Ada yang tidak perlu
aku pikirkan lagi. Benar-benar tidak perlu. Entah siapa yang memerlukan siapa–aku
ataukah mereka–untuk berkembang pesat, khususnya dalam penulisan gagasan,
kritik, konsep, dan seterusnya.
Eh, ada apa ini, kok kelihatannya
parah total dan sama sekali tidak bisa dibenahi?
Baiklah, aku buka
sedikit.
***
Pertama, gagal paham.
Komunikasi verbal
melalui tulisan ternyata masih saja sukar dipahami alias gagal paham. Contoh nyatanya
: waktu.
“Berapa lamakah proses penyelesaiannya secara benar-normal-wajar-reguler?” tanya
sebagian statusku.
Frasa “berapa lamakah” ternyata gagal
dipahami sebagai pertanyaan mengenai “waktu”.
Misalnya, “berapa lama proses
penyelesaian urusan pemasangan PLN sampai petugasnya datang?” Atau, “berapa
lama sertifikat IMB jadi secara normal-biasa-lumrah?”
Kata tanya “berapa”
berkaitan dengan “jumlah”. Kata “lamakah” berkaitan dengan “waktu”. Sertifikat
IMB bisa jadi, biasanya, berkisar 1 sampai 1,5 bulan (30-45 hari). Mengurus
perpanjangan SIM, 1 hari jadi. Dan seterusnya.
***
***
Kedua, salah paham.
“Kemarin saya sudah jelaskan kami
sudah berusaha…” jawab seseorang (11/7).
“Di daerah lain pake ujian…” bisik
seorang lainnya (11/7).
“Teman-teman semua pada menunggu
proses…” bisik seorang lainnya lagi (22/7).
Coba aku kembalikan pertanyaanku. “Berapa lamakah proses penyelesaiannya
secara benar-normal-wajar-reguler?”
“Berapa lamakah…”
Tiga orang menjawab:
1. Berusaha.
1. Berusaha.
2. Ujian.
3. Menunggu.
Tiga jawaban berintikan “proses”
(berusaha, ujian, dan menunggu). Proses bisa menjadi jawaban apabila pertanyaanku adalah "mengapa" (mengapa lama begitu?) atau "bagaimana" (bagaimana bisa lama begitu?). Padahal pertanyaanku cuma “waktu” (berapa lamakah…).
Misalnya lagi.
“Berapa lamakah sumurnya jadi (sejak
galian pertama) dalam waktu normal, Bapak-bapak?”
“Saya sudah berusaha sekuat tenaga,”
jawab bapak ke-1.
“Di tempat lain tanahnya berbatu,”
jawab bapak ke-2.
“Sedang menunggu airnya keluar,” jawab
bapak ke-3.
Bisakah dibayangkan betapa bingungnya
aku?
Misalnya, ya, itu, SIM (Surat Izin Mengemudi). Masing-masing pasti memiliki, baik SIM A, B, atau C. "Berapa lamakah prosesnya?" Tentunya tidak relevan ketika dijawab dengan, "Tergantung mesin cetak kartunya, atau kesehatan petugasnya."
Artinya, untuk menjawab "waktu", pasti berdasarkan "apa yang pernah dialami" dalam rentang tanggal/kalender sekian hari atau bulan, bukannya membayangkan prosesnya yang begini-begitu. Hal sepele (berapa lamakah) ini pun ternyata gagal dipahami.
Misalnya, ya, itu, SIM (Surat Izin Mengemudi). Masing-masing pasti memiliki, baik SIM A, B, atau C. "Berapa lamakah prosesnya?" Tentunya tidak relevan ketika dijawab dengan, "Tergantung mesin cetak kartunya, atau kesehatan petugasnya."
Artinya, untuk menjawab "waktu", pasti berdasarkan "apa yang pernah dialami" dalam rentang tanggal/kalender sekian hari atau bulan, bukannya membayangkan prosesnya yang begini-begitu. Hal sepele (berapa lamakah) ini pun ternyata gagal dipahami.
***
Ketiga, selesai komunikasi.
Dampak pertanyaanku adalah selesai
komunikasi antara aku dan mereka. Ketiganya tidak sudi berkomunikasi lagi
denganku. Masing-masing berbekal gagal paham dan salah paham.
Bisakah dibayangkan, betapa tambah bingungnya aku?
Bisakah dibayangkan, betapa tambah bingungnya aku?
***
Keempat, tidak kupikirkan lagi.
Aku benar-benar berhenti memikirkan
tahap dalam sebagian perjalanan mereka berkarya, khususnya jika memasuki tahap
menuliskan pemikiran mereka. Apakah kelak mereka kelak akan mahir menyampaikan
gagasan, kritik, wacana, atau saran melalui tulisan yang bagus, semua itu
terserah mereka sendiri.
Bahkan salah seorang pernah berharap
aku membantunya membuat tulisan, tentunya, gagal total setelah ucapan. Padahal
beberapa hari sebelumnya aku membantunya selama lebih 8 jam dalam 3 hari untuk
suatu lomba. Aku, yang berusia jauh lebih tua, datang ke rumahnya. Hasil gagal
paham dan salah paham adalah “selamat tinggal”. Alangkah mulia hidupnya.
Sementara orang-orang lainnya juga
begitu. Padahal, sepintas aku melihat mereka ingin bisa mahir menulis. Mereka
juga rajin membaca, yang terlihat melalui koleksi bahan bacaan. Tingkat
pendidikan mereka juga tinggi lho.
***
Nah, daripada mati dalam kebingungan,
aku sudahi saja berpikir untuk mereka. Aku benar-benar jera. Luar biasa jeranya
aku!
Betapa tidak jera alias kapok. Satu
kalimat bahkan satu frasa saja sudah gagal dipahami, bagaimana kalau satu karya
tulisan berjumlah enam halaman, ya? Jangan-jangan bisa terjadi keributan massal.
Itu baru sebatas membaca atau memahami
kata, frasa, dan kalimat. Bagaimana kalau selanjutnya mereka membuat tulisan,
ya? Dengan tulisan yang susah dipahami, apakah kelak tidak malah menambah
keributan missal?
Ya, semoga tabah dan ikhlas saja. Aku
sudah anggap selesailah segalanya.
*******
Panggung Renung Balikpapan, 23 Juli
2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar