalan yang ingin
Ditempuh tanpa peduli batu duri sembilu

Siang yang basah telah
Menyesahkan dirinya
Sendiri
Dari pagi yang terdampar dalam
Kamar pakaian bergelayut bayi raksasa
Memanggil seorang penjaga untuk pergi
Mencari senja dalam secangkir kopi hitam

: Kertas-kertas telah terbakar!

*******
Bekasi, 2006

Penyair Mawar

1.
Penyair lahir dari kuncup mawar
Memercik semburat warna
Redup saat mekar kelopaknya

2.
Penyair lahir dari duri mawar
Perih membakar dada
Nyeri menyala kata

3.
Penyair lahir dari daun mawar
Tekun memasak kata menghijau
Kering gugur sebelum mekar kelopak

4.
Penyair lahir dari tangkai mawar
Tegar dalam tiupan badai angin ngilu
Teguh di antara batang pohon angkuh

5.
Penyair lahir dari aroma mawar
Semerbak pentas semarak suasana
Sebentar hampa diterpa rupa-rupa udara

*******
Kebun Karya - Balikpapan, 2015


2. Dewan Kesenian Kabupaten Tangerang (DKKT) dan Dinas Pemuda dan Olah Raga, Budaya, dan Pariwisata (Disporabudpar) Kabupaten Tangerang, Banten, yang berbatas akhir kirim 15 Juni, dalam rangka “Temu Kangen dan Temu Karya Sastrawan Nusantara” dalam kegiatan bertajuk “Tifa Nusantara 2” yang diselenggarakan pada 27 s.d. 29 Agustus 2015, dan dimuat dalam buku Bunga Rampai Puisi Tifa Nusantara 2.  

Puisi saya yang terpilih adalah Aku Mengendus Tangerang di Balikpapan.


Aku Mengendus Tangerang di Balikpapan

Aku mengendus Tangerang
Di cerobong api Pertamina Balikpapan
Terpajang di Klandasan Pandansari Rapak
Sepanjang jalan menutupi
Pandangan nanar matahari

Alangkah Selat Sunda Teluk Balikpapan
Melampaui Laut Jawa Selat Makassar
Seperti naik kendaraan Aladin
Kulihat berkibar-kibar
Dengan kabar upah minimum
Sekali teguk langsung puasa

Asap Tangerang membubung
Digiring angin barat angin selatan
Menyapa hidung mataku

Alangkah singkat pengembaraan Nusantara
Hanya dalam almari bengkirai
Di kamarku

*******
Panggung Renung - Balikpapan, 2015


3. Dewan Kesenian Kota Banjarbaru dan Disporabudpar Kota Banjarbaru, Kalimantan Selatan, berbatas akhir kirim 20 September, dalam rangka menerbitkan buku kumpulan puisi bersama Kalimantan : Rinduku yang Abadi. Dua puisi saya yang terpilih, yaitu Batu-Batu Kata, dan Kota Air.


Batu-batu Kata

#1
Kata-kata jadi
Batu tabu
Dibuang dalam gelap
Gua jepang

Tiada catatan selain ceceran diktat-diktat cacat tersesat hangat jantung memompa angin selasar selat makassar semilir mengiris-iris gendang telinga semakin menderu mencecar tanker-tanker migas tongkang-tongkang batubara kapal-kapal sawit mengejar setoran-setoran ke hotel-hotel paling hot di ujung laut jawa berlampu paha dada temaram tentram.

#2
Kata-kata jadi
Batu tuba
Dituang dalam perjamuan
Malam

Akar-akar menjalar merajalela melebatrimbunkan daun bersulur-sulur mengulur luapan gegelak magma-magma dari gerilya rantau menemu hutan ulin belantara bengkirai tanpa pelototan recehan-recehan mengoceh pada angin kering pada fatamorgana susu madu yang ludes dilahap beruang dan saudagar mengerek bendera bergambar diri di warung masing-masing membelit kaki leher sendiri daripada menenggak ramuan tuba. 

#3
Kata-kata jadi
Batu buta
Digosok sepanjang kilometer
Duabelas

Secarik catatan menceritakan kristal-kristal keringat memencar penjuru pelosok tembok-tembok beton pada pelupuk mata-mata menatap pekat medung hitam pekat kabut pekat lumpur sambil menebarkan belati-belati di setiap persinggahan dan persanggahan-persanggahan tanpa menaklukkan telinga menundukkan dagu menakar panjang-lebar-tinggi mulut dan otak pada pecahan kaca terinjak telapak-telapak telanjang.

#4
Kata-kata jadi
Batu baut
Dipasang pada mesin-mesin
Pencetak pelangi

Cetakan-cetakan celoteh batu-batu seperti daun-daun mengguratkan musim hujan musim kemarau musim buah-buahan musim ternak kawin-mengawin membiakkan bayang-bayang dongeng tentang bianglala dilupa sebab pelangi lebih berwarna mewangi pada bentang cakrawala penuh merah soekarno-hatta daripada tanah-tanah kebun buah naga tambak-tambak udang kepiting soka dilanda kerakusan kota.

#5
Kata-kata jadi
Batu buat
Dibenturkan pada kepala-kepala
Tepar berganti-ganti purnama

Berbongkah-bongkah batu membeberkan bangkai-bangkai kata kering angin kencang daun-daun gugur batang-batang tumbang binatang liar menyelamatkan diri petapa mendaki atap-atap sirap karena para pendekar minum tuak aren mabuk menarungkan kelakar-kelakar kerontang dengan pedang kayu lapuk seolah menggosok batu-batu seperti di kebun sayur mengilaunya jidat-jidat diterjang puing-puing sayap elang bondol kehilangan bandrol-bandrol diterbangkan kepak-kepak rangkong menuju lapis-lapis debu abu jenazah-jenazah kebakaran hutan gedung-gedung tanpa sempat menuliskan wasiat dalam buku-buku tamu pesta pernikahan berjujuran debur dinding-dinding dada. 

*******
Panggung Renung, 2015


Kota Air

Mendayung sampan sampai selatan
Matahari sedang bersolek di Barito

Mendayunglah sampan
Mengarunglah matahari
Barito mengalirkan peta di tiap jemari
Menuju Kota Air seperti dongeng
Sepasang dokter yang tinggal di Kota Bah

: Pendayungan akan melabuh, bersiaplah

Mendayung sampan di Kota Air
Sampan kayu budak Melayu kuyu

Gubuk apung
Gedung apung
Kaki-kaki kayu mengurung
Haruan dan saluang terkepung
Sampan mengarung ke relung-relung

: Pendayungan melabuh di jeram jantung

*******
Banjarmasin, 2008


4. Proyek Seni Indonesia Berkabung, Yogyakarta, berbatas akhir kirim 30 September, dalam Lomba Cipta Puisi Indonesia bertema “Di Bawah Payung Hitam”. Satu puisi saya yang dipilih oleh Dewan Juri (Prof. Dr. Faruk HT, Joko Pinurbo, dan Gunawan Maryanto) untuk tergabung dalam buku mereka, yaitu Kebakaran Perut dan Kepala.


Kebakaran Perut dan Kepala
Kebakaran adalah menu harian bagi beribu liter bensin dalam perut dan kepala. Obrolan, radio, televisi, internet adalah semangkuk percikan api di meja makan rumah, warung, kantin, kafe, restoran. Menyalalah perut dan kepala. Kaki ke sana-sini. Tangan mencakar-cakar. Segala rambut lencana terbakar.   

Apa lagi?

Kebakaran di seluruh penjuru rumah, taman, pasar, penjara, kantor, lokasi, lokalisasi. Siang-malam sirine menyemaraki sorak knalpot, serak mesin kendaraan, parau diesel listrik, celotehan warga, dan cerewet peluit ceret. Hujan-panas mengobarkan nyala menjalar-jalar merajalela menghanguskan sekujur waktu.

Di mana lagi? Kena apa lagi? Bertanya lagi, dan lagi!

Kebakaran menggelar takaran yang dipakai di pasar-pasar dan rumah-rumah. Berat-ringan, besar-kecil, tinggi-rendah, pahit-hambar, luas-sempit, jauh-dekat, lama-singkat, bising-diam menyatu. Buncit-busung, seragam-telanjang, tawa-sungut dalam takaran berbeda kendati satu jualah : kebakaran.

Kapan lagi? Baru sajakah? Masih bertanya lagi, dan lagi!

Kebakaran memiliki musimnya sendiri tanpa melihat matahari bulan. Kemarau dan penghujan berbagi posisi. Kebakaran menyelinap, membuat koloni demi koloni, dan bermain di sela-sela musim di antara mukim. Asalnya adalah api dalam gelap busa-busa ludah para pemain akrobat. Setitik nyalanya seperti ujung lidah naga. Karena bensin dalam perut dan kepala terkenalah percikannya mencuri kesempatan.

Berapa lagi hitungannya? Lanjutkan pertanyaan!

Kebakaran kitab, meja, ranjang, rumah, kantor. Perut-perut meletus. Kepala-kepala meledak. Kampung, kota, hutan kebakaran semua. Jago merah menjajah jantung menambah meriah-semarak menyambar, menyebar, menyerang, menyerbu. Terjaga-terlena, tergerak-terbeku, teriak-terbungkam pada api berlompatan sana-sini. Semua moncong memencong. Tiada mantap menatap. Tidak juga yang apinya abadi di puncak cerobong-cerobong. Katakan, sebutkan, tuliskan, rekamkan, beritakan, arsipkan dalam airmata. 

Siapa lagi punya kepala? Sudah hangus sekujur raga seluruh wilayah. Kecuali puisi menyala-nyala dalam gurita gulita meja kehilangan hijaunya.

*******

Panggung Renung & Kebun Karya, 2015

Kamis, 27 April 2017

Bertarung Karya

Bagi kita generasi 90-an,
Menulis itu bertarung, bukan jualan.
Pram mengajari soal ini.
--- Agus Hernawan, 7 April 2016 ---

Tentang bertarung karya, pernah saya ceritakan secara verbal-vokal kepada beberapa orang muda di Balikpapan. Risiko menceritakan secara verbal-vokal adalah “dimakan angin”. Sementara ingatan selalu mengalami masa rentan ketika berhadapan dengan ramai-padatnya arus lalu lintas sebagaimana dinamika hidup.

Bertarung merupakan upaya uji nyali (keberanian). Pada saat ilmu dan wawasan dirasa cukup memadai, lantas nyali diperhadapkan pada kenyataan: beranikah. Di sisi lain, keberanian tanpa dibekali ilmu dan wawasan, yang kemudian menjadi pertimbangan, bisa jadi malah merupakan sebuah kenekatan.

Orang muda memiliki semangat yang kian mengobarkan keberaniannya. Entahlah, apakah keberanian itu sungguh-sungguh sudah terbekali, ataukah justru kenekatan yang bisa menjadi kekonyolan. 

Tidaklah penting terlalu banyak berpikir supaya tidak telanjur mengalami kebotakan dini seperti saya. Yang terpenting: semangat dan berani.

Terkadang pula saya berpikir, tidak sedikit orang muda kreatif yang berharap karyanya disiarkan sebuah media, apalagi mendapat honor. Tidak sedikit orang muda kreatif yang berharap karyanya memenangkan suatu lomba, apalagi berhadiah besar dan nasional. Baik penyiaran (pemuatan) karya maupun piagam penghargaan suatu lomba, masing-masing memiliki semangat dan uji nyali yang berbeda-beda. Barangkali pemikiran saya ini justru keliru.

Saya pernah muda. Dan saya pun pernah melakukan sebuah keberanian, yang bisa pula sebuah kenekatan, untuk terjun dalam arena pertarungan.

Dalam bidang olah raga, yaitu bola voli, di masa pendidikan menengah pertama. Selesai dan lewat begitu saja. Di tingkat pendidikan menengah atas, keberanian itu beralih ke bidang karya (seni rupa), tetapi masih setaraf pengenalan lingkungan karena belum lama menjadi warga Yogyakarta (dulu KTP saya adalah warga Kotamadya Yogyakarta).

Masa kuliah barulah pertarungan itu dimulai untuk lingkup di luar lingkungan pergaulan saya. Pertarungan karya, tentunya. Kebetulan saya tinggal di Yogyakarta, ketika itu, dimana dinamika kesenian dan pertarungan karya selalu mendayahidupkan sebagian orang muda di sana.

Pertarungan tidaklah melulu berada pada suatu arena perlombaan, sayembara, dan sejenisnya. Pertarungan pun memasuki wilayah penyiaran karya di media massa. Yogyakarta yang dipenuhi para petarung karya yang sangat kreatif, tentu saja, sangat membakar semangat saya untuk ambil bagian–entahlah bagian siapa yang saya ambil. Pertama adalah menggambar selepas bimbingan belajar menggambar di “Garizt” – HMFSRD ITB. Kedua adalah menulis, ketika saya menekuni pers mahasiswa.

Saya pun memadukan keduanya. Misalnya, saya pernah menggambar untuk kaus oblong, baik di SMA, kampus, maupun suatu komunitas. Kemudian saya ikut lomba menggambar untuk kaus oblong se-Yogyakarta dan sekitarnya, dimana Dagadu Djokdja sedang hebat-hebatnya. Ada juara harapan V, juara pertama, dan nominasi (nominasi berpiagam ini pada lomba yang diselenggarakan oleh Dagadu asli). Selesai? Tentu tidak.

Ada lomba menulis esai seputar HAKI (Hak Atas Kekayaan Intelektual) tingkat nasional yang diselenggarakan oleh sebuah lembaga HAKI di Jakarta. Saya ikut lomba dengan mengirimkan sebuah artikel dari pengalaman saya dalam merancang gambar kaus oblong untuk bisnis kecil-kecilan keluarga (Budak Bangka T-shirt). Menang? Tidak. Tetapi, beberapa minggu kemudian saya mendapat panggilan dari panitia lomba (lembaga HAKI) untuk menjadi pembicara seminar nasional di sebuah hotel di Yogyakarta. Cukup? Belum.

Dalam acara tersebut saya bertemu dengan ketua panitia sekaligus tokoh HAKI Indonesia. Beliau menyampaikan bahwa artikel esai saya dulu sebenarnya bisa masuk pemenang 3 besar tetapi bla-bla-bla. Saya paham. Lalu beliau memberikan buku kumpulan tulisan pemenang dan nominasi lomba tersebut. Tulisan saya berada pada bagian pertama. Selesai? Masih belum, rupanya.

Beliau meminta saya menjadi pembicara lagi tapi di tingkat lebih tinggi. Di Jakarta, di sebuah seminar bertaraf internasional (setiap sesi ada pembicara asing dan berbahasa asing), dan saya bersanding dengan Martha Tilaar. Selesai? Ya, sampai di situ.

Misalnya lagi, bidang kartun, yang mulai saya tekuni ketika SMA untuk majalah sekolah, juga ‘bergerak’. Dari majalah sekolah dan kampus yang hanya menjadi bagian pelatihan serius, saya beralih ke media luar. Tentu saja ‘pertarungan’ karya di media industrial tidaklah seenaknya seperti di media sekolah dan kampus. Puji Tuhan, pernah dimuat di Mingguan Minggu Pagi, Tabloid Bola, Majalah Rohani (Kristen) Bahana, Majalah Intisari, dan Majalah Humor. Selesai? Tentu belum.

Saya pun mengikuti lomba kartun opini, dan karikatur di Yogyakarta. Hasilnya: juara Harapan II (Kartun Opini), dan Juara II (Karikatur). Selain itu saya pernah menjadi juri lomba karikatur tingkat  mahasiswa se-DIY, dan bersanding dengan seorang ilustrator profesional serta seorang dosen ISI. Dan, saya menulis artikel budaya berjudul “Katakan dengan Kartun”, yang dimuat di harian Bangka Pos.

Atau, misalnya, bidang tulis-menulis, selain lomba esai HAKI, adalah menulis artikel opini se-Babel bahkan mungkin luar Babel dalam rangka ulang tahun Bangka Pos. Saya masih di Yogyakarta, ketika itu. Karena saya sekian tahun suntuk menggeluti pers mahasiswa, saya pun menguji kemampuan saya dalam lomba tersebut. Artikel saya berjudul “Pers Daerah : Siapa Mengontrol Siapa”. Juara I. Lumayan, ‘kan, daripada sekadar mengaku-aku mantan aktivis pers mahasiswa lalu tidak jadi apa-apa?

Di lain waktu saya diminta menjadi juri dalam lomba menulis esai di sebuah SMA Negeri di Sungailiat, Bangka. Dan, tentu saja, ada beberapa tulisan esai saya dimuat di media massa.

Bidang sastra? Sebenarnya boleh dianggap sebagai sebuah kenekatan. Tapi, ketika ‘sesuatu’ sedang saya suntuki, tidaklah sampai menjadi “fantasi untuk memuaskan diri sendiri” belaka. 

Ternyata ada juga hasilnya. Tiga piagam penghargaan lomba cerpen, baik Yogyakarta maupun Riau (padahal saya tidak pernah ke sana), saya raih, meskipun bukan Juara I (calon arsitek kok nekat minta juara I). Saya pernah menjadi juri dalam lomba menulis cerpen tingkat pelajar se-DIY. Dan saya menulis artikel tentang cerpen, yang dimuat di sebuah harian Ibukota.

Dan seterusnya. Intinya, ketika muda saya pernah memiliki semangat dan keberanian bahkan kenekatan, meski tidaklah seberapa hebat apabila disanding-bandingkan dengan orang lain, yang benar-benar diakui dan dibicarakan oleh banyak kalangan intelektual tingkat nasional dan internasional. 

Kini, ketika masih berbau muda, semangat itu masih menyala, meskipun agak redup karena situasi Balikpapan berbeda dengan daerah-daerah yang pernah saya rantaui. Saya sudah lelah melihat situasi pertarungan karya di Kota Minyak ini.

Bagi saya, penyiaran karya di sebuah media massa murni industrial-kapitalisme (sebaiknya tidak mengenal siapa redakturnya) dan piagam lomba (yang juga tidak tahu siapa jurinya) mirip sebuah ujian dalam masa pendidikan, terlebih di luar bidang belajar saya secara formal. Penyiaran karya berarti saya mendapat nilai tidak merah untuk suatu waktu tertentu. Piagam lomba berarti keseriusan saya teruji (untuk suatu waktu tertentu), dan saya bisa melanjutkan ke jenjang lebih tinggi.

Nah, begitulah sebagian cerita yang pernah saya sampaikan kepada sebagian orang muda di Balikpapan. Sebagian pertarungan sebagai upaya pengujian diri. Tidak lupa saya ceritakan contoh lain yang benar-benar saya tinggalkan, yaitu sepakbola beserta sepatunya (tidak serius, sih), bola voli (percuma, postur pendek) dan memainkan gitar (hanya bisa tiga jurus : C-F-G). Itu pun saya sampaikan.

Saya hanya berbagi semangat dan, sedikit, kenekatan bertarung karya selagi muda kepada mereka. Bahkan, dengan tegas saya sampaikan, “Apabila tidak serius menekuni sesuatu dan menarungkannnya, mendingan tinggalkan saja secepatnya. Selesaikan kuliah, kerja, kawin, keluarga, dan kaya raya. Lupakan kegiatan yang hanya membuang waktu, tenaga, dan materi percuma, khususnya yang tidak sesuai dengan bidang studi.”

Entahlah, apakah hal-hal semacam ini memiliki nilai penting-berguna ataukah tidak bagi orang muda Balikpapan. Demikian juga ketika saya diganjar Juara I Lomba Menulis Esai Se-Kaltim & Kaltara 2016 lalu, meskipun dalam biodata saya tuliskan "
sekadar berpartisipasi sebagai warga Kaltim yang masih mau repot memikirkan hal-hal di luar profesi dan ijazah terakhirnya sehingga dewan juri tidak perlu repot menilai mutu dua butir tulisannya" (tanyakan saja pada panitia, termasuk Amien Wangsitalaja, jika tidak percaya)

*******


Panggung Renung, 2015-2016

Rabu, 26 April 2017

Petarung Sejati

Dalam hal pertarungan puisi, khususnya kurasi untuk tergabung dalam buku bersama lintas generasi dan wilayah, saya sering menemukan nama sekaligus karya Bambang Widiatmoko (kelahiran Yogyakarta, 26 Oktober 1960), Budhi Setyawan (kelahiran Purworejo, Jawa Tengah, 9 Agustus 1969), Ali Syamsudin Arsy (kelahiran Barabai, Kab. Hulu Sungai Tengah, Kalimantan Selatan, 1964), dan lain-lain. Usia mereka di atas usia saya alias mereka lebih tua tetapi semangat bertarung masih bergelora.

Saya memang berbeda dengan mereka, baik pendidikan maupun sosialitas (komunitas). Mereka berlatar pendidikan sosial, berfokus dalam puisi, dan memiliki komunitas di daerah domisili masing-masing. Sementara saya arsitek, fokus beragam, dan sama sekali tidak berkomunitas sastra (sempat pada Maret 2009 – 18 Oktober 2014) di Balikpapan.  

Dengan perbedaan di atas, saya masih berusaha untuk terjun ke arena pertarungan puisi. Saya sangat menikmati apa pun hasilnya karena kesadaran diri dalam realitas. Menang-kalah atau lolos-tidak lolos merupakan hasil yang lumrah. Menang atau lolos tidak menjadikan saya kaya raya, kalah atau tidak lolos pun tidak menjadikan saya melarat (rugi bandar).

Meskipun setiap hajatan kurasi puisi saya bagi-pajangkan di media sosial, khususnya Mukabuku (Facebook), saya tidak peduli lagi, apakah orang-orang Balikpapan berminat ataukah tidak. Saya sudah bosan mengompori orang-orang itu karena tanggapan mereka sama sekali tidak menarik: "Sibuk". Tetapi kalau acara baca puisi di panggung, aduhai, semangat mereka sudah seperti para penyair hebat yang sama sekali tidak memiliki kesibukan mengelola kemampuan ketika sendiri!

Memang saya terpaksa menjauhi para “penyair” Balikpapan. Semangat saya dan mereka sangat bertolak belakang. Sejak berada di Kota Minyak ini (10 Maret 2009) saya sudah melihat perbedaan itu. Semangat bertarung saya mulai sejak menjadi pemain inti bola voli di SMP, lantas terbawa dalam kegiatan tulis-menulis di Yogyakarta.

Bertarung bukanlah untuk pembuktian. Bagi saya, bertarung hanya merupakan evaluasi terhadap perjalanan saya dalam berkarya. Puisi, cerpen, esai, dan kartun, setelah “gantung bola voli” karena kondisi fisik sangat tidak memungkinkan (pendek, 163 cm!).

Tulis-menulis merupakan kegiatan individual (sendiri), yang jelas berbeda dengan berolah raga bola voli. Tulis-menulis bukanlah suatu kegiatan keroyokan karena konsentrasi personal menjadi satu-satunya kunci untuk berkarya.

Kebetulan saya tidak suka dengan hal-hal keroyokan. Bukan karena saya hebat, melainkan saya selalu berusaha memaksimalkan kemampuan (kapasitas) saya sendiri. Tidak ketinggalan dalam hal pembuatan buku berisi karya tunggal saya, baik puisi, cerpen, esai, gombal, dan kartun.

Memang saya paling tidak menyukai suatu prestasi yang berasal dari belas kasihan atau solidaritas orang-orang yang mengenal saya. Kalau karya saya layak atau tidak layak diperhitungkan, semuanya murni berdasarkan kriteria perhitungan itu. Karya adalah bahan satu-satunya, dan mutlak, untuk diperhitungkan. Bukannya “siapa penciptanya”.

Dengan seringnya saya melihat nama sekaligus karya para petarung sejati, saya semakin menyukai pertarungan demi pertarungan karya meski tanpa hadiah bernilai rupiah, apalagi kalau lolos kurasi, dan karya saya tergabung dengan para petarung sejati dalam sebuah buku bersama. Paling tidak, karya saya pun terabadikan dalam kebersamaan, kendati saya sudah menjadi penyendiri di tengah keramaian perayaan sastra di Kota Beruang Madu.  

*******


Panggung Renung, 2017

Minggu, 23 April 2017

Jadi Penonton Saja

Dari sebuah perbincangan malam tentang sederet tulisan, pada ujungnya tersimpul bahwa saya harus menjadi penonton saja. Tidak perlu jeli atau kritis terhadap tulisan yang ditayangkan; biarkan semuanya terpajang sekehendak hati para penulisnya sebab, toh, mereka sudah lebih hebat daripada saya.

Baiklah. Saya akui, apa yang saya lihat, secara alami, selalu diteruskan ke otak, disambut oleh ingatan, diolah oleh pemikiran, dan keluarlah hasilnya. Selalu begitu. Persoalannya awalnya, anggap saja, berada dalam otak saya sehingga hasilnya tidak sesuai dengan hasil pemikiran orang lain. Yang paling riskan adalah ketika saya mengungkapkannya secara verbal, baik lisan maupun tulisan. 

Saya kira, memang posisi penonton saja sudah lebih dari cukup. Hanya mata. Tidak usah direcoki dengan otak beserta segala isinya. Tidak perlu susah dipahami apalagi ditanggapi, minimal dengan sekilas desah,  tepuk tangan, atau acungan jempol khas saya. Toh, otak mereka jauh lebih berisi bahkan bernas. Maklumlah, mereka sudah sarjana, bukan pelajar SD lagi.

Tetapi, apa faedahnya tayangan mereka? Entahlah. Mungkin justru sangat berfaedah bagi orang lain, bahkan banyak orang.

Sementara saya sendiri tidak mengetahui apa sesungguhnya faedah, apalagi maksud-tujuan mereka menayangkan tulisan, meski tanpa rambu-rambu “dilarang menanggapi”, “dilarang nyinyir”, “dilarang memakai otak”, atau “Wajib menjempoli”. Ah, barangkali seperti pepatah “Dalam celana dapat diduga; dalam tulisan siapa tahu”.

Saya tidak perlu repot menduga-duga mengenai faedah serta maksud-tujuan. Saya tidak perlu memakai otak untuk menerka. Biarkan mata melihat, meski seakan sebuah tatapan kosong. Eh, anggap saja tatapan kosong. Anggap saja kepala saya hanya sebuah tong. Begitukah maunya?

Tetapi juga, apa pula faedahnya saya menjadi penonton saja, apabila sekilas desah atau tepuk tangan tidak menjadi sebuah tanggapan minimalis dari saya? Sekali lagi, entahlah. Mungkin saya seharusnya berpura-pura menjadi mayat hidup (zombie), meski saya tidak pernah bertemu zombie dalam arti sebenarnya, kecuali dari film-film Hollywood atau bukan “mayat rewel” seperti istilahnya Yuli pada Rabu subuh, 1 Maret 2017 itu.

Sampai kini saya masih bergelut dengan otak saya mengenai perbincangan malam itu. Pergelutan yang, saya duga, berpotensi mengusik kenyamanan dan ketentraman rambut saya, seakan saya mengabaikan nasihat terkini, “pakai otak bisa botak”. Kalau menjadi penonton saja seperti seonggok tong menyaksikan tayangan tarian telanjang, sudah barang tentu hal tersebut merupakan pengingkaran bahkan penistaan terhadap diri sendiri.

Jadi, bagaimana? Saya pikir, mending menyeruput kopi dan menyaksikan tarian telanjang di internet. Begini saja aman-nyaman-tentramnya, baik bagi diri sendiri maupun bagi orang lain. Iyakah?  

*******


Panggung Renung, 02-03-2017

Selasa, 18 April 2017

Sekali Lagi, Tidak Akan Mengajari Tulis-Menulis

Setelah saya berhasil menjuarai Lomba Menulis Esai 2016 itu, beberapa kawan meminta saya memberi materi penulisan. Semula saya tertarik untuk menyanggupi karena, saya pikir, mereka serius. Beberapa waktu kemudian saya batalkan.

Lho, mengapa?

Kejadian awalnya, seorang di antara mereka hendak mengikuti suatu lomba, dan dia memajang sebagian tulisannya di media sosial. Ada beberapa kesalahan, yang kemudian saya bantu untuk dikoreksi kembali. Dia tidak menerima koreksi, bahkan… Ah, sudahlah.

Bagaimana saya bisa mengajari jika belum apa-apa sudah begitu, seakan dia sudah melampaui saya? Kalau memang dia sudah melampaui saya, lebih baik dia saja yang mengajari kawan-kawan itu, ‘kan?

Selanjutnya, dengan status pendidikan mereka yang sudah sarjana alias lulus ujian skripsi, pengajaran tulis-menulis bukanlah perkara mudah. Pertama, kesetaraan status pendidikan; sesama sarjana. Dengan kesetaraan pendidikan, ego menjadi pertaruhan yang serius. Dan seterusnya.

Kedua, waktu. Seminggu satu kali, atau dua minggu sekali, atau, bagaimana?

Sebagian besar sudah bekerja, bahkan berumah tangga. Apakah mereka mau memberi sedikit waktu untuk saya ajarkan seperti ketika saya begitu suntuk belajar di pers kampus?

Tulis-menulis pun bukanlah suatu kegiatan yang cepat-instan. Waktu pun tidak bisa diukur dengan jumlah (kuantitas). Keseriusan dari niat menjadi kunci utama, bukannya niat segera mahir lantas cepat menepuk dada!

Proses tidak bisa diukur dengan waktu. Fokus-serius dapat memangkas waktu, selain materi yang tepat-sederhana. Sementara saya harus menyiapkan materi, tentunya. Tetapi saya tidak bekerja seperti mereka, alias pendapatan bulanan saya tidak sebesar yang mereka peroleh setiap bulan. Tersering saya tidak memiliki pendapatan serupiah pun!

Waktu adalah uang, begitulah idiom yang dipahami oleh kalangan profesional, dan kepala keluarga. Mereka bisa menyisihkan waktu dengan jaminan finansial sudah beres untuk keluarga. Lha, saya bagaimana? Pengajarannya gratis lagi, ya?

Lebih baik dengan kemampuan finansial yang sangat memadai itu mereka membayar seorang pengajar yang selalu siap mengajar mereka dengan materi yang mujarab. Sementara saya tidak perlu membuang waktu yang sebenarnya berbayar, ‘kan?

Ketiga, tempat.  Saya harus mengukur tempat dengan jarak karena berkaitan erat dengan biaya transportasi untuk suatu kegiatan gratis. Jarak pun berkaitan dengan waktu. Dan seterusnya.

Bagi saya, tempat yang tidak perlu repot saya jangkau adalah rumah saya sendiri. Rumah saya selalu terbuka bagi siapa pun yang ingin belajar, dan tidak perlu membayar lebih kepada warung kopi. Bahkan, saya menyediakan dua rumah. Di Martadinata, dan di kebun Kilo 4 dengan rumah tipe 40 yang permanen.

Kenyataan yang selalu mengemuka, mereka sama sekali tidak memiliki keseriusan secara konsisten. Saya tidak perlu juga menanyakan ketidakseriusan itu. Keputusan belajar bukanlah wewenang saya. Yang terpenting, "siapa membutuhkan siapa" dalam pembelajaran tulis-menulis.

Ketiga hal itu sajalah yang bisa saya uraikan. Intinya saya menolak.

Saya dan mereka bukanlah mahasiswa lagi, yang memiliki banyak kesempatan untuk belajar bidang lain. Masa pembelajaran tulis-menulis sebaiknya dilakukan ketika masa SMA atau kuliah S-1, dan skripsi merupakan bukti sudah lulus tahap tulis-menulis secara akademis sehingga, boleh dianggap, tulis-menulis bukanlah suatu kegiatan baru.

Bagi saya, sungguh terlambat mereka hendak belajar tulis-menulis. Apalagi, di era internet, aksesbilitas terhadap pembelajaran lebih mudah dibanding zaman saya yang tanpa internet. Apakah karena mereka ingin segera-instan? Entahlah.

Dan, kalau keberhasilan saya meraih juara I dalam lomba esai itu dijadikan sebagai salah satu ukuran kualitas kepenulisan saya, saya pikir, hal itu terlalu berlebihan. Dalam biodata lomba, saya tuliskan bahwa tujuan saya mengikuti lomba hanya berdasarkan status kependudukan saya sebagai warga Kaltim alias registrasi (eksistensi). Juara I merupakan dampaknya. Itu yang mereka kurang pahami hingga sekarang.

*******

Panggung Renung Balikpapan, 2017