Sabtu, 22 Juli 2017

Sabtu, 22 Juli 2017 : Ada Apa?

Ada yang tidak perlu aku pikirkan lagi. Benar-benar tidak perlu. Entah siapa yang memerlukan siapa–aku ataukah mereka–untuk berkembang pesat, khususnya dalam penulisan gagasan, kritik, konsep, dan seterusnya.

Eh, ada apa ini, kok kelihatannya parah total dan sama sekali tidak bisa dibenahi?

Baiklah, aku buka sedikit.

***

Pertama, gagal paham.

Komunikasi verbal melalui tulisan ternyata masih saja sukar dipahami alias gagal paham. Contoh nyatanya : waktu.

Berapa lamakah proses penyelesaiannya secara benar-normal-wajar-reguler?” tanya sebagian statusku.

Frasa “berapa lamakah” ternyata gagal dipahami sebagai pertanyaan mengenai “waktu”.

Misalnya, “berapa lama proses penyelesaian urusan pemasangan PLN sampai petugasnya datang?” Atau, “berapa lama sertifikat IMB jadi secara normal-biasa-lumrah?”   

Kata tanya “berapa” berkaitan dengan “jumlah”. Kata “lamakah” berkaitan dengan “waktu”. Sertifikat IMB bisa jadi, biasanya, berkisar 1 sampai 1,5 bulan (30-45 hari). Mengurus perpanjangan SIM, 1 hari jadi. Dan seterusnya.

***

Kedua, salah paham.

“Kemarin saya sudah jelaskan kami sudah berusaha…” jawab seseorang (11/7).

“Di daerah lain pake ujian…” bisik seorang lainnya (11/7).

“Teman-teman semua pada menunggu proses…” bisik seorang lainnya lagi (22/7).

Coba aku kembalikan pertanyaanku. Berapa lamakah proses penyelesaiannya secara benar-normal-wajar-reguler?”

“Berapa lamakah…”

Tiga orang menjawab:
1. Berusaha.  
2. Ujian.
3. Menunggu.

Tiga jawaban berintikan “proses” (berusaha, ujian, dan menunggu). Proses bisa menjadi jawaban apabila pertanyaanku adalah "mengapa" (mengapa lama begitu?) atau "bagaimana" (bagaimana bisa lama begitu?). Padahal pertanyaanku cuma “waktu” (berapa lamakah…).

Misalnya lagi.
“Berapa lamakah sumurnya jadi (sejak galian pertama) dalam waktu normal, Bapak-bapak?”

“Saya sudah berusaha sekuat tenaga,” jawab bapak ke-1.

“Di tempat lain tanahnya berbatu,” jawab bapak ke-2.

“Sedang menunggu airnya keluar,” jawab bapak ke-3.

Bisakah dibayangkan betapa bingungnya aku?

Misalnya, ya, itu, SIM (Surat Izin Mengemudi). Masing-masing pasti memiliki, baik SIM A, B, atau C. "Berapa lamakah prosesnya?" Tentunya tidak relevan ketika dijawab dengan, "Tergantung mesin cetak kartunya, atau kesehatan petugasnya."

Artinya, untuk menjawab "waktu", pasti berdasarkan "apa yang pernah dialami" dalam rentang tanggal/kalender sekian hari atau bulan, bukannya membayangkan prosesnya yang begini-begitu. Hal sepele (berapa lamakah) ini pun ternyata gagal dipahami.

***

Ketiga, selesai komunikasi.

Dampak pertanyaanku adalah selesai komunikasi antara aku dan mereka. Ketiganya tidak sudi berkomunikasi lagi denganku. Masing-masing berbekal gagal paham dan salah paham.

Bisakah dibayangkan, betapa tambah bingungnya aku?

***

Keempat, tidak kupikirkan lagi.  

Aku benar-benar berhenti memikirkan tahap dalam sebagian perjalanan mereka berkarya, khususnya jika memasuki tahap menuliskan pemikiran mereka. Apakah kelak mereka kelak akan mahir menyampaikan gagasan, kritik, wacana, atau saran melalui tulisan yang bagus, semua itu terserah mereka sendiri.

Bahkan salah seorang pernah berharap aku membantunya membuat tulisan, tentunya, gagal total setelah ucapan. Padahal beberapa hari sebelumnya aku membantunya selama lebih 8 jam dalam 3 hari untuk suatu lomba. Aku, yang berusia jauh lebih tua, datang ke rumahnya. Hasil gagal paham dan salah paham adalah “selamat tinggal”. Alangkah mulia hidupnya.

Sementara orang-orang lainnya juga begitu. Padahal, sepintas aku melihat mereka ingin bisa mahir menulis. Mereka juga rajin membaca, yang terlihat melalui koleksi bahan bacaan. Tingkat pendidikan mereka juga tinggi lho.

***

Nah, daripada mati dalam kebingungan, aku sudahi saja berpikir untuk mereka. Aku benar-benar jera. Luar biasa jeranya aku!

Betapa tidak jera alias kapok. Satu kalimat bahkan satu frasa saja sudah gagal dipahami, bagaimana kalau satu karya tulisan berjumlah enam halaman, ya? Jangan-jangan bisa terjadi keributan massal.

Itu baru sebatas membaca atau memahami kata, frasa, dan kalimat. Bagaimana kalau selanjutnya mereka membuat tulisan, ya? Dengan tulisan yang susah dipahami, apakah kelak tidak malah menambah keributan missal?

Ya, semoga tabah dan ikhlas saja. Aku sudah anggap selesailah segalanya.

*******

Panggung Renung Balikpapan, 23 Juli 2017   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar